"Kenapa kamu hanya diam saja?"Nia pun melirik Dion, tidak mengerti maksud dari pertanyaan Dion."Apa kau tidak senang bersama ku?" Tanya Dion lagi."Aku tidak mengerti Tuan? Anda bertanya apa?"Dion pun memilih untuk menepikan mobilnya, kemudi melihat Nia dengan serius.Tetapi wajah Nia yang begitu cantik membuatnya menjadi tidak bisa berbicara, kemudi kembali melanjutkan perjalanan.Membuat Nia bingung, tetapi tidak berani juga untuk bertanya."Kenapa kau berulang tahun tapi tidak memberitahukan kepada ku? Kenapa malah memberitahukan pada Niko?" Tanya Dion lagi.Nia semakin kebingungan, sebab setahunnya lelaki di sampingnya itu adalah seorang yang pendiam, dingin, tak banyak bicara, dan tak suka dibantah.Lantas mengapa saat ini terlihat berbeda dari sebelumnya."Nia, aku bertanya kepada mu? Kenapa kau sepertinya kebingungan?""Tuan, apakah aku sudah gila?" Nia malah bertanya tanpa menjawab pertanyaan Dion terlebih dahulu."Kenapa begitu?""Aku merasa ada yang berbeda dari anda, apa
Gaun berwarna putih itu terlihat begitu indah di tubuh Nia yang kurus, meskipun kurus masih saja enak dipandang mata."Makasih ya Bu," Nia begitu menyukai gaun buatan Farah.Sedangkan Dion hanya diam menyaksikan kebahagiaan antara Farah dan juga Nia yang saling melepaskan rindu.Mungkin inilah salah satu cara agar membuat Nia melupakan kesedihannya, mungkin juga bisa membuat trauma pada diri wanita itu sedikit demi sedikit mulai menghilang."Tuan, maaf. Aku, melupakan anda," Nia pun menyadari Dion yang hanya menjadi penonton.Sedangkan Dion hanya mengangkat bahunya, seakan begitu santai menikmati pemandangan yang meneduhkan hati.Hingga akhirnya Nia pun memasuki kamarnya, sederhana namun percayalah Nia sangat merindukannya.Foto Anwar masih berada pada tempatnya, menggantung di dinding tanpa bergeser sedikitpun.Tangan Nia bergerak, mengusap bingkai foto dengan penuh kerinduan.Kerinduan seorang anak terhadap Bapaknya, rindu yang tak lagi bisa melihat meskipun dalam keadaan jauh.Rind
Merebahkan dirinya di atas ranjang sederhana milik Nia."Kamar mu ini seperti kamar anak-anak," Dion melihat sekitarnya, di mana banyak sekali dekorasi layaknya anak kecil, "wah ada kecoa!" Dion menunjuk kaki Nia, tetapi Nia hanya diam saja."Tidak ada," Nia sama sekali tidak takut pada seekor kecoa.Jadi sama sekali tidak membuatnya menjadi histeris ataupun semacamnya."Bukan kecoa, tapi cicak!" kata Dion lagi."Cicak?" Nia pun langsung meloncat naik ke atas ranjang, dirinya sangat tidak suka pada cicak.Apa lagi bila masuk ke dalam pakaiannya seperti dulu saat dikerjai oleh teman-temannya saat masih duduk di bangku sekolah.Dari saat itulah Nia semakin tidak suka pada cicak, bahkan mendengar namanya saja sudah menguatnya bergidik mengeri."Hehe," Dion tertawa kecil melihat Nia, awalnya hanya asal bicara saja.Namun tidak menyangka bahwa Nia bisa seperti itu.Menyadari dirinya ditipu, Nia pun segera turun dari ranjang."Nggak lucu, cicak itu sangat menakutkan," kata Nia."Maaf," Dion
"Tidak, aku hanya bercanda saja," Dion pun memilih untuk berbicara hal yang membuat Nia menjadi lebih baik.Agar bisa membuat suasana tidak terus menjadi tegang."Ayo tidur.""Tuan, aku tidak bisa tidur seperti ini. Aku tidur di bawah saja ya," pinta Nia."Bisa, apa perlu aku yang meniduri mu dulu. Agar kau bisa tidur," Dion berbicara dengan diselingi tawa kecil."Meniduri?" Tanya Nia bingung."Iya.""Tapi aku nggak suka di bacain buku cerita, apa lagi aku sudah besar. Masa, iya mau dinyanyikan sebelum tidur?" Dion tersenyum mendengar jawaban Nia, tapi tidak masalah lagi pula Nia memang masih terlalu muda."Kalau tidak bisa dengan cara di nyanyikan, atau membaca buku cerita bisa dengan cara yang lain." "Cara lain?""Iya, mau tidak?"Nia pun sejenak terdiam sambil memikirkan apa yang dimaksud oleh Dion, namun belum juga mendapatkan jawaban dari setiap hal yang dikatakan oleh Dion."Mau, tidak?" Tanya Dion lagi, semakin merapatkan tubuhnya pada bagian belakang Nia.Nia pun tersadar te
Nia berusaha untuk lepas dari pelukan Dion, tetapi cukup sulit sekali. Padahal dirinya sudah ingin berlari ke kamar mandi untuk melakukan ritual paginya.Hingga akhirnya pergerakan Nia membuat Dion pun terbangun."Tuan, maaf kalau aku menggangu tidur anda. Aku kebelet pipis," kata Nia agar Dion tahu, sebab selain ingin ke kamar mandi Nia pun ingin dilepaskan oleh Dion.Tetapi Dion hanya diam saja, menatap wajah Nia di pagi hari ini.Wajah yang apa adanya, bahkan saat bangun tidur saja masih terlihat begitu cantik.Dalam hati Dion memuji kecantikan seorang wanita yang kini berstatus sebagai istrinya.Sungguh sangat tidak dimengerti sama sekali, tapi setelah mengetahui penderitaan Nia hatinya mendadak luluh dan ingin mengenal lebih jauh."Tuan?" Nia tidak nyaman saat Dion menatapnya begitu dalam, saat ini Nia hanya ingin dilepaskan dari pelukan Dion.Itu saja, bukan malah mendapatkan tatapan mata elang tersebut.Lagi pula mengapa bisa Dion terus saja memeluknya? Tidakkah ada rasa jijik?
Tidak masalah, tetapi cukup membuat pagi ini menjadi lebih berwarna.Sebuah ciuman untuk yang pertama kalinya, lagi pula anggap saja sebagai proses penyesuaian.Sehingga, Nia dapat melupakan trauma mengerikan yang pernah dialaminya.Setelah selesai memikirkan banyak hal, Dion pun memutuskan untuk pergi menuju kamar mandi.Dimana hanya ada satu kamar mandi di rumah tersebut, itupun bersebelahan dengan dapur.Sesaat kemudian Dion pun membuka pintu kamar mandi tanpa tahu ada orang di dalam sana.Karena pintu kamar mandi hanya tertutup tanpa terkunci, bahkan dirinya yang terbiasa memiliki kamar mandi pribadi malah melupakan dimana kini dirinya berada.Apa yang dilihat oleh Dion saat ini hingga membuatnya mendadak mematung di ambang pintu yang terbuka.Nia sedang menggosok punggungnya, tapi mendadak terhenti karena kehadiran Dion yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi begitu saja.Dengan gerakan cepat Nia pun menarik handuk, kemudian menutup bagian punggungnya.Bahkan dengan banyaknya b
"Untung aku selalu mandi pakai kain sarung, coba kalau enggak?"Dengan cepat Nia pun membilas tubuhnya, bahkan Nia tidak lagi lanjut menggosok bagian tubuhnya yang belum sempat terkena sabun.Tapi, setelah selesai mandi malah dirinya sadar tidak membawa pakaian bersih ke dalam kamar mandi."Ya ampun, tapi aku nggak mau dikira menggoda Tuan Dion."Nia pun memutuskan untuk keluar dari kamar mandi, dengan melilitkan handuk saja di bagian tubuhnya.Tapi Nia tidak memasuki kamarnya, sebab sudah pasti Dion ada di sana.Memilih untuk memasuki kamar ibunya, kemudian mengambil sebuah daster milik sang Ibu juga tentunya, kemudian memakainya.Tubuh Farah cukup gemuk, tetapi tubuh Nia begitu kurus.Sehingga daster di tubuhnya terlihat kebesaran, tapi tidak masalah.Karena yang menjadi masalah justru saat Dion melihatnya hanya dengan balutan handuk saja. Itu sungguh sangat mengerikan.Setelah itu Nia pun langsung menuju kamarnya, yang hanya bersebelahan dengan Ibunya.Ingin memberitahu jika kamar
Mendadak Dion merasa lebih nyaman berada di rumah tersebut.Kenapa demikian.Pertama; Ranjang yang sempit membuat mereka berdua harus tidur berdekatan, tentunya Dion pun bisa dengan mudahnya menjadikan Nia sebagai bantal guling ternyaman.Ternyaman?Sejak kapan Dion menganggap Nia menjadi bantal guling ternyaman?Tidak tahu, hanya saja itu adalah suatu hal baru yang dirasakan oleh Dion.Kedua; Zaki sudah pasti dengan Neneknya, tapi bukan berarti Dion tidak menyukai Zaki.Hanya saja saat ini Dion juga ingin merasakan menjadi suami sesungguhnya, tentunya juga dengan menjadikan Nia sebagai istri yang sesungguhnya pula.Dan saat Zaki bersama dengan Farah, artinya Dion lebih leluasa untuk berdekatan dengan Nia.Ketiga; Tanpa Dila, karena biasanya putri kesayangannya tersebut juga bisa menjadi masalah.Tak jarang Dion harus bersabar, padahal dirinya hanya manusia biasa juga memiliki stok kesabaran yang tipis.Lagi-lagi tidak ada yang perduli pada dirinya, karena Dion hanya harus dipaksa unt
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan