"Maaf," kata Barra saat menyadari mata Asih yang terbuka lebar.Dia benar-benar tak menyangka jika saja mata Asih terbuka lebar dengan tiba-tiba seperti ini.Pikirannya Asih sudah sangat lelap dan tak mungkin terbangun lagi.Dan gilanya lagi, dia malah seperti seorang maling yang mencuri sesuatu.Padahal Asih adalah istrinya, ini sungguh sangat aneh sekali rasanya.Apakah ada larangan untuk tidak melakukan ini pada istrinya sendiri?Apakah dia berdosa juga menginginkan istrinya sendiri saat ini juga.Sialan memang."Kamu marah?" tanya Barra, sebab Asih pun hanya diam saja.Asih pun terdiam tanpa menjawab apapun, dia juga bingung dengan dirinya yang tidak marah sama sekali.Tapi, bagaimana pula mengatakannya pada Barra, hingga diam adalah pilihan tepatnya.Hingga perut Asih pun berbunyi, wajar saja. Karena, dia tidak makan nasi seperti biasanya."Aku lapar, banget," kata Asih, sekaligus ingin mengalihkan pembicaraan saat ini.Dia juga sangat tegang dan bingung harus seperti apa.Mengat
Asih pun terbangun dari tidurnya, dia melihat tak ada Barra di sampingnya.Tetapi, telinganya mendengar suara gemericik air dari arah kamar mandi.Dia pun yakin jika Barra ada di dalam kamar mandi.Sesaat pintu kamar mandi pun terbuka, dia pun memejamkan matanya karena tidak tahu harus berhadapan dengan Barra di pagi ini seperti apa.Perlahan Asih pun mengintip dan melihat Barra tengah berpakaian.Rasanya sangat menegangkan sekali jika harus kembali mengingatnya.Tapi Asih pun tak menampik jika dia terpesona dengan keindahan tubuh Barra yang tampak begitu berkarisma.Mengapa dia baru menyadari setelah banyaknya masalah yang berlalu, tapi itu tidak masalah.Lebih baik terlambat menyadari dari pada tidak pernah sadar sama sekali."Asih," Barra pun berjalan ke arah ranjang.Dan saat itu Asih pun kembali menutup matanya, dia pun kembali berpura-pura tidur agar tidak merasa malu."Sepertinya, dia sangat lelap," kata Barra lagi, sebab Asih tak juga bangun dari tidurnya.Dan alasan Barra mem
"Aku mau ke toko, soalnya hari ini karyawan gajian. Kasihan mereka kalau harus di tunda," kata Asih yang langsung bangkit dari duduknya."Kalau kamu nggak kuat aku aja yang ke toko," kata Nia."Aku nggak papa," kata Asih lagi."Mana tahu kamu susah jalan," ujar Nia sambil mengejek Asih."Apaan sih!" Asih pun memilih untuk segera pergi dari sana, karena jika terus berada di sana tentunya dia akan semakin pusing mendengar ejekan Nia.Hingga kini Asih pun turun dari ojek yang mengantar dirinya sampai di toko kue.Dia langsung saja di sambut oleh Nilam, sedangkan masalah tanda merah itu sudah tersamarkan dengan foundation."Mbak Asih, kirain bakalan telat gajian," kata Nilam yang kini duduk di kursi yang saling berhadapan dengan Asih.Asih pun melihat Nilam, "Nggak, aku ingat, kok," kata Asih sambil membuka brangkas."Mana tahu, soalnya udah di tungguin dari pada sama yang lainya. Mereka juga sedih kalau gajian di tunda.""Nggak, aku nggak akan menundanya. Tenang aja, ini buktinya aku di
Asih pun terkejut melihat Barra yang turun dari mobilnya, Asih yang sedang berdiri di depan toko sambil tersenyum ramah pada pelanggan yang berdatangan pun bingung.Sebab, ini belum waktunya toko tutup. Dan dia pun belum ingin pulang ke rumah.Sebab, Asih pun sadar diri. Dia hanya karyawan, meskipun adalah orang kepercayaan Nia tapi bukan berarti bisa datang dan pergi sesukanya, dia tidak mau memanfaatkan kenaikan Nia terhadap dirinya.Lagi pula dia butuh uang untuk Ibu dan adiknya di kampung halaman."Kamu jemput aku?" tanya Asih.Dijawab dengan anggukan kepala oleh Barra."Tapi, aku baru akan pulang 2 jam lagi," kata Asih lagi."Ya, aku akan menunggumu," Barra pun seketika mendudukkan dirinya pada kursi.Asih pun terdiam sambil melihat Barra yang sudah duduk di kursi.Menurutnya itu terlalu aneh, lagi pula tidak mungkin juga Barra mau menunggu hingga 2 jam lamanya bukan?Aneh saja rasanya, tapi kita lihat saja nanti. Apakah benar Barra mau menunggu selama itu.Dan Asih yakin situ ti
"Mama, ingin kita menginap di rumahnya. Malam ini," kata Barra.Asih yang masih begitu larut dalam pikirannya tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Barra sama sekali.Sepertinya dia masih memikirkan nominal rupiah yang masuk pada akun rekening bank miliknya."Asih!""Hah, iya. Kenapa?" Asih pun tampak terkejut saat mendengar suara Barra yang sedikit meninggi.Dirinya benar-benar bingung dengan Barra, mengapa bisa memanggilnya demikian."Kamu memikirkan sesuatu," tebak Barra, karena terlihat jelas Asih sedang tidak fokus."Iya, aku bingung. Kayaknya ada yang salah transfer uang ke rekening aku. Mana jumlahnya tidak sedikit," jelas Asih."Berapa?""Rp.300. 000. 000.""Itu gaji suami mu, artinya sudah masuk ke rekening mu," jelas Barra."Gaji suami?" Asih yang semakin bingung mendengar penjelasan Barra barusan."Jangan bilang, kamu lupa, sudah punya suami. Ingat juga, kamu sedang hamil!" papar Barra.Asih pun terdiam sejenak sambil terus saja menatap wajah Barra.Hingga dia pun akhirny
"Dasar aneh!" Asih pun memukul lengan Nilam, menurutnya Nilam sangat menjengkelkan sampai detik ini."Mbak Asih, apaansih. Perasaan sensitif aja, tapi maklumlah, namanya Bumil," celetuk Nilam sambil mengusap lengannya yang dipukul oleh Asih."Nggak jelas banget deh, ngaur!" omel Asih."Nilam, kapan, bisa dapat jodoh sebaik, Mas Barra. Coba aja ada pasti, Nilam bahagia sekali," kata Nilam lagi dengan bibirnya yang terus saja tersenyum."Dasar gila!"Asih pun kini berjalan ke arah Barra, dia mengantarkan beberapa roti yang menurutnya cukup lezat untuk di nikmati oleh Barra bersama dengan kopi hangat buatnya tadi."Terima kasih," kata Barra sambil tersenyum pada Asih."Bayar, ya, pakai duit, Mas. Bukan pakai terima kasih," ujar Asih.Barra pun tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh Asih."Malah senyum, bayar. Ini bukan toko kue milik istri mu, ini toko kue milik, Ibu Nia Putri, sudah baca nama toko kuenya, 'kan?" tanya Asih lagi."Kalau kamu, Mas bisa bikin toko kue punya kamu. Sekal
"Kalian berdua sudah sampai, Bunda sudah masak makanan banyak sekali."Tias tersenyum bahagia menyambut kedatangan Asih dan juga Barra, apa lagi Barra sudah mengatakan lewat sambungan telepon seluler tentang kehamilan Asih.Tentu saja Tias semakin kegirangan dan tak ingin melewati momen seperti ini."Bunda, apa kabar?" tanya Asih."Kabar baik dan sangat baik, apa lagi sebentar lagi, Bunda akan punya cucu," ujar Tias.Asih pun melirik Barra, karena dia bingung dari mana Tias tahu dengan kehamilannya.Tapi sudahlah, tidak perlu juga di perpanjang. Karena, sudah pasti Barra yang memberitahukan semua itu.Dan sepertinya juga itu bukan satu hal yang besar untuk di permasalahkan. "Ayo, duduk. Kita makan dulu, takutnya kamu masuk angin. Kasihan juga cucu, Bunda."Asih sangat terharu akan sikap Tias yang begitu baik padanya, sungguh membuatnya merasa nyaman."Ayo makan, Ranti juga ikut bantuin, Bunda masak. Nggak di makan ya, kecewa dong," kata Ranti ikut menimpali."Terima kasih," Asih pun
Sambil rebahan di ranjang, Asih pun mengirimkan pesan pada Nia.Dia memberitahu bahwa saat ini tidak pulang ke rumah, melainkan pulang ke rumah orang tua Barra.[Nia, malam ini aku nginep di rumah, mertua] Asih.Ting!Nia pun melihat ponselnya dan membaca pesan yang dikirimkan oleh Asih padanya.Dia pun tersenyum sambil jari-jarinya bergerak untuk mengetik pesan balasan.[Cie, yang udah punya mertua] Nia.Dion bingung melihat wajah istrinya yang menurunnya menimbulkan tanya.Membuatnya pun segera mengambil alih ponsel yang ada di tangan istrinya tersebut."Mas!" Nia yang kesal pun mencoba untuk kembali merebut ponselnya.Tapi Dion pun menjauhkannya dari Nia agar tak bisa direbut oleh Nia dengan mudahnya, sebelum dia tahu isi pesan yang membuat istrinya senyum-senyum sendiri."Kirim pesan sama siapa kamu? Kenapa senyum-senyum sendiri?" "Sama, Asih. Mas, itu aja kok marah," kata Nia.Nia pun kembali mencoba untuk merebut ponselnya, tapi lagi-lagi Dion pun menjauhkan dirinya."Dengan, A