Asih pun terkejut melihat Barra yang turun dari mobilnya, Asih yang sedang berdiri di depan toko sambil tersenyum ramah pada pelanggan yang berdatangan pun bingung.Sebab, ini belum waktunya toko tutup. Dan dia pun belum ingin pulang ke rumah.Sebab, Asih pun sadar diri. Dia hanya karyawan, meskipun adalah orang kepercayaan Nia tapi bukan berarti bisa datang dan pergi sesukanya, dia tidak mau memanfaatkan kenaikan Nia terhadap dirinya.Lagi pula dia butuh uang untuk Ibu dan adiknya di kampung halaman."Kamu jemput aku?" tanya Asih.Dijawab dengan anggukan kepala oleh Barra."Tapi, aku baru akan pulang 2 jam lagi," kata Asih lagi."Ya, aku akan menunggumu," Barra pun seketika mendudukkan dirinya pada kursi.Asih pun terdiam sambil melihat Barra yang sudah duduk di kursi.Menurutnya itu terlalu aneh, lagi pula tidak mungkin juga Barra mau menunggu hingga 2 jam lamanya bukan?Aneh saja rasanya, tapi kita lihat saja nanti. Apakah benar Barra mau menunggu selama itu.Dan Asih yakin situ ti
"Mama, ingin kita menginap di rumahnya. Malam ini," kata Barra.Asih yang masih begitu larut dalam pikirannya tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Barra sama sekali.Sepertinya dia masih memikirkan nominal rupiah yang masuk pada akun rekening bank miliknya."Asih!""Hah, iya. Kenapa?" Asih pun tampak terkejut saat mendengar suara Barra yang sedikit meninggi.Dirinya benar-benar bingung dengan Barra, mengapa bisa memanggilnya demikian."Kamu memikirkan sesuatu," tebak Barra, karena terlihat jelas Asih sedang tidak fokus."Iya, aku bingung. Kayaknya ada yang salah transfer uang ke rekening aku. Mana jumlahnya tidak sedikit," jelas Asih."Berapa?""Rp.300. 000. 000.""Itu gaji suami mu, artinya sudah masuk ke rekening mu," jelas Barra."Gaji suami?" Asih yang semakin bingung mendengar penjelasan Barra barusan."Jangan bilang, kamu lupa, sudah punya suami. Ingat juga, kamu sedang hamil!" papar Barra.Asih pun terdiam sejenak sambil terus saja menatap wajah Barra.Hingga dia pun akhirny
"Dasar aneh!" Asih pun memukul lengan Nilam, menurutnya Nilam sangat menjengkelkan sampai detik ini."Mbak Asih, apaansih. Perasaan sensitif aja, tapi maklumlah, namanya Bumil," celetuk Nilam sambil mengusap lengannya yang dipukul oleh Asih."Nggak jelas banget deh, ngaur!" omel Asih."Nilam, kapan, bisa dapat jodoh sebaik, Mas Barra. Coba aja ada pasti, Nilam bahagia sekali," kata Nilam lagi dengan bibirnya yang terus saja tersenyum."Dasar gila!"Asih pun kini berjalan ke arah Barra, dia mengantarkan beberapa roti yang menurutnya cukup lezat untuk di nikmati oleh Barra bersama dengan kopi hangat buatnya tadi."Terima kasih," kata Barra sambil tersenyum pada Asih."Bayar, ya, pakai duit, Mas. Bukan pakai terima kasih," ujar Asih.Barra pun tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh Asih."Malah senyum, bayar. Ini bukan toko kue milik istri mu, ini toko kue milik, Ibu Nia Putri, sudah baca nama toko kuenya, 'kan?" tanya Asih lagi."Kalau kamu, Mas bisa bikin toko kue punya kamu. Sekal
"Kalian berdua sudah sampai, Bunda sudah masak makanan banyak sekali."Tias tersenyum bahagia menyambut kedatangan Asih dan juga Barra, apa lagi Barra sudah mengatakan lewat sambungan telepon seluler tentang kehamilan Asih.Tentu saja Tias semakin kegirangan dan tak ingin melewati momen seperti ini."Bunda, apa kabar?" tanya Asih."Kabar baik dan sangat baik, apa lagi sebentar lagi, Bunda akan punya cucu," ujar Tias.Asih pun melirik Barra, karena dia bingung dari mana Tias tahu dengan kehamilannya.Tapi sudahlah, tidak perlu juga di perpanjang. Karena, sudah pasti Barra yang memberitahukan semua itu.Dan sepertinya juga itu bukan satu hal yang besar untuk di permasalahkan. "Ayo, duduk. Kita makan dulu, takutnya kamu masuk angin. Kasihan juga cucu, Bunda."Asih sangat terharu akan sikap Tias yang begitu baik padanya, sungguh membuatnya merasa nyaman."Ayo makan, Ranti juga ikut bantuin, Bunda masak. Nggak di makan ya, kecewa dong," kata Ranti ikut menimpali."Terima kasih," Asih pun
Sambil rebahan di ranjang, Asih pun mengirimkan pesan pada Nia.Dia memberitahu bahwa saat ini tidak pulang ke rumah, melainkan pulang ke rumah orang tua Barra.[Nia, malam ini aku nginep di rumah, mertua] Asih.Ting!Nia pun melihat ponselnya dan membaca pesan yang dikirimkan oleh Asih padanya.Dia pun tersenyum sambil jari-jarinya bergerak untuk mengetik pesan balasan.[Cie, yang udah punya mertua] Nia.Dion bingung melihat wajah istrinya yang menurunnya menimbulkan tanya.Membuatnya pun segera mengambil alih ponsel yang ada di tangan istrinya tersebut."Mas!" Nia yang kesal pun mencoba untuk kembali merebut ponselnya.Tapi Dion pun menjauhkannya dari Nia agar tak bisa direbut oleh Nia dengan mudahnya, sebelum dia tahu isi pesan yang membuat istrinya senyum-senyum sendiri."Kirim pesan sama siapa kamu? Kenapa senyum-senyum sendiri?" "Sama, Asih. Mas, itu aja kok marah," kata Nia.Nia pun kembali mencoba untuk merebut ponselnya, tapi lagi-lagi Dion pun menjauhkan dirinya."Dengan, A
"Ya, ampun. Ini perut kok mules banget, udah berapa kali coba aku bolak-balik toilet. Pasti gara-gara makan pedes banget tadi siang," Ranti pun memegang perutnya yang terasa tidak nyaman.Dari tadi dia terus saja keluar masuk kamar mandi untuk buang air."Aduh, ini kok mules lagi," baru saja dia keluar dari kamar mandi, bahkan masih berdiri di depan pintu, tetapi kini sudah kembali masuk lagi dan buang air.Begitulah terus berulang kali, dan membuatnya cukup kelelahan.Tapi kini dia pun mulai merasa lebih baik, dia pun kembali ke ruang keluarga.Dimana sebelumnya Ranti sedang menonton televisi, bahkan televisi dalam keadaan menyala dia tinggalkan, sebab buru-buru ke kamar mandi.Apa lagi jika duduk dengan ditemani teh hangat, pasti bisa membuatnya menjadi sedikit membaik."Pasti, film kesayangan aku udah selesai," kesal Ranti.Tapi saat dia sampai di ruang televisi, mendadak langkah kakinya terhenti.Dia pun gemetaran seperti orang yang sedang shock berat, bahkan untuk berbicara saja
Asih masih saja berdiri di sana, tidak ada yang dia lakukan selain berdiri dan memegang dadanya yang berdebar tiada henti-hentinya itu."Jangan, tolong tenang," Asih pun bingung harus bagaimana lagi, sedangkan dia juga belum ingin keluar."Asih, buka kuncinya. Aku ingin melihat apakah kamu baik-baik saja, karena kamu sudah terlalu lama di dalam sana," kata Barra.Dia terus saja meminta Asih untuk membuka pintu kamar mandi, tapi entah bagaimana pula Asih tak juga membuka pintunya.Sungguh membuat Barra semakin merasa panik saja."Aku nggak papa," jawab Asih lagi dari dalam sana."Kamu buka pintunya, atau. Mas, dobrak!"Asih pun menegang saat mendengar apa yang dikatakan oleh Barra.Apakah pria itu serius ataupun hanya sekedar mengancam saja?Tapi, Asih masih saja berada pada tempatnya tanpa ingin berpindah sama sekali."Baiklah, aku hitung sampai tiga. Aku tidak main-main!"Sejenak Barra menunggu Asih untuk membuka pintu, tetapi tak juga di buka.Akhirnya Barra pun memutuskan untuk ben
"Selamat pagi, cantik," kata Barra.Asih yang baru saja membuka matanya pun mendadak merasa malu.Malu?Tentu saja?Semalam adalah hal yang juga cukup bersejarah bagi dirinya, karena malam yang mereka lalui penuh dengan kehangatan dan juga kemesraan.Bahkan di pagi hari ini tubuh Asih rasanya begitu remuk, tapi itu tidak masalah karena begitu menghangatkan perasaan untuk pagi ini.Tak pernah terpikirkan jika kini dia dan Barra benar-benar menyatu dalam pernikahan yang sesungguhnya.Namun, begitulah keadaan yang mereka lalui tanpa bisa ditebak sama sekali."Kenapa?" tanya Barra saat menyadari Asih yang sepertinya sedang menahan malu.Malu, tentu saja, jika pagi kemarin hari dia bangun saat Barra sudah berangkat ke kantor, namun berbeda dengan kali ini.Tubuh polos keduanya pun masih terbalut oleh selimut putih, sungguh rasanya sangat menggetarkan jiwa."Kamu kok ngeliatnya gitu banget, sih?" tanya Asih.Ya, dia memberanikan diri untuk bertanya pada Barra.Sebab tatapan mata pria itu ra