Asih memegang kepalanya yang terasa begitu berat, sekujur tubuhnya pun terasa sangat letih.Dia pun mulai merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.Kemudian perlahan matanya pun terbuka, menatap sekiranya yang tampak begitu asing.Perlahan Asih pun mendudukkan tubuhnya, kembali menatap sekitarnya dengan lebih jelas."Kepala ku pusing sekali," Asih pun berusaha untuk memijat kepalanya, kemudian dia pun merasa mual.Mungkin karena terlalu banyak minum dan tidak makan sama sekali, bahkan dia baru terbangun di saat waktu siang telah tiba.Tapi, lagi-lagi Asih bingung dengan dirinya yang entah berada di mana."Ini kamar siapa?" tanya Asih pada dirinya sendiri.Kemudian dia pun sadar bahwa dirinya tanpa pakaiannya.Hanya selimut putih yang menutupi tubuh polosnya.Matanya pun melihat pakaiannya yang berserakan di lantai, membuatnya semakin bertanya-tanya akan apa yang sebenarnya terjadi.Sejenak dia mencoba untuk mengingat kejadian malam tadi.Saat itu Sandi membawanya ke tempat hiburan
[Nilam, kamu di mana?] Asih.[Di toko, Mbak Asih di mana? Mbak Nia, nyariin dari pagi. Katanya, dari semalam, Mbak Asih nggak pulang. Mbak Asih, dimana? Mbak Nia panik tau] Nilam.Jantung Asih terus saja berdetak kencang karena ketakutan, dia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.Hingga Asih pun segera meminta supir taxi untuk beralir arah dari yang sudah dia minta, ke arah yang lainnya.Artinya dia mengurungkan niatnya untuk pulang ke rumah Nia yang selama ini menjadi tempat tinggalnya.[Nilam, kamu pulang ke kosan ya. Aku langsung ke kosan kamu, jangan bilang ke Nia. Tolong, atau aku bunuh diri] Asih.[Mbak Asih, jangan bercanda. Nggak lucu] Nilam.[Aku serius] Asih.Nilam langsung meminta ijin untuk pulang terlebih dahulu, kebetulan Nia juga sedang berada di toko.Namun, seperti yang dikatakan oleh Asih, dia tak akan mengatakannya mengapa dia pulang di waktu siang begini."Mbak Nia, Nilam ijin pulang sekarang boleh, ya. Soalnya, ada, Ibu datang dari kampung. Kata, Ibu, kos.""Y
"Kenapa dia ada di tempat hiburan malam?" Barra cukup terkejut mengetahui keberadaan Asih malam ini, dia melihat dari GPS yang terhubung dengan seseorang yang sudah menjadi istrinya tersebut.Istri terpaksa mungkin tepatnya.Hari ini Barra terlalu banyak pekerjaan, sehingga tidak ada waktu untuk melakukan hal-hal lainya, termasuk mantau Asih.Namun, saat memilih untuk beristirahat sejenak malah dia kejutkan dengan keberadaan Asih.Dia pun merasa ada yang tidak beres, karena tidak ada pesan di sana.Pesan seperti biasanya yang seharusnya menjadi petunjuk dengan siapa Asih pergi ke tempat seperti ini.Wajar saja, sebab saat itu Sandi langsung menuju toko dan menarik Asih dengan paksa. Hingga akhirnya Asih pun harus ikut dengan dirinya.Benar-benar tanpa ada janji terlebih dahulu melalui sambungan telepon seluler, baik pesan maupun panggilan.Hingga membuat Barra semakin penasaran saja saat ini."Kau mau ke mana?" tanya Dion saat melihat Barra yang bangkit dari duduknya dan berjalan deng
"Lepaskan!" seru Asih saat Barra berusaha untuk membuat Asih tidak melakukan hal di luar akalnya.Karena itu dapat melukai dirinya sendiri, tapi begitu sulit hingga akhirnya Barra pun menghubungi Niko.Mungkin saja dokter itu bisa menyuntikkan obat penenang agar Asih bisa menjadi lebih baik.Tidak menunggu lama Niko pun sampai dan melihat keadaan Asih yang sangat memprihatinkan.Kini bahkan wanita itu sedang tertutup selimut, sebab pakaiannya sudah terlepas.Sedangkan Barra masih berusaha untuk memegang dengan sekuat tenaga."Obat perangsang yang masuk ke dalam tubuhnya yang membuat dia seperti ini, sepertinya dosisnya melebihi batas. Aku rasa bukan hanya melalui minuman, tapi juga suntikan," jelas Niko setelah melihat keadaan Asih."Lalu?""Kau dan dia belum melakukannya hubungan pengantin, bukan?" tanya Niko secara langsung sambil tersenyum.Tapi senyuman Niko membuat Barra menahan kemarahan, bahkan ingin memberikan bogem mentah pada dokter itu."Aku tidak bercanda, kau tidak kasiha
Barra tak bisa fokus dalam bekerja, dia terus membayangkan wajah Asih saat berpapasan dengan dirinya beberapa saat yang lalu.Pikirannya kini benar-benar kacau setelah malam tadi.Dia yakin Asih pasti sangat membenci dirinya saat ini.Barra pun memikirkan nasib pernikahan mereka yang sepertinya akan segera berakhir.Mengingat perjanjian yang pernah dia katakan pada Asih sebelumnya.--Setelah mendapatkan hak sebagai suami, Asih boleh meminta cerai --Lalu bagaimana dengan saat ini?Akankah Asih meminta bercerai, sedangkan Bundanya sangat menyukai Asih sebagai menantunya.Akankah keadaan Tias akan tetap baik-baik saja setelah perceraian nantinya benar-benar terjadi.Bagaimana pula dengan Barra, karena setelah tadi malam rasanya dia tak bisa untuk melepaskan Asih lagi.Barra sendiri bingung dengan keadaan ini, mengapa bisa seperti ini?Tapi dia melihat keadaan Asih pun tampaknya baik-baik saja.Meskipun pulang ke rumah di hari yang sudah cukup siang."Bagaimana kabar mu, setelah tadi mal
"Mbak Asih, lihat, Dila," seru Dila dengan penuh semangat.Asih pun langsung saja melihatnya, ternyata Dila sedang menunjukkan sebuah gaya padanya."Itu gaya apa?" tanya Kiara yang penasaran."Gaya, bebas," jawab Dila."Gaya bebas? Memangnya ada?" tanya Kiara lagi.Sedangkan Asih hanya diam saja dan menjadi penonton saja.Padahal biasanya Asih yang paling antusias dalam hal seperti ini."Semuanya ada di sini?" tanya Nia yang datang bersama dengan baby Dirga."Hay, anak tampan," sapa Kiara dengan begitu antusias."Hay, juga. Miss," jawab Nis seakan menirukan suara anak kecil, seolah baby Dirga yang menjawabnya.Kemudian dia pun beralih melihat Asih yang juga sedang terdiam duduk di tepi kolam.Nia pun menggerakkan kepalanya, dia seakan bertanya pada Kiara tentang Asih yang sepertinya sedang larut dalam pikirannya.Tetapi, Kiara menjawab dengan mengangkat kedua bahunya seakan dia juga tak tahu.Akhirnya Nia pun berjalan ke arah Asih, ingin bertanya secara langsung.Tapi Nia masih saja k
"Mas, Nia mau cerita sesuatu," Nia langsung berbicara pada Dion.Dion yang sedang duduk di sofa kamarnya pun melihat Nia yang berjalan ke arahnya.Tubuh Nia tampak basah kuyup dengan dress yang masih melekat di tubuhnya."Kamu kenapa basah?" tanya Dion yang justru bertanya tentang keadaan Nia saat ini."Aku abis nolongin, Asih. Ini ceritanya rumit banget, Asih bisa berenang. Tapi, tadi dia tenggelam di kolam. Kemudian, aku pun menolongnya dengan panik. Mas tau?" tanya Nia yang kini begitu dekat dengan suaminya."Kamu ganti baju dulu, takutnya masuk angin," kata Dion.Dion yang justru lebih khawatir pada Nia, dari pada pembahasan soal Asih."Nia, lagi cerita, Mas!" Nia tampak kesal pada Dion yang tak mendengar ceritanya."Iya, tapi bajunya di ganti dulu. Kalau kamu masuk angin, anak kita juga bisa sakit," jelas Dion.Nia pun segera menuju kamar mandi, kemudian keluar dengan menggunakan handuk putih yang melilit di tubuhnya."Terus, tadi itu mendadak, Barra datang. Mas, tahu dia ngelaku
Sedangkan di kamar lainya, kini dua orang itu masih saja dengan posisi yang begitu dekat.Hingga akhirnya Asih pun tersadar dan dia pun melepas tangan Barra yang melingkar di pinggangnya."Maaf," kata Barra setelah menyadari apa yang barusan dia lakukan.Asih menarik napas sejenak, dia tampak tidak ingin membahas sama sekali.Bahkan anehnya lagi Asih merasa begitu nyaman saat berdekatan dengan Barra.Mungkin kedekatan mereka selama beberapa waktu kebelakang ini cukup membuat Asih terbiasa."Tolong keluar dari kamar ku, aku ingin berganti pakaian," pinta Asih.Barra pun mengangguk lemah, tetapi sebenarnya tidak ingin menuruti keinginan Asih untuk keluar dari kamar.Akan tetapi apa yang bisa dia lakukan, melihat wajah Asih yang tampak begitu murung membuatnya tidak memiliki keberanian untuk membantah sama sekali.Barra berpikir Asih sudah mengingat dengan pasti apa yang terjadi pada mereka malam tadi, sehingga kini Asih sangat kecewa pada dirinya.Sungguh Barra sangat merasa bersalah.S
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan