"Gimana cara ngomongnya, ya," Asih bergumam, dia sangat bingung bagaimana cara untuk berbicara pada Tias.Tapi, ada lagi yang lebih aneh saat Asih mencoba untuk melepas cincin di jarinya malah tidak bisa.Asih semakin panik dan bingung harus melakukan apa."Kapan kalian akan menikah? Tidak baik pacaran lama-lama, usia juga sudah tidak lagi muda. Kenapa harus menunda-nunda," kata Tias."Uhuk-uhuk," Asih langsung saja tersedak mendengarnya.Padahal dia tidak sedang minum, apa lagi makan. Tapi, ngomong-ngomong soal makan, perutnya juga sangat lapar.Kruk!Sial!Asih pun menutup matanya, dia merasa sangat malu karena perutnya yang berbunyi."Kamu lapar?" tanya Tias."Sedikit, Bunda. Tapi, nggak papa, tapi kenalin dulu. Nama saya, Kasih, Bunda. Biasa di panggil Asih, saya dan Barra tidak ada hubungan apa-apa, bahkan kami tidak pernah dekat," jelas Asih.Wajah Tias pun seketika berubah menjadi kecewa, wanita itu melihat Barra."Barra, ke kamar dulu. Bunda," Barra pun memilih untuk pergi men
Merasa tuduhan itu tidak benar Asih pun langsung membalas pesan-pesan tersebut.[Kamu yang main api di belakang aku, buktinya tadi kamu mesra dengan wanita lain] Asih.Pesan pun terkirim, kemudian berlanjut dengan pertengkaran melalui sambungan telepon seluler.Benar-benar tidak ada penyelesaian sama sekali, yang ada semakin rumit pertengkaran yang terjadi di antara ke duanya.Asih yang tidak tahan pun memutuskan panggilan sepihak, di benar-benar sangat kesal karena merasa di khianati.Kemudian Asih pun memutuskan untuk menuliskan sebuah pesan singkat, meskipun singkat cukup besar dampaknya bagi hubungan antara dirinya dan kekasihnya itu.[Kita putus!] Asih.[Ok, kita, PUTUS!] Sandy.Itulah pesan terakhir yang akhirnya hubungan keduanya berakhir, karena terlalu kesal Asih pun memblokir nomer ponsel Sandy.Ini adalah gengsi yang sangat luar biasa, agar Sandy tahu bahwa dia juga bisa tanpa pria itu.Perasaannya benar-benar kacau untuk saat ini, kemudian Asih pun melihat ke depan, tampak
Besok akan di langsungkan sebuah acara pernikahan, warga di sana biasanya malam-malam begini akan memenuhi tempat acara untuk sekedar berkumpul dan meminum kopi bersama.Namun, malah mengira Barra dan Asih sedang berbuat macam-macam."Sudah, nikahkan saja!" kata seorang warga.Asih pun menggelengkan kepalanya sambil memegang bagian dadanya, dimana barusan Barra menarik pakainya."Lihat, saja. pakaiannya juga sudah begitu, kalian pasti sudah sering ngapa-ngapain. Kalau di tempat lain mungkin boleh, kalau di sini jangan harap!" ucap seorang warga lainnya yang di setujui oleh mereka semuanya."Pak, saya ijin bicara," kata Barra yang ingin sedikit menjelaskan."Udahlah, Kak. Nikah aja, toh kalian juga udah sering keluar masuk hotel!" kata Ranti yang tiba-tiba muncul.Pernyataan Ranti membuat semuanya shock, tak terkecuali Asih dan Barra."Ranti!" tegur Barra.Tapi Ranti tidak perduli sama sekali, dia pun melihat warga yang begitu ramai."Nikahin, aja, Pak. Tidak baik membiarkan saja hal s
Ranti tersenyum dan merasa sangat bersyukur memiliki seorang tetangga yang berprofesi sebagai penghuni.Sehingga semuanya lebih mudah, cepat tanpa perlu menunggu esok.Panggilan pun selesai dan Ranti berbalik badan, dia terkejut melihat Barra di sana."Kau yang melakukan itu?" tanya Barra dengan wajah datarnya.Ranti hanya diam saja, dia mendengarkan apapun yang dikatakan oleh Kakaknya itu nantinya."Kau tahu apa yang lakukan itu sangat merugikan orang lain? Menikah itu bukan hal mudah!" kata Barra lagi penuh dengan kemarahan, tak menyangka ternyata adiknya yang melakukan semua ini."Aku nggak perduli, yang aku mau Bunda tersenyum dan aku bahagia waktu kamu membawa wanita itu ke sini untuk membuat Bunda tersenyum. Tapi, kamu membuatnya kembali murung setelah mengatakan bahwa kalian tidak memiliki hubungan apapun!""Ranti, kau sadar apa yang kau lakukan?""Sadar, sangat sadar. Aku nggak mau, Bunda sakit terus-menerus. Kalaupun dia minta aku buat nikah muda aku nggak masalah, tapi yang
"Semalam kamu dari mana?" tanya Nia.Asih baru saja sampai di rumah, tetapi sudah di suguhkan pertanyaan.Sebab, memang keduanya terakhir kalinya bertemu kemarin saat di pemakaman.Ada juga berbalas pesan, saat meminta Asih ke toko.Kemudian setelah itu, Asih baru pulang pagi hari ini."Aku," Asih pun terdiam, dia pun mulai berpikir untuk mencari sebuah alasan.Tak tahu apakah benar atau tidak, yang jelas Asih tak mau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.Asih sendiri tidak bisa menerima kenyataan ini."Asih, aku bertanya!" Nia pun menaikan nada bicaranya agar Asih pun bisa segera menjawab pertanyaannya."Mbak Asih, tuli, Mi!" kata Dila menimpalinya."Aku abis dari rumah temen, semalam ketiduran," jelas Asih dengan berbohong."Teman?" Nia sepertinya bingung dengan hal itu, karena setahunya Asih tidak punya teman selain dirinya."Iya, itu yang kerja di toko. Terus ketiduran, deh. Aku mandi dulu, ya. Abis, itu mau ke toko," Asih pun langsung masuk ke dalam rumah.Sedangka
"Mas, itu anak-anak gimana?""Biarkan saja, dia itu sekali-kali harus diberikan pekerja. Karena, mungkin di rumah sakit dia kebanyakan nganggur," jawab Dion.Nia hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban suaminya tersebut."Ada-ada aja kamu, Mas, pasiennya, 'kan, banyak! Mama Ibu hamil lagi," kata Nia sambil menahan tawa, "Mas, Nia pengen banget bisa mengemudikan mobil. Ajarin, ya."Nia pun menunjukan wajah termanisnya, tersenyum penuh harap untuk membuat Dion menurutinya."Untuk apa? Nanti kamu kelelahan, lagian ada, Barra. Atau kalau perlu, Asih saja yang mengemudi biar kamu duduk santai.""Asih, juga nggak bisa, Mas. Ayo dong, Mas," Nia berusaha untuk membuat Dion mau mengajarinya mengemudikan mobil.Entah mengapa kini dirinya sudah merasa cukup puas dengan kehidupannya, menikmati tanpa ada beban kehidupan seperti dulunya.Rasanya itu tidak salah, dia benar-benar sedang fokus pada bisnis yang dia jalani saat ini."Nggak usah, lagian juga kamu kalau ke mana-mana sama, Mas,"
"Mas, ayo," Nia menagih janji yang sudah di setujui oleh Dion barusan.Dia kini bahkan sudah memakai pakaian santai agar tidak mengganggu saat belajar mengemudi.Tapi, Dion malah masih saja berbaring di atas ranjang.Suaminya itu selalu saja begitu, jika sudah mendapatkan sebuah kepuasan pasti akan mudah terlelap.Liat saja saat ini pun demikian, sulit sekali untuk membuat pria itu segera bangkit dan membersihkan tubuhnya."Ayo, sini. Kamu sekarang ini hebat, ya. Baru selesai, eh. Sudah, mau lagi," kata Dion dengan mata yang masih tertutup.Tapi Nia yang kesal di buat oleh suaminya itu, dia pun mengambil bantal dan memukul wajah Dion.Untung saja Nia istri tercintanya, jadi wanita itu bisa melakukan itu semua pada Dion.Keduanya mungkin terlihat aneh, apa lagi perbedaan usia yang begitu jauh membuat Dion harus banyak bersabar.Tapi, Dion menyukai wanita seperti Nia. Sebab, mudah di atur, hanya saja jika sekalinya menginginkan sesuatu harus di turuti, seperti saat ini contohnya.Namany
Akhirnya Dion pun mulai mengajarkan Nia caranya mengemudikan mobil, Nia tentunya sangatlah bahagia, karena sebentar lagi sepertinya dia akan bisa mengemudikan mobil sendiri.Mengemudikan kendaraan sendiri dan membeli dengan hasil keringat sendiri, sungguh sangat luar biasa bukan?"Mas, Nia yang mobil manual aja.""Terserah kamu saja!" jawab Dion.Nia kini sudah duduk di kursi kemudi, dia menatap ke depan dengan serius.Kedua tangannya memegang kemudi, benar-benar sedang fokus."Kamu sedang apa?" tanya Dion yang malah bingung dengan apa yang dilakukan oleh istrinya tersebut."Belajar, Mas!" jawab Nia dengan penuh percaya diri, "kamu nggak sadar, kalau kita lagi belajar?""Iya, tapi tangannya kenapa hanya di pegang itu?" Dion pun mencoba untuk bersabar, meskipun sebenarnya sangat sulit sekali.Sepertinya istrinya itu akan datang bulan, jadi agak sedikit ganas. Maka dari itu tadi dia meminta jatah, karena kalau menunggu besok bisa saja tamu bulanan Nia tiba dan perlu tujuh hari untuk men