“Dek, uang bulanan ada di meja rias, ya? Mas berangkat kerja dulu.”
Aku yang sedang menjemur baju sekilas menoleh, tersenyum dan mengangguk.
“Ada bonus, buat beli lipstick kamu.” Dia berkata seraya memainkan kedua alis. Kebiasaan yang ia lakukan saat sedang menggodaku.
“Jangan lupa! Beli yang warnanya merah menyala, mas suka itu.” Tambahnya lagi, saat sudah berada di atas motor.
Aku memonyongkan bibir, tanda mengejek. Ia lantas melajukan motornya perlahan menuju tempat dimana ia bekerja. Menjadi guru PNS di sebuah Sekolah Dasar. Lalu beranjak tubuh ini kubawa masuk ke dalam rumah. Langkah kaki terayun menuju kamar tidur. Kuambil amplop berisi uang bulanan dari suamiku. Lima lembar uang seratus ribuan. Aku tersenyum kecut. Mengingat permintaannya untuk membeli pewarna bibir. Memang benar ia memberiku bonus lima puluh ribu. Karena untuk sehari-harinya ia memberikanku jatah belanja limabelas ribu. Anak kami dua. Untuk uang jajan mereka sehari-hari saja, uang dari Mas Agam tidaklah cukup.Untungnya orangtuaku memberi beberapa petak sawah untuk lahan pertanian, sehingga untuk makanan pokok, kami tak usah membelinya.
Aku tak pernah tahu, berapa gaji yang ia terima utuh sebulan. Karena setahuku ia masih memiliki cicilan dari sebelum menikah, dan setelah menikah, ia menambah utangnya lagi untuk membeli sepetak tanah, sebagai investasi katanya. Tanah tersebut, kini dikelola oleh mertuaku. Sedang uang sertifikasi yang diterima tiap triwulan sekali, kami sepakat untuk menyimpan di bank untuk jaga-jaga bila ada kebutuhan mendadak.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku yang kebetulan juga mengajar di salah satu TK milik yayasan PKK Desa, membuka kantin di sekolah, tempatku bekerja. Selain itu, di rumah aku juga membuat beraneka macam keripik. Kutitipkan ke warung-warung. Alhamdulillah, hasilnya bisa ditukar dengan keperluan dapur. Kujalani dengan penuh rasa ikhlas sekalipun berat kurasa. Karena aku percaya, suamiku telah memberikan yang terbaik untuk kami.Hanya saja, memang kemampuaanya dalam memberi nafkah hanya sebatas ini.
“Gaji mas cuma satu juta Dek, buat nabung simpanan hari raya di koperasi dua ratus. Sisanya buat ongkos Mas beli bensin ya? Makanya kamu harus nerima kalau Mas sering nginep di rumah Ibu, yang lebih dekat dengan sekolah. Untungnya Mas gak ngerokok. Mas yakin, kamu bisa mengatur keuangan kita dengan baik. ”Begitu selalu yang ia ucapkan saat aku mengeluh. Dan aku selalu percaya padanya. Karena aku yakin, ia pria yang sangat baik. Taat beribadah, serta memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Selama ini, keluarga Mas Agam menganggap aku sangat bahagia bersuamikan ia yang sudah PNS sejak sebelum menikah. Mereka mengira, kecukupan yang aku dapatkan semua berasal dari gaji yang ia berikan. Aku tak pernah menjelaskan apapun pada mereka. Karena kewajiban seorang istri adalah menjaga marwah keluarga. Tak sepatutnya menceritakan urusan rumah tangga kepada orang lain. Sekalipun mereka masih keluarga kita. Berat ringannya hidup, cukup kami yang tahu. Aku tak ingin harga diri suami jatuh di hadapan keluarga besarnya.
***
Siang ini, sepulang dari TK, aku berniat memembersihkan meja kerja Mas Agam. Kubereskan buku-buku yang berserakan. Dari mulai buku materi ajar sampai perangkat pembelajaran. Tiba-tiba sebuah buku rekening tabungan bertuliskan bank daerah yang kutahu itu buku rekening gaji, terjatuh dari dalam sebuah buku pelajaran Matematika. Entah terdorong rasa apa, aku membuka buku itu perlahan. Terlihat rentetan angka, nominal uang gaji yang setiap bulannya diterima suamiku. Seketika dadaku bergemuruh hebat. Sudut netra ini mulai memanas. Kuteliti satu per satu rententan angka yang tertera tiap bulannya. Aku mulai tergugu lalu terjatuh lemas di atas lantai. Isak tangis mulai keluar dari bibir ini. Sekali lagi kulihat transaksi uang yang tiap bulan diterima dan diambil suamiku dari bank tersebut, untuk memastikan apakah aku salah melihat atau tidak. Deretan angka dalam kisaran dua juta tujuh ratusan, atau bila ada lebih kurangnya hanya selisih seratus ribu tiap bulannya, sukses membuat dada ini sesak. Seketika luluh lantak sudah kepercayaan yang kuberikan padanya. Ia selalu mengatakan sisa gajinya hanya satu juta. Ternyata 8 tahun menikah dengannya, aku telah dibohongi. Dipaksa berjuang sendiri demi terpenuhinya kebutuhan makan kami berempat. Dan dengan begitu, aku pun tahu, hanya separuh dari uang sertifikasi yang ia berikan padaku untuk ditabung.
Mengapa ia begitu tega membohongiku? Membiarkanku sendiri, berjuang membanting tulang. Kemana larinya uang itu?
Aku masih terisak dengan segala kepedihan yang mendera. Memori otakku berputar, mengingat kejadian-kejadian yang telah berlalu. Betapa berat perjuangan yang kami lalui bersama. Meskipun sebagian keluarga besar Mas Agam menganggap aku adalah orang yang sangat beruntung mendapatkannya yang sudah menjadi PNS sebelum menikah denganku, namun mereka tidak pernah tahu. Berjalannya roda ekonomi kami, juga ada jerih payahku di dalamnya.
“Mbak Nia seneng pasti ya, punya suami Mas Agam. Gajinya sebulan lima jutaan kan? Belum lagi sertifikasinya yang keluar tiga bulan sekali. Wah, kalau aku mah bakalan gonta ganti gelang sama kalung mbak.” Teringat kata-kata Dina, adik sepupu Mas Agam yang suka berpenampilan glamour, kala itu.
Aku hanya tersenyum menanggapi pernyataannya. Tak kubantah maupun mengiyakan. Sekali lagi, karena menjaga marwah suami. Andai mengatakan yang sebenarnya-pun, akankah mereka percaya dengan ceritaku yang harus ikut serta membanting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarga? Mengingat sosok Mas Agam begitu disanjung akan kebaikan serta sikap peduli yang tinggi terhadap sanak familinya.
Dada ini terasa semakin sesak. Namun segera ku menguasai diri. Aku harus mencari tahu, kemana uang Mas Agam yang selama ini ia sembunyikan dari aku. Pada siapa ia berikan. Dan aku tidak bisa menghadapi ini semua dengan emosi. Karena akan berakibat fatal. Lagi-lagi omongan keluarganya yang aku takutkan. Jujur selama ini, orangtua serta kakak perempuan sekaligus kakak satu-satunya itu, mereka sering mengeluarkan kata maupun kalimat yang sedikit menggores relung hati ini. Tapi, tidak pernah sekalipun mulut ini membalas omongan mereka, karena takut. Bagaimanapun, mereka semua adalah orangtua yang harus kuhormati. Dari rahim ibunya-lah suamiku dilahirkan.
“Biarkan Agam pulang kesini. Kasihan kalau harus jauh-jauh pulang ke rumahmu. Aku mengkhawatirkan kesehatan dan keselamatannya. Tiap hari kalau harus berkendara lama selama empat jam pulang pergi kan kasihan. Aku tidak tega. Cukuplah seminggu sekali ia mengunjungimu.” Ucapan dari Mbak Eka, kakaknya Mas Agam masih selalu teringat di kepalaku. Ketika itu aku masih hamil pertama empat bulan. Entah terlalu perasa atau memang ucapan itu yang terlalu menusuk. Ada sesuatu yang seperti menghunus ulu hati ini.
“Tapi kan aku lagi hamil mbak.”
“Lhoh, apa hubungannya hamil dengan kepulangan Agam? Aku aja yang ditinggal merantau ke Kalimantan, tidak masalah. Suamiku malah belum tentu setahun sekali pulang.”
Salahkah bila dalam keadaan hamil ingin selalu bersama suami?
“Mbak Eka tuh baik dek. Sayang sekali sama Mas. Makanya dia berbicara seperti itu. Udah gak papa. Jangan dipikirkan ya? Yang penting kan, Mas pulang gak sampai seminggu sekali dek. Paling tiga hari di rumah Ibu. Jangan sedih! Ibu hamil gak boleh tertekan. Dibuat bahagia aja. Ya, sayang?” Begitu jawaban Mas Agam saat aku mengadu perihal perkataan Mbak Eka.
“Mas, kenapa gak pindah saja? Cari yang dekat sini. Toh kan, Mas pulang ke rumah Ibu juga perjalanan hampir satu jam kan?” Yah, memang suamiku mengajar bukan di daerah tempat tinggal ibunya. Bila kesana, ia harus berkendara kearah timur, sedangkan pulang ke rumahku ke arah barat. Aneh bukan?
“Mas sudah nyaman dek, sama teman-teman di sana. Mas takut, bila pindah gak nemu yang klop seperti mereka. Dan kalau dipikir ya, tetep deket ke rumah ibu kan?”
“Kalau gitu, aku ikut ke sana ya Mas? Aku ingin selalu berada bersama Mas setiap hari. Kan aku sedang hamil Mas.” Pintaku merajuk.
“Aduh, jangan sayang. Kamu harus ngajar kan? Nanti kalau kamu keluar, ada yang gantiin kamu gimana?” Akhirnya, aku hanya bisa pasrah pada keadaan.
Kepulangan Si Sulung Dinta dari sekolah membuatku tersadar dari segala lamunan. Dia terlihat kaget melihat mataku sembab.
“Ibu kenapa? Habis nangis?”
“Iya sayang, tadi habis baca novel online, ceritanya sedih banget” Jawabku berbohong. Bagaimanapun keadaanku, aku tidak ingin, ia yang masih berusia tujuh tahun harus mengerti bebanku.
Dinta masuk kamarnya, berganti baju lantas makan. Setelahnya, terdengar langkah kaki sang adik, Danis yang baru pulang dari bermain. Ia berlari memelukku. Kebiasaan itu suka dilakukannya saat masuk ke dalam rumah. Kudekap erat tubuh mungilnya. Usianya baru genap empat tahun, bulan lalu. Ia menjadi anak kesayangan Mas Agam.
Hari ini, jadwal Mas Agam pulang ke rumahku. Iya, rumahku. Karena rumah ini diberikan oleh orangtuaku. Mereka membuat rumah ini saat Dinta berumur satu tahun. Jarak dengan tempat tinggal Ibu dan Bapak hanya lima ratus meter.Aku tidak langsung menanyakan perihal buku rekening yang kutemukan tadi siang. Menunggu saat yang tepat.Setelah anak-anak tidur, dan kami berdua tengah menonton televisi, barulah aku menyusun bahasa untuk memulai menanyakan tentang gajinya. Lebih tepatnya menginterogasi.“Mas, saat bersih-bersih tadi siang, aku menemukan ini.” Kuberikan buku rekening miliknya. Buku tersebut sebelumnya sudah kusimpan di bawah kasur yang sengaja digunakan saat anak-anak menonton TV. Wajahnya terlihat pucat. Tangan bergetar saat memegang benda berharga miliknya itu.“Ka Kamu nemu dimana dek? Ka kamu udah buka isinya?” Tanyanya dengan nada terbata-bata.&
Pagi ini, aku sudah mendapatkan orang yang akan membantuku membuat keripik. Dengan bahan sisa yang ada, mereka mulai bekerja. Setelah sebelumnya kuajari mereka tentunya. Kulanjut menyiapkan sarapan untuk Dinta dan Danis. Setelahnya berangkat ke TK bersama Danis yang sudah mulai masuk nol kecil. Mulai hari ini kantin akan aku isi dengan makanan ringan saja, agar tidak repot. Selepas pulang nanti, aku berencana ke petani pisang sama singkong, meminta agar dikirim stok barang agak banyak.Seminggu sudah berlalu, Mas Agam belum juga pulang. Pun tidak memberi kabar. Keripik-keripik produksiku juga sudah kupasarkan melalui story WA. Banyak warung desa lain yang ikut memesan. Ada tiga toko lagi di pasar yang meminta distok juga. Rasa yang lebih enak, menjadi alasan makanan ini semakin laris di pasaran. Namun aku percaya bahwa ini semua merupakan kemudahan yang Allah berikan. Untuk sementara, aku belum ada keinginan untuk menyusul Mas Agam. Pesanan yang semakin banyak,
Selepas kepergian Bapak dan Mbak Eka, kuajak anak-anak naik motor. Sekedar cari angin, menghibur dua kakak beradik ini. Karena kutahu, meski hanya sebuah insiden kecil, tapi sudut hati buah hatiku merasa terluka. Ada perih yang menggores, saat mereka yang tidak bersalah sedkitpun harus ikut merasakan kemarahan kakeknya.Saat tengah menunggu pesanan bakso di warung lesehan, Dinta bertanya mengapa ayahnya tidak pulang.“Ayah ngembek ya, Bu?” tanyanya lagi saat tidak mendapat jawaban dari aku. Aku mengangguk mengiyakan, seraya tersenyum. Bingung mau menjelaskan apa pada anak sekecil mereka.“Kalau Ayah tidak pulang, kita susul kesana ya, Bu? Adek gak mau kalau Ayah pergi. Adek takut tak punya ayah lagi…” Danis ikut nimbrung pembicaraan kami. Matanya terlihat berkaca-kaca. Lagi-lagi hanya anggukan yang mampu aku lakukan.Setelah baksonya datang, keduanya tak lagi mebicaraka
Tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Aku yang semula hendak mengajak mereka pulang, kuurungkan, menunggu hujan reda. Kami berteduh. Mepet ke depan pintu, agar tidak basah terkena air hujan. Dinta dan Danis tertidur setelah menangis. Dinta kubaringkan dengan berbantalkan tas. Sedang Danis berada di pangkuan. Gawaiku bergetar. Ada sebuah pesan di aplikasi dari Fani. [Mbak, udah kuantar semua keripiknya. Tadi bagi tugas sama Anis. Ini dapat uang enam juta.] [Ya, Fan…] [Mbak, kapan pulang? Gak kenapa-napa kan di sana?] [Iya, gak terjadi apa-apa. Bentar lagi pulang. Nunggu hujan reda.] Fani serta Bapak Ibu pasti mengkhawatirkanku. Biar nanti di rumah saja aku cerita sama mereka. [Paket krimnya tadi ada yang ambil. Temen Mbak katanya. Udah kasih uang juga. Habis mbak, creamnya] Lanjutnya lagi. Alhamdulillah usahaku maju. Segera kum
Part 6Semakin sesak kurasakan beban dalam dada. Bila tidak sedang berada di tengah-tengah keluarganya, ingin aku menangis. Demi melihat teganya ia pada darah dagingnya sendiri.“Danis, sini. Peluk Ayah. Gak kangen sama Ayah?” Tangan suamiku terulur hendak mengangkat Danis. Tubuhnya perlahan mendekati Dinta dan Danis.“Ayah yang gak kangen sama kami. Ayah pergi gak pulang. Juga gak telpon. Ayah lupa ya sama Kakak sama Danis?” Dinta, tiba-tiba ia berani berkata seperti itu terhadap Ayahnya. Aku berfikir, ini adalah luapan kekesalan hati yang sejak tadi ia pendam.“Iya, Ayah jahat. Ayah gak pernah ajak piknik. Tapi ajak Aira. Ayah lebih sayang Aira. Danis gak pernah dibelikan mainan sama Ayah. Tapi Aira sering.” Setelah berkata seperti itu, Danis menangis.“Kakak juga belum pernah Dek, dibelikan boneka kayak gitu sama Ayah.” Aku bingung, anak-anakku kenapa bisa berkata se
Part 7Aku memilih pulang ke rumah Ibu. Agar Danis dan Dinta tidak larut dalam kesedihan. Di rumah Ibu lebih rame. Mereka pasti terhibur bila bermain bersama Tante dan Mbah Kakungnya.Nyatanya aku salah. Kedua anakku malah menangis sesenggukan di kursi ruang tamu. Fani bergegas memeluk dan menenangkan Dina, sedang Bapak menggendong Danis. Ibu yang tidak tahu menahu langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan. Akhirnya di depan Bapak, Ibu serta Fani kuceritakan semua hal yang terjadi di rumah itu. Di luar dugaan, Bapak yang biasanya bersikap bijaksana, kali ini terlihat menahan amarah. Kedua bola mata itu memerah. Rahangnya terlihat mengeras.“Nia, selama ini Bapak berusaha untuk tidak ikut campur urusan kalian. Meski sebenarnya, Bapak merasa janggal dengan sikap Agam yang seringkali tidak pulang. Naluri lelaki Bapak menangkap ada sesuatu yang tidak beres. Namun Bapak masih bisa mentolerir hal itu. Tapi tidak untuk kali ini. Bapak tidak s
Di toko ini, aku sudah mendapat barang yang kuinginkan. Aku yakin, mereka akan bahagia melihat kejutan dari Ibunya. Sebuah mobil sport mini untuk Danis, sepeda motor matic mini berwarna pink untuk Dinta serta kolam renang plastik untuk bermain air berdua. Kutelepon sopir angkot untuk membawa barang-barang tersebut. Setelah diangkut mobil, tak lupa aku mampir ke toko pakaian. Membeli banyak untuk diriku sendiri. Dan beberapa potong untuk Dinta, Danis, Ibu serta Bapak. Selama ini, anak-anakku sering kubelikan pakaian bagus. Sedangkan aku, paling banyak dua tahun sekali membeli baju. Ah, betapa diri terlalu menyiksa sendiri. Sedang di belahan bumi sana, ada yang bahagia menikmati uang suamiku.Sebelum pulang, entah mengapa aku ingin mampir ke bank untuk mengeprint buku tabungan. Selama ini memang aku tak pernah menabung. Mas Agam langsung mentansfer uang dari rekeningnya ke rekeningku yang berbeda bank. Ia hanya menunjukkan bukti transfer setelahnya. Tertera nomina
Part 9Pengiriman hari ini telah selesai. Kurir juga sudah mengambil ke rumah Ibu tadi. Anak-anak tertidur di sini juga. Bimbang, mau pulang males ada Mas Agam. Tidak pulang, aku perlu mandi dan berganti baju. Sembari menimbang-nimbang keputusan, hendak pulang atau tetap di sini, iseng kulihat story di aplikasi hijau. Jariku berhenti pada sebuah unggahan seseorang, Rani, Ibu Aira. Tumben buat story. Atau selama ini disembunyikan dari aku?Nangis, ditinggal pulang Pak Dhe. Efek terlalu dimanja. Biasanya jam segini diajak jalan-jalan. Begitu bunyi story-nya.Apa kabar anak-anakku yang ditinggal tiga minggu? Gatal terasa jari ini ingin bermain perasaan dengannya. Segera kupencet tombol balas.[Anak kesayangan. Caption love] Read[Iya Mbak. Nangis terus gara-gara ditinggal] Rani membalas.[Kalau ada Mas Agam aku gak capek jagain Aira][Terus, maunya Mas Agam yang ninggal anak-anak gitu?] Balasku dengan perasaan sengit.
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”