Selepas kepergian Bapak dan Mbak Eka, kuajak anak-anak naik motor. Sekedar cari angin, menghibur dua kakak beradik ini. Karena kutahu, meski hanya sebuah insiden kecil, tapi sudut hati buah hatiku merasa terluka. Ada perih yang menggores, saat mereka yang tidak bersalah sedkitpun harus ikut merasakan kemarahan kakeknya.
Saat tengah menunggu pesanan bakso di warung lesehan, Dinta bertanya mengapa ayahnya tidak pulang.
“Ayah ngembek ya, Bu?” tanyanya lagi saat tidak mendapat jawaban dari aku. Aku mengangguk mengiyakan, seraya tersenyum. Bingung mau menjelaskan apa pada anak sekecil mereka.
“Kalau Ayah tidak pulang, kita susul kesana ya, Bu? Adek gak mau kalau Ayah pergi. Adek takut tak punya ayah lagi…” Danis ikut nimbrung pembicaraan kami. Matanya terlihat berkaca-kaca. Lagi-lagi hanya anggukan yang mampu aku lakukan.
Setelah baksonya datang, keduanya tak lagi mebicarakan ayahnya. Terlihat menikmati makanan favorit mereka. Kupandangi wajah polos dan lugu kedua anakku. Delapan hari tidak bertemu, sekalipun Mas Agam tidak menghubungi mereka. Apakah memang kami tak memiliki arti sama sekali bagi dirinya?
Sepulang dari makan bakso, kulihat bapakku sudah duduk di teras rumah. Menunggu kami sepertinya. Beliau tidak bisa masuk, karena pintu rumah terkunci. Dinta dan Danis berlari memeluk mbah kakungnya. Sejenak mereka bertiga terlibat permainan yang seru. Begitulah Bapak, sangat menyayangi kedua anakku. Saat bersama, Bapak selalu memposisikan diri seperti anak-anak. Mengikuti permainan apapun yang berdua kakak beradik itu lakukan. Setelah puas bermain dengan kedua cucunya, Bapak menghampiriku ke dapur. Aku tengah mengecek ketersediaan bahan-bahan keripikku.
“Tadi Bapak lihat mertuamu datang? Bapak pulang untuk berganti baju, ternyata pas kesini mereka sudah tidak ada. Kalian bertiga juga tidak ada di rumah. Bapak juga dengar dari orang-orang yang bekerja di sini, sudah seminggu ini Agam tidak pulang, betulkah?” Bapak bertanya terkesan sangat berhati-hati.
“Iya Pak… Mereka datang cuma sebentar. Setelah Bapak dan Mbak Eka pergi, aku mengajak Dinta dan Danis makan bakso.” Setelah itu mengalir ceritaku perihal buku rekening yang kutemukan. Bapak terlihat mendengarkan dengan sksama. Sekali-kali mengangguk-anggukkan kepala.
“Nia, setiap rumah tangga pasti ada ujiannya. Tidak semua hal harus dihadapi dengan emosi. Bapak harap, kalian tidak gegabah mengambil keputusan. Besok-besok jika hatimu sudah tenang, susul Agam. Ajak dia ke rumah Bapak. Biar Bapak yang bicara sama dia.” Bapak memang orang yang bijaksana. Tidak suka memperkeruh suasana. Tapi untuk kali ini, rasanya tidak tepat. Karena anak perempuannya sudah terdzalimi. Tapi percuma juga berdebat dengan beliau. Aku hanya akan semakin dinasehati. Nasehat-nasehat beliau memang bagus, tetapi untuk saat ini aku tidak ingin membahas apapun. Aku hanya ingin mengembangkan usaha yang aku miliki sekarang. Setelah bertemu dengan keluarga Mas Agam, aku jadi bersemangat untuk menjadi wanita sukses. Akan aku tunjukkan bahwa sukses itu tidak harus berseragam.
“Bapak tahu apa yang kamu pikirkan.Ya sudah, tenangkan dirimu. Bila repot mengurus usaha barumu, bawa Dinta dan Danis pada ibumu. Biar kami yang membantu menjaga mereka. Kami juga kesepian. Adikmu juga sedang libur kuliah. Pasti senang bermain bersama mereka berdua” Kuhela nafas lega. Bapak mengerti keadaanku, itu membuatku tak perlu menjelaskan apapun lagi. Sebagai anak sulung, aku tahu Bapak menginginkan yang terbaik padaku dan rumahtanggaku. Untuk contoh adik semata wayangku, Fani itu yang beliau harapkan.
“Bila mereka merindukan ayahnya, bawalah ke rumah mertua kamu. Jika di sana kamu mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan, bawa pulang mereka.” Pesan terakhir Bapak sebelum meninggalkan rumahku. Aku duduk termenung memikirkan semua nasehat yang Bapak berikan. Beliau memang tidak pernah mau mencampuri urusan rumah tanggaku lebih dalam.
***
Selang sehari stelah kedatangan mertuaku, hari ini kebetulan libur tanggal merah, aku berencana membawa anak-anak menemui ayah mereka. Dua minggu tidak berjumpa, sebagai Ibu, aku bisa melihat kesedihan di mata mereka. Perilaku kedua kakak beradik itupun terlihat lebih murung. Benar-benar tidak habis fikir dengan Mas Agam. Sekian lama tidak berjumpa dengan anak, sama sekali tidak pernah ada keinginan untuk menghubungiku sekedar mencari kabar atau minta berbicara dengan anak-anaknya.
Dengan mengendarai kendaraan roda dua kami bertiga berangkat. Dibutuhkan waktu sembilan puluh menit untuk sampai rumah mertuaku. Aku mengendarai dengan santai agar selamat sampai tujuan. Fani yang kebetulan tidak kuliah, sudah kuminta mengurus pesanan keripik.
Ada debar yang membuncah di hati ini, manakala rumah mertua sudah kelihatan. Perasaan rindu pada suami, senang akan bertemu serta rasa takut terhadap sikap keluarga mertua terhadapku bercampur menjadi satu.
Sesampainya, kami turun dari motor, melangkah ke arah pintu, kuucapkan salam dengan hati-hati. Rasa was-was kian mendera dalam hati.
Lama tak terdengar orang menjawab salamku. Rumah juga kelihatan sepi. Kami menunggu sembari duduk di teras. Dinta dan Danis terlihat kelelahan. Aku jadi semakin kasihan melihat mereka berdua.
Mbak Liha, tetangga depan rumah terlihat baru pulang dari pasar.
“Wah, kok ada Mbak Nia? Eh, Dinta sama Danis… salim sini sama Bu Dhe…” Mbak Liha menyapa dengan ramah. Dinta dan Danis segera berdiri menyalami Mbak Liha.
“Mau ketemu Ayah ya?” Tanya Mbak Liha kemudian. Seraya duduk di teras bersama kami.
“Iya Mbak… Tapi kok sepi ya?” Tanyaku balik sambil celingukan memperhatikan keadaan sekeliling. Terlihat raut ragu dalam wajah Mbak Liha. Seperti hendak menceritakan sesuatu tapi takut.
“Itu Mbak Nia, dari kemarin siang, Mas Agam mengajak keluarganya piknik ke Guci… Katanya mau sekalian nginap di sana. Aku kira Mbak Nia diajak juga, nunggu dimana gitu. Denger-denger siih, karena Mas Agam habis dapat tunjangan apa gitu, Mbak. Makanya pengin nyenengin keluarga.” Terang wanita yang usianya terpaut sepuluh tahun di atasku ini. Sakit, itu yang kurasa. Selama menikah belum pernah ia memperlakukan kami dengan special, mengajak pikinik sampai menginap ke hotel. Bila pun kami pergi, hanya sekedar tempat yang dekat-dekat saja. Mas Agam selalu menyuruhku hemat, hemat dan hemat.
“Ayah gak pernah ngajak kami piknik. Kok sekarang malah piknik gak ngajak kita ya Bu?” Tanya Dinta dengan raut muka sedih.
“Iya, Ayah jahat ya kak?” balas Danis sengit.
Mbak Liha terlihat tidak enak setelah bercerita seperti itu. Setelahnya pamit berlalu masuk rumahnya. Aku bingung sekarang. Apa yang harus kulakukan? Pulang atau menunggu? Anak-anakku terlihat semakin murung dan sedih. Kulihat air mata menetes dari sudut netra mereka.
Pernikahan adalah hal yang sakral. Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan perceraian. Karena akan ada sosok makhluk kecil yang paling terluka bila hal ini terjadi. Namun apa jadinya, bila saat masih bersama_pun, seorang Ayah tega menorehkan sakit pada buah hatinya? Aku menahan air mata ini agar tidak jatuh di hadapan dua mahkluk tak berdosa ini. Karena mereka membutuhkan kekuatanku untuk sandaran saat ini. Kudekati kedua tubuh yang duduk terpekur di pojok teras dengan mata berkaca-kaca. Mendekap ke dalam pelukan. Seketika tangis pecah saat tubuh mereka menempel pada tubuhku. Kuusap pelan punggung Dinta dan Danis, berharap dapat melegakan perasaan mereka.
“Bu, Ayah kenapa piknik gak ajak Danis? Ayah pasti main seneng-seneng sama Aira.” Ucap Danis di tengan isak tangisnya. Aira anak Iyan, adiknya Mas Agam. Aku tak bisa menjawab.
“Kakak sama Danis mau piknik? Akhir bulan ini ya, kita akan piknik naik kereta. Nanti kita menginap di hotel. Kita bertiga.” Mereka mengangguk dalam dekapan.
Tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Aku yang semula hendak mengajak mereka pulang, kuurungkan, menunggu hujan reda. Kami berteduh. Mepet ke depan pintu, agar tidak basah terkena air hujan. Dinta dan Danis tertidur setelah menangis. Dinta kubaringkan dengan berbantalkan tas. Sedang Danis berada di pangkuan. Gawaiku bergetar. Ada sebuah pesan di aplikasi dari Fani. [Mbak, udah kuantar semua keripiknya. Tadi bagi tugas sama Anis. Ini dapat uang enam juta.] [Ya, Fan…] [Mbak, kapan pulang? Gak kenapa-napa kan di sana?] [Iya, gak terjadi apa-apa. Bentar lagi pulang. Nunggu hujan reda.] Fani serta Bapak Ibu pasti mengkhawatirkanku. Biar nanti di rumah saja aku cerita sama mereka. [Paket krimnya tadi ada yang ambil. Temen Mbak katanya. Udah kasih uang juga. Habis mbak, creamnya] Lanjutnya lagi. Alhamdulillah usahaku maju. Segera kum
Part 6Semakin sesak kurasakan beban dalam dada. Bila tidak sedang berada di tengah-tengah keluarganya, ingin aku menangis. Demi melihat teganya ia pada darah dagingnya sendiri.“Danis, sini. Peluk Ayah. Gak kangen sama Ayah?” Tangan suamiku terulur hendak mengangkat Danis. Tubuhnya perlahan mendekati Dinta dan Danis.“Ayah yang gak kangen sama kami. Ayah pergi gak pulang. Juga gak telpon. Ayah lupa ya sama Kakak sama Danis?” Dinta, tiba-tiba ia berani berkata seperti itu terhadap Ayahnya. Aku berfikir, ini adalah luapan kekesalan hati yang sejak tadi ia pendam.“Iya, Ayah jahat. Ayah gak pernah ajak piknik. Tapi ajak Aira. Ayah lebih sayang Aira. Danis gak pernah dibelikan mainan sama Ayah. Tapi Aira sering.” Setelah berkata seperti itu, Danis menangis.“Kakak juga belum pernah Dek, dibelikan boneka kayak gitu sama Ayah.” Aku bingung, anak-anakku kenapa bisa berkata se
Part 7Aku memilih pulang ke rumah Ibu. Agar Danis dan Dinta tidak larut dalam kesedihan. Di rumah Ibu lebih rame. Mereka pasti terhibur bila bermain bersama Tante dan Mbah Kakungnya.Nyatanya aku salah. Kedua anakku malah menangis sesenggukan di kursi ruang tamu. Fani bergegas memeluk dan menenangkan Dina, sedang Bapak menggendong Danis. Ibu yang tidak tahu menahu langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan. Akhirnya di depan Bapak, Ibu serta Fani kuceritakan semua hal yang terjadi di rumah itu. Di luar dugaan, Bapak yang biasanya bersikap bijaksana, kali ini terlihat menahan amarah. Kedua bola mata itu memerah. Rahangnya terlihat mengeras.“Nia, selama ini Bapak berusaha untuk tidak ikut campur urusan kalian. Meski sebenarnya, Bapak merasa janggal dengan sikap Agam yang seringkali tidak pulang. Naluri lelaki Bapak menangkap ada sesuatu yang tidak beres. Namun Bapak masih bisa mentolerir hal itu. Tapi tidak untuk kali ini. Bapak tidak s
Di toko ini, aku sudah mendapat barang yang kuinginkan. Aku yakin, mereka akan bahagia melihat kejutan dari Ibunya. Sebuah mobil sport mini untuk Danis, sepeda motor matic mini berwarna pink untuk Dinta serta kolam renang plastik untuk bermain air berdua. Kutelepon sopir angkot untuk membawa barang-barang tersebut. Setelah diangkut mobil, tak lupa aku mampir ke toko pakaian. Membeli banyak untuk diriku sendiri. Dan beberapa potong untuk Dinta, Danis, Ibu serta Bapak. Selama ini, anak-anakku sering kubelikan pakaian bagus. Sedangkan aku, paling banyak dua tahun sekali membeli baju. Ah, betapa diri terlalu menyiksa sendiri. Sedang di belahan bumi sana, ada yang bahagia menikmati uang suamiku.Sebelum pulang, entah mengapa aku ingin mampir ke bank untuk mengeprint buku tabungan. Selama ini memang aku tak pernah menabung. Mas Agam langsung mentansfer uang dari rekeningnya ke rekeningku yang berbeda bank. Ia hanya menunjukkan bukti transfer setelahnya. Tertera nomina
Part 9Pengiriman hari ini telah selesai. Kurir juga sudah mengambil ke rumah Ibu tadi. Anak-anak tertidur di sini juga. Bimbang, mau pulang males ada Mas Agam. Tidak pulang, aku perlu mandi dan berganti baju. Sembari menimbang-nimbang keputusan, hendak pulang atau tetap di sini, iseng kulihat story di aplikasi hijau. Jariku berhenti pada sebuah unggahan seseorang, Rani, Ibu Aira. Tumben buat story. Atau selama ini disembunyikan dari aku?Nangis, ditinggal pulang Pak Dhe. Efek terlalu dimanja. Biasanya jam segini diajak jalan-jalan. Begitu bunyi story-nya.Apa kabar anak-anakku yang ditinggal tiga minggu? Gatal terasa jari ini ingin bermain perasaan dengannya. Segera kupencet tombol balas.[Anak kesayangan. Caption love] Read[Iya Mbak. Nangis terus gara-gara ditinggal] Rani membalas.[Kalau ada Mas Agam aku gak capek jagain Aira][Terus, maunya Mas Agam yang ninggal anak-anak gitu?] Balasku dengan perasaan sengit.
Part 10Tiga hari di Jogja, banyak tempat yang sudah kami kunjungi. Mulai dari Pantai Parangtritis karena penginapan kami ada di sana, Keraton, Candi Prambanan di Klaten, Candi Borobudur di Magelang, Museum Dirgantara, hingga terakhir Mallioboro. Surganya wanita berbelanja. Sejenak lupa pada masalah yang sedang dihadapi. Hingga saatnya kami pulang. Mengendarai taksi sampai stasiun.Saat berada dalam kereta menuju perjalanan pulang, sebuah pesan masuk dari Fani.[Mbak, tadi Mas Agam kesini, ambil kunci. Tapi pergi lagi. Aku gak tahu dia mau apa. Soalnya tadi kuncinya diantar kesini lagi.] Tak kubalas pesan dari Fani. Aku memilih menentramkan hati dengan lantunan dzikir.Iseng kubuka story teman-teman pada aplikasi hijau. Hal rutin yang kulakukan saat merasa kesepian. Sudut mataku memanas, melihat sebuah foto pada story Mas Agam, ia menuliskan sebuah kalimat, Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi
Part 11Hari ini, aku ada janji untuk menemui seseorang. Kami saling kenal lewat akun biru. Orang tersebut memiliki rumah makan. Ia ingin mengadakan kerjasama. Oh iya, saat ini tidak hanya keripik saja, tapi kerupuk yang digoreng pasir dan diberi bumbu juga menjadi produk unggulan dari pabrikku. Sepertinya teman dunia mayaku ini ingin aku mengirim kerupuk tersebut ke rumah makannya.Pria itu menyebutkan sebuah warung bakso yang cukup terkenal. Kami akan bertemu di sana nanti. Tapi sepertinya, warung tersebut berada di jalan arah Kecamatan tempat suamiku mengajar. Dulu ia bercerita kadang nongkrong di situ bersama kawan-kawan. Kami jelas belum pernah diajak serta. Seringkali memuji betapa lezat rasa bakso di tempat lesehan itu. Aku hanya ngiler mendengarkan. Entahlah, betapa bodoh diri ini, yang sama sekali tak memiliki keberanian untuk meminta.[Aku sudah berada di lokasi, Mbak] Pesan dari lelaki yang baru pertama kali ini akan berjumpa. Aku sudah
Sekarang, pergilah! Buang air matamu. Jangan sampai suami kamu tahu, kita bersama. Balas dia dengan cara membuat menyesal telah menyakiti kamu. Aku akan ke toilet. Tagihan ini biar aku yang bayar. Bersihkan udara matamu. Agar kamu terlihat cantik di depan mereka berdua. Kamu paham, Nia?” Aku mengangguk. Pak Irsya segera berdiri dan hendak pergi.
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”