Part 89 Tidak putus asa, Eka mencoba memberitahukan itu pada Hanif yang menyusul pulang setelah satu jam kemudian. “Jangan percaya, pak. Tadi itu, mas Han bilang pengen ajak Eka keluar, tapi Eka menolaknya. Makanya Mas Han agak kecewa,” kata Nusri yang muncul tiba-tiba. Hanif memilin jenggotnya yang tumbuh tipis di dagu. Tampak sedang berpikir apa yang sebenarnya terjadi dan siapakah yang benar diantara mereka. “Han itu baik kok. Kalau bukan orang baik, mana mungkin mau mengeluarkan uang banyak untuk membelikan ibu kamu perabotan? Orang jahat mana sih Eka yang mau berkorban banyak seperti Han?” Akhirnya ia berucap demikian. “Bapak, itu karena dia ada maunya,” teriak Eka kesal. “Kamu kalau tidak mau sama dia ya gak papa. Han itu orang kaya. Dia bisa cari yang lebih dari kamu. Asalkan jangan pernah menghasut kami,” kata Hanif lagi. “Iya, biarin saja kamu biar jadi janda tua. Anak kok sudah sekali dibilangin sih kamu, Eka. Harus bilangin kamu dengan cara apa lagi coba? Ya sudah, kal
Part 90“Mama kamu sudah baik-baik saja?” tanya Han. Ia melihat Kevin dengan tatapan aneh karena anak lelakinya itu sedang menyiapkan makanan di meja makan. “Kamu mimpi apa semalam?” tanyanya heran.“Gak mimpi apa-apa. Aku hanya sedang ingin menikmati waktuku bersama dengan keluargaku. Suatu ketika nanti, mungkin aku akan kehilangan kalian,” jawab Kevin santai. Han merasa terpukul dengan jawaban yang diberikan Kevin. Seolah anak lelakinya itu tengah menyindirnya karena tidak langsung pulang.“Kamu menyindir Papa?” tanya Han.Kevin berhenti melakukan aktivitasnya. “Apa Papa merasa tersindir? Padahal aku sama sekali tidak berpikir seperti itu lho, Pa. Apa yang kulakukan benar-benar murni dari pemikiranku yang seperti itu,” jawabnya.“Soalnya aneh sekali. Kenapa sejak dulu kamu cuek tiba-tiba berubah?”“Karena memang semakin dewasa kita semakin seharusnya kita berpikir hal-hal yang positif, Pa,” jawab Kevin lagi.Han mengamati gerak-gerik anak lelakinya itu. Merasa aneh, anak yang manja
Part 91Han bersikap sok akrab pada Iyan. Malamnya ia berbincang dengan ayah Aira lama sekali. Sementara ia bicara banyak hal, Aira malah tidur lelap. Han kecewa, tetapi bahagia juga karena sudah bisa berbicara empat mata. Sampai akhirnya pembahasan mereka menyentuh bab Iyan yang akan pindah dari tempatnya berjualan. "Memang jualannya dimana?" tanya Han. "Di toko teman. Aku tidak enak kalau merepotkan dia terus. Aku juga ingin mandiri," jawab Iyan. Ia sama sekali tidak curiga pada Han. Berpikir kalau Han memang ingin menjalin silaturahmi layaknya sesama orang tua santri. Selama mereka berbincang pun tidak ada hal yang aneh. Han sopan dan pembicaraan mereka mengalir begitu saja. "Ooh gitu ya? Memangnya di toko apa? Aku cukup kenal daerah sini karena dulu pernah tinggal di sini," sahut Han. Iyan menyebutkan toko Maharani. Han melebarkan kedua matanya saat mendengar nama toko itu. Namun, beberapa detik kemudian bisa menguasai keadaan. "Rencananya mau cari tempat dimana?""Ya gak ta
Part 92Han masih betah di sana. Tidak menyangka, perempuan yang sudah ia tinggalkan dalam keadaan terpuruk itu masih bisa bangkit dan sukses. "Mas, jangan tinggalkan aku," rengek Maharani saat tahu kalau Han memiliki pacar yang usianya masih belasan tahun. "Aku tidak pernah memaksamu untuk bertahan bersamaku sejak dulu. Kamu sendiri yang dengan ikhlas dan sepenuh hati menyerahkan diri sama aku. Jadi, diantara kita aku anggap tidak ada ikatan apapun. Kita hanya menikah siri dan kamu tahu kalau aku sudah punya istri, maka apapun yang kulakukan saat ini, kamu tidak perlu mengeluh," jawab Han saat itu. Han kembali menjalankan mobilnya setelah membuang ingatan itu jauh-jauh. Ia segera tempat temannya yang memiliki ruko untuk disewakan dan diberikan pada Iyan. Bukan hal yang mudah untuk Han mendapatkan hal itu. Isa sudah melalang buana berkecimpung dalam dunia bisnis. "Jangan pernah katakan kalau itu ruko punya kamu. Bilang saja itu rukoku. I info aku bayar sewanya selama satu tahun. Or
Part 93"Saya mau menawarkan ruko lagi, Pak Iyan. Hehe, barangkali berminat," kata Han saat pagi-pagi berkunjung ke rumah kontrakan Iyan. Ia melihat Aira, tetapi diam saja. Sehingga anak kecil itu sudah tidak lagi takut dengan Han. "Saya akan kasih jawaban minggu depan," kata Iyan memutuskan. Han tidak mau terlihat agresif. Ia mengangguk paham. lalu pamit. Dengan sedikit kesal karena menunggu keputusan Iyan, Ham pulang. Iya seperti biasa masih berjualan ditemani Aira. Maharani kini jarang mendekati setelah tahu jika Iyan sedang mencari tempat untuk. berjualan selanjutnya. Rengekan dari Nindi tidak dihiraukan. Maharani sibuk menata hati karena akan kehilangan Iyan. Ia pun memikirkan banyak cara agar bisa mencegah lelaki itu pergi. Pikiran dan hatinya juga memikirkan hal lain. Tadi pagi saat berangkat dan hendak mengisi bensin, ia melihat sosok lelaki yang sudah meninggalkannya beberapa tahun silam. "Kamu kembali satu itu hanya halusinasiku semata?" tanyanya seorang diri.
Part 94“Ayah, aku liburan hanya tinggal dua minggu lagi. Setelah itu aku harus balik ke pondok, Yah,” kata Aira dengan sedih.“Iya, malah seneng sih, Ra, kamu bisa kembali ke pondok. Kan tidak capek lagi bantuin Ayah,” jawab iyan sambil tersenyum.Aira sudah lupa tentang Han setelah beberapa kali bertemu dengan lelaki itu dan tidak ada gelagat yang aneh lagi. Ia sudah mengira kalau Han adalah lelaki biasa saja yang sedang ingin bekerja sama dengan ayahnya.Setelah mempertimbangkan berkali-kali, akhirnya Iyan sudah memutuskan untuk pergi dari toko Maharani. Ada banyak manfaat yang bisa diambilnya saat keputusan tersebut diambil.Sebagai lelaki yang bertanggung jawab, Iyan pamit dulu pada Maharani jika ia hendak pergi. Sore itu adalah hari ketiga dari waktu yang dijanjikan pada Han. Dan Iyan lebih dulu memberitahukan keputusannya pada Maharani.Ia sengaja menutup dagangannya lebih awal. Menyuruh Aira menunggu di depan. Gadis kecil itu duduk secara asal di atas lantai dengan beralaskan
Part 95“Terima kasih ya, selama ini sudah membantuku di sini,” kata Iyan.“Apa ini semua karena Nindi, Mas? Aku sudah berusaha membuat Nindi mengerti lho, Mas. AKu sudah menjauhkan dia juga dari kamu. Selama ini, Nindi sudah tidak mengganggu kalian lagi bukan? Kenapa harus pindah?” tanya Maharani seolah tidak rela dengan keputusan Iyan.“Tidak, Mbak Maharani. Bukan karena itu. Tidak mungkin aku akan selamanya di sini. Menumpang pada Mbak Rani. Itu yang aku pikirkan, Mba,” jawab Iyan.“Aku tidak pernah merasa kalau Mas Iyan menumpang.”“Tapi aku tetap saja tidak enak.”Maharani diam. Ingin rasanya mengatakan kalau ia tidak sanggup berjauhan dengan Iyan. Tapi lidah begitu kelu. Hati merutuki lelaki yang ada di hadapannya karena tidak peka dengan apa yang dia rasakan saat ini.“Aku butuh teman. Aku butuh seseorang yang bisa kujadikan tempat berkeluh kesah. Aku merasa nyaman saat Mas Iyan berdagang di depan tokoku karena ada teman di sini.” Kalimat itulah yang dipilih Maharani untuk memb
Part 96Han sudah bersiap untuk pulang. Ia sedang mengemasi barang di kamar hotelnya saat ponselnya berdering dan itu panggilan itu berasal dari nomer ayah Aira. Senyum mengembang di bibirnya dan langsung menekan tombol telepon warna hijau.Senyum itu semakin lebar tatkala mendengar Iyan yang mengambil ruko yang dia tawarkan.“Tetapi benar kan, Pak Han, kalau aku akan membayar itu setelah menempati?” tanya Iyan memastikan.“Iya, benar sekali, Pak Iyan,” jawab Han. “Jadi mulai kapan akan menempati tempat saya?” tanyanya lagi.“Lusa boleh?” tanya Iyan.“Boleh sekali.”Telepon ditutup dan Han melonjak girang. “Kalian harus masuk perangkap dulu. Dan akhirnya tidak punya pilihan lain selain memberikan Aira padaku. Aku juga tidak boleh agresif agar Aira tidak takut dan tidak lapor yang macam-macam,” ucapnya. “Baru kali ini aku benar-benar seperti berjuang untuk mendapatkan seseorang dengan sepenuh hati. Semoga Aira akan menjadi jodoh yang abadi buatku,” katanya lagi. Ia urung pulang karena