Hemh, karena ada yang komen untuk fokus ke Aira, maka akau akan menyelesaikan konflik Aira dan Iyan dulu ya? Tetapi sebenarnya ada kaitannya sama Han, makanya kemarin aku ganti2. dan ini adalah kontrak eksklusif dimana harus terpenuhi jumlah katanya. maka aku menghadirkan sosok lain agar bisa menjadi tambahan cerita.
Part 88Han kesal karena Kevin terus menghubunginya untuk pulang. Maka ia sudah rencana akan pulang malam hari. Ia bangkit dari duduknya dan terpaksa meninggalkan panorama indah yang tengah dipandangnya. Ia juga berniat akan mengklarifikasi tentang dirinya dengan Eka agar perempuan itu tidak berharap apapun dari dia.Eka sendiri tengah kesal karena sampai sore hari, Hanif dan Nusri tak juga menampakkan batang hidungnya. “Kemana sih mereka kok gak pulang-pulang?” gerutunya sambil meletakkan sapu secara kasar di pojok ruangan.Han yang melihat Eka masih berada di rumah orang tuanya mengira kalau Eka memang punya niat untuk mendekatinya. Memastikan rumah dalam keadaan sepi, Han mendekat dan memanggilnya dengan tindakan yang kurang sopan. “Hey, kamu! Sini masuk! Aku mau bicara penting,” katanya sambil nyelonong masuk ke ruang balai.Eka sebenarnya juga tidak nyaman berada di rumah orang tuanya dengan lelaki asing, tetapi hendak pulang juga mengkhawatirkan rumah itu. serba dilema dan serba
Part 89 Tidak putus asa, Eka mencoba memberitahukan itu pada Hanif yang menyusul pulang setelah satu jam kemudian. “Jangan percaya, pak. Tadi itu, mas Han bilang pengen ajak Eka keluar, tapi Eka menolaknya. Makanya Mas Han agak kecewa,” kata Nusri yang muncul tiba-tiba. Hanif memilin jenggotnya yang tumbuh tipis di dagu. Tampak sedang berpikir apa yang sebenarnya terjadi dan siapakah yang benar diantara mereka. “Han itu baik kok. Kalau bukan orang baik, mana mungkin mau mengeluarkan uang banyak untuk membelikan ibu kamu perabotan? Orang jahat mana sih Eka yang mau berkorban banyak seperti Han?” Akhirnya ia berucap demikian. “Bapak, itu karena dia ada maunya,” teriak Eka kesal. “Kamu kalau tidak mau sama dia ya gak papa. Han itu orang kaya. Dia bisa cari yang lebih dari kamu. Asalkan jangan pernah menghasut kami,” kata Hanif lagi. “Iya, biarin saja kamu biar jadi janda tua. Anak kok sudah sekali dibilangin sih kamu, Eka. Harus bilangin kamu dengan cara apa lagi coba? Ya sudah, kal
Part 90“Mama kamu sudah baik-baik saja?” tanya Han. Ia melihat Kevin dengan tatapan aneh karena anak lelakinya itu sedang menyiapkan makanan di meja makan. “Kamu mimpi apa semalam?” tanyanya heran.“Gak mimpi apa-apa. Aku hanya sedang ingin menikmati waktuku bersama dengan keluargaku. Suatu ketika nanti, mungkin aku akan kehilangan kalian,” jawab Kevin santai. Han merasa terpukul dengan jawaban yang diberikan Kevin. Seolah anak lelakinya itu tengah menyindirnya karena tidak langsung pulang.“Kamu menyindir Papa?” tanya Han.Kevin berhenti melakukan aktivitasnya. “Apa Papa merasa tersindir? Padahal aku sama sekali tidak berpikir seperti itu lho, Pa. Apa yang kulakukan benar-benar murni dari pemikiranku yang seperti itu,” jawabnya.“Soalnya aneh sekali. Kenapa sejak dulu kamu cuek tiba-tiba berubah?”“Karena memang semakin dewasa kita semakin seharusnya kita berpikir hal-hal yang positif, Pa,” jawab Kevin lagi.Han mengamati gerak-gerik anak lelakinya itu. Merasa aneh, anak yang manja
Part 91Han bersikap sok akrab pada Iyan. Malamnya ia berbincang dengan ayah Aira lama sekali. Sementara ia bicara banyak hal, Aira malah tidur lelap. Han kecewa, tetapi bahagia juga karena sudah bisa berbicara empat mata. Sampai akhirnya pembahasan mereka menyentuh bab Iyan yang akan pindah dari tempatnya berjualan. "Memang jualannya dimana?" tanya Han. "Di toko teman. Aku tidak enak kalau merepotkan dia terus. Aku juga ingin mandiri," jawab Iyan. Ia sama sekali tidak curiga pada Han. Berpikir kalau Han memang ingin menjalin silaturahmi layaknya sesama orang tua santri. Selama mereka berbincang pun tidak ada hal yang aneh. Han sopan dan pembicaraan mereka mengalir begitu saja. "Ooh gitu ya? Memangnya di toko apa? Aku cukup kenal daerah sini karena dulu pernah tinggal di sini," sahut Han. Iyan menyebutkan toko Maharani. Han melebarkan kedua matanya saat mendengar nama toko itu. Namun, beberapa detik kemudian bisa menguasai keadaan. "Rencananya mau cari tempat dimana?""Ya gak ta
Part 92Han masih betah di sana. Tidak menyangka, perempuan yang sudah ia tinggalkan dalam keadaan terpuruk itu masih bisa bangkit dan sukses. "Mas, jangan tinggalkan aku," rengek Maharani saat tahu kalau Han memiliki pacar yang usianya masih belasan tahun. "Aku tidak pernah memaksamu untuk bertahan bersamaku sejak dulu. Kamu sendiri yang dengan ikhlas dan sepenuh hati menyerahkan diri sama aku. Jadi, diantara kita aku anggap tidak ada ikatan apapun. Kita hanya menikah siri dan kamu tahu kalau aku sudah punya istri, maka apapun yang kulakukan saat ini, kamu tidak perlu mengeluh," jawab Han saat itu. Han kembali menjalankan mobilnya setelah membuang ingatan itu jauh-jauh. Ia segera tempat temannya yang memiliki ruko untuk disewakan dan diberikan pada Iyan. Bukan hal yang mudah untuk Han mendapatkan hal itu. Isa sudah melalang buana berkecimpung dalam dunia bisnis. "Jangan pernah katakan kalau itu ruko punya kamu. Bilang saja itu rukoku. I info aku bayar sewanya selama satu tahun. Or
Part 93"Saya mau menawarkan ruko lagi, Pak Iyan. Hehe, barangkali berminat," kata Han saat pagi-pagi berkunjung ke rumah kontrakan Iyan. Ia melihat Aira, tetapi diam saja. Sehingga anak kecil itu sudah tidak lagi takut dengan Han. "Saya akan kasih jawaban minggu depan," kata Iyan memutuskan. Han tidak mau terlihat agresif. Ia mengangguk paham. lalu pamit. Dengan sedikit kesal karena menunggu keputusan Iyan, Ham pulang. Iya seperti biasa masih berjualan ditemani Aira. Maharani kini jarang mendekati setelah tahu jika Iyan sedang mencari tempat untuk. berjualan selanjutnya. Rengekan dari Nindi tidak dihiraukan. Maharani sibuk menata hati karena akan kehilangan Iyan. Ia pun memikirkan banyak cara agar bisa mencegah lelaki itu pergi. Pikiran dan hatinya juga memikirkan hal lain. Tadi pagi saat berangkat dan hendak mengisi bensin, ia melihat sosok lelaki yang sudah meninggalkannya beberapa tahun silam. "Kamu kembali satu itu hanya halusinasiku semata?" tanyanya seorang diri.
Part 94“Ayah, aku liburan hanya tinggal dua minggu lagi. Setelah itu aku harus balik ke pondok, Yah,” kata Aira dengan sedih.“Iya, malah seneng sih, Ra, kamu bisa kembali ke pondok. Kan tidak capek lagi bantuin Ayah,” jawab iyan sambil tersenyum.Aira sudah lupa tentang Han setelah beberapa kali bertemu dengan lelaki itu dan tidak ada gelagat yang aneh lagi. Ia sudah mengira kalau Han adalah lelaki biasa saja yang sedang ingin bekerja sama dengan ayahnya.Setelah mempertimbangkan berkali-kali, akhirnya Iyan sudah memutuskan untuk pergi dari toko Maharani. Ada banyak manfaat yang bisa diambilnya saat keputusan tersebut diambil.Sebagai lelaki yang bertanggung jawab, Iyan pamit dulu pada Maharani jika ia hendak pergi. Sore itu adalah hari ketiga dari waktu yang dijanjikan pada Han. Dan Iyan lebih dulu memberitahukan keputusannya pada Maharani.Ia sengaja menutup dagangannya lebih awal. Menyuruh Aira menunggu di depan. Gadis kecil itu duduk secara asal di atas lantai dengan beralaskan
Part 95“Terima kasih ya, selama ini sudah membantuku di sini,” kata Iyan.“Apa ini semua karena Nindi, Mas? Aku sudah berusaha membuat Nindi mengerti lho, Mas. AKu sudah menjauhkan dia juga dari kamu. Selama ini, Nindi sudah tidak mengganggu kalian lagi bukan? Kenapa harus pindah?” tanya Maharani seolah tidak rela dengan keputusan Iyan.“Tidak, Mbak Maharani. Bukan karena itu. Tidak mungkin aku akan selamanya di sini. Menumpang pada Mbak Rani. Itu yang aku pikirkan, Mba,” jawab Iyan.“Aku tidak pernah merasa kalau Mas Iyan menumpang.”“Tapi aku tetap saja tidak enak.”Maharani diam. Ingin rasanya mengatakan kalau ia tidak sanggup berjauhan dengan Iyan. Tapi lidah begitu kelu. Hati merutuki lelaki yang ada di hadapannya karena tidak peka dengan apa yang dia rasakan saat ini.“Aku butuh teman. Aku butuh seseorang yang bisa kujadikan tempat berkeluh kesah. Aku merasa nyaman saat Mas Iyan berdagang di depan tokoku karena ada teman di sini.” Kalimat itulah yang dipilih Maharani untuk memb
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”