"Motor anak Ibu sekarang sudah kami amankan di kantor polisi. Pihak keluarga bisa mengurus ke sana. Selain itu juga, Ibu dan keluarga harus siap dengan tuntutan yang mungkin akan dilakukan oleh keluarga korban."
"Baiklah, Pak. Seperti apapun nantinya yang akan kami hadapi, entah tuntutan ataupun proses apapun yang melibatkan pihak kepolisian, kami mohon tidak saat ini, Pak. Biarkan kami fokus dulu pada penanganan keselamatan anak kami. Setelah itu, pihak keluarga akan ada yang datang ke kantor polisi mengurus semuanya. Bapak bisa menghubungi kami setelah anak kami bisa melewati masa kritisnya bila kami belum juga datang ke sana," ucap Erina memberi keputusan. Pikirannya buntu. Hal yang ada dalam hatinya yang utama adalah keselamatan anak tirinya.
"Baiklah, Bu. Kami permisi kalau begitu. Nanti bila keluarga Ibu sudah siap mengurus, datanglah ke polres dan cari saya, bilang saja mau bertemu Pak Agung."
"Iya, Pak," lirih Erina hampir tidak terdengar.
Sepenin
“Tapi tidak mudah cari yang sama seperti golongan darah yang Nadia miliki, Bu,” ujar Tohir seperti berharap ibunya akan sedikit melunak hatinya.“Tidak akan pernah Ibu ijinkan wanita itu datang ke sini. Masih banyak cara untuk dapat darah yang sama untuk Nadia. Kita bisa bayar orang untuk itu!” kekeh Saroh.“Ya sudah kalau seperti itu, Ibu coba yang cari pendonor yang darahnya sama seperti Nadia. Aku benar-benar tidak sanggup.” Tohir menyerah.“Bu, maaf. Tidakkah bisa Ibu membedakan situasi yang genting dengan yang tidak? Tidakkah Ibu lebih memikirkan keselamatan cucu Ibu daripada rasa sakit hati karena masa lalu? Ini keadaan yang darurat, Bu ...,” tambah Erina geram. “Hanya Mbak Anti yang bisa kita mintai tolong saat ini. Dan juga, jika kita bilang sama dia Nadia butuh darah, tentu tidak perlu meminta ataupun memohon, Mbak Anti sudah paham,”“Erina! Lancang kamu membantah apa
bersiap akan menjenguk Nadia kembali."Jangan pernah datang lagi dalam kehidupan Nadia. Jangan pernah meracuni pikiran Erina! Dan jangan merasa berjasa karena telah memberikan darah kotormu pada cucuku. Aku sebenarnya tidak setuju. Karena Erina memaksa maka aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berharap, kelakuan kamu tidak akan menular pada Nadia karena darah kotormu itu!"Anti bergeming. Terasa ada yang menusuk hati. Baru kali ini dirinya merasa, apa yang dikatakan mantan mertuanya sungguh di luar batas. Netranya mulai memanas. Namun, diusahakan agar tidak jatuh.Suasana sekitar sepi, hanya deretan kendaraan yang berjajar di halaman rumah sakit yang menyaksikan betapa seorang Saroh telah mengatakan hal yang sangat tidak manusiawi terhadap orang yang telah berjasa pada cucunya."Atau, kamu bilang saja, mau berapa? Kami siap membayar darah kotormu dengan harga yang sangat mahal. Asalkan, kamu tidak akan pernah muncul di hadapan Nadia dan mengatakan ka
Erina menelpon Anti berkali-kali. Namun, wanita berhijab besar yang duduk di meja kerjanya hanya menatap layar ponsel yang berkedip tanpa ingin mengangkatnya.[Mbak, tolong angkat! Penting!]Pesan dari Erina."Halo! Kenapa, Rin?" tanya Anti malas."Mbak kenapa lama angkatnya?" protes Erina.Anti menghela napas panjang."Rin, maaf! Tolong jangan pernah libatkan kamu dalam masalahku dengan Nadia. Aku tahu, kamu peduli dengan hubungan kami, tapi itu hanya akan membuat kita sama-sama tersakiti. Kamu tahu, betapa aku sangat tersiksa karena tidak bisa mendampingi anakku melewati masa kritisnya? Aku sangat terluka tapi, aku memilih memendam semuanya sendiri. Karena apa? Aku tidak mau terus menerus mendapatkan caci maki dari mertua kamu. Dan aku juga menghindari kamu berkonflik dengan Bu Saroh. Jadi kumohon, jangan menghubungi aku lagi Setidaknya untuk sementara ini," pinta Anti menghiba. Teringat lagi kata-kata darah kotor yang selalu diucapkan Sar
"Siapa nama Anda?" Pertanyaan dari Agung membuat Anti tersadar."Anti," jawabnya dingin. Dalam hati tidak percaya, orang yang terbiasa membulli tidak tahu sama sekali namanya."Baiklah, seperti ini. Anak Anda mendapatkan tuntutan dari korban yang ditabrak. Apakah sekiranya kalian siap menghadapi proses hukum bila anak Anda sudah keluar dari rumah sakit?" Ada rasa malas dalam hati Anti berbincang dengan orang yang paling dia benci saat ini. Namun, keadaan yang memaksa.Berkali-kali pikirannya menyalahkan Tohir yang seakan menimpakan hal berat untuk ia lakukan seorang diri."Bolehkah saya minta alamat korban? Saya ingin menemui mereka terlebih dahulu dan membicarakan hal ini dengan cara kekeluargaan.""Anda bisa menanyakan alamat mereka langsung. Bukankah korban saat ini sama-sama masih di rumah sakit?" Agung bertanya dengan raut wajah seolah menganggap Anti bodoh tidak berpikir sampai ke sana."Saya sudah tidak tinggal dengan anak saya. Saya
Agung termenung di kursinya."Sial! Kenapa aku berbuat seperti tadi?" umpatnya sambil membanting pulpen yang ia pegang. Selama ini, tidak pernah rasanya Agung memberikan belas kasihan pada orang lain. Siapapun yang bertemu untuk membahas atau mengurus sebuah kasus, sudah barang tentu ia mengambil keuntungan dari kedua belah pihak. Meskipun itu dilakukan secara sembunyi tanpa ada rekannya yang tahu. Namun kali ini, hatinya sangat ingin wanita yang baru saja pergi terbebas dari tuntutan apapun.[Udah lama gak datang ke rumah, kenapa?] pesan dari seorang janda yang bekerja di cafee hanya dibaca tanpa dibalas.'Gak mungkin aku suka sama perempuan yang sama sekali tidak mirip dengan kriteria aku. Ini hanya murni rasa bersalah karena waktu itu aku menjadi penyebab anaknya membencinya.' Hatinya mencoba menolak sebuah getar yang hadir....Anti berdiri di depan sebuah rumah sederhana yang tertutup rapat. Berkali-
Malam itu, Agung berkali-kali me-reject panggilan beberapa teman wanitanya. Malam Minggu yang biasanya ia gunakan untuk bersenang-senang, entah kali ini. Merasa tidak berselera meski hanya sekadar ingin keluar dari kontrakan.Menghindari banyaknya pesan dan telepon masuk, pria itu memilih mematikan ponselnya. Mencoba tidur lebih awal tapi tidak bisa. Kebiasaannya bergadang membuatnya sulit memejamkan mata saat sebelum lewat jam dua belas.Dalam kegalauan yang sepi, Agung mencoba mengurai segala sikap dan perkataan buruk yang ia lontarkan pada Anti, wanita yang pernah tergila-gila pada Feri.Namanya pernah menjadi perbincangan hangat di kalangan rekan kerjanya karena kebiasaan Anti yang selalu mengunjungi Feri setiap hari.Dua tahun tanpa kabar, sore itu, salah satu rekannya yang kebetulan suami dari teman Anti memberitahu bahwa, wanita yang tengah membeli martabak adalah Anti. Sontak mulutnya yang terbiasa mengejek orang, gatal untuk melecehkan wanita yan
Jam besuk telah dibuka. Agung dengan memperlihatkan Id card pada petugas, sehingga dirinya dipersilakan masuk tanpa menunggu giliran.Pasien pertama yang ia kunjungi adalah Nadia. Dilihatnya anak remaja yang terbaring dengan banyak alat medis yang menempel di tubuhnya. Kondisinya masih belum stabil.Agung menyalami Tohir yang duduk dengan raut muka sedih menatap anak gadis semata wayangnya.Bayangan Anti berlari mengejar Nadia kembali hadir dan membuat dada Agung sesak.Dalam situasi genting seperti sekarang, ada yang mengganjal dalam hati pria yang berprofesi sebagai aparat kepolisian itu. Mengapa Tohir sama sekali tidak menanyakan kabar masalah yang menyandung anaknya. Seakan telah menyerahkan semuanya pada Anti. Wanita yang jalannya saja belum terlihat sempurna akibat kecelakaan yang menimpa."Ibunya Nadia sudah ke kantor polisi, Pak?" tanya Tohir setelah sekian lama diam dan mengetahui yang datang adalah seorang polisi."Sudah, tapi semu
Anti berdiri, bersiap pulang. Melihat sosok yang ia benci berada di hadapannya."Kamu tidak akan pernah bisa melepaskan anakmu dari tuntutan mereka tanpa bantuan dari aku!" decak Agung penuh percaya diri.Anti bergeming. Batal pergi. Menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam."Kasus ini akan ditutup dan dianggap selesai hanya bila keluarga korban yang ditabrak Nadia tidak menuntut lagi. Meskipun dalam hal ini ada kelalaian pihak lain yang menumpahkan oli di jalan, tapi mereka berhak sepenuhnya karena nyatanya, korban yang ditabrak Nadia terluka parah. Dan hanya aku yang bisa menghentikan mereka untuk mencabut tuntutan," ternag Agung sambil memainkan bungkus rokok yang ia bawa.Hembusan napas kasar keluar dari mulut Anti."Apa yang kamu inginkan dari aku? Apa salahku sama kamu? Apa aku pernah pmerugikan kamu?" tanya Anti dengan sorot mata tajam."Apa maksudmu?" Agung balik bertanya."Apakah ini rencanamu? Mengambil kesemp