“Tapi tidak mudah cari yang sama seperti golongan darah yang Nadia miliki, Bu,” ujar Tohir seperti berharap ibunya akan sedikit melunak hatinya.
“Tidak akan pernah Ibu ijinkan wanita itu datang ke sini. Masih banyak cara untuk dapat darah yang sama untuk Nadia. Kita bisa bayar orang untuk itu!” kekeh Saroh.
“Ya sudah kalau seperti itu, Ibu coba yang cari pendonor yang darahnya sama seperti Nadia. Aku benar-benar tidak sanggup.” Tohir menyerah.
“Bu, maaf. Tidakkah bisa Ibu membedakan situasi yang genting dengan yang tidak? Tidakkah Ibu lebih memikirkan keselamatan cucu Ibu daripada rasa sakit hati karena masa lalu? Ini keadaan yang darurat, Bu ...,” tambah Erina geram. “Hanya Mbak Anti yang bisa kita mintai tolong saat ini. Dan juga, jika kita bilang sama dia Nadia butuh darah, tentu tidak perlu meminta ataupun memohon, Mbak Anti sudah paham,”
“Erina! Lancang kamu membantah apa
bersiap akan menjenguk Nadia kembali."Jangan pernah datang lagi dalam kehidupan Nadia. Jangan pernah meracuni pikiran Erina! Dan jangan merasa berjasa karena telah memberikan darah kotormu pada cucuku. Aku sebenarnya tidak setuju. Karena Erina memaksa maka aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berharap, kelakuan kamu tidak akan menular pada Nadia karena darah kotormu itu!"Anti bergeming. Terasa ada yang menusuk hati. Baru kali ini dirinya merasa, apa yang dikatakan mantan mertuanya sungguh di luar batas. Netranya mulai memanas. Namun, diusahakan agar tidak jatuh.Suasana sekitar sepi, hanya deretan kendaraan yang berjajar di halaman rumah sakit yang menyaksikan betapa seorang Saroh telah mengatakan hal yang sangat tidak manusiawi terhadap orang yang telah berjasa pada cucunya."Atau, kamu bilang saja, mau berapa? Kami siap membayar darah kotormu dengan harga yang sangat mahal. Asalkan, kamu tidak akan pernah muncul di hadapan Nadia dan mengatakan ka
Erina menelpon Anti berkali-kali. Namun, wanita berhijab besar yang duduk di meja kerjanya hanya menatap layar ponsel yang berkedip tanpa ingin mengangkatnya.[Mbak, tolong angkat! Penting!]Pesan dari Erina."Halo! Kenapa, Rin?" tanya Anti malas."Mbak kenapa lama angkatnya?" protes Erina.Anti menghela napas panjang."Rin, maaf! Tolong jangan pernah libatkan kamu dalam masalahku dengan Nadia. Aku tahu, kamu peduli dengan hubungan kami, tapi itu hanya akan membuat kita sama-sama tersakiti. Kamu tahu, betapa aku sangat tersiksa karena tidak bisa mendampingi anakku melewati masa kritisnya? Aku sangat terluka tapi, aku memilih memendam semuanya sendiri. Karena apa? Aku tidak mau terus menerus mendapatkan caci maki dari mertua kamu. Dan aku juga menghindari kamu berkonflik dengan Bu Saroh. Jadi kumohon, jangan menghubungi aku lagi Setidaknya untuk sementara ini," pinta Anti menghiba. Teringat lagi kata-kata darah kotor yang selalu diucapkan Sar
"Siapa nama Anda?" Pertanyaan dari Agung membuat Anti tersadar."Anti," jawabnya dingin. Dalam hati tidak percaya, orang yang terbiasa membulli tidak tahu sama sekali namanya."Baiklah, seperti ini. Anak Anda mendapatkan tuntutan dari korban yang ditabrak. Apakah sekiranya kalian siap menghadapi proses hukum bila anak Anda sudah keluar dari rumah sakit?" Ada rasa malas dalam hati Anti berbincang dengan orang yang paling dia benci saat ini. Namun, keadaan yang memaksa.Berkali-kali pikirannya menyalahkan Tohir yang seakan menimpakan hal berat untuk ia lakukan seorang diri."Bolehkah saya minta alamat korban? Saya ingin menemui mereka terlebih dahulu dan membicarakan hal ini dengan cara kekeluargaan.""Anda bisa menanyakan alamat mereka langsung. Bukankah korban saat ini sama-sama masih di rumah sakit?" Agung bertanya dengan raut wajah seolah menganggap Anti bodoh tidak berpikir sampai ke sana."Saya sudah tidak tinggal dengan anak saya. Saya
Agung termenung di kursinya."Sial! Kenapa aku berbuat seperti tadi?" umpatnya sambil membanting pulpen yang ia pegang. Selama ini, tidak pernah rasanya Agung memberikan belas kasihan pada orang lain. Siapapun yang bertemu untuk membahas atau mengurus sebuah kasus, sudah barang tentu ia mengambil keuntungan dari kedua belah pihak. Meskipun itu dilakukan secara sembunyi tanpa ada rekannya yang tahu. Namun kali ini, hatinya sangat ingin wanita yang baru saja pergi terbebas dari tuntutan apapun.[Udah lama gak datang ke rumah, kenapa?] pesan dari seorang janda yang bekerja di cafee hanya dibaca tanpa dibalas.'Gak mungkin aku suka sama perempuan yang sama sekali tidak mirip dengan kriteria aku. Ini hanya murni rasa bersalah karena waktu itu aku menjadi penyebab anaknya membencinya.' Hatinya mencoba menolak sebuah getar yang hadir....Anti berdiri di depan sebuah rumah sederhana yang tertutup rapat. Berkali-
Malam itu, Agung berkali-kali me-reject panggilan beberapa teman wanitanya. Malam Minggu yang biasanya ia gunakan untuk bersenang-senang, entah kali ini. Merasa tidak berselera meski hanya sekadar ingin keluar dari kontrakan.Menghindari banyaknya pesan dan telepon masuk, pria itu memilih mematikan ponselnya. Mencoba tidur lebih awal tapi tidak bisa. Kebiasaannya bergadang membuatnya sulit memejamkan mata saat sebelum lewat jam dua belas.Dalam kegalauan yang sepi, Agung mencoba mengurai segala sikap dan perkataan buruk yang ia lontarkan pada Anti, wanita yang pernah tergila-gila pada Feri.Namanya pernah menjadi perbincangan hangat di kalangan rekan kerjanya karena kebiasaan Anti yang selalu mengunjungi Feri setiap hari.Dua tahun tanpa kabar, sore itu, salah satu rekannya yang kebetulan suami dari teman Anti memberitahu bahwa, wanita yang tengah membeli martabak adalah Anti. Sontak mulutnya yang terbiasa mengejek orang, gatal untuk melecehkan wanita yan
Jam besuk telah dibuka. Agung dengan memperlihatkan Id card pada petugas, sehingga dirinya dipersilakan masuk tanpa menunggu giliran.Pasien pertama yang ia kunjungi adalah Nadia. Dilihatnya anak remaja yang terbaring dengan banyak alat medis yang menempel di tubuhnya. Kondisinya masih belum stabil.Agung menyalami Tohir yang duduk dengan raut muka sedih menatap anak gadis semata wayangnya.Bayangan Anti berlari mengejar Nadia kembali hadir dan membuat dada Agung sesak.Dalam situasi genting seperti sekarang, ada yang mengganjal dalam hati pria yang berprofesi sebagai aparat kepolisian itu. Mengapa Tohir sama sekali tidak menanyakan kabar masalah yang menyandung anaknya. Seakan telah menyerahkan semuanya pada Anti. Wanita yang jalannya saja belum terlihat sempurna akibat kecelakaan yang menimpa."Ibunya Nadia sudah ke kantor polisi, Pak?" tanya Tohir setelah sekian lama diam dan mengetahui yang datang adalah seorang polisi."Sudah, tapi semu
Anti berdiri, bersiap pulang. Melihat sosok yang ia benci berada di hadapannya."Kamu tidak akan pernah bisa melepaskan anakmu dari tuntutan mereka tanpa bantuan dari aku!" decak Agung penuh percaya diri.Anti bergeming. Batal pergi. Menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam."Kasus ini akan ditutup dan dianggap selesai hanya bila keluarga korban yang ditabrak Nadia tidak menuntut lagi. Meskipun dalam hal ini ada kelalaian pihak lain yang menumpahkan oli di jalan, tapi mereka berhak sepenuhnya karena nyatanya, korban yang ditabrak Nadia terluka parah. Dan hanya aku yang bisa menghentikan mereka untuk mencabut tuntutan," ternag Agung sambil memainkan bungkus rokok yang ia bawa.Hembusan napas kasar keluar dari mulut Anti."Apa yang kamu inginkan dari aku? Apa salahku sama kamu? Apa aku pernah pmerugikan kamu?" tanya Anti dengan sorot mata tajam."Apa maksudmu?" Agung balik bertanya."Apakah ini rencanamu? Mengambil kesemp
Sebuah pesan masuk ke ponselnya dari Erina saat dirinya tengah bekerja di depan layar komputer. Meskipun hati gundah gulana, Anti masih bisa bersikap profesional terhadap pekerjaannya. [Mbak, ada polisi datang bersama keluarga yang ditabrak Nadia. Mereka bilang tidak akan menuntut Nadia lagi. Dan polisi itu juga bilang, ini berkat Mbak Anti. Terimakasih ya, Mbak, sudah berusaha untuk Nadia. Maaf sudah merepotkan dan maaf, aku tidak membantu Mbak Anti kemarin. Mbak Anti paham kan posisiku? Sekali lagi, terimakasih ya, Mbak?] "Alhamdulillah ...," ucap Anti lega setelah membaca rentetan pesan dari ibu tiri Nadia. Wanita itu menangis dengan menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya. [Alhamdulillah, terimakasih kabarnya, Er ....] balas Anti kemudian. Perempuan yang jalannya masih kelihatan agak pincang itu duduk sendiri di mushola. Memilih menyendiri di saat jam istirahat. Ada rasa bahagia dalam hati dengan kabar yang
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”