Tanpa sepengetahuan Tohir, Erina mengajak Anti untuk bertemu. Karena menurut wanita itu, ada sesuatu hal yang harus diluruskan. Dalam hati tidak percaya kalau, Anti melakukan sesuatu hal yang tidak terpuji di pinggir jalan. Meskipun masa lalu ibu Nadia tidaklah baik tapi, Erina benar-benar melihat Anti telah berubah. Tidak hanya penampilan saja. Namun, perilakunya terlihat sangat berbeda.
Mereka telah berjanji akan bertemu di masjid besar yang sebelah tempat wudhunya ada sebuah teras luas. Tempatnya sepi sehingga , sangat tepat untuk berbincang sesuatu yang rahasia.
Erina telah lebih dulu sampai. Wanita itu duduk dengan kaki menjuntai ke bawah. Posisi teras yang tinggi dari halaman, membuatnya bisa leluasa melihat keadaan sekitar. Setelah lima belas menit menunggu, terlihat Anti berjalan dari tempat parkir. Seketika hati Erina merasa trenyuh. Menyaksikan dia yang dulu terlihat begitu sempurna penampilannya, kini berjalan dengan sedikit pincang.
Dari jauh, Anti s
Siang itu, di rumah Tohir terjadi kepanikan. Seorang polisi mengabarkan kalau Nadia mengalami kecelakaan hingga harus dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan kritis. Erina dan Saroh terus menerus menangis. Menunggu Tohir mengeluarkan mobil dari garasi. Mereka bertiga menaiki kendaraan roda empat menuju rumah sakit yang disebutkan oleh polisi. "Ini semua pasti gara-gara Anti! Dia yang menjadi penyebab Nadia jadi tidak fokus. Jadi kepikiran terus masalah kelakuan dia. Makanya, naik motor jadi seperti ini. Kami juga sih, Erina! Ngapain sih, waktu itu kamu suruh-suruh Nadia buat nemuin Anti? Kalau terjadi apa-apa sama Nadia, aku juga tidak akan memaafkan kamu!" omel Saroh sambil menangis. Erina mendadak semakin sesak dadanya. Setelah kejadian Nadia menemui Anti, seringkali ibu mertuanya memojokkan dirinya terus. Sehingga tak jarang, Erina memilih pulang ke rumah orangtuanya karena merasa tidak nyaman. Terlebih jika mengingat kata-kata yang diucapkan Anti t
Tohir terduduk lemas di kursi depan meja dokter."Bapak bisa berangkat mencari darah sekarang. Sebelum keadaan terlambat," ujar dokter membuat Tohir tersadar."I-iya, Pak. Berapa kantung yang dibutuhkan?" tanyanya gagap."iniPria itu berdiri dan melangkah dengan gontai keluar ruang. Di pintu, Tohir sudah dihadang dua anggota polisi yang sedari tadi menunggu."Pak, bisakah urusan ini kita selesaikan nanti? Saya harus mencari darah dulu. Anak saya kritis dan membutuhkan banyak darah," pinta Tohir memelas."Anggota keluarga lain, Pak?" tanya salah satu dua pria berseragam cokelat."Ada istri saya sedang menenangkan Ibu. Apa tidak bisa nanti, Pak? Saya mohon kebijaksanaannya. Toh saya tidak akan melarikan diri," ucap Tohir asal."Bukan seperti itu, Pak. Ini untuk laporan karena ada korban lain yang ditabrak anak Bapak." Tohir terkesiap. Sedari datang tadi memang belum tahu bila Nadia menabrak orang lain. Pun dengan kronologi kejad
"Motor anak Ibu sekarang sudah kami amankan di kantor polisi. Pihak keluarga bisa mengurus ke sana. Selain itu juga, Ibu dan keluarga harus siap dengan tuntutan yang mungkin akan dilakukan oleh keluarga korban.""Baiklah, Pak. Seperti apapun nantinya yang akan kami hadapi, entah tuntutan ataupun proses apapun yang melibatkan pihak kepolisian, kami mohon tidak saat ini, Pak. Biarkan kami fokus dulu pada penanganan keselamatan anak kami. Setelah itu, pihak keluarga akan ada yang datang ke kantor polisi mengurus semuanya. Bapak bisa menghubungi kami setelah anak kami bisa melewati masa kritisnya bila kami belum juga datang ke sana," ucap Erina memberi keputusan. Pikirannya buntu. Hal yang ada dalam hatinya yang utama adalah keselamatan anak tirinya."Baiklah, Bu. Kami permisi kalau begitu. Nanti bila keluarga Ibu sudah siap mengurus, datanglah ke polres dan cari saya, bilang saja mau bertemu Pak Agung.""Iya, Pak," lirih Erina hampir tidak terdengar.Sepenin
“Tapi tidak mudah cari yang sama seperti golongan darah yang Nadia miliki, Bu,” ujar Tohir seperti berharap ibunya akan sedikit melunak hatinya.“Tidak akan pernah Ibu ijinkan wanita itu datang ke sini. Masih banyak cara untuk dapat darah yang sama untuk Nadia. Kita bisa bayar orang untuk itu!” kekeh Saroh.“Ya sudah kalau seperti itu, Ibu coba yang cari pendonor yang darahnya sama seperti Nadia. Aku benar-benar tidak sanggup.” Tohir menyerah.“Bu, maaf. Tidakkah bisa Ibu membedakan situasi yang genting dengan yang tidak? Tidakkah Ibu lebih memikirkan keselamatan cucu Ibu daripada rasa sakit hati karena masa lalu? Ini keadaan yang darurat, Bu ...,” tambah Erina geram. “Hanya Mbak Anti yang bisa kita mintai tolong saat ini. Dan juga, jika kita bilang sama dia Nadia butuh darah, tentu tidak perlu meminta ataupun memohon, Mbak Anti sudah paham,”“Erina! Lancang kamu membantah apa
bersiap akan menjenguk Nadia kembali."Jangan pernah datang lagi dalam kehidupan Nadia. Jangan pernah meracuni pikiran Erina! Dan jangan merasa berjasa karena telah memberikan darah kotormu pada cucuku. Aku sebenarnya tidak setuju. Karena Erina memaksa maka aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berharap, kelakuan kamu tidak akan menular pada Nadia karena darah kotormu itu!"Anti bergeming. Terasa ada yang menusuk hati. Baru kali ini dirinya merasa, apa yang dikatakan mantan mertuanya sungguh di luar batas. Netranya mulai memanas. Namun, diusahakan agar tidak jatuh.Suasana sekitar sepi, hanya deretan kendaraan yang berjajar di halaman rumah sakit yang menyaksikan betapa seorang Saroh telah mengatakan hal yang sangat tidak manusiawi terhadap orang yang telah berjasa pada cucunya."Atau, kamu bilang saja, mau berapa? Kami siap membayar darah kotormu dengan harga yang sangat mahal. Asalkan, kamu tidak akan pernah muncul di hadapan Nadia dan mengatakan ka
Erina menelpon Anti berkali-kali. Namun, wanita berhijab besar yang duduk di meja kerjanya hanya menatap layar ponsel yang berkedip tanpa ingin mengangkatnya.[Mbak, tolong angkat! Penting!]Pesan dari Erina."Halo! Kenapa, Rin?" tanya Anti malas."Mbak kenapa lama angkatnya?" protes Erina.Anti menghela napas panjang."Rin, maaf! Tolong jangan pernah libatkan kamu dalam masalahku dengan Nadia. Aku tahu, kamu peduli dengan hubungan kami, tapi itu hanya akan membuat kita sama-sama tersakiti. Kamu tahu, betapa aku sangat tersiksa karena tidak bisa mendampingi anakku melewati masa kritisnya? Aku sangat terluka tapi, aku memilih memendam semuanya sendiri. Karena apa? Aku tidak mau terus menerus mendapatkan caci maki dari mertua kamu. Dan aku juga menghindari kamu berkonflik dengan Bu Saroh. Jadi kumohon, jangan menghubungi aku lagi Setidaknya untuk sementara ini," pinta Anti menghiba. Teringat lagi kata-kata darah kotor yang selalu diucapkan Sar
"Siapa nama Anda?" Pertanyaan dari Agung membuat Anti tersadar."Anti," jawabnya dingin. Dalam hati tidak percaya, orang yang terbiasa membulli tidak tahu sama sekali namanya."Baiklah, seperti ini. Anak Anda mendapatkan tuntutan dari korban yang ditabrak. Apakah sekiranya kalian siap menghadapi proses hukum bila anak Anda sudah keluar dari rumah sakit?" Ada rasa malas dalam hati Anti berbincang dengan orang yang paling dia benci saat ini. Namun, keadaan yang memaksa.Berkali-kali pikirannya menyalahkan Tohir yang seakan menimpakan hal berat untuk ia lakukan seorang diri."Bolehkah saya minta alamat korban? Saya ingin menemui mereka terlebih dahulu dan membicarakan hal ini dengan cara kekeluargaan.""Anda bisa menanyakan alamat mereka langsung. Bukankah korban saat ini sama-sama masih di rumah sakit?" Agung bertanya dengan raut wajah seolah menganggap Anti bodoh tidak berpikir sampai ke sana."Saya sudah tidak tinggal dengan anak saya. Saya
Agung termenung di kursinya."Sial! Kenapa aku berbuat seperti tadi?" umpatnya sambil membanting pulpen yang ia pegang. Selama ini, tidak pernah rasanya Agung memberikan belas kasihan pada orang lain. Siapapun yang bertemu untuk membahas atau mengurus sebuah kasus, sudah barang tentu ia mengambil keuntungan dari kedua belah pihak. Meskipun itu dilakukan secara sembunyi tanpa ada rekannya yang tahu. Namun kali ini, hatinya sangat ingin wanita yang baru saja pergi terbebas dari tuntutan apapun.[Udah lama gak datang ke rumah, kenapa?] pesan dari seorang janda yang bekerja di cafee hanya dibaca tanpa dibalas.'Gak mungkin aku suka sama perempuan yang sama sekali tidak mirip dengan kriteria aku. Ini hanya murni rasa bersalah karena waktu itu aku menjadi penyebab anaknya membencinya.' Hatinya mencoba menolak sebuah getar yang hadir....Anti berdiri di depan sebuah rumah sederhana yang tertutup rapat. Berkali-