Hai! Sesuai janji ya, akan saya kebut setelah lebaran agar bulan ini tamat. doakan saya sehat agar bisa merampungkan cerita ini. In sya Allah bulan ini selesai, karena kontraknya habis.
Part 102Flashback!Han pulang dengan hati berbunga-bunga setelah berhasil membantu Iyan. Menjebak mereka ke dalam perangkap agar bisa lebih mudah dalam mendapatkan Aira. Ia melihat pesan yang ada di ponsel banyak sekali.Sely: Om, kangen, kapan pulang? Pengen ....Sely: Om, aku kesepian.Sely: Om, kalau aku cari selingan boleh?Han meradang. Ia belum ingin melepaskan Sely karena masih butuh dengan tubuh wanita itu.Han: Aku sedang pulang dari luar kota. Tunggu aku di rumah. Aku punya sesuatu yang sangat spesial buat kamu.Sely langsung membalas pesannya.Sely: Ok, aku tunggu. Mau disambut pakai lingerie warna apa?Han: Yang paling sensasional pokoknya.Meski membalas demikian, hasratnya pada Sely telah mengurang. Apalagi gadis yang sudah tidak perawan itu sebentar lagi berusia delapan belas tahun, sama sekali tidak masuk dalam kriterianya.Han beralih pada pesan lain.Dania: Kemana saja?Dania: Sakit kah?Dania: Balas pesannya biar aku lega.Dania: Sakit beneran ya?Dania: Aku mau bi
Part 103 “Jawablah. Agar aku tidak hidup dalam rasa penasaran,” kata Cika. “Aku tidak tahu apa yang terjadi. Saat itu aku masih kecil. Setiap hari aku hidup dengan pengasuh dan malam itu, Mama pulang dari rumah sakit dengan membawa kamu yang baru lahir. Aku anggap, kamu anak Mama. Karena dulu juga Mama merawat kamu. Tetapi kata Papa, Mama kena baby blues setelah melahirkan kamu, jadi hatinya sangat benci sama kamu. Maaf kalau aku ikut menyakiti kamu dulu. Aku tidak tahu kalau arti seorang adik itu begitu besar. Sejak dekat dan sering main ke rumah temanku, aku jadi sadar kalau aku sudah salah sama kamu,” jawab Kevin. “Andai ada yang jujur aku ini siapa, pasti aku akan segera pergi,” kata Cika sambil menunduk sedih. “Kamu ingin pergi dari rumah ini?” tanya Kevin. Cika mengangguk. “Aku merasa kalian bukan keluargaku. Aku merasa sangat asing di rumah ini sejak dulu. Aku hidup sendiri dengan Mbak Siti. Mbak Siti yang setiap hari bersamaku dan kini, setelah Mbak Siti pergi, aku benar-b
Part 104“Lepaskan Mama, Kevin! Mama harus membunuh Cika. Anak bia dab! Anak pelacur! Dia harus segera kita habisi,” teriak Ines lagi. “Dia anak pembantu yang kurang ajar. Dia anak budak. Dia pantas kita bunuh menyusul ibunya yang tidak tahu diri itu!”“Mama, kendalikan emosi Mama, atau Papa tidak akan pernah pulang!? Kata Kevin dengan nada suara yang keras pula.Ines baru diam setelah mendengar Kevin berujar demikian. Tubuhnya diseret kasar masuk ke dalam kamar. Kevin memberikan menyuruh meminum obat dengan paksa agar ibunya bisa tidur. Dosisi yang tinggi diberikan sesuai anjuran dokter. Itu agar ibunya bisa tidur dalam waktu lama.Ines meracau banyak kalimat yang Kevin tidak paham. Namun, beberapa menit kemudian, ia tertidur lelap.Kevin duduk di tepi ranjang Ines terengah-engah kelelahan. Sambil memandang wajah sang ibu yang sudah pulas, ia berpikir tentang apa yang terjadi di masa lalu. Ia hanya tahu kalau Cika adalah anak yang dibawa mamanya dari luar tanpa tahu asal-usul yang se
Part 105 Dania berusaha bersikap manis dan tersenyum ramah. Ia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Apa kabar?” tanya Dania. “Baik,” jawab Han cuek. “Mana orangnya?” “Sedang keluar. Aku tahu Pak Han pasti belum makan. Aku suruh dia buat belikan makanan dulu,” jawab Dania. “Tidak usah lama-lama. Aku tidak punya waktu banyak,” kata Han yang terlihat lelah. “Sudah ngopi?” tanya Dania. “Belum sempat,” jawabnya. Dania melihat sebuah tanda merah di leher Han. Ia sudah cukup tahu, semalam laki-laki itu dari mana. Han memang sedang sering menginap di tempat Sely. “Aku buatkan kopi, ya?” Dania menawarkan. “Boleh. Tetapi aku tidak bisa lama di sini,” katanya. “Ok, gak papa. Duduk saja,” kata Dania. “Yang pahit, tanpa gula.” Mendengar permintaan Han, Dania jadi muncul sebuah ide. Ia ingat masih menyimpan obat tidur di lemari. Dengan hati-hati, Dania memasukkan obat tidur yang telah dihancurkan ke dalam kopi Han. Kopi sudah tersaji di hadapan suami sirinya. Dengan hati berdeba
Part 106Dania telah menyelesaikan tahapan untuk melakukan tes DNA. Satu minggu waktu yang dijanjikan oleh petugas rumah sakit untuk memberikan hasilnya. Saat keluar dari rumah sakit, hari sudah mulai gelap. Ia duduk di balik kemudi sambil berpikir cara apakah yang bisa mengamankan rumah yang telah diberikan Han.Malam itu juga Dania meluncur ke rumahnya. Dengan mencari informasi dari beberapa kenalannya, ia mendapatkan jasa pasang kunci digital yang harus dibuka menggunakan sidik jari. Tidak lupa, bagian teras dipasang CCTV yang bisa dipantau menggunakan ponsel pintarnya.Dania melakukan itu malam itu juga, karena takut Han akan berbuat nekat dengan mencari jasa tukang kunci untuk mengganti. Tak lupa, barang sertifikat rumah dan BPKB mobil akan diamankan dengan menitipkan ke tempat pegadaian. “Gak papa aku pura-pura menggadaikan barang, ini supaya aman,” katanya. “Aku harus lebih waspada.”***Beberapa hari setelah bertemu Dania dan mengatakan ingin meminta kembali rumah serta mobil
Part 107 Aira tertidur lelap saat Han masuk ke dalam kamar hotel. Sesekali tubuhnya terguncang karena habis menangis panjang. Han tersenyum lebar melihat pemandangan itu. ia menyiapkan baju Aira untuk ganti setelah bangun. Duduk di tepi ranjang, mengusap peluh dan sisa air mata yang menempel dan merebahkan tubuh di sampingnya. “Kamu bau asem, Dek. Bau kamu khas anak-anak. Kakak suka ini,” katanya sambil merapikan anak rambut Aira yang keluar dari jilbab putih yang dipakai. “Dek, Kakak rasanya tidak sabar menunggu sampai Adek siap dinikahi. Tapi Kakak akan mencobanya, Dek. Kakak akan bersabar untuk kehidupan yang indah kita di masa depan.” Han ikut terlelap dengan satu tangan memeluk Aira. Ia merasakan kedamaian yang sangat besar dalam hati. Wajahnya berhadapan dengan wajah Aira. Tidak peduli posisi kakinya menjuntai ke bawah, ia merasa nyaman dengan posisi itu. *** Aini menangis mendengar informasi itu. namun, tidak ada yang bisa dilakukannya. Hendak menemui Iyan, tidak enak pada
Part 108 Aira membuka mata karena merasa ada tangan yang mendekapnya erat sekali. Ia menjerit saat wajah Han berada tepat di depannya, membuat lelaki itu terbangun. “Dek, kamu kenapa, Dek?” tanya Han kaget. Aira sudah melompat dan duduk di pojok kamar dengan wajah ketakutan. “Antar aku ke pondok,” katanya sambil menangis. “Aira, jangan sampai Kakak galak dan jahat sama kamu. Diamlah, Aira! Kalau kamu tidak menurut sama Kakak, maka Kakak akan berubah jadi jahat,” ancam Han. Aira tidak peduli. Ia terus menangis. Han bingung, hendak menyakiti Aira, ia tidak tega. Tetapi ia harus mencari cara untuk mengancam anak itu agar diam. Han melihat pisau kecil yang terletak di atas nampan makanan yang dipesan. “Aira, kalau kamu menangis, Kakak akan bunuh diri,” ancamnya sambil meletakkan pisau di atas pergelangan tangan. Melihat itu, Aira ketakutan, antara takut Han benar-benar bunuh diri dan juga takut ia dibunuh juga. “Mandi, ya? Kakak sudah belikan baju untuk kamu,” kata Han sambil mengu
Part 109 Han memegang kening Aira. Panas sekali. Ia jadi bingung. Lagi, diciumnya lembut pipi gadis kecil itu seraya berkata, “Dek, jangan sakit! Kakak takut. Kakak cari obat dulu, ya? Adek tunggu di sini,” katanya. Ia lalu keluar dan kembali mengunci pintu dari luar. Aira yang tahu Han sudah tidak ada, tertatih bangun hendak menyelamatkan diri. Melihat sekeliling mencari celah untuk bisa meloloskan diri. Bagian kanan tempatnya berdiri adalah kolam renang yang dibatasi tembok yang sangat tinggi. Aira jelas tidak bisa memanjat. Ia mengamati tembok itu lama, lalu menangis. Lampu pada bagian kolam renang bersinar terang. Aira berlari ke arah pintu dan pintunya tertutup rapat tidak bisa dibuka. Ia melihat pada sebuah benda yang dia tahu itu telepon. Aira berlari cepat dan mengangkat gagangnya. Namun, ia tidak bisa mengoperasikannya. Mencoba melihat buku panduan di samping lalu membacanya. Han berjalan cepat menuju kamarnya. Ia sudah menemukan cara kemana membawa Aira agar tetap ama