Dengan alasan ingin ke belakang, aku memilih untuk beringsut mundur. Aku berjalan menuju ke halaman samping. Aku iseng mencari angin, berjalan menuju sebuah mushola kecil yang terletak di samping kanan rumah.
Diri ini enggan masuk ke rumah kembali dan memilih duduk di teras mushola yang sangat bersih dan asri. Di dekat mushola terdapat beberapa tanaman. Semilir angin berhasil membuatku mengantuk. Kelopak mataku semakin berat. Aku menyandarkan tubuh pada dinding mushola, dan semakin nikmat terbuai kantuk.
Sebuah dehaman mengangetkan serta membangunkanku. Betapa kagetnya aku saat melihat seseorang telah duduk beberapa meter dari tubuhku. Beliau adalah ustaz serta pemilik rumah ini.
“Maaf, Ustaz. Saya lancang tidur di sini. Tadi, saya merasa lelah dan mengantuk.”
Pria di sampingku jauh itu tersenyum. Senyum yang meneduhkan. Seraut wajah manis nan sejuk terbingkai di hadapan. Aku menunduk. Antara malu, juga salah tingkah.
“Tidak apa-a
AgamRiddhollahi fi ridhol walidain. Rida Allah terletak pada rida kedua orang tua.Hadits Nabi itulah yang menjadi pedoman hidupku selama ini. Apa pun yang aku lakukan, harus sesuai dengan rida orang tuaku. Bapak dan Ibu bagaikan raja dan ratu dalam hati ini. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi mereka berdua, sekalipun itu istri dan kedua anakku.Jasa ibu sangatlah besar dalam hidupku. Bertahun-tahun beliau rela merantau ke negeri orang demi menghidupi anak-anaknya. Aku berjanji, bila diriku sukses, maka seluruh uang akan kuserahkan pada ibu. Sebagai balas budi atas pengorbanan yang dilakukan beliau selama ini.Saat aku masih duduk di bangku SMA, ibu pulang dari luar negeri dengan keadaan memprihatinkan. Tubuhnya kurus karena jarang diberi makan oleh majikan. Hingga seluruh keluarga besar menangisi hal itu.Menurut cerita ibu, beliau sering mengais makanan dari tong sampah selama di sana. Bila melakukan kesalahan sedikit, selalu disiram
Tiga tahun setelah aku menikah, Iyan memperistri seorang wanita yang sangat cantik. Dia adalah menantu idaman keluargaku. Cantik dan pandai bersolek. Tak hanya Mbak Eka serta orang tuaku, diriku juga sangat bangga dengan kecantikan Rani. Seringkali, aku memuji-muji dia di depan Nia. Istriku hanya akan diam sambil menunduk.“Iyan itu memang tak ada bandingannya. Tidak ada yang bisa mengalahkan kecantikan Rani. Bapak dan ibu pasti sangat bangga menantunya menjadi pujaan semua orang. Pandai bersolek pula,” ucapku, dengan penuh semangat. “Kamu tahu, Dek? Dia menjadi kesayangan dan kebanggaan kami semua.”Selepas pertunangan sampai menjelang pernikahan, aku selalu mengungkapkan kekagumanku akan calon adik iparku. Bila sudah begitu, Nia akan menunduk dengan sudut nertra yanv terlihat basah. Ah, mungkin ikut terharu dengan anugerah yang Allah berikan pada keluarga besarku.Setelah menikah, Rani benar-benar menjadi menantu kesayangan ibu. A
“Baiklah, bila memang kalian menyuruhku meninggalkan Nia, akau akan melakukannya. Apa yang orang tua perintahkan, itulah yang terbaik untukku. Dan itu, adalah rida Allah,” ujarku memantapkan niat.“Kamu memang kebanggaaan kami, Gam. Tidak sia-sia ibu berjuang menyekolahkan hingga kamu menjadi PNS. Kamulah tumpuan hidup keluarga ini. Ibu hanya ingin, setelah ini, hidup kita akan bahagia. Tuntun adikmu agar dia bisa menjadi orang sukses.”“Pasti, Bu. Aku akan mengorbankan apa pun demi kalian.”Begitulah diriku, tidak akan ada yang pernah mengalahkan kasih sayang ini terhadap mereka, orang-orang yang paling berharga. Terlebih Aira, si kecil yang menjadi ratu dalam keluargaku. Apa pun permintaannya, hati ini begitu tidak tega bila tidak menuruti. Wajahnya yang cantik—mewarisi sang ibu—semakin menambah bangga kami terhadapnya.Pakde berjanji, akan menggantikan derita ayahmu saat kecil, dengan membahagiakan
Sebetulnya, aku ingin sekali mundur dari kegiatan rutin ini, tapi tidak enak hati pada Bu Diah. Aku merasa risi dengan cara ibu-ibu jemaah memperlakukanku. Sikap mereka berbeda dengan yang lainnya. Seakan aku adalah wanita yang istimewa. Aku jadi curiga, memang ada sesuatu yang tidak kuketahui sebelum ini.Pada Minggu ke empat, aku sengaja tidak ikut kajian. Rasa enggan sudah tidak bisa lagi aku lawan. Kukirimkan pesan pada Bu Diah kalau anak-anak tidak mau ditinggal. Sebenarnya, Dinta dan Danis mengajak ke kolam renang hari. Aku juga mengajak Fani. Aku tidak terlalu suka bila harus ikut berbasah-basahan.Di dekat kolam, ada sebuah tempat menunggu dengan fasilitas karpet tebal juga terdapat beberapa mainan. Aku memilih berselancar di dunia maya sambil tiduran.“Mbak.” Suara Fani mengagetkanku. Ia berdiri di dengan badan basah kuyup.“Kamu kenapa sendiri? Di mana anak-anak?” tanyaku cemas.“Ambilin baju gantiku sa
“Ada tamu, Bapak memanggil, ingin bicara dengan kamu,” ucap ibu. Terpancar iba dari netra ibu.Ada apa lagi? Gegas, kuikuti wanita yang melahirkanku menuju ruang tamu.Seketika, aku terpaku saat melihat yang duduk di deretan kursi yang terbuat dari kayu jati. Melihat mereka, aku sudah tahu apa yang ingin bapak bicarakan. Dengan malas, kududukkan tubuh ini di samping bapak, menghadap sosok yang beberapa kali aku temui di majelis ta’lim.“Bu Nia, maaf datang tanpa memberitahu. Tanpa ada rencana, Ustaz Zaki minta diantar kemari.” Wanita paruh baya yang berkedudukan sebagai kepala sekolah itu, berujar tidak enak.“Nia, kamu sudah kenal sama Ustaz Zaki, kam?” tanya bapak, semringah.Aku mengangguk saja.“Kalau begitu, bapak tidak perlu memperkenalkannya.” Bapak menatapku sambil tersenyum. “Ustaz Zaki ingin mengkhitbah kamu. Bapak rasa, kalian tidak membutuhkan waktu lama untuk saling ber
Sepekan telah berlalu sejak kedatangan Ustaz Zaki. Meskipun hari ini jadwal mengikuti kajian, tapi aku malas. Di sekolah pun, aku berusaha menjauhi Bu Diah. Dan sepertinya wanita itu paham kalau aku tidak suka dengan apa yang dilakukannya.Pagi ini, aku memilih bersih-bersih rumah dan meminta Mbak Wati tidak usah datang. Danis dan Dinta diajak bapak pergi ke pasar. Untunglah, mereka tidak menagih ke kolam renang lagi. Habis zuhur, kedua anakku baru pulang.“Nia, bagaimana keputusan kamu?” Saat di dapur, bapak bertanya padaku, tentang Ustaz Zaki.“Keputusanku tetap tidak, Pak. Aku merasa ada janggal dengan pria itu. Jangan karena dirinya seorang ustaz, Bapak menerima khitbahnya begitu saja. Kita belum tahu seluk beluk kehidupannya, Pak.”“Bapak yakin, dia bisa menjadi sosok ayah yang baik untuk Dinta dan Danis.”“Bukankah dengan Umar, Bapak juga begitu yakin? Akhirnya, apa yang terjadi?” Sengaja kuinga
“Nia,” panggilnya. “Kamu kenapa, Nia? Kenapa malam-malam ada di sini?” Pria di depanku memegang kedua bahu ini.Aku menangis sejadi-jadinya. Merasa saat ini ada orang yang bisa menjadi tempat untuk berkeluh kesah, menyampaikan duka yang tengah merundung diri ini. Jika dirinya perempuan, pastilah aku sudah menghambur dalam pelukannya. Untung, pikiranku masih waras. Jadi bisa menahan untuk tidak melakukan hal memalukan itu.“Ayo, duduk dulu,” ajaknya sembari membimbing tubuh ini untuk duduk di trotoar kembali.Aku menceritakan semua yang terjadi malam ini. Termasuk kekhawatiranku bila meninggalkan Dinta dan Danis di rumah.“Mas Agam pernah meminta Dinta menjadi pendonor ginjal Aira, keluarganya sampai memaksaku. Aku takut mereka akan menculik Dinta saat aku tidak ada.”Lengan yang tertumpu pada lututnya terlihat mengepal. Lalu, mengusap pelan punggungku, walau sentuhan itu dilakukannya dengan rasa
“Nak Irsya,” panggil Ibu lirih.“Iya, Bu?”“Terima kasih sudah menolong kami. Maafkan atas sikap suami saya selama ini. Dinta dan Danis sedang dalam keadaan bahaya juga. Mereka harus selalu dijaga Nia.”“Jangan pikirkan apa pun, Bu. Yang penting, bapak bisa melewati masa kritisnya. Selama bapak di rumah sakit, saya dan Doni yang akan bolak-balik ke sini.”Ibu mengangguk pasrah.Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir. Jarak tubuh yang sangat dekat, membuat beberapa kali lengan dan telapak tangan kami harus saling bergesekan. Akan tetapi, tidak ada yang berusaha merenggangkan jarak.Entah mengapa, aku menikmati kebersamaan ini, meskipun terjadi di saat suasana yang menegangkan. Kulirik lelaki tinggi di sampingku, meski harus mendongakkan kepala. Dia menoleh, menatapku lama, dan tersenyum.Ya Allah, ingin kuhentikan waktu, agar aku bisa berlama-lama dengannya.Sampai di
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”