Selama sesi foto, ibu mertuaku berperan sebagai pengarah gaya. Berkali-kali ganti posisi. Sampai anak laki-laki satu-satunya uring-uringan.
“Bu, hadap kamera, nanti senyum cantik, ya? Ayo, Buk. Ciiisss.”
Aku dan Fani tertawa terpingkal, melihat ibu kami diajak swafoto dengan berbagai gaya. Kesehariannya tidak pernah sekali pun bermain dengan kamera.
“Bu, udah dulu, ya? Doni mau kuliah,” tegur Mas Irsya
Aku dan Fani saling berpandangan. Ternyata benar, Doni seorang mahasiswa S2. Lengan ini menyenggol gadis di sampingku dan tersenyum menggoda.
Fani hanya melirik sebal ke arahku. “Apaan sih, Mbak?” dengkusnya.
“Sesuai kriteria, Fan,” balasku, setengah berbisik.
“Berangkat aja, Don. Gak apa-apa, kami ditinggal aja,” ujar ibu mertua sekenanya.
Akhirnya, setelah puas berfoto ria, rombongan keluarga Mas Irsya meninggalkan rumah kami. Terasa sepi setelah mereka berlalu pergi.<
Kulihat beberapa tulisan memang kabur, seperti terkena air. Meskipun Mas Agam pernah menyakitiku, entah mengapa, ada yang mengosuk hati saat embaca goresan tintanya. Cinta? Bukan. Rasa yang kumiliki terhadapnya sudah hilang tidak berbekas. Kini sepenuhnya hati untuk suamiku. Namun, aku yang memang gampang mengasihani orang, tetap merasa prihatin atas apa dirasakan oleh pria yang pernah hidup bersama dulu. Bukan karena dirinya adalah sosok yang pernah ada dalam hati ini. Akan tetapi, aku hanya sedih membayangkan dirinya yang sudah tidak memiliki tempat di hati anak-anaknya. Tangis ini pecah juga. Entahlah, aku memang serapuh ini untuk urusan sesuatu yang sensitif. Kutumpahkan saja, segala rasa yang berkecamuk melalui isak yang hampir tidak terdengar. Semoga kamu bahagia dan menemukan kehidupan yang lebih baik, Mas. Semoga kamu bisa memperbaiki diri setelah ini, dengan siapa pun nantinya kamu hidup. Untaian doa tulus, terucap hanya di relung hati. Bukan
Satu minggu sudah berlalu sejak resepsi pernikahan kami. Kini, Pak Irsya mulai menjalani rutinitas seperti biasa. Pergi mengajar dari rumahku. Dan pulang ke sini juga. Kehidupan kami sudah layaknya keluarga pada umumnya. Pun dengan anak-anak. Tidak terlihat sikap canggung lagi terhadap ayah sambung mereka.Atas permintaan suami, kini aku tidak lagi mengajar di TK. Aku juga merasa tidak nyaman lagi di sana, sejak konflik dengan Bu Diah terjadi.Di pagi menjelang siang yang membosankan dan merasa sepi, aku memilih menyibukkan diri dengan merawat tanaman yang sudah lama tidak tersentuh.“Pagi, Mbak Nia.” Perempuan paling heboh di kampung ini lewat.“Pagi juga, Yu Tarni.”“Mbak Nia terlihat beda, ih.”“Yu Tarni juga.”“Mbak Nia kelihatan seger.”“Yu Tarni juga.”“Mbak Nia, tadi malem pasti nganu, ya?”“Yu Tarni juga pasti, kan?&r
Aku bertekad untuk melupakan masa lalu. Mau disesali sebanyak apa pun, tetap tidak akan merubah keadaan yang sudah terlanjur aku buat sendiri.Siang itu, Iyan pulang kerja dengan muka lusuh. Aku abai saja, tetap melakukan rutinitasku menjahit.“Mas, aku dipecat,” adunya dengan lirih.“Maksud kamu?” Terpaksa, tangan ini berhenti.“Di perusahaan ada perampingan karyawan, aku jadi salah satu yang dirumahkan,” jawabnya terdengar putus asa.“Kamu dapat pesangon, kan?”“Dapat, Mas. Tapi cuma dua puluh juta.”“Dua puluh juta itu banyak, Iyan. Kamu gunakan untuk operasi Aira, uang Rani bisa buat buka usaha.”“Gak bisa, Mas. Rani pengin beli kalung. Uang ini mau aku sisihkan untuk beli kalung.”Bagus sekali pemikirannya! Kalau begitu, aku tidak menanggapi.“Mas, aku mau kerja di mana lagi? Dan bagaimana dengan Aira?”&ldq
“Tolong! Tolong!” Iyan berusaha mencari bantuan.“Iyan, jangan bertindak gegabah! Kamu panggil semua orang ke sini, maka harga dirimu hancur.”Suasana di luar sangat sepi, tidak ada yang datang ke rumah kami. Ibu sedang berkeliling menjual baju membawa Aira. Sedangkan bapak masih di kebun, seperti biasa.”Mas, tolong lepaskan Rani. kami janji, tidak akan minta Mas buat cari uang lagi.” Iyan duduk bersimpuh sambil mengiba. Tangisnya mulai terdengar.Entah kenapa, aku puas melihat mereka seperti ini. Rani meraung menahan sakit. Sepertinya, dia juga takut aku benar-benar melakukan perbuatan keji. Bila tidak ingat ada Iyan, mungkin aku benar-benar sudah melakukannya. Bukan atas dasar cinta, melainkan ingin membalas segala sakit hatiku terhadap wanita yang tidak lain adalah adik iparku.“Mas, tolong lepaskan aku. Aku minta maaf.” Rani terus menohon.Ibu—baru pulang—berteriak hister
“Anti, apa kamu masih mencintaiku?”“Menurutmu, Mas?” Perempuan yang perutnya sudah mulai berisi itu malah balik bertanya. “Aku tahu, Mas, kamu sudah tidak mencintaiku seperti dulu lagi.”“Jangan suka menebak, kamu bukan dukun.”“Sikapmu beda, Mas. Aku merasakannya. Begitupun aku, jujur saja, rasa ingin hidup bersamamu seperti yang kita impikan dulu, kini telah sirna. Namun, di saat hasrat melepaskanmu menggebu, justru kenyataan berkata lain. Ada bayi yang hidup di rahimku untuk mengikat kita kembali.” Anti menunduk. Setetes air jatuh mengenai telapak tangannya.“Ini adalah buah dari perbuatan kita, Anti. Anggap saja ini hukuman untuk sedikit mengurangi dosa, kita jalani saja. Semoga esok hari, keadaan menjadi lebih baik.”Anti mengangguk pasrah. Lalu, bertanya, “Mas, kamu masih mencintai Nia?”Aku ingin menjawab. Bukan masih mencintai, tapi baru
“Aku meminta uang pada Iyan, karena saat dia akan bekerja, aku menghabiskan uang agar dia bisa masuk. Wajar di saat ini aku meminta kembalian, dong?”Sorak sorai riuh terdengar dari mulut kaum hawa di hadapan kami. Rani tertunduk menahan malu. Juga kedua orang tuanya, yang tadi ikut berdiri di teras, kini masuk kembali ke dalam rumah.“Sekarang, lempar benda yang kalian bawa pada orang yang salah!”Seketika aku minggir saat Rani terkena amukan ibu-ibu. Barang-barang bekas tadi terlempar ke tubuhnya. Aku tersenyum puas.Setelah itu, aku masuk untuk mengambil linggis. Akan kurusak gerobak Rani supaya dia tidak bisa berjualan lagi.“Gam. hentikan!”Teriakan ibu tak kuhiraukan. Dengan emosi yang tinggi, gerobak Rani berhasil kuremukkan.“Bawa anak kalian pulang. Aku tidak sudi melihatnya di rumah ini lagi. Itu pun jika kalian tidak ingin nyawanya melayang di tanganku.” Ancaman serius k
Meredam rasa sakit, kuseret langkah ini dengan cepat, keluar dari tempat yang tidak memberiku kebahagiaan. Sialnya, saat sudah berada di atas motor dan merogoh saku celana, gawaiku tidak ada. Sepertinya, tertinggal di kasur. Dengan malas, aku turun dan masuk rumah lagi.Kulihat, mereka bertiga duduk di kursi ruang tengah. Sekilas yang aku dengar Iyan mengatakan kalau Aira harus segera menjalani transpalasi ginjal.“Pak, carikan uang untuk biaya operasi Aira. Kasihan dia, Pak.” Rani berkata sambil menangis.Aku tersenyum bangga, akhirnya, bapak menggantikan posisiku untuk ditangisi Rani. Segala sesuatu memang selalu ada hikmahnya.Kuraih benda pipihku dengan kasar, rasanya sudah tidak ingin berlama-lama di tempat ini.“Bagaimana ini, Pak? Kami harus mengeluarkan uang banyak.” Iyan ikut menyahut.“Kan, kalian punya uang. Kamu ada uang, kan, Rani?” Bapak bertanya pada menantu kesayangan di rumah ini.&
Dengan bergetar kunaiki tangga untuk melewati batas suci. Berwudu untuk pertama kali setelah beberapa bulan, rasanya sangat segar dan menenangkan.Sangat lama aku berada di mesjid besar ini. Terpekur, merenung dan mengurai benang kusut hidup yang telah kulalui. Tentang segala hal, kucurahkan pada Sang Pemilik Hidup. Juga segala dosa dan permasalahan hidup yang kualami saat ini. Dan yang terakhir adalah mengenai Anti, yang sangat ingin bertemu anaknya.“Mas, mesjid mau ditutup.”Sebuah tepukan di pundak menyadarkan diriku. Kutengok, sudah tidak ada siapa pun di tempat ini. Hanya takmir yang tadi mengingatkanku. Kini, beliau tengah menggulung karpet.Aku hanya diam memandangnya. Lalu tangan ini ikut membantu bapak—usianya mungkin sama dengan bapakku—menggulung karpet.“Pulangnya ke mana?” Setelah selesai, beliau bertanya.Aku masih duduk di teras mesjid, tak menjawab. Bingung mau menjawab apa.&