Kedua mata Aliya terfokus mencari Emilia yang telah menghilang dari pandangannya tertutup tubuh-tubuh orang di depan Aliya.
Sekilas ia merasakan bulu halus di tengkuknya meremang.
“Oh tidak… Semoga Emilia tidak apa-apa,” gumam Aliya sambil terus berusaha merangsek membelah kerumunan itu.
Tangannya ia silangkan di depan dada sambil mendorong perlahan dan bertahan dari senggolan serta dorongan orang-orang di belakangnya.
Sementara Guntur, berusaha mendekat pada Aliya. “Mbak!” serunya.
Aliya tak mendengar. Ia malah merasakan bulu halus yang tak hanya sekitar tengkuk namun juga di seluruh lengan atasnya, meremang dan terasa dingin.
“Mbak!!” seruan Guntur yang kedua berhasil membuat Aliya memalingkan wajah ke kiri dan mencari asal suara.
Namun seiring dengan itu, tiba-tiba, dengan gerakan cepat satu lengan mengait bahu Aliya dan menyeretnya ke kanan hingga terdorong masuk dalam kerumunan yang lebi
Setrasari, rumah Elang dan Aliya.Elang melangkah cepat memasuki rumahnya dan bergegas menuju kamar tidur utama rumahnya. Ia telah dihubungi oleh Ridwan saat tengah berkendara menuju tempat ia akan bertemu rekan bisnisnya malam itu.Tentu saja tanpa berpikir lagi, Elang memutar balik mobil dan melajukan mobilnya menuju rumah dengan kecepatan tinggi.Langkah cepatnya membawa ia ke kamar utama miliknya dan berpapasan dengan Dean dan Ridwan yang hendak keluar dari dalam kamar.“How is she?” tanya Elang cepat mencegat langkah Dean.“She’s all fine,” jawab Dean. “Saya tunggu di ruang tamu bersama orang yang membawa Aliya.”Elang mengangguk lalu meneruskan langkah tergesanya menuju tempat tidur dalam kamar besar itu.Bu Sumi tampak setengah membungkuk ketika melihat Elang mendekat. “Ibu terlihat tidur nyenyak Pak.”Elang mengangguk lalu duduk di tepian ranjang. Ia meraih tangan Aliya dan menggenggamnya perlahan.Matanya tak lepas dari memandang raut wajah istrinya itu, setelah sesaat melaku
Agung telah bergabung bersama Elang dan lainnya. Ia yang seorang kelahiran asli Bandung, bahkan sempat meminta izin untuk ikut tinggal di basecamp demi pelatihan yang lebih intens. Meskipun ia tidak pernah mendengar tentang Ratu Bumi, Kaum Jure dan tiga klan di bawahnya, ia telah jatuh hati pada keberadaan Aliya. Jatuh hati yang ia rasakan adalah kebutuhan untuk ikut melindungi. Dorongan itu begitu kuat, sehingga tanpa ragu dan tanpa jeda sedetikpun ia langsung menyatakan kebersediaannya untuk bergabung, setelah Dean selesai menjelaskan dan bertanya padanya. Meski Elang maupun Dean belum memberikan keputusan apakah Agung bisa tinggal dalam basecamp, namun Agung setiap hari datang ke basecamp dan bahkan menjadi lebih akrab dengan Iyad dan Guntur. Bahkan Agni, yang diketahui memiliki kecenderungan berbicara kasar dan sesukanya, terhadap Agung ia tidak terlalu memberi banyak komentar. Mungkin karena pembawaan Agung yang hangat, karena ia adalah seorang bumi dan cepat akrab dengan or
“Ya, oke Miss. You too, take care ya…” Aliya lalu menutup percakapan dirinya dengan Diani di telepon. Diani malam itu menelepon Aliya dan menanyakan kabar Aliya. Mereka lalu berbincang tidak terlalu lama, karena Diani tengah kedatangan kerabat jauhnya di rumah. Hanya saja, Diani ingin menanyakan kabar Aliya. Aliya merentangkan tangannya. Ia telah bersalin dan menggunakan gaun tidur berbahan satin yang sangat halus. Ponsel ia letakkan di atas nakas sebelah kanan lalu ia pun merebahkan tubuhnya. Meskipun ia telah merapikan dirinya, namun ia bukan hendak benar-benar tidur. Ia hanya ingin sebentar rebahan sambil menunggu sang suami pulang. Elang mengatakan ia akan pulang telat malam ini, karena hendak mampir ke Lembang dan melihat kondisi di sana dan berbicara dengan Dean, setelah agenda meeting sore hari tadi. Dering ponsel yang terdengar, menggugah Aliya untuk langsung duduk dan dengan riang meraih ponselnya. Ia berpikir Elang yang menghubunginya. Setelah melihat layar yang menamp
Aliya masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Ia baru saja mengunjungi rumah mama dan papanya. Sejak siang tadi ia yang telah meminta izin Elang untuk menengok kedua orangtuanya, menghabiskan waktu di rumah berbincang dengan sang mama dan papa. “Hati-hati, Al,” suara Laila mengiringi mobil yang Aliya kendarai mulai bergerak maju. Lambaian tangan pun dilakukan Aliya seiring jawaban riangnya. “Iya Ma. Aliya pulang dulu ya Ma, Pa. Maaf Aliya pinjam dulu mobilnya…” Mobil sejenis minibus yang Aliya kendarai mulai menjauh dari kediaman kedua orangtuanya. Mobil ini adalah mobil papa Aliya yang ia pinjam. Jam sebelas tadi siang Aliya memang diantar Ridwan, namun Aliya meminta Ridwan meninggalkannya karena ia akan lama berada di rumah mama papanya itu. Tanpa banyak pertanyaan Ridwan lalu pergi dengan membawa mobil dan meninggalkan Aliya di rumah Adnan. Namun sejak Aliya memutuskan untuk pulang, ia sulit menghubungi Ridwan sehingga ia memutuskan pulang tanpa menunggu Ridwan menjempu
Aliya hanya diam berdiri di sana tanpa respon.“Liebling…” Elang memanggil lirih lagi. Ia melangkah pelan mendekati istrinya.‘Apa kau berbohong lagi padaku, Elang?’Langkah kaki Elang terhenti begitu ia mendengar pikiran Aliya. Ia memandang istrinya yang tengah menatap dirinya dengan mata kian memerah. Lalu satu rasa sakit dan rasa tak percaya yang terbalut satu menjadi kesedihan, sampai dan terasa pula oleh Elang.Rasa itu milik Aliya. Elang sedang merasakannya juga.Kedua tangan Elang mengepal erat. Ia memajukan tiga langkah lagi dan meraih tangan Aliya.“Let’s go home, Liebling. Kita bicara di rumah,” ujar Elang dengan lembut dan hati-hati.Tanpa melawan, Aliya membiarkan tangannya digenggam Elang dan mengikuti suaminya keluar rumah.Tepat di pintu masuk, mereka berpapasan dengan Dean yang baru saja datang.Dean menatap Elang lalu menurunkan wajah dan menatap Aliya. Me
Marseille, Perancis. 1993. Mobil-mobil tampak jarang di ruas Jalan Four du Chapitre. Terlihat seorang wanita berjalan sedikit tergesa. Rambut panjang bergelombang berwarna burgundi itu berayun mengiringi langkah kakinya yang mengenakan sepatu boot setengah betis. Tubuh tinggi serta ramping, mengenakan dress corak bunga ditutup dengan long-coat berwarna krem. Tangan kirinya terlihat digenggam erat oleh tangan kecil seorang anak yang bersusah payah mencoba mengikuti langkah cepat wanita itu. Ketika mereka akhirnya tiba di pertigaan jalan, wanita itu berhenti dan menatap bangunan megah di seberang jalan. Kedua matanya menatap lurus tanpa berkedip pada bangunan megah berwarna putih pudar yang telah menjadi basilika minor sejak ratusan tahun lalu itu. Beberapa saat kemudian, wanita itu membungkuk lalu berkata sesuatu pada anak kecil yang masih menggenggam erat tangannya. Entah apa yang dikatakannya. Namun anak itu mengangguk patuh dan berkata; “Oui, mère..” (Ya, Bu) Wanita itu berkat
Bola mata itu…Warna hazel yang khas dengan bulu mata lentiknya.‘Apa anak itu adalah… Dean?’Aliya hendak merangsek maju, namun ia terlupa bahwa seluruh tubuhnya terkunci. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya untuk bergerak ke depan. Menyelamatkan anak itu.Anak itu terjatuh dengan wajahnya yang pucat sudah. Tangan kecilnya menapak di tanah yang rata. Ya tanah. Lorong kecil ini belum di aspal ataupun terpasang paving block.Tubuh sang anak tampak gemetar, meski demikian anak itu tidak menangis. Manik mata berwarna hazel itu memerah dan bergerak-gerak. Anak itu jelas ketakutan.Ketiga pemuda di hadapannya berjalan mendekati si anak dengan seringai puas. Dua di antaranya tertawa dan berbicara, namun entah apa. Tidak terdengar suara apapun.Dada Aliya kian berdebar tidak karuan, seluruh rongga dadanya dipenuhi rasa cemas dan rasa takut. Apa yang akan dialami anak itu nanti? Jika anak itu benar Dea
Seluruh tubuh Elang pun ikut membeku. Rasa kaget seketika berganti rasa dingin yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Gemuruh itu terasa kuat dalam rongga dadanya, membuatnya sesak. Matanya lekat dengan tatapan entah bagaimana pada dua orang di depannya. Wanita terkasihnya, yang menangis dengan memeluk Dean begitu erat. Apakah demikian terlukanya Aliya atas perbuatan dirinya, hingga Aliya memilih menangis dalam pelukan pria lain dan bukan padanya? Dan bagaimana ketatnya Aliya melakukan closure, hingga Elang tak bisa menembus pikiran Aliya. Apakah Aliya memikirkan sesuatu yang tak boleh ia dengar? Apakah tentang pria di depannya itu? Rahang Elang mengetat lalu menahan napas yang mulai terasa berat namun memburu. Baru saja ia hendak membuka mulutnya, ketika ia mendengar kalimat Aliya. “Syu..kurlah kau selamat… Ma…afkan aku…” ujar Aliya lemah dan terbata. Kening Dean kian melesak ke dalam. Entah bagaimana perasaannya sekarang, selain rasa bingung yang melandanya. Namun ia mengingatkan d
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj