Semula, Aliya bertekad untuk tetap bertahan.
Berjuang itu bukan hanya terletak pada mengakhiri segalanya segera, tapi juga pada mempertahankan apa yang dipilih dan diyakini di awal.
Aliya bisa saja memutuskan untuk mengakhiri hubungan tidak sehat ini, namun kembali lagi, Aliya tidak ingin menyerah terlalu dini di masa pernikahan mereka yang memang baru seumur jagung.
Belum lagi Aliya memikirkan kedua orangtuanya. Betapa dirinya akan mengecewakan kedua orangtuanya untuk kedua kalinya.
Pertama, karena tidak mendengarkan mereka. Kedua, karena menyerah begitu saja atas pilihannya sendiri, sebelum berjuang hingga titik darah penghabisan.
Namun Aliya bukanlah seorang wanita yang lemah yang akan diam dan pasrah begitu saja ketika diinjak.
Seperti janjinya dulu kepada papa, bahwa Aliya akan memutuskan apa yang baik untuk dirinya dan akan keluar dari suatu keburukan dan kebaikan yang tidak bisa diperjuangkan. Kalimat janji itulah yang akhirnya membua
CCKIIIIIIIITTTTTTT.BRRUUUAAAAAAAAAGGGGGG.Benturan keras dan suara rem mobil berdecit memekakkan seluruh telinga orang-orang yang berada di sana.Seluruh tubuh Aliya gemetar. Kakinya lemas, namun kedua tangannya masih mencengkeram stang motor dengan kuat.Napasnya tersengal.Setelah beberapa detik tak terjadi apa-apa pada dirinya, ia memberanikan diri membuka matanya. Suara ramai yang terdengar berasal dari orang-orang di pinggir jalan.Kepala Aliya menoleh ke kiri belakang, mengikuti arah orang-orang berlarian.Napas Aliya tercekat.Terlihat olehnya CRV berwarna hitam, melintang tak jauh di kirinya dan minibus yang tadi kehilangan kendali, telah berhenti dengan posisi berputar 180°.Aliya mengerjapkan matanya. Otaknya serasa membeku, tak dapat berpikir apa-apa. Sementara orang-orang mulai ramai mendekati kedua mobil tersebut, untuk melihat kondisi para penumpangnya.Aliya terpaku. Ketika tiba-tiba ia seperti
Aliya hanya menarik sebelah bibirnya. Ia tak menggubris pancingan Milah. Hari ini ia cukup bersyukur bisa selamat dari kecelakaan yang nyaris mengancam jiwanya tadi.“Kok diem aja, Miss? Duuh.. jangan jealous yaah… Tiap orang rejekinya beda-beda,” Milah menyindir lalu terkekeh lagi.“Ga bakal jealous lah,” Diani kini menyahut santai. Ia lalu berdiri menuju rak silabus. “Miss Aliya kemarin baru dikasih hadiah kalung emas, sih.”Milah membesarkan matanya. “Apaa?!”“Yoi,” jawab Diani singkat. Tangannya telah mengambil satu silabus, lalu ia kembali duduk di kursinya masih dengan santai.“Bohong ah. Paling dia ngaku-ngaku aja…” Milah mendengkus.“Ngga lah. Kan gue yang dititipin bingkisannya sama mbak Tri. Pas dibuka sama Miss Aliya, gue juga lihat tu kalung. Gede banget. Ada ukiran namanya. Bagus banget,” Diani menjelaskan. Sudut bibirnya tertarik m
[Teh Aliya baik-baik saja kan?] Akun Einhard menulis lagi di kolom komentar.Agak ragu sejenak, namun akhirnya Aliya tetap memberikan respon.[Ya, saya baik.]Beberapa detik Aliya menantikan respon balik dari kalimat terakhirnya.[Eh iya, maaf. Belum kenalan yah. Saya teman pemilik akun ini]Aliya, “oh?” Jarinya kemudian segera mengetikkan beberapa kata.[Maksudnya, kau bukan pemilik akun ini?][Bukan. Nama saya Ridwan, teh. Salam kenal.][Salam kenal juga.] jawab Aliya. Ia lalu mengetik lagi.[Kemana pemilik akun ini? Apa akun ini akan di non aktifkan?][Oh tidak, teh. Akun ini pasti akan aktif terus. Susah-susah menemukan teh Aliya. Hehehe] Lalu emotikon tertawa terkirim.Aliya mengerutkan kening. [Menemukan saya? Maksudnya?][Oh ngga. Gapapa teh. Biar nanti yang bersangkutan saja yang jelasinnya.]Aliya semakin merasa bingung. Jemarinya kembali mengetik. [Lalu kemana pemilik akun ini?]Kali ini pihak seberang tidak langsung merespon. Aliya menunggu hingga berpuluh detik.[Ehm… Lagi
Aliya tak memutuskan pandangannya pada layar ponselnya. Dadanya berdegup tak beraturan menanti jawaban dari teman si pemilik akun.[Ridwan. Apakah mobilnya adalah CRV hitam?] Tak sabar, hingga Aliya mengirimkan pertanyaan lagi.Sekitar lima belas detik kemudian.[Ya, benar. CRV berwarna hitam]“Ya Tuhan… .” Jantung Aliya serasa berhenti berdetak beberapa saat.[Benar-benar CRV hitam? Di jalan raya Cibinong dekat ruko dan dealer?] Aliya melemparkan lagi pertanyaan yang dijawab cepat oleh lawan chat-nya.[Benar. Jalan raya Cibinong dekat ruko laksa Cibinong dan dealer Toyota]‘Ya Tuhan. Dia benar! Lokasi kejadian memang dekat ruko yang menjual laksa dan dealer mobil T*yota!’ sahut Aliya dalam hati.Aliya terduduk lemas di pinggir ranjangnya. Pikirannya melayang. Kejadian kecelakaan itu kembali membayang dalam benaknya.[Namamu Ridwan, kan? Apakah ini benar kamu orang yang berbeda dengan pemil
Aliya tengah duduk di satu meja di food court sebuah plaza. Plaza yang tidak terlalu besar di miliki kota kecamatan di Cibinong ini. Tahun 2013 memang telah mulai banyak berdiri pusat perbelanjaan di Cibinong, meskipun masih tidak seramai atau semegah yang ada di Bandung. Di antara beberapa pusat perbelanjaan yang ada, Aliya memilih yang berlokasi dekat dengan terminal Cibinong. Seperti kata Diani, jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan, ia akan mudah mencari pertolongan. Ingatan Aliya lalu melayang ke percakapan semalam melalui medsos berwarna biru yang akhir-akhir ini sering ia gunakan. Seperti yang sudah Aliya duga sebelumnya, Ridwan-lah yang masih membalas chat yang Aliya kirim melalui kolom komentar. [Jadi, bagaimana menurutmu? Atau kau ada usul lain untuk membuktikan bahwa akun ini asli dan kalian adalah orang-orang asli?] [Kalau teh Aliya mau ketemu saya, sekarang pun saya bisa. Tapi untuk Einhard, saya harus liat situasinya lagi] [Saya ga minta mesti ketemu pemilik
Aliya menelan ludah. Seorang pria jangkung kini berdiri di sisi kanannya. Dengan kemeja lengan panjang polos berwarna biru muda tanpa kerah dan celana jeans berwarna navy. “Kau Aliya, kan?” tanya pria itu lagi. Aliya mengangguk bingung. Ia berusaha menenangkan degup jantungnya yang sedikit berpacu. “Euh… Rid..wan?” Pria itu menggeleng. “Bukan. Saya Einhard.” Aliya terkesima. ‘Oh… My… God…!’ ‘Mbak Tri sialan! Apanya yang ga tinggi-tinggi amat! Apanya yang tembem, bulat dan sawo matang?!’ rutuk Aliya dalam hati. Bukan apa-apa. Ia tahu, ini bukan salah mbak Tri. Tapi Aliya hanya sangat kaget, ketika dalam bayangannya mengikuti deskripsi dari mbak Tri, namun di hadapannya kemudian muncul sosok yang jauh berbeda dari gambaran itu. Kedua mata Aliya mengerjap. Begitu jelas dalam pandangan matanya, tubuh jangkung atletis dengan kulit putih bersih yang berdiri di dekatnya itu. Rahang tegas dan tinggi serta hidung mancung dan bibir yang melekuk indah. Seperti perpaduan lokal dan timur te
Rahang Aliya jatuh seketika. Ia segera menutup mulutnya dan merapatkan bibirnya. Entah kenapa, rasanya ia ingin tertawa.“Maaf, saya bukan artis. Karena itu tanda tangan saya pun mungkin tidak akan laku, mbak,” tolak pria itu halus.Pramusaji wanita itu mengusap pipi kanannya lalu berkata lagi. “Kalau begitu, boleh foto bareng? Mas nya cakep banget kaya artis. Cakep yang langka di Bogor ini. Saya baru ketemu yang cakep banget kayak mas-nya,” ungkap pramusaji itu tanpa malu-malu lagi.Aliya memalingkan wajahnya dengan bibir terkatup rapat menahan tawa.“Maaf.”Terdengar suara berat pria itu menolak lagi.“Satu kaliii aja mas. Pleasee… Siapa tau nanti kalau saya ketemu jodoh, bisa mirip-mirip mas nya…” Pramusaji itu tak mau menyerah.Aliya kini menoleh ke arah pria itu dan bisa melihat sang pramusaji yang malah berdiri makin mendekat pada pria itu.“Ayo lah mas.
“Apa tadi kau bilang?” Aliya bertanya tak percaya.“Kau adalah wanita yang telah saya cari selama bertahun-tahun ini,” ulang Elang dengan mata menatap lurus pada Aliya.“Aku…” Aliya memundurkan punggungnya ke sandaran kursi.“Apa kau akan percaya jika saya bilang seperti itu?” tanya Elang.“Maksudmu?”Elang tersenyum. “Saya hanya bercanda.”“Ah….” Aliya menghembuskan napas lega. Namun sejurus kemudian, ia melihat kelopak mata Elang yang meredup.“Kau tidak benar-benar mencariku selama sebelas tahun kan?” kedua mata Aliya terpicing.“Tidak,” sahut Elang lalu mengangkat gelasnya, dan meminum jus alpukat itu lagi. Ia mengalihkan pandangannya ke samping.Aliya memperhatikan Elang.‘Anggun sekali. Bahkan caranya minum pun terlihat begitu elegan. Artistik…’ batin Aliya tan
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj