Nick menoleh ke samping sambil ketawa miris. “Memang. Kamu baru tau?” Oliv menghela napas kasar. “Sudah dari lama, tapi ... aku baru menyadari itu semua.” “Baguslah, kalau kamu sudah menyadarinya. Kamu cukup berusaha saja untuk bertahan hidup.” Oliv menoleh ke samping. “Kamu udah sembuh emang? Kenapa kamu ke sini? Dan ....” ucapannya terpotong dan melirik ke minuman yang diminum oleh pria itu. “Kenapa kamu minum es, hah?” Nick melirik ke samping, kemudian menggedikkan bahu. “Saya tadi pengen es dan mau keluar aja. Yaudah aku ke sini, niatnya mau jenguk orang tua kamu, ternyata kamu malah ketemu sama si bajingan itu.” Oliv meringis kecil. “Tapi beneran kamu nggak papa kan? Perut kamu masih sakit?” tanyanya untuk memastikan. “Udah baikan. Agak nyeri sedikit, tapi saya baik-baik saja.” Oliv berdehem pelan. Kemudian dia menatap ke langit. Tiba-tiba saja Nick memegang pundak Oliv. Oliv menoleh ke samping, kemudian melirik ke tangan Nick yang sudah berada dipundak. “Kamu pasti
“Mama cukup istirahat saja di sini. Jangan memikirkan yang lain,” kata Nick diselingi dengan senyuman kecil. “Tuh udah dibilang Nick juga. Istirahat, oke?” Lauren mengangguk pelan. “Sekali lagi, terimakasih.” Nick hanya berdehem pelan. Pria itu mengkode Oliv untuk keluar. Dan akhirnya mereka keluar barengan. Oliv menutup pintu itu perlahan. “Ah ya, aku belum buatkan makanan untuk kamu,” ucapnya. “Tidak usah, bibi sudah membuatkan makanan untuk kita. Mama kamu ambilkan, biar bisa minum obat juga.” Oliv mengangguk kecil dan duduk di salah satu kursi di sana. Dia melihat satu meja penuh dengan makanan, bahkan bibi masih meletakkan makanan lagi di meja itu. “Silakan di makan, Non,” suruh Bibi. Oliv mengulas senyuman kecil, dia melirik ke Nick yang baru saja duduk. “Bibi masak banyak banget? Siapa yang makan nanti?” tanya Oliv. Nick mengangkat bahunya sekilas. “Biasanya sih, Mama sama Papa. Kalau nanti mereka tidak pulang, ya, kita saja yang makan.” “Kan sayang banget kala
Oliv sontak terkejut ketika melihat pria itu menggebrak meja. Dia mendengarkan apa yang dikatakan oleh Nick.“Y–ya, terus? Kalau kamu ikut sama aku, kamu nggak bisa kerja dong?”“Itu masalah belakangan. Intinya saya harus ikut sama kamu, oke?”Oliv terdiam sejenak. Dia menghela napas pelan dan mengangguk kecil. Mau-tidak mau dirinya harus mengiyakan apa yang dikatakan oleh Nick barusan.“Bagus, apa kita kontrak lagi?”Oliv menggelengkan kepala cepat. “Ng–nggak, makasih.”“Yasudah, kalau begitu saya ke kantor dulu. Kamu jaga rumah ya,” ucap Nick sebelum beranjak dari sana.Oliv mengangguk kecil dan menghabiskan minumannya depang pelan. Dia terus menatap punggung Nick yang sudah menghilang dari pandangannya.&ld
Setelah beberapa menit diperjalanan. Akhirnya Oliv sampai di halte dekat kantor Nick. Dia segera membayar dengan kartunya, kemudian turun dari bus tersebut. Perempuan itu berjalan dengan santainya dengan membawa tas. Sampai di dalam kantor dia menelusuri koridor kantor samping melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul setengah dua siang. “Ternyata cukup memakan waktu ya,” gumamnya. Dia segera memencet tombol lift dan menunggu lift turun. Selang beberapa detik lift terbuka dan Oliv segera masuk ke dalam. Dia segea memencet tombol untuk menuju ke lantai atas. “Kasib kabar nggak ya? Kan dia udah bilang sendiri kan, kalau aku suruh ke sini aja buat ngasih makanan?” gerutunya. Setelah lift terbuka. Oliv segera keluar dan bergegas untuk menuju ke ruangan Nick. Dia menghentikan langkahnya di depan ruangan Nick. “Kenapa aku ragu ya? Takutnya
Nick merenggangkan ciuman. Kemudian, melanjutkan lumatan lumatan dengan lembut.Oliv memejamkan mata dan sedikit demi sedikit dirinya menerima ciuman itu dan membalasnya. Ciuman itu cukup lama dan akhirnya Nick mengakhirinya.Perempuan itu hanya diam dan menatap pria itu dengan tatapan tidak percaya. Tangan Nick mengusap lembut bibir milik Oliv. Napas mereka saling beradu di sana.“Saya ingin ciuman ini hanya untuk saya, jangan sampai kamu memberikannya ke orang lain,” ucap Nick tiba-tiba.Oliv melirik ke jari Nick yang mengucsp bibirnya itu. Dia memegang tangan pria itu spontan. “Kenapa? Hah? Bukannya itu hak aku?”Nick terdiam sejenak dan melepaskan tangan dari sana. Kemudian pria itu berjalan menuju ke meja kerjanya. “Intinya saya tidak mau kalau kamu berciuman sama laki-laki lain,” kata pria itu lagi. Tanpa menjelask
Oliv mencoba untuk mengabaikan orang-orang di sekitar sana dan bergegas masuk ke dalam lift. Setelah turun satu lantai, ada seorang perempuan yang masuk ke dalam lift. Oliv melirik ke samping,ternyata sekretaris Nick. “Ternyata kamu ada hubungan sama Bos Nick?” Oliv menautkan alis, kemudian dia mengangguk kecil. “Ya–ya, emang sih.” “Kenapa baru bilang? Bahkan saya saja tidak tau siapa kamu sebenarnya. Mereka itu punya banyak mata, jadi kalau kamu punya hubungan lebih. Lebih baik kamu bicara di hadapan mereka.” “Ya ... kan nggak ada yang tanya juga kan? Buat apa aku bicara di depan kalian? Aku juga nggak kenal kalian?” Angel menghela napas kasar. “Bukannya begitu astaga. Kalau kita tau kamu itu ada hubungan sama Bos kita. Kita bakalan menghormati kamu itu aja. Jadi, kamu kekasih Bos, atau cuma selingkuhan saja?”
Axel mengangkat bahu dan menatap ke samping sekilas. “Apa harus ada alasan kenapa saya tertarik sama kamu?” Oliv melirik ke samping juga. “Harusnya sih. Pasti ada alasan kenapa kamu tertarik sama aku.” “Kamu cantik.” Wajah Oliv bersemu merah saat pria itu bicara di depannya seperti itu. “Maka–sih,” ucapnya malu-malu. “Aku serius loh. Bahkan perempuan yang lebih cantikpun, aku masih bisa bicara kalau kamu lebih cantik dari perempuan itu. Karena, emang jujur aura kamu itu berbeda sama perempuan lain,” kata Axel. Oliv tertawa kecil sambil menggelengkan kepala pelan. “Kamu ini bisa aja. Mana ada kayak gitu, hah?” “Buktinya aku melihatnya secara langsung.” “Udah, ah! Kamu fokus nyetir aja sana!” ucapnya, kemudian dia menatap ke samping untuk menatap ke luar cendela. Sedangkan Axel hanya te
Oliv menoleh ke sumber suara. Ternyata Nick yang bicara barusan, baju pria itu nampak berantakan.Oliv segera bangkit dari tempat duduknya dan mendekat ke pria tersebut. “Kenapa kamu lama banget, hah?”Nick melirik ke arahnya datar, kemudian duduk di salah satu kursi. “Emang kenapa? Bukan hak kamu kan?”Oliv mendengus pelan dan mengambilkan porsi nasi dipiring. Kemudian diletakkan di hadapan pria tersebut. “Kan kamu udah janji pulang sore kan?”“Ya, emang. Tapi mood saya berubah tadi.”Keningnya mengkerut seketika. “Bisa ya mood laki-laki berubah?”Nick mengambil porsi nasi yang diambilkan oleh Oliv tadi dan lauk di sana. “Emang tidak boleh mood laki-laki ganti?”Oliv menghela napas kasar. “Yaudah sih, kalau gitu. Kan nggak hak aku juga. Aku cuma tanya doa
Oliv menghentikan langkah di ambang pintu. Kapalnya ternyata sudah jalan di tengah laut. Spontan dirinya menahan tubuhnya agar tidak terjatuh karena tidak seimbang. Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang menahan tubuhnya itu dari belakang. “Are you okay?” Suara serak itu, membuat Oliv menoleh ke samping. Dia menatap pria itu yang nampak khawatir. “Aku, nggak papa kok,” ucapnya, kemudian dia menjajarkan tubuhnya. Nick tertawa miris. “Oliv, jangan bodohi saya bisa? Saya juga pernah melihat orang seperti kamu. Orang itu takut menaiki kapal, tapi tidak tau dengan kamu. Apa kamu juga begitu, heum?” Perempuan itu terdiam sambil menundukkan kepala dan memainkan jari-jarinya di bawah sana. Nick berjalan dan berdiri di hadapan perempuan tersebut. Pria itu menggenggam kedua tangannya lembut. “Tanganmu yang sangat dingin dan wajah kamu sangat pucat. Sudah pasti kamu tidak terbiasa menggunakan kapal.” Oliv menghembuskan napas pelan. “Ya, aku ... takut sama laut.” Pria itu terdiam se
Besoknya, Oliv sudah siap dengan memakai pakaian santai, tidak lupa juga memakai cardigan panjang untuk menutupi tubuhnya. “Sudah siap? Saya menyuruh Mark menjemput kita ke sini. Mumpung dia punya waktu,” ucap Nick yang kini masih memakai jam tangan di sana.Oliv menoleh ke pria itu, kemudian ia mengangguk kecil. “Kopernya aku bawa ke luar ya?”Baru saja perempuan itu menyeret koper itu. Namun sebuah tangan menahan koper itu juga. Oliv menatap ke tangan itu, kemudian menatap ke arah pria itu. “Kamu keluar saja dulu. Biar saya yang membawanya. Kamu bawa tas selempang kamu saja.”Oliv menelan salivanya, jujur saja degup jantungnya saat ini tidak bisa dikendalikan. Perempuan itu mengangguk dan segera mengambil tas selempangnya. Kemudian bergegas untuk keluar dari apartemen itu.“Astaga, jantung aku kenapa nggak bisa diatur sih?” gumamnya sambil memegang dadanya sendiri. Oliv menghela napas kasar dan masuk ke dalam lift. Kemudian memencet tombol untuk membawanya pergi ke lantai bawah.
Setelah selesai, mereka memutuskan keluar dari tempat itu. Dan ya, Oliv menggenggam bingkisan pakaian itu dengan erat sambil melihat ke sana kemari. Melihat itu, Nick nampak bingung. “Are you okay? Apa ada yang ketinggalan?” tanya pria itu sambil melihat ke belakang. Perempuan itu menatap ke pria itu, kemudian menggelengkan kepala cepat. “Nggak, cuma–” ucapannya tergantung. Di menggigit bibirnya sendiri. ”Cuma apa?” Nick nampak menghentikan langkahnya. Oliv-pun ikut berhenti. “Aku nggak nyaman aja sama orang-orang yang bilang aku perebut pacar orang?”Pria itu nampak mengkerutkan, tak lama tertawa miris. “Hei? Tumben sekali kamu peduli sama ucapan orang disana?”Nick memegang pundak perempuan itu. “Kamu tau semuanya kan? Dan mereka tidak tau bagaimana otak Kimberly? Jadi, kamu tidak perlu memikirkan ucapan mereka, oke?”Oliv menghembuskan napas kasar, kemudian mengangguk kecil dan tersenyum lebar. “Okey, thanksyou.”Pira tersebut mengulas senyuman dan mengaitkan jari-jemari ke jar
Sebulan lebih lamanya, Oliv bertahan di kontrak ini. Tapi, untuk saat ini Nick memutuskan membawa Oliv ke apartemen pribadi sendiri. Seperti janji pria itu dari awal. Oliv melihat ke sekeliling apartemen tersebut. Dia nampak terkesima melihatnya. “Ini apartemen kamu sendiri?” Nick mengangguk kecil dan meletakkan dua koper di sana. “Iya, sebelumnya saya minta maaf kalau sudah memisahkan kamu dengan mama kamu. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Mama kamu akan aman di sana. Bibi sama supir di sana bakalan menjaganya di sana.” Perempuan itu menatap pria yang sedang membuka jaket di sana. Dia mengangguk pelan dan mengulas senyuman kecilnya. “No problem, aku percaya sama kamu.” “Oh, ya. Kalau mau berendam, kamu berendam saja. Pasti perjalanan tadi sangat lama dan tubuh kamu berkeringat kan?” Oliv menerjapkan mata pelan. “Engh–okay.” “Besok kita bulan madu, kamu siapkan semuanya.” Nick menghempaskan tubuh ke kasur empuk itu sambil menutup mata untuk menghilangkan rasa lelah. Oliv terd
Oliv segera mengalihkan pandangan, kemudian menjajarkan duduknya kembali. “Ng–nggak, aku kaget aja. Tadi musiknya terlalu keras.” Nick mendesis pelan. “Dih, bilang saja takut.” Perempuan itu hanya diam dan mencoba fokus dengan film yang terpampang di layar besar tersebut. Mereka menonton film layar lebar dengan menikmati popcorn dan juga minuman yang dibeli tadi. Ternyata film-nya semakin seram, sehingga membuat Oliv semakin mendekat ke Nick sambil meremas lengan pria tersebut. “Astaga, apa itu!” “Teman kamu tadi, cepat agak geseran sedikit bisa? Saya tidak muat di sini.” Oliv menerjapkan matanya pelan, dia melihat posisinya kembali. Kemudian bergeser sedikit. “Maaf, tadi ... reflek,” ucapnya. Setelah itu. Mereka kembali menonton dengan serius. Meskipun Oliv sangat ketakutan, perempuan itu terus menahan rasa takutnya dengan menutup matanya sendiri. Oliv mengambil popcorn dan memakannya sesekali untuk menghilangkan rasa takutnya. Tak lama, dia mengambil lagi. Namun, ternyata d
“Jangan banyak omong.” ucap pria itu menyuruhnya untuk ke belakang. Oliv melirik ke pria itu sesekali melihat dua pasangan kekasih yang sedang mencari meja makan di sana. “Are you okay?” tanyanya pelan. Nick menoleh ke samping. “Menurutmu? Kamu bawa kacamata hitam? Buat kita ke sana?”Oliv menggelengkan kepala pelan. “Nggak bawa.”Nick menghela napas pelan, sesekali memastikan dua orang tersebut masih berada di sana. “Kita beli terlebih dahulu, habis itu kita ikuti mereka,” ucap pria itu, kemudian menarik lembut tangan Oliv untuk pergi dari tempat itu. Di dalam salah satu toko. Oliv mencari dua kacamata dan juga Nick yang masih mencari topi. “Lama banget sih? Kamu ini nyari topi atau nyari istri lagi?”Pria itu meliriknya dengan datar. “Apa kamu keberatan?” ucap Nick, kemudian menuju ke kasir untuk membayar beberapa barang yang berada di sana. “Kita cari pakaian santai dan sekalian beli sepatu buatmu.”Oliv melirik ke bawah sekilas. “Hmm, yaudah. Aku juga udah nggak betah lagi pa
“Nick?”“Heumm?”“Kita mau ke mana? Bukannya ke kantor?” tanya Oliv memastikan. Dia menoleh ke samping.“Kan saya bilang ke suatu tempat.”“Nggak ke kantor?”“Lupakan masalah kantor, saya sudah menyuruh seseorang menhandle kantor saya.”“Terus? Kenapa kamu nyuruh aku pakai pakaian rapi kayak gini?”“Apa kamu tidak suka?”Oliv terdiam sejenak, kemudian menghela napas pelan. “Humm, sekali lagi aku tanya ke kamu. Kita mau ke mana?”Nick tidak menjawabnya. Alhasil, Oliv menyerah untuk bertanya kepada Nick. Dia menyandarkan punggungnya di sofa dengan santainya sembari menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan. “Kamu suka film horor kan?”Kening Oliv mengkerut, dia menoleh ke Nick kembali. “Suka, tapi tergantung film-nya sih.”“Berani?”“Berani, mau nonton?”Nick menoleh ke samping, kemudian mengangguk kecil. “Mau temani saya nonton film horor?”Oliv menggembungkan pipinya. Tak mau menolak, akhirnya dia mengangguk kecil. “Boleh, nanti kita lihat jam tayangnya dulu. Nggak mungkin juga kan
Oliv membuka mata perlahan. Dia memincingkan matanya karena pancaran sinar matahari mengenai matanya. “Jam berapa ini?” gumamnya. Ia melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Perempuan itu menguap pelan dan baru menyadari posisinya sekarang berada di dekapan pria yang masih tidur itu. Kening Oliv mengkerut, dia terus memandangi wajah tampan pria tersebut. Sangat damai, seakan tidak ada satupun permasalahan yang dipikirkan saat ini. “Lebih baik dia seperti ini daripada seperti kemarin. Aku nggak tega kalau lihatnya,” gumamnya.Oliv melihat ke tangan pria itu yang masih stay memeluk tubuh kecilnya. Senyuman kecil lolos keluar dari mulutnya. “Pantas saja hangat,” gumamnya. “Tapi, nggak mungkin juga aku mengganggu dia bangun.”Oliv menatap pria itu kembali. Dengan perlahan, perempuan itu melepaskan pelukan pria itu. “Jangan pergi, temani saya,” ucap pria itu lirih. Perempuan itu sempat diam dan menatap pria itu yang ternyata masih tidur. “Aku di sini. Kamu lanjutkan ti
“Hallo, Ma. Ini Oliv. Ma, tenangin pikiran Mama dulu. Nick akan menjelaskan semuanya di rumah, okay.”‘Cepat balik. Bawa Nick ke rumah!’ ucap mama Nick sebelum mematikan telepon dari sana. Oliv terdiam, dia menghela napas pelan dan memberikan ponselnya kembali ke pria yang berada di sampingnya itu. “Kamu harus menjelaskan dengan benar. Jangan ditutupi.”Nick hanya diam. Setelah sampai di kediaman rumah Nick. Mereka segera masuk ke dalam sana. Dan ya, benar sana mama Nick mendekat ke arah mereka. Satu tamparan keras mengenai pipi Nick. Mulut Oliv spontan ditutup karena shock. “Bilang sama Mama, kalau berita itu tidak benar, Nick!”Nick nampak memalingkan wajah dan hanya diam di tempat. Oliv tidak bisa diam, dia harus bicara yang sebenarnya. “Ma–”“Stop, bicara, Oliv. Ini salah Nick, harusnya dia yang menjelaskan apa yang terjadi sama dia.”Oliv terdiam sejenak dan menghela napas pelan. Dia menoleh ke samping sambil memegang lengan pria itu. “Nick?”Nick mendongakkan kepala, tangan