Oliv mencoba untuk mengabaikan orang-orang di sekitar sana dan bergegas masuk ke dalam lift. Setelah turun satu lantai, ada seorang perempuan yang masuk ke dalam lift.
Oliv melirik ke samping,ternyata sekretaris Nick.
“Ternyata kamu ada hubungan sama Bos Nick?”
Oliv menautkan alis, kemudian dia mengangguk kecil. “Ya–ya, emang sih.”
“Kenapa baru bilang? Bahkan saya saja tidak tau siapa kamu sebenarnya. Mereka itu punya banyak mata, jadi kalau kamu punya hubungan lebih. Lebih baik kamu bicara di hadapan mereka.”
“Ya ... kan nggak ada yang tanya juga kan? Buat apa aku bicara di depan kalian? Aku juga nggak kenal kalian?”
Angel menghela napas kasar. “Bukannya begitu astaga. Kalau kita tau kamu itu ada hubungan sama Bos kita. Kita bakalan menghormati kamu itu aja. Jadi, kamu kekasih Bos, atau cuma selingkuhan saja?”
Axel mengangkat bahu dan menatap ke samping sekilas. “Apa harus ada alasan kenapa saya tertarik sama kamu?” Oliv melirik ke samping juga. “Harusnya sih. Pasti ada alasan kenapa kamu tertarik sama aku.” “Kamu cantik.” Wajah Oliv bersemu merah saat pria itu bicara di depannya seperti itu. “Maka–sih,” ucapnya malu-malu. “Aku serius loh. Bahkan perempuan yang lebih cantikpun, aku masih bisa bicara kalau kamu lebih cantik dari perempuan itu. Karena, emang jujur aura kamu itu berbeda sama perempuan lain,” kata Axel. Oliv tertawa kecil sambil menggelengkan kepala pelan. “Kamu ini bisa aja. Mana ada kayak gitu, hah?” “Buktinya aku melihatnya secara langsung.” “Udah, ah! Kamu fokus nyetir aja sana!” ucapnya, kemudian dia menatap ke samping untuk menatap ke luar cendela. Sedangkan Axel hanya te
Oliv menoleh ke sumber suara. Ternyata Nick yang bicara barusan, baju pria itu nampak berantakan.Oliv segera bangkit dari tempat duduknya dan mendekat ke pria tersebut. “Kenapa kamu lama banget, hah?”Nick melirik ke arahnya datar, kemudian duduk di salah satu kursi. “Emang kenapa? Bukan hak kamu kan?”Oliv mendengus pelan dan mengambilkan porsi nasi dipiring. Kemudian diletakkan di hadapan pria tersebut. “Kan kamu udah janji pulang sore kan?”“Ya, emang. Tapi mood saya berubah tadi.”Keningnya mengkerut seketika. “Bisa ya mood laki-laki berubah?”Nick mengambil porsi nasi yang diambilkan oleh Oliv tadi dan lauk di sana. “Emang tidak boleh mood laki-laki ganti?”Oliv menghela napas kasar. “Yaudah sih, kalau gitu. Kan nggak hak aku juga. Aku cuma tanya doa
Oliv hanya diam, dia mengambil minuman itu dan meminumnya dengan pelan. Kemudian dia meletakkan kembali minuman itu.Kakinya di lipat dan dipeluk sambil menatap ke atas. “Tadi, kenapa mood kamu tiba-tiba hancur? Karena aku?”Nick melirik ke samping sekilas, kemudian menatap ke atas juga. “Bukan karena kamu juga sih. Tapi karena Kim juga. Saya sangat emosi karena dia.”Oliv terdiam sejenak. Lalu dia menatap ke samping. Keningnya dikerutkan. “Kim? Perasaan dia udah pulang deh tadi. Kenapa masih aja sama kamu?”Nick menghela napas kasar. “Saya juga tidak tau. Dia masuk ke dalam dan memaksa saya untuk meniduri dia. Saya dijebak,” ucap pria itu.“Dijebak? Maksudnya?”“Ya, awalnya ... dia meminta bantuan saya untuk membenarkan bajunya. Ternyata dia merencanakan itu semua. Ada orang yang m
Oliv menarik selimut dan menatap ke tembok. Dia merasakan ada seseorang yang tidur di sampingnya. Pasti Nick yang tidur di sebelahnya. “Sudah tidur?” tanya pria itu. Oliv berdehem pelan. “Nggak usah banyak tanya, aku mau tidur,” ucapnya lirih. “Serius? Apa kamu cuma pura-pura tidur supaya tidak saya tanyai?” “Alasannya itu juga. Udah, mending kamu diem.” Nick menghela napas pelan, pria itu ikut tidur di samping Oliv dan menarik selimut. “Okey. Good night, have a nice dream.” Oliv berdehem pelan. Dia meremas selimutnya sendiri. Sesekali mengintip ke belakang untuk memastikan jika pria itu sudah tidur. Perempuan tersebut menghela napas pelan dan kembali menunggui pria tersebut. Dia memegang dadanya yang berdetak pelan. Dirinya menginat kejadian tadi dan rasanya sangat aneh. “Apa aku sudah memberikan hat
Setelah siap, Oliv segera keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil di mana pria itu sudah menunggu di dalam sana. “Ayo berangkat.” “Saya bawa ke salon dulu. Rambutmu masih berantakan,” kata Nick, sebelum melajukan mobil itu dengan kecepatan rata-rata. Oliv menautkan alis, dia melihat penampilan dari kaca spion mobil itu. “Apaansih, perasaan sudah rapi deh. Kamu ini sebenarnya mau nyuruh aku jadi model atau gimana?” “Di kantor saya tidak menerima gembel seperti kamu.” “Heh! Enak aja dibilang gembel. Kalau gamau, yaudah nggakusah suruh aku jadi asisten kamu itu!” “Tapi saya membutuhkannya,” kata Nick. “Nyebelin emang kamu!” desisnya, kemudian Oliv menatap ke depan sambil bersedekap dada. Entah apa yang diinginkan pria itu saat ini, Oliv hanya pasrah. Tidak lama kemudian, mereka akhirnya sampai di salah satu salon. “Cepat, turun,” pinta pria itu. Oliv melirik ke samping. Tanpa menolak keinginan pria itu, akhirnya dia turun dari mobil dan segera masuk ke dalam salon terlebih d
Oliv terdiam, menatap wajah pria itu secara dekat. Jantungnya kini berdegup dengan cepat, bahkan dirinya tidak bis bicara sama sekali. Perempuan itu melirik ke tangan Nick yang masih stay di sana, kemudian menatap pria itu kembali. “Bisa hati-hati tidak?” Oliv menegukkan ludahnya susah payah dan mengangguk kikuk. “Ya–ya, maaf.” Nick menghela napas pelan dan menyuruh Oliv untuk berdiri tegak. “Masih pagi, jangan mengharapkan ciuman saya,” ucap pria itu sebelum melangkahkan kaki ke kursinya. Mata Oliv membulat seketika. Bisa-bisanya pria itu bicara seenak jidatnya? “Bisa tutup mulut.kamu sedikit aja, Tuan Nick yang terhormat? Jujur aja aku capek banget, tenagaku terkuras karena kamu tau?!” Oliv berjalan ke arah meja kerja Nick. “Tidak ada kerjaan kan? Buatkan saya kopi? Tanpa gula?” Nick nampak mengalihkan pembicaraan. Oliv menggebrak meja pria itu spontan, tanpa bicara dia segera keluar dari ruangan dan menutup kembali. Kemudian ia berjalan dengan cepat menuju ke dapur.
Oliv memutuskan ke kantin. Ternyata kantin di kantor ini sangatlah mewah, seakan dirinya berada di cafe luar sana. Ada prasmanan dan juga menu biasa yang disediakan. Sangat komplit. Oliv memesan minuman jus jambu dan juga cemilan. Dia langsung mencari tempat duduk di kantin tersebut. Memang sangat sepi. Tapi, ini yang dibutuhkannya saat ini. Selang beberapa menit minuman dan cemilan yang dipesan tadi akhirnya datang juga. “Silakan di nikmati ya, Nona Oliv. Semoga suka,” ucap karyawan tersebut sebelum kembali lagi. Kening Oliv mengkerut. “Kayaknya karyawan di sini juga tau deh kalau aku istri dari Nick,” gumamnya. Tak mau memikirkan yang lain, akhirnya dia memutuskan untuk memakan cemilan dengan pelan. Oliv menyadari jika dirinya menjadi sorotan karyawan di sini. Wajahnya memerah, bahkan suara kamera-pum terdengar di t
“Makasih atas kerja samanya, Nona Oliv. Semoga bisnis kita akan sukses nantinya.” Oliv menutup berkas itu. Dia meringis pelan. “Semoga aja. Makasih juga sebelumnya sudah percaya sama aku.” “Kalau masakanmu kamu tidak enak. Pasti saya tidak akan membuatkanmu cafe.” “Hum, aku hutang budi sama kamu. Semoga aku bisa membalasnya nanti.” “Tidak usah dipikirin soal itu. Ah ya, bentar. Saya ambilkan pesanan dulu, kita makan bersama.” Nick beranjak dari sana dan pergi dari ruangan tersebut. Oliv melirik ke arah ambang pintu. Dia menghela napas pelan. Tak lama kemudian, Nick kembali masuk ke dalam dan meletakkan bingkisan di meja. “Makan di sini saja. Jangan di meja kerja saya, nanti kotor,” ucap pria itu sebelum duduk di sofa khusus tamu. Oliv beranjak dari tempat duduk dan duduk kembali di sofa tersebut. Tepatnya samping Nick. “Beli apa emangnya?” “Piza, sama ayam richees. Kalau kamu mau, makan saja. Biar kamu tidak lapar lagi nanti.” “Makan mulu, nanti aku gendut gimana?” “Tandany
Oliv menghentikan langkah di ambang pintu. Kapalnya ternyata sudah jalan di tengah laut. Spontan dirinya menahan tubuhnya agar tidak terjatuh karena tidak seimbang. Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang menahan tubuhnya itu dari belakang. “Are you okay?” Suara serak itu, membuat Oliv menoleh ke samping. Dia menatap pria itu yang nampak khawatir. “Aku, nggak papa kok,” ucapnya, kemudian dia menjajarkan tubuhnya. Nick tertawa miris. “Oliv, jangan bodohi saya bisa? Saya juga pernah melihat orang seperti kamu. Orang itu takut menaiki kapal, tapi tidak tau dengan kamu. Apa kamu juga begitu, heum?” Perempuan itu terdiam sambil menundukkan kepala dan memainkan jari-jarinya di bawah sana. Nick berjalan dan berdiri di hadapan perempuan tersebut. Pria itu menggenggam kedua tangannya lembut. “Tanganmu yang sangat dingin dan wajah kamu sangat pucat. Sudah pasti kamu tidak terbiasa menggunakan kapal.” Oliv menghembuskan napas pelan. “Ya, aku ... takut sama laut.” Pria itu terdiam se
Besoknya, Oliv sudah siap dengan memakai pakaian santai, tidak lupa juga memakai cardigan panjang untuk menutupi tubuhnya. “Sudah siap? Saya menyuruh Mark menjemput kita ke sini. Mumpung dia punya waktu,” ucap Nick yang kini masih memakai jam tangan di sana.Oliv menoleh ke pria itu, kemudian ia mengangguk kecil. “Kopernya aku bawa ke luar ya?”Baru saja perempuan itu menyeret koper itu. Namun sebuah tangan menahan koper itu juga. Oliv menatap ke tangan itu, kemudian menatap ke arah pria itu. “Kamu keluar saja dulu. Biar saya yang membawanya. Kamu bawa tas selempang kamu saja.”Oliv menelan salivanya, jujur saja degup jantungnya saat ini tidak bisa dikendalikan. Perempuan itu mengangguk dan segera mengambil tas selempangnya. Kemudian bergegas untuk keluar dari apartemen itu.“Astaga, jantung aku kenapa nggak bisa diatur sih?” gumamnya sambil memegang dadanya sendiri. Oliv menghela napas kasar dan masuk ke dalam lift. Kemudian memencet tombol untuk membawanya pergi ke lantai bawah.
Setelah selesai, mereka memutuskan keluar dari tempat itu. Dan ya, Oliv menggenggam bingkisan pakaian itu dengan erat sambil melihat ke sana kemari. Melihat itu, Nick nampak bingung. “Are you okay? Apa ada yang ketinggalan?” tanya pria itu sambil melihat ke belakang. Perempuan itu menatap ke pria itu, kemudian menggelengkan kepala cepat. “Nggak, cuma–” ucapannya tergantung. Di menggigit bibirnya sendiri. ”Cuma apa?” Nick nampak menghentikan langkahnya. Oliv-pun ikut berhenti. “Aku nggak nyaman aja sama orang-orang yang bilang aku perebut pacar orang?”Pria itu nampak mengkerutkan, tak lama tertawa miris. “Hei? Tumben sekali kamu peduli sama ucapan orang disana?”Nick memegang pundak perempuan itu. “Kamu tau semuanya kan? Dan mereka tidak tau bagaimana otak Kimberly? Jadi, kamu tidak perlu memikirkan ucapan mereka, oke?”Oliv menghembuskan napas kasar, kemudian mengangguk kecil dan tersenyum lebar. “Okey, thanksyou.”Pira tersebut mengulas senyuman dan mengaitkan jari-jemari ke jar
Sebulan lebih lamanya, Oliv bertahan di kontrak ini. Tapi, untuk saat ini Nick memutuskan membawa Oliv ke apartemen pribadi sendiri. Seperti janji pria itu dari awal. Oliv melihat ke sekeliling apartemen tersebut. Dia nampak terkesima melihatnya. “Ini apartemen kamu sendiri?” Nick mengangguk kecil dan meletakkan dua koper di sana. “Iya, sebelumnya saya minta maaf kalau sudah memisahkan kamu dengan mama kamu. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Mama kamu akan aman di sana. Bibi sama supir di sana bakalan menjaganya di sana.” Perempuan itu menatap pria yang sedang membuka jaket di sana. Dia mengangguk pelan dan mengulas senyuman kecilnya. “No problem, aku percaya sama kamu.” “Oh, ya. Kalau mau berendam, kamu berendam saja. Pasti perjalanan tadi sangat lama dan tubuh kamu berkeringat kan?” Oliv menerjapkan mata pelan. “Engh–okay.” “Besok kita bulan madu, kamu siapkan semuanya.” Nick menghempaskan tubuh ke kasur empuk itu sambil menutup mata untuk menghilangkan rasa lelah. Oliv terd
Oliv segera mengalihkan pandangan, kemudian menjajarkan duduknya kembali. “Ng–nggak, aku kaget aja. Tadi musiknya terlalu keras.” Nick mendesis pelan. “Dih, bilang saja takut.” Perempuan itu hanya diam dan mencoba fokus dengan film yang terpampang di layar besar tersebut. Mereka menonton film layar lebar dengan menikmati popcorn dan juga minuman yang dibeli tadi. Ternyata film-nya semakin seram, sehingga membuat Oliv semakin mendekat ke Nick sambil meremas lengan pria tersebut. “Astaga, apa itu!” “Teman kamu tadi, cepat agak geseran sedikit bisa? Saya tidak muat di sini.” Oliv menerjapkan matanya pelan, dia melihat posisinya kembali. Kemudian bergeser sedikit. “Maaf, tadi ... reflek,” ucapnya. Setelah itu. Mereka kembali menonton dengan serius. Meskipun Oliv sangat ketakutan, perempuan itu terus menahan rasa takutnya dengan menutup matanya sendiri. Oliv mengambil popcorn dan memakannya sesekali untuk menghilangkan rasa takutnya. Tak lama, dia mengambil lagi. Namun, ternyata d
“Jangan banyak omong.” ucap pria itu menyuruhnya untuk ke belakang. Oliv melirik ke pria itu sesekali melihat dua pasangan kekasih yang sedang mencari meja makan di sana. “Are you okay?” tanyanya pelan. Nick menoleh ke samping. “Menurutmu? Kamu bawa kacamata hitam? Buat kita ke sana?”Oliv menggelengkan kepala pelan. “Nggak bawa.”Nick menghela napas pelan, sesekali memastikan dua orang tersebut masih berada di sana. “Kita beli terlebih dahulu, habis itu kita ikuti mereka,” ucap pria itu, kemudian menarik lembut tangan Oliv untuk pergi dari tempat itu. Di dalam salah satu toko. Oliv mencari dua kacamata dan juga Nick yang masih mencari topi. “Lama banget sih? Kamu ini nyari topi atau nyari istri lagi?”Pria itu meliriknya dengan datar. “Apa kamu keberatan?” ucap Nick, kemudian menuju ke kasir untuk membayar beberapa barang yang berada di sana. “Kita cari pakaian santai dan sekalian beli sepatu buatmu.”Oliv melirik ke bawah sekilas. “Hmm, yaudah. Aku juga udah nggak betah lagi pa
“Nick?”“Heumm?”“Kita mau ke mana? Bukannya ke kantor?” tanya Oliv memastikan. Dia menoleh ke samping.“Kan saya bilang ke suatu tempat.”“Nggak ke kantor?”“Lupakan masalah kantor, saya sudah menyuruh seseorang menhandle kantor saya.”“Terus? Kenapa kamu nyuruh aku pakai pakaian rapi kayak gini?”“Apa kamu tidak suka?”Oliv terdiam sejenak, kemudian menghela napas pelan. “Humm, sekali lagi aku tanya ke kamu. Kita mau ke mana?”Nick tidak menjawabnya. Alhasil, Oliv menyerah untuk bertanya kepada Nick. Dia menyandarkan punggungnya di sofa dengan santainya sembari menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan. “Kamu suka film horor kan?”Kening Oliv mengkerut, dia menoleh ke Nick kembali. “Suka, tapi tergantung film-nya sih.”“Berani?”“Berani, mau nonton?”Nick menoleh ke samping, kemudian mengangguk kecil. “Mau temani saya nonton film horor?”Oliv menggembungkan pipinya. Tak mau menolak, akhirnya dia mengangguk kecil. “Boleh, nanti kita lihat jam tayangnya dulu. Nggak mungkin juga kan
Oliv membuka mata perlahan. Dia memincingkan matanya karena pancaran sinar matahari mengenai matanya. “Jam berapa ini?” gumamnya. Ia melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Perempuan itu menguap pelan dan baru menyadari posisinya sekarang berada di dekapan pria yang masih tidur itu. Kening Oliv mengkerut, dia terus memandangi wajah tampan pria tersebut. Sangat damai, seakan tidak ada satupun permasalahan yang dipikirkan saat ini. “Lebih baik dia seperti ini daripada seperti kemarin. Aku nggak tega kalau lihatnya,” gumamnya.Oliv melihat ke tangan pria itu yang masih stay memeluk tubuh kecilnya. Senyuman kecil lolos keluar dari mulutnya. “Pantas saja hangat,” gumamnya. “Tapi, nggak mungkin juga aku mengganggu dia bangun.”Oliv menatap pria itu kembali. Dengan perlahan, perempuan itu melepaskan pelukan pria itu. “Jangan pergi, temani saya,” ucap pria itu lirih. Perempuan itu sempat diam dan menatap pria itu yang ternyata masih tidur. “Aku di sini. Kamu lanjutkan ti
“Hallo, Ma. Ini Oliv. Ma, tenangin pikiran Mama dulu. Nick akan menjelaskan semuanya di rumah, okay.”‘Cepat balik. Bawa Nick ke rumah!’ ucap mama Nick sebelum mematikan telepon dari sana. Oliv terdiam, dia menghela napas pelan dan memberikan ponselnya kembali ke pria yang berada di sampingnya itu. “Kamu harus menjelaskan dengan benar. Jangan ditutupi.”Nick hanya diam. Setelah sampai di kediaman rumah Nick. Mereka segera masuk ke dalam sana. Dan ya, benar sana mama Nick mendekat ke arah mereka. Satu tamparan keras mengenai pipi Nick. Mulut Oliv spontan ditutup karena shock. “Bilang sama Mama, kalau berita itu tidak benar, Nick!”Nick nampak memalingkan wajah dan hanya diam di tempat. Oliv tidak bisa diam, dia harus bicara yang sebenarnya. “Ma–”“Stop, bicara, Oliv. Ini salah Nick, harusnya dia yang menjelaskan apa yang terjadi sama dia.”Oliv terdiam sejenak dan menghela napas pelan. Dia menoleh ke samping sambil memegang lengan pria itu. “Nick?”Nick mendongakkan kepala, tangan