Mila masih tidak menjawab karena ragu. Dia bahkan tak berani menatap pada Anna.Anna semakin yakin jika ada seseorang di belakang Mila, sehingga Anna berusaha untuk kembali meyakinkan.“Bu, ini demi kebaikan Ibu. Jika memang ada yang menghasut Ibu untuk melakukan semua itu, lebih baik Ibu jujur saja,” ujar Anna, “memangnya Ibu mau mendekam di penjara atas kesalahan yang Ibu perbuat karena hasutan orang?”“Tidak ada yang menghasutku. Aku memang kesal dan ingin kamu malu,” elak Mila.“Jujur saja, Bu.”Suara lain di ruangan itu membuat Anna, Kai, dan Mila terkejut.Mereka secara bersamaan menoleh ke arah pintu. Nindy berdiri di sana sedang menatap pada Mila, lalu wanita itu berjalan menghampiri mereka.“Apa yang kamu katakan?” tanya Mila dengan ekspresi panik dan terkejut.“Sudahlah, Bu. Jujur saja, apa lagi yang Ibu takutkan?” Nindy berdiri di samping kursi Mila. Dia menatap sang ibu agar mengikuti keputusannya.Anna dan Kai mengamati, keduanya memperhatikan Nindy dan Mila yang saling t
Sepanjang perjalanan pulang, Anna memandangi flashdisk yang didapat dari Nindy.“Aku akan meminta pengacara datang untuk ikut melihat bukti yang Nindy berikan, baru kemudian kita laporkan ke polisi untuk barang bukti,” ucap Kai saat menyadari jika Anna hanya diam.Kai tidak langsung memberikan bukti yang didapat pada polisi karena harus melihat lebih dulu dan membuat salinannya untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan.“Semoga apa yang Nindy berikan memang bukti yang sebenarnya,” ucap Anna penuh harap.Sesampainya mereka di rumah. Anna baru saja masuk rumah bersama Kai saat melihat Stefanie keluar dari kamar membawa koper besar.“Kalian sudah pulang,” ucap Stefanie menghampiri Anna seraya menyeret kopernya.Anna menatap heran. Dia memandang koper milik Stefanie, lalu beralih menatap pada ibunya itu.“Mama mau ke mana?” tanya Anna.Stefanie menoleh sejenak pada Kai, lalu memandang pada putrinya yang memang belum tahu soal rencananya yang ingin pulang.“Mama harus pul
Stefanie baru saja turun dari pesawat. Dia langsung mengirimkan pesan untuk Anna, lalu menghubungi sahabatnya.“Kamu sudah sampai?” tanya seorang wanita dari seberang panggilan.“Iya, aku akan segera ke rumahmu,” jawab Stefanie seraya berjalan menarik kopernya.“Lebih baik kamu selesaikan urusan dengan keluargamu dulu, Fan. Suamimu mencarimu ke sini, dia berpikir kalau kamu bersembunyi di sini karena kamu tak membalas panggilan atau pesannya.”Stefanie menghentikan langkah. Ponsel masih menempel di telinga. Dia diam sejenak, lalu membalas, “Bukti yang kuminta aman, kan?”“Kamu tenang saja, semua aman,” jawab sahabat Stefanie dari seberang panggilan.Diam sejenak memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi, Stefanie berkata, “Akan kukirim nomor seseorang, jika dalam satu kali dua puluh empat jam aku tidak menghubungimu, kirim bukti yang kuminta ke nomor itu.”“Fanie.”Stefanie mendengar suara sahabatnya yang berbalut kecemasan. Dia tersenyum lalu meyakinkan.“Aku akan baik-baik saj
Stefanie keluar dari rumah ayahnya. Dia menyeret kopernya menuju jalan raya lalu mencari taksi. Stefanie tak langsung pulang ke rumah yang ditinggalinya dengan sang suami, dia memilih pergi ke rumah Fransisca, sahabat yang sangat dipercayainya sejak masih muda.Begitu sampai di rumah Fransisca, Stefanie langsung masuk dan menemui sahabatnya itu.“Syukurlah bisa melihatmu di sini,” ucap Fransisca yang langsung memeluk Stefanie.Stefanie pun lega. Dia juga sempat cemas dan takut kalau ayahnya menahan dia untuk pergi.“Kamu sudah menemui ayahmu?” tanya Fransisca lalu mengajak Stefanie duduk.“Ya,” jawab Stefanie, “seperti tebakanku, Papa tetap tidak menerima,” imbuhnya.Fransisca menatap simpati. Dia ikut sedih melihat masalah yang sedang Stefanie alami.“Kamu sudah menemui suami dan anakmu? Berita klarifikasi yang kamu lakukan sudah menyebar luas, selain suamimu, beberapa kolega juga menghubungiku dan bertanya soal pernyataan yang kamu buat,” ucap Fransisca seraya menatap iba pada Stefa
Hari berikutnya. Rachel sedang bersiap-siap ke kantor. Ekspresi wajahnya begitu datar. Dia masih tidak terima dengan pernikahan Kai dan Anna, ditambah fakta jika Anna adalah putri dari pengusaha kaya.Rachel menatap bayangannya dari pantulan cermin. Dia diam sejenak, lalu mengambil tasnya dari atas sofa.Saat akan keluar dari kamar, Frederic masuk ke kamar Rachel dengan ekspresi wajah serius.“Kamu terlibat apa, hah?”Rachel sangat terkejut. Apalagi ayahnya bicara dengan nada tinggi.“Terlibat apa maksud Papa?” tanya Rachel sambil menyematkan tali di pundaknya.“Ada polisi di bawah mencarimu. Kamu sudah melakukan apa?” tanya Frederic murka.Rachel semakin terkejut, bahkan kepanikan kini begitu kentara di wajahnya.“Papa bilang apa ke polisi?” tanya Rachel sambil meraih tangan sang papa.“Memangnya papa harus bicara apa kalau tidak tahu masalahnya?” jawab Frederic. “Lebih baik sekarang kamu temui mereka dan selesaikan masalahmu,” ucap Frederic.Rachel ketakutan. Dia menggenggam telapak
Anna meletakkan ponsel setelah panggilannya dengan Nindy berakhir. Dia meletakan ponsel di meja untuk kembali menyantap sarapannya.“Ada apa?” tanya Kai seraya meletakkan alat makan karena sudah selesai sarapan.“Nindy, dia takut kalau kita melaporkannya karena dia didatangi polisi,” jawab Anna.Kai mengangguk-angguk. Dia terpaksa melibatkan Nindy karena di rekaman suara yang dijadikan bukti, ada suara Nindy.Kai menunggu Anna selesai sarapan, setelahnya mereka keluar dari rumah untuk berangkat ke perusahaan.Saat baru saja masuk mobil, Kai mendapat panggilan dari Tian. Dia pun segera menjawab panggilan itu.“Pak, pagi ini polisi langsung bergerak ke rumah Rachel untuk menangkapnya. Tapi ada sedikit masalah.”Kai menatap datar, dia menebak Rachel kabur.“Masalah apa? Apa wanita licik itu melarikan diri?” tanya Kai dengan ekspresi tak senang.“Tidak, Pak,” jawab Tian dari seberang panggilan, “Pak Frederic terkena serangan jantung, sehingga penahanan Rachel ditangguhkan atas dasar keman
Stefanie memandang pada Alex yang menatap kecewa padanya. Dia menghela napas pelan, lalu mencoba mendekat pada Alex.“Kenapa Mama melakukan ini pada kami?” tanya Alex penuh kekecewaan.“Dengarkan mama dulu, Lex,” ucap Stefanie, “di mana papamu, mama ingin bicara dengan kalian membahas masalah ini,” ujar Stefanie lagi penuh kesabaran menghadapi putranya itu.“Apa lagi yang mau dibahas? Jika Mama menyayangi kami, seharusnya Mama tidak melakukan itu,” ucap Alex.“Lex.” Suara Reino membuat Alex dan Stefanie memandang bersamaan ke sumber suara.Stefanie menatap sang suami yang kini memandangnya. “Kamu baru pulang? Kita bicara dengan tenang,” ucap Reino lalu berjalan menuju ruang keluarga.Alex menatap dingin pada sang mama, lalu segera menyusul sang papa.Stefanie menghela napas pelan. Dia sadar jika sudah salah dengan mengabaikan semua pesan dan panggilan dari Reino. Stefanie harus menghadapi masalah ini.Stefanie menyusul ke ruang keluarga. Alex dan Reino sudah duduk menunggunya di sana
Saat siang hari. Kai pergi ke rumah sakit untuk memastikan apakah Frederic benar-benar terkena serangan jantung atau hanya alibi agar Rachel tidak diseret ke penjara.Saat sampai di rumah sakit. Kai bertemu dengan polisi yang berjaga di sana.“Selamat siang, Pak Kai,” sapa polisi.“Selamat siang,” balas Kai. Dia menoleh ke pintu perawatan yang ada di sisi kirinya, lalu kembali memandang pada polisi.“Kami melakukan penangguhan penahanan pada saudari Rachel. Pengacara terduga juga mengajukan surat jaminan agar saudari Rachel tidak ditahan selama ayahnya dirawat di rumah sakit mengingat kalau Rachel satu-satunya anak dan keluarga dari pasien.”Kai sudah menduga Rachel akan mengulur waktu. Dia mengangguk menghormati polisi yang sudah bekerja sebagaimana mestinya.Kai meminta izin masuk ruang inap Frederic, tentu saja tujuannya bukan untuk bersimpati, tapi untuk memperingatkan Rachel.Saat baru saja masuk, Kai langsung mendapat tatapan tajam dari Rachel.“Apa lagi yang mau kamu lakukan, h
Anna diam mendengar ucapan Alex. Benar, mungkin dia masih bisa mengatasi Alex, tapi tidak yakin bisa mengatasi kakek mereka. Jika Stefanie saja tak bisa melawan kakeknya itu, apalagi Anna.Namun, meski begitu apa Anna harus mundur? Tidak, dia takkan mundur. Dia harus mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan, ibunya!“Kenapa diam? Kamu gemetar? Lebih baik urungkan niatmu itu dan pergilah, kembali ke suamimu. Bukankah kamu sudah punya suami kaya yang bisa memberimu segalanya, untuk apa lagi kamu masih berharap pada mamaku, apa harta yang suamimu beri masih kurang?”Anna mengepalkan erat telapak tangannya. Apa Alex sedang menghinanya? Menganggapnya hanya menginginkan harta sang mama. Menebak apa yang ada di pikiran sang adik, Anna tersenyum miring.“Apa? Kenapa kamu tersenyum seperti itu?” tanya Alex mendadak ngeri melihat senyum Anna yang berbeda.Anna menarik tangannya dari tepian meja, tatapannya begitu tajam pada Alex.“Sepertinya pikiranmu memang selalu buruk, Alex. Bagaimana kal
Anna keluar dari lift dan berjalan di koridor menuju ruangan Alex. Kedatangan Anna di sana menarik perhatian para staff yang ada di lantai itu.Anna berjalan dengan gaya anggun meski sebenarnya gugup. Dia tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian seperti ini.“Silakan, ini ruang kerja Pak Alex,” kata office boy yang mengantar.Anna mengangguk. Dia ingin meraih gagang pintu, tapi lebih dulu ada staff yang mencegah.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji dengan Pak Alex?” tanya staff itu yang ternyata sekretaris Alex.Anna ingin menjawab tapi office boy yang bersamanya sudah lebih dulu menjawab.“Pak Alex sudah mengizinkan Nona ini ke ruangannya, lebih baik jangan dipermasalahkan lagi,” kata office boy itu.Sekretaris itu memerhatikan penampilan Anna, lalu akhirnya mengizinkan Anna masuk.Anna akhirnya masuk ke ruangan Alex. Dia melihat adiknya itu berdiri di dekat jendela memunggungi pintu. Anna berjalan perlahan menghampiri Alex, hanya terdengar suara langkah kaki sepatunya menggema di
Anna dan Kai pergi ke perusahaan milik Reino. Mereka di mobil yang terparkir di seberang jalan perusahaan, mengamati aktivitas yang terjadi di luar perusahaan itu.“Kamu benar-benar mau menemui Alex?” tanya Kai memastikan. Dia menatap Anna yang duduk di kursi samping kemudi.Anna tak langsung menjawab. Dia masih mengamati tempat itu.“Mau tidak mau, aku harus menemuinya, Kai.” Anna akhirnya bicara, tatapannya sudah beralih ke suaminya itu. “Aku tidak mau harta mereka, aku hanya ingin hakku sebagai anak.”Kai selalu yakin kalau Anna tidak matrealistis. Kai mendukung keinginan Anna itu.“Aku akan menemanimu menemuinya,” kata Kai.Anna menggeleng. “Ini urusan keluarga, aku akan menghadapinya sendiri.”“Kamu yakin?” tanya Kai memastikan. Takut kalau terjadi sesuatu pada Anna jika tak berada dalam pengawasannya.Anna mengangguk mantap. “Aku bisa mengatasinya.”Kai ragu, tapi karena Anna memaksa pergi sendiri, akhirnya Kai mengizinkan tapi tetap mengawasi.Anna turun dari mobil. Dia berjala
Saat siang hari. Pelayan Fransisca memanggil Anna dan Kai untuk bergabung di ruang makan.Anna dan Kai mengikuti langkah pelayan itu sampai mereka tiba di ruang makan. Fransisca sudah menunggu mereka dan tersenyum melihat kedatangan Anna dan Kai.“Ayo, duduklah. Kita makan siang dulu,” ajak Fransisca mempersilakan.Anna mengangguk. Dia duduk bersama Kai lalu pelayan mulai melayani mereka.“Aku tidak tahu makanan kesukaanmu, jadi aku harap kamu tidak kecewa dengan menu yang disajikan,” ucap Fransisca sebelum memulai makan siang.Anna menggeleng pelan. “Aku tidak pilih-pilih makanan, Bi.”“Baguslah.” Fransisca terlihat senang.Mereka makan siang bersama, tidak ada pembahasan apa pun saat di meja makan. Anna juga tidak berani membuka pertanyaan karena takut menyinggung.Setelah makan, Fransisca mengajak Anna dan Kai duduk di ruang keluarga.Anna masih menunggu sampai Fransisca memulai pembicaraan.“Aku bertemu mamamu sekali saja setelah dia dipindah ke sini. Setelahnya aku tidak tahu bag
Keesokan harinya. Anna dan Kai naik pesawat penerbangan pagi menuju kota tempat Stefanie tinggal. Anna duduk di dekat jendela sambil memandang ke luar pesawat yang masih menunggu lepas landas.Kai melihat Anna yang hanya diam. Dia meraih telapak tangan Anna, lalu meletakkannya di pangkuan.“Memikirkan apa?” tanya Kai saat Anna menoleh padanya.Anna menggeleng pelan. “Entahlah, banyak sekali yang memenuhi kepalaku sekarang. Rasanya seperti mau meledak.”Kai mengusap lembut rambut Anna. Menghadapi masalah keluarga memang lebih berat daripada masalah perusahaan, tentu Kai memahami posisi Anna saat ini.“Kita berusaha menemui mamamu, tapi apa pun hasilnya nanti, kuharap kamu jangan bersedih berkepanjangan,” kata Kai tidak ingin Anna terlalu kecewa.Anna mengangguk pelan. “Aku hanya mau memastikan Mama baik-baik saja, bisa melihatnya sekali saja untuk mengobati rindu, setelahnya aku pasrah walau aku masih berharap bisa bersama Mama lagi.”“Aku tahu,” balas Kai, “tapi semua di luar kehendak
Kai sangat mencemaskan kondisi Anna, apalagi wajah Anna memang sangat pucat.“Ayo ke rumah sakit,” ajak Kai sambil menggenggam telapak tangan Anna.Anna menatap Kai yang panik, dia mencoba tersenyum untuk menenangkan.“Tidak usah, lagian ini pusing biasa. IGD tidak menerima pasien yang hanya masuk angin,” seloroh Anna diakhiri tawa kecil meski wajahnya pucat.Kai menatap tak senang karena Anna menyepelekan kondisi kesehatan.“Masuk angin pun, kalau salah penanganan, bisa membahayakan, paham.” Kai kukuh ingin membawa Anna ke rumah sakit.Anna menatap dalam pada suaminya, dia mencoba memahami kecemasan yang sedang Kai rasakan.Anna tersenyum kecil. “Begini saja, kalau besok pagi kondisiku masih kurang baik, kita ke rumah sakit, ya.”Kai menatap ragu, tapi karena Anna tidak mau pergi sekarang, dia akhirnya mengalah,“Baiklah, kalau nanti malam kamu merasa sakit, kita harus pergi memeriksakannya,” ucap Kai mengalah.Anna mengangguk-anggukkan kepala.“Aku mau mandi dulu,” kata Anna siap be
Saat sore hari. Anna dan Kai pergi ke kantor polisi setelah mendapat informasi soal penetapan tersangka pada Justin.Anna sangat syok, dia tak menyangka Justin benar-benar terlibat kasus yang menjerat Rachel.Anna dan Kai sudah menunggu di ruang kunjungan, lalu beberapa saat kemudian Justin masuk ruang kunjungan dengan kedua tangan terborgol.Justin tersenyum pada Anna, lalu duduk berhadapan dengan Anna tapi tak bersikap ramah pada Kai.“Kamu benar-benar terlibat?” tanya Anna tak menyangka.Justin tersenyum tipis. “Aku sudah janji akan menjawab jujur, aku hanya berusaha jujur.”“Aku tidak terkejut,” ucap Kai.“Aku tidak meminta pendapatmu,” balas Justin ketus, “aku hanya berusaha menepati janjiku pada Anna.”Kai kesal. Dia menatap tajam pada Justin, apa Justin menyukai Anna?Anna benar-benar masih tak percaya, dia benar-benar tidak pernah membayangkan jika Justin benar-benar terlibat.“Bagaimana bisa?” tanya Anna meminta penjelasan.Justin mengalihkan pandangan dari Kai pada Anna. Dia
“Tunggu.” Anna mencegah Justin yang mau ikut polisi.Justin menghentikan langkah. Lalu membalikkan badan ke arah Anna begitu juga dengan polisi.“Ada apa?” tanya Justin sambil menatap Anna. Tatapan matanya memperlihatkan jika dia tak marah sama sekali pada Anna.Anna menghampiri Justin, dia berdiri tepat di hadapan atasannya itu.“Aku tidak tahu kamu bersalah atau bukan, aku hanya berharap kamu tidak terlibat karena meski mungkin kamu membenciku karena suamiku, tapi aku menganggapmu pria baik,” ucap Anna.Anna hanya tak ingin menambah musuh. Jika bisa dicegah dengan sikap baik, maka Anna akan berusaha meminimalisir kemungkinan Justin membencinya dan Kai.Justin tersenyum getir, dia tak menyangka jika Anna menganggapnya baik padahal awalnya Justin ingin memanfaatkan Anna.“Aku akan bicara jujur menjawab semua pertanyaan polisi,” ucap Justin, “terima kasih sudah memercayaiku,” imbuhnya.Anna mengangguk, lalu dia membiarkan Justin pergi dengan polisi.Semua staff di sana berdiri karena t
Di kota tempat Stefanie tinggal. Dia masih dirawat di rumah sakit yang dijaga ketat oleh beberapa bodyguard. Bahkan Reino dibuat tak bisa keluar masuk sembarangan, Reino ikut dipantau oleh pengawal bayaran Abraham.“Apa kamu anggap mamamu ini sebagai tahanan, Alex? Bagaimana bisa kamu memperlakukanku seperti ini?” Stefanie menatap datar pada Alex.Stefanie terkejut saat mengetahui kalau sudah dipindah kota saat pertama kali membuka mata. Bahkan saat dia menanyakan keberadaan dan kabar Anna, Alex langsung membentaknya.“Ini demi kesembuhan Mama, sebaiknya Mama nurut apa kata dokter agar pemulihan kesehatan Mama lebih cepat,” ucap Alex dengan tenang.Stefanie benar-benar tidak tahu, kenapa Alex berbuat demikian.“Apa kamu bahagia melihat mama terkurung di sini seperti orang yang sedang dihukum?” tanya Stefanie dengan tatapan dingin pada Alex.Alex tetap tenang. Dia membuka penutup tempat makanan milik Stefanie, lalu mengambil sendok.“Makanlah dulu,” kata Alex.Stefanie benar-benar tak