"Apa yang terjadi?" Buru Megan begitu masuk ke kamar yang disediakan pihak hotel untuk para kru film."Meg, tenang dulu." Tahan Baron. Meski hanya mendengar sepenggal penjelasan dari Nesa tapi dia bisa menebak keseluruhan alur cerita yang membuat Zian begitu terpukul dan sedih.Di atas ranjang, Zian berbaring di bawah selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Suara isakan perih masih terdengar cukup jelas bagi orang-orang disekitarnya."Kita di luar aja ya. Biar Nesa yang menemani Zian," ajak Baron. Walaupun Megan menolak tapi Baron tetap menarik tangannya."Biarkan saja dulu. Kita tak bisa memaksanya dalam kondisi seperti itu," cegah Baron saat Megan ingin kembali masuk dan memaksa Zian bicara."Setiap orang punya caranya sendiri untuk bangkit dari keterpurukan," ujar Baron mengingatkan.Megan mendesah pelan. "Baiklah." Putusnya dan melepaskan tangan dari kenop pintu."Kita ke pantri hotel aja, cari makanan. Aku lapar," keluh Megan."Bukan ide buruk," angguk Baron setuju.Keduanya me
"Kalian harus nemanin aku ke resepsi pernikahan Rika."Megan dan Nesa yang tengah berkutat dengan poster yang harus segera di tanda tangani para artis, langsung tercengang dengan kalimat yang tiba-tiba dilontarkan Zian."Apaan sih? Datang-datang malah ngajak ke resepsi mantan. Belum cukup apa semalaman aku nemanin kamu ngegalau," cerocos Nesa. "Telinga ku masih berdinging sampe sekarang," imbuhnya menambah deret keluhan.Zian mencampak pantatnya ke kursi dan kembali menekuk wajahnya ke dalam lipatan tangan.Megan menghela napas panjang. "Buat apa kamu kesana? Mau ngerusak acara lagi?" "Aku cuma mau melihat Rika untuk terakhir kalinya, Meg. Sebelum dia menjadi milik orang lain seutuhnya." "Kamu terlambat, itu acara resepsi. Akad nikahnya udah selesai, otomatis Rika udah jadi istri orang," cela Megan dengan nada sadis."Hiks." Isak Zian yang kembali menenggelamkan dirinya dalam duka."Aahhh!"Nesa tiba-tiba berteriak dan melempar tumpukan poster yang telah di susun, hingga berserakan
"Allen, kamu udah ngajuin izin cuti?" tanya Riley begitu membuka pintu ruang kerja Allen.Pria yang tengah menempelkan wajahnya di atas meja hanya melambaikan tangan lemah. "Ntar aja," sahut Allen malas.Riley menaikkan alisnya. Menutup pintu dan duduk di sofa. Ia menyilangkan kakinya, mencari posisi nyaman sambil menikmati kopi yang ia bawa."Bukannya kemarin kamu semangat mau ngajuin cuti untuk mengunjungi orangtua mu?"Allen mengangguk lemah. Bangkit dari kursi dan menyeret tubuhnya duduk di samping Riley."Rey, sebenarnya apa masalah yang dimaksud istrimu?" tanyanya sambil menyandarkan kepalanya di pundak Riley."Kenapa tiba-tiba jadi ngebahas Megan?""Sejak pulang dari konferensi pers, Baron selalu menolak untuk bertemu denganku," lirih Allen.Riley mendesah pelan. "Allen, berapa lama kamu kenal Baron?""Sebulan, dua bulan?"Allen mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya. "Kurang lebih sama dengan kkamu mengenal Megan," sahutnya bingung."Megan sudah mengenal Baron semasa hid
"Meg," panggil Riley. Ia berjalan masuk melewati beberapa meja yang di isi oleh deretan kru film."Sayang." Megan merentangkan tangannya untuk menyambut kedatangan suaminya. Ia melirik sekilas Allen yang berjalan dengan tampang lesu, mengikuti langkah Riley."Kangen?" sambut Riley sambil mencium rambut istrinya.Megan mengangguk sambil memeluk erat pinggang suaminya. "Udah makan?""Tadi aku udah makan siang sama klien." Riley melirik meja panjang penuh dengan berbagai hidangan berbahan dasar seafood. "Apa kalian mengadakan pesta?""Awalnya cuma makan-makan aja tapi entah sejak kapan berubah jadi pesta," jelas Megan sambil mengaruk tekuknya."Salahkan pria itu," tunjuk Zian. ia mendesis kesal karena Kevin membuat acara makan siangnya kacau."Dia mengundang seluruh kolega nya ke tempat ini," protesnya. Namun segera ikut bergabung begitu salah satu wanita melambaikan tangan padanya."Kenapa?" Bisik Riley.Megan memutar jarinya membentuk lingkaran di udara. "Semuanya dia yang bayar," j
Allen mengikuti langkah kecil yang hanya berjarak dua langkah di depannya. Matanya menatap punggung yang selama beberapa bulan terakhir selalu diamatinya. Tak ada yang spesial dari pertemuan keduanya. Bahkan, di awal pertemuan keduanya sulit untuk di kategori baik. Sosok mungil itu menatapnya dengan bola mata penuh, bak musuh bebuyutan.Lalu, sejak kapan semuanya berubah? Mungkin sejak keduanya sadar, mereka tak lagi bisa masuk ke dalam lingkaran para sahabat. Megan dan Riley telah membangun ikatan keluarga yang membuat keduanya tak terpisahkan. Sedangkan ia dan Baron, kini hanyalah sosok-sosok yang berada di luar lingkaran. Karena itulah, keduanya merasa senasib sepenanggungan hingga membentuk koalisi yang semakin hari membuat hubungan mereka semakin baik.Apakah itu benar adanya? Entahlah, hingga saat ini Allen hanya merasakan satu hal. Ia nyaman saat bersama dengan Baron. "Mau sampai kapan kamu mengikuti ku?" Sepenggal pertanyaan itu menyadarkan Allen sari lamunannya. Ia tersen
"Beneran nih?" Ulang Nesa untuk ke sekian kalinya.Empat orang yang duduk di dalam mobil memilih diam dan mengalihkan perhatian mereka keluar jendela mobil."Zian, kamu yakin mau masuk?"Nesa menatap Zian ragu. "Disana bakal rame loh. Ada Ibunya Rika juga," ujarnya mengingatkan."Yaiyalah, mereka yang punya hajatan," sembur Megan. "Masa iya, emaknya holiday pas anaknya gelar resepsi."Baron yang duduk di bangku belakang, diantara para wanita segera menyodok pinggang Megan. Menghalaunya untuk kembali berdebat dengan Zian."Zie, kita pulang aja ya?" bujuk Baron. "Kasihan Rika kalau melihatmu seperti ini."Nesa dan Megan saling bertukar pandangan sambil berdoa penuh harap. Biasanya, saat Baron mulai melancarkan bujukan mautnya dengan menambah panggilan kecil, Zian akan luluh dan menurut."Nggak. Aku harus datang dan melihat langsung hari bahagia Rika. Kami sudah lama bersama dan aku tidak ingin mengecewakannya di saat-saat terakhir kami," tuturnya dengan suara sengau.Megan mendesis kesa
"Apa ini? Cemburu?" Kekeh Riley.Megan menautkan alisnya dan memicingkan mata. "Apa terlihat seperti itu?" sindirnya sengit.Riley memeluk tubuh yang belakangan ini terlihat lebih berisi. "Iya dan aku sangat bahagia." ucapnya sambil mengecup puncak kepala Megan lalu turun ke tekuknya.Menghirup aroma yang selalu dirindukannya."Rey, aku serius," protes Megan. "Aku juga serius, Sayang," balas Riley. Ia mengangkat tubuh Megan lalu berjalan ke sofa panjang, duduk di sana dengan Megan di atas pangkuannya."Rey, Bisakah kamu tidak dekat-dekat dengan Irene?" Pinta Megan."Lagipula dia itu asisten Allen, kenapa aku lebih sering melihatnya bersamamu daripada Allen?""Itu karena kamu selalu datang pada saat Allen cuti. Jadi otomatis, Irene akan melaporkan semua pekerjaannya langsung padaku," jelas Riley.Tangan Megan menyusuri rahang suaminya. Belakangan ini ia selalu ingin menyentuh tubuh kekar Riley, seolah menjadi candu baginya."Tapi, aku nggak suka," keluhnya smabil mengalungkan tangan
"Sayang, bagaimana sandwichnya? Kamu suka?"Riley menghapus jejak mayonaise di sudut bibir istrinya."Enak, Rey." Sahut Megan ceria. "Kamu sering makan disini?""Allen dan Baron." tukas Riley. "Mereka berdua yang sering makan di restoran ini," jelasnya.Megan mendesah pelan. "Bagaimana kondisi Allen?""Entahlah. Dia menolak untuk membahas apapun selain pekerjaan. Dia juga memperpanjang masa cutinya.""Separah itu?"Riley tersenyum maklum. "Meskipun terlihat slebor tapi Allen pribadi yang sensitif. Saat dia mengizinkan seseorang masuk dalam hidupnya maka akan sulit baginya untuk melepaskan.""Bagaimana dengan Baron?" tanya Riley balik."Tak beda jauh. Meski kerap tertawa tapi dia tidak bisa membohongi orang-orang disekitarnya bahwa hatinya bersedih.""Kami sering memergokinya melamun. Bahkan para karyawan melarangnya mendekati cafe karena Baron seringkali salah membuat pesanan."Riley mengangguk paham. "Mungkin keduanya butuh lebih banyak waktu.""Ini salah ku," sesal Megan. "Seharusny