"Ploy." panggil Zian. "Kamu merekam foot path 'kan?""Iya, tadi aku mengambil beberapa jejak video untuk opening," sahut pria yang telah lima tahun berpengalaman menjadi kameraman dalam tim produksi film.Zian mengangguk puas. "Ayo kita lihat."Ploy—sang kameraman membuka laptop dan menghubungkannya dengan kamera yang digunakannya siang tadi."Putar di waktu kejadian," perintah Zian."Maksudmu waktu mobil putih itu melaju ke arah Megan?"Zian mengangguk. "Kamu merekamnya 'kan?"Ploy tak menjawab. Ia bangkit menuju ruang ganti dan kembali bersama kamera lainnya. Ia membongkar setelan awal dan kembali menyambungkan kamera lainnya ke laptop."Sebelum syuting di mulai, aku meletakkan kamera cadangan di tripod untuk jaga-jaga bila ada adegan yang terlewat. Kamera ini merekam dengan jelas apa yang dilakukan SUV itu sejak awal kita memulai syuting," jelas Ploy."Bagus." Zian tersenyum puas sambil mengacungkan kedua jempolnya."Mari kita lihat, apa sebenarnya yang dilakukan SUV ini," ujar Zia
"Sayang, kamu baik-baik saja?"Riley menatap cemas istrinya yang sejak beberapa menit lalu hanya terpaku, tampak enggan untuk beranjak. Melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobil."Katanya kamu mau pulang?"Megan menatap Riley dengan mata bergetar. "A—aku,""bisakah kita pulang dengan kendaraan lain," pintanya."Kamu tidak ingin naik mobil?" tebak Riley."Hmm." Riley mengangguk paham. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dengan sebelah tangan tanpa melepaskan genggamannya dari tangan sang istri."Allen, aku menunggu di landasan. Suruh mereka bergegas," ujarnya—bicara melalui ponsel."Ayo.""Mau ke mana?" tanya Megan karena tiba-tiba Riley mengajaknya kembali masuk ke dalam gedung rumah sakit dan menuju lift.Riley mengandeng tangan Megan erat. "Karena kamu tidak ingin naik mobil, kita akan menempuh jalur lain untuk pulang," jelasnya."Jalur lain?""Yah." Riley masih saja bersikap misterius hingga pintu lift terbuka di lantai teratas gedung."Kita pulang pakai ini saja," tunjuknya p
Baron memegang telepon di telinga dan menunggu dengan harap cemas, dia mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya beberapa kali untuk menghilangkan perasaan gugup. “Meg, kamu dimana?” Tembaknya langsung begitu nada sambung berganti dengan suara yang sangat dikenalinya."Di lokasi. Hari ini ada pengambilan scene yang tertunda.""Apa kamu kembali ke kantor?" Kecemasan Baron meningkat kala bayangan Daniel dan Ibunya yang bisa saja datang menghampiri Megan selama di lokasi."Hmm, mungkin. Kalau syutingnya berakhir lebih cepat, aku akan kembali ke kantor untuk revisi naskah scene selanjutnya.""Kenapa?"Baron mulai bisa mendengar nada curiga di balik pertanyaan Megan."Tidak, tidak ada apapun. Aku hanya ingin mendiskusikan sesuatu dengan mu," kilah Baron. Berharap Megan tak menyadari getaran di balik suaranya."Hmm. Aku akan usahakan kembali secepatnya."Setelah suara Megan menghilang dari balik speaker ponselnya, Baron baru bisa menghela napas panjang. Namun tak lama, ketakutannya kembali.
"Lepas! Apa-apaan kamu, Daniel?" Sentak Baron marah karena Daniel tiba-tiba muncul dan menyeretnya pergi begitu saja."Lepaskan tanganmu!"Daniel mendesah panjang. Meremas rambut depannya gemas. "Baron, aku minta padamu. Jangan katakan apapun pada Megan.""Kenapa aku harus mendengarkan mu?" Tantang Baron. "Kenapa? Kamu takut Megan tahu siapa kamu sebenarnya?""Bukan itu yang aku takutkan. Aku hanya tak ingin Megan membenci ku dan Mama."Baron melengos. "Kamu terlambat, Daniel. Dalam hidupnya, orang yang paling di benci Megan adalah wanita yang melahirkan dan menelantarkannya begitu saja seperti sampah di jalanan."Daniel tercengang. "Mamaku tak seburuk itu," gumamnya terbata."Kamu lahir dalam keutuhan keluarga tapi tidak dengan Megan. Aku tahu jelas, bagaimana Megan menolak semua orang yang ingin mengadopsinya karena dia masih berharap wanita itu kembali menjemputnya seperti yang dituliskan dalam surat yang ditinggalkan.""Tapi—"Baron terdiam sejenak. Menelan pil pahit yang tersangk
"Sayang."Riley membuka pintu kamar, melongokkan kepalanya ke dalam lalu kembali menutup dengan wajah resah.Ia telah memeriksa setiap sudut rumah namun tak juga menemukan istrinya. Seharusnya, Megan tiba lebih cepat darinya. Mereka punya janji makan malam bersama dan Megan bilang dia akan pulang lebih awal untuk bersiap-siap.Riley mengeluarkan ponselnya, menekan angka satu disana.'Mailbox?' batinnya gelisah. Keningnya berkerut dalam karena hanya mendengar suara operator saat menghubungi nomor ponsel Megan.Riley beralih ke laman kontak, mencari nama 'Adik galak!' dalam daftar kontak."Apa?"Riley tersenyum maklum. Kini dia tak lagi mempermasalahkan setiap kali mendengar suara ketus Baron saat bicara dengannya."Apa Megan bersamamu?" tanya Riley. Mengatur nada suaranya sebaik mungkin."Megan?""Ya, katanya dia akan pulang lebih cepat tapi—""Megan udah pulang dari tiga jam yang lalu."Intonasi suara Baron turun, terdengar gelisah."Apa dia—""Kenapa? Apa dia mengatakan padamu akan m
"Hmm." Erang Megan sambil mengeliat resah. Ia membuka matanya dan mendapati sekitarnya gelap gulita. "Sialan, aku ketiduran disini!" Jeritnya panik.Megan buru-buru bangkit, mengeluarkan ponsel dari sakunya untuk menghidupkan senter."Haduhhh, bisa-bisanya ketiduran," keluhnya. "Gawat ini mah!""Bu, Megan pulang dulu ya," pamitnya pada nisan Ibu panti dan bergegas pergi."Malam-malam di tempat seperti ini mengerikan," desahnya sambil merapatkan jaket ke tubuhnya. Angin yang berhembus membuat tubuhnya mengigil kedinginan. Megan mempercepat langkahnya, melangkah hati-hati agar tidak tersandung tepian dari petak kuburan yang berjejer rapi. Penerangan dari senter ponsel tak banyak membantu, malah menambah kesan suram dari cahaya kuning yang temaram.[Srrrkkk ... Srrrkkk ...]'Apaan tuh?'Suara gesekan langkah asing membuat tubuh Megan seketika membeku. Ia mengarahkan ponselnya ke segala arah untuk mengantisipasi serangan dari mahkluk tak kasat mata."Megan ..."Sayup-sayup terdengar sua
"Awas aja kalau kamu masih ngatain aku bangkotan," kecam Zian setelah mobil parkir di depan pintu pagar rumah Nesa."Ya ... Ya, Pak tua," olok Nesa sambil buru-buru melepaskan seltbelt agar bisa secepat mungkin melarikan diri dari amukan Zian.Dia keluar dan membanting pintu Crossover kesayangan sang sutradara hingga membuat pria itu menjerit panik."Nesa, sialan!" Umpatnya. "Haduh ... Kasihan kamu Betty," keluhnya sambil menggosok kemudi mobil dengan penuh kasih sayang.Nesa tertawa puas dan segera melambaikan tangannya. "Bos, jangan lupa. Besok kita ada jadwal syuting, jangan telat," serunya mengingatkan sebelum menghilang dari balik pintu masuk rumahnya.Zian mengabaikan apapun, ia terlalu sibuk mengelus mobil kesayangannya."Hei, Nesa! Kamu pulang malam lagi?"Suara bentakan yang terdengar sayup-sayup, akhirnya mengusik perhatian Zian. Dia mengerutkan kening sambil menajamkan indera pendengarannya."Berikan aku uang."Begitu yakin dengan apa yang didengarnya, Zian segera keluar dar
"Tidak." Tolak Zian lantang.Ia menentang keras niat Nesa untuk mencabut aduan atas apa yang dilakukan kakak tirinya. "Ini udah yang ke sekian kalinya. Kamu nggak boleh terus-terusan memaafkan bajingan itu. Nanti dia semakin—""Zian, hentikan." Megan yang baru memasuki ruang interogasi segera menghampiri Nesa. Ia memeluk tubuh kurus yang hanya terpekur sedih menatap lantai."Sayang, aku akan bicara dengan polisi yang menangani kasus ini dulu," ucap Riley. Ia harus memastikan apa yang sedang terjadi sebelum memutuskan jalur yang akan diambil untuk menangani kasus ini.Megan mengangguk kecil pada suaminya lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Zian."Tapi Meg—""Cukup," tegasnya pada Zian yang terus saja merongrong wanita malang itu. "Kita harus menghormati keputusan Nesa. Dia punya pertimbangan sendiri.""Meg, aku takut," rintih Nesa tertahan airmata. "Aku takut—"Megan menghela napas perlahan. "Aku tahu."Ia menepuk pundak Nesa perlahan, membiarkan wanita muda itu menangis tanpa