"Hmm." Erang Megan sambil mengeliat resah. Ia membuka matanya dan mendapati sekitarnya gelap gulita. "Sialan, aku ketiduran disini!" Jeritnya panik.Megan buru-buru bangkit, mengeluarkan ponsel dari sakunya untuk menghidupkan senter."Haduhhh, bisa-bisanya ketiduran," keluhnya. "Gawat ini mah!""Bu, Megan pulang dulu ya," pamitnya pada nisan Ibu panti dan bergegas pergi."Malam-malam di tempat seperti ini mengerikan," desahnya sambil merapatkan jaket ke tubuhnya. Angin yang berhembus membuat tubuhnya mengigil kedinginan. Megan mempercepat langkahnya, melangkah hati-hati agar tidak tersandung tepian dari petak kuburan yang berjejer rapi. Penerangan dari senter ponsel tak banyak membantu, malah menambah kesan suram dari cahaya kuning yang temaram.[Srrrkkk ... Srrrkkk ...]'Apaan tuh?'Suara gesekan langkah asing membuat tubuh Megan seketika membeku. Ia mengarahkan ponselnya ke segala arah untuk mengantisipasi serangan dari mahkluk tak kasat mata."Megan ..."Sayup-sayup terdengar sua
"Awas aja kalau kamu masih ngatain aku bangkotan," kecam Zian setelah mobil parkir di depan pintu pagar rumah Nesa."Ya ... Ya, Pak tua," olok Nesa sambil buru-buru melepaskan seltbelt agar bisa secepat mungkin melarikan diri dari amukan Zian.Dia keluar dan membanting pintu Crossover kesayangan sang sutradara hingga membuat pria itu menjerit panik."Nesa, sialan!" Umpatnya. "Haduh ... Kasihan kamu Betty," keluhnya sambil menggosok kemudi mobil dengan penuh kasih sayang.Nesa tertawa puas dan segera melambaikan tangannya. "Bos, jangan lupa. Besok kita ada jadwal syuting, jangan telat," serunya mengingatkan sebelum menghilang dari balik pintu masuk rumahnya.Zian mengabaikan apapun, ia terlalu sibuk mengelus mobil kesayangannya."Hei, Nesa! Kamu pulang malam lagi?"Suara bentakan yang terdengar sayup-sayup, akhirnya mengusik perhatian Zian. Dia mengerutkan kening sambil menajamkan indera pendengarannya."Berikan aku uang."Begitu yakin dengan apa yang didengarnya, Zian segera keluar dar
"Tidak." Tolak Zian lantang.Ia menentang keras niat Nesa untuk mencabut aduan atas apa yang dilakukan kakak tirinya. "Ini udah yang ke sekian kalinya. Kamu nggak boleh terus-terusan memaafkan bajingan itu. Nanti dia semakin—""Zian, hentikan." Megan yang baru memasuki ruang interogasi segera menghampiri Nesa. Ia memeluk tubuh kurus yang hanya terpekur sedih menatap lantai."Sayang, aku akan bicara dengan polisi yang menangani kasus ini dulu," ucap Riley. Ia harus memastikan apa yang sedang terjadi sebelum memutuskan jalur yang akan diambil untuk menangani kasus ini.Megan mengangguk kecil pada suaminya lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Zian."Tapi Meg—""Cukup," tegasnya pada Zian yang terus saja merongrong wanita malang itu. "Kita harus menghormati keputusan Nesa. Dia punya pertimbangan sendiri.""Meg, aku takut," rintih Nesa tertahan airmata. "Aku takut—"Megan menghela napas perlahan. "Aku tahu."Ia menepuk pundak Nesa perlahan, membiarkan wanita muda itu menangis tanpa
"Ukh." Megan kembali berlari dengan terburu-buru ke toilet untuk ke sekian kalinya. Dibelakangnya, Riley menyusul dengan wajah cemas."Sayang, kita ke rumah sakit ya," ajak Riley sembari menepuk pelan punggung istrinya.Hatinya benar-benar tak tenang melihat Megan terus saja mual dan muntah sepanjang semalam hingga hari ini.Megan melambaikan tangannya. "Nggak, Rey. Hari ini aku harus ke lokasi syuting. Ada beberapa adegan yang harus di revisi.""Kenapa tidak minta kru lain yang melakukannya?""Nggak bisa, Rey. Ini adegan puncak dalam film ini. Aku nggak mau ada kesalahan yang membuat film ini menjadi tidak menarik," ujar Megan sambil mengosok perutnya yang kembali bergejolak.Ia menyambut tangan Riley yang hendak memapahnya kembali ke ruang tengah. Entah mengapa, suasana hatinya menjadi lebih baik setiap kali berada dalam jarak yang sangat dekat dengan suaminya. Megan memeluk pinggang Riley lalu menyandarkan kepalanya di dada berotot itu, mencari posisi yang membuatnya nyaman."Kamu
"Nih, kamu pasti melewatkan sarapan lagi 'kan?"Baron meletakkan piring berisi sandwich tuna mayo kesukaan Megan dan secangkir kopi."Emm," erang Megan sambil menutup hidungnya. Seakan ada bau menyengat yang mengusik indera penciumannya."Apa ini?"Baron mengerutkan keningnya, bingung melihat tingkah ajaib sahabatnya. "Tentu saja sandwich, seperti biasa. Emangnya kenapa?""Ukh!" Megan menutup hidung dan mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangan."Jauhkan dariku!" Teriaknya histeris."Apaan sih, Meg? Jangan aneh-aneh deh. Ini kan sandwich kesukaan kamu," sergah Baron kesal. Ia merasa tersinggung karena Megan menolak apa yang ia buat dengan ketulusan."Jauhkan aja, Baron. Aku mual," keluh Megan setengah merengek.Baron berdecih kesal dan kembali mengangkat nampan yang sebelumnya dibawa."Eh, kopinya nggak usah," tahan Megan cepat."Loh, tadi katanya nggak mau. Mual …" ujar Baron."Sandwichnya aja." "Dasar plin-plan," sindir Baron lalu kembali menaruh cangkir kopi dan membawa nampan dan
"Pak, ini laporan tahunan. Saya sudah menyiapkan draf pajak untuk tahun ini dan mengajukannya pada tim legal."Irene meletakkan map yang dibawanya di atas meja kerja presiden direktur.Riley mengangkat kepalanya lalu mengangguk singkat dan kembali memusatkan perhatiannya pada ponsel."Maaf, Pak Riley. Apa ada yang menganggu pikiran anda?" tanya Irene. Sejak tadi, ia memperhatikan atasannya tidak fokus dalam bekerja dan tak melepaskan pandangannya dari layar ponsel.Riley mengulas senyum tipis. "Apa terlihat jelas?"Irene balas tersenyum sambil mengangguk kecil. "Kalau boleh saya tahu, hmn … Apa yang anda pikirkan? Atau Pak Riley sakit?"Riley menggeleng cepat. "Tidak, saya baik-baik saja. Saya hanya sedang memikirkan Megan.""Oh. Apa Bu Megan sakit?" "Ya. Dari semalam istri saya terus saja mual dan muntah. Saya khawatir dengan kondisinya," desah Riley.Irene menautkan alisnya. "Mual dan muntah?" Ulangnya."Ya. Kasihan melihatnya, bahkan dia tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman.
Baron mendekati meja dan meletakkan nampan berisi secangkir kopi dan piring penuh dengan Madeline yang baru saja keluar dari oven. Ia mengalihkan pandangannya pada pria yang tengah membantu karyawan cafe mengangkat kotak besar, memindahkannya ke gudang.Allen mengenakan kemeja yang dikeluarkan dari celana dan menggulung lengannya hingga sebatas siku. Pria itu tampak santai dan tak henti tertawa menanggapi lelucon para karyawan lain.Tak seorangpun bakal tahu, bahwa pria tampan itu adalah pengacara yang sehari-harinya mengenakan setelan jas resmi."Ini kopi ku?"Baron mengangguk. "Ya.""Terima kasih." Allen menarik kursi dan duduk di samping Baron."Kamu ingin aku tambahkan es?" Baron heran karena Allen memilih kopi hangat di cuaca panas seperti ini."Bukankah penat setelah bekerja keras? Aku bisa membuatkanmu lemon squash," tawarnya.Allen mengibaskan tangannya. "Tidak usah. Gigi ku sensitif jadi aku tidak bisa minum yang terlalu panas dan dingin.""Hmm." Baron mengangguk paham.Allen
"Oh, ada tamu toh." Charles senior meletakkan keranjang buah yang dibawanya ke atas meja dan menyerahkan buket bunga ke pangkuan Megan."Selamat, Nak. Rey bilang kamu hamil. Sebentar lagi, pria tua ini akan menjadi seorang kakek," serunya bangga."Char—les," gumam Yasmine dengan suara tercekat di tenggorokan."Oh, kamu?" Charles terdiam sesaat untuk mengingat wajah yang tak asing baginya."Yasmine 'kan?" tebaknya.Yasmine menatap wajah itu nanar, wajah yang paling dibencinya. Wajah dari pria yang telah menghancurkan hidupnya."Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Apa kabar?" Charles mengulurkan tangannya untuk menyambut wanita tercantik di eranya."Apa hubunganmu dengan Megan?" Sentak Yasmine.Charles menatap wanita itu dan beralih pada Megan. Sekian detik ia kembali menatap Yasmine tajam. "Di menantuku. Istri Riley, putraku."Kaki Yasmine bergetar, nyaris kehilangan keseimbangan. Ia berpegang di lengan Daniel."Menantu?" Ulangnya dengan suara bergetar."Mama kenapa?" tanya Daniel b