"Apa Papa tahu Mama pergi dari rumah?"Daniel meletakkan minuman kaleng yang telah ia hangatkan di depan Yasmen lalu duduk di kursi rotan yang berhadapan langsung dengan sofa panjang dimana Mamanya duduk santai sambil membalik halaman majalah fashion edisi terbaru Minggu ini."Tentu saja. Mana mungkin Papa mu melepaskan Mama pergi tanpa izin," sanggah Yasmen tanpa berkedip."Baguslah. Aku hanya tidak ingin Mama dan Papa bertengkar hanya karena masalah ini."Yasmen mendengus sebal. "Kalian ini, anak sama bapak sama aja. Selalu mengekang Mama untuk tinggal di rumah dan tidak melakukan apapun," keluhnya."Papa hanya tidak ingin Mama terluka. Apalagi di masa kampanye seperti ini, lawan akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan Papa untuk mengincar suara terbanyak, salah satunya dengan menyakiti orang-orang terdekat," tutur Daniel mengingatkan.Ia memaklumi keluh kesah Ibunya namun tak bisa berbuat apapun. Papa sangat protektif pada istrinya begitupula dirinya yang tidak ingin Mama menj
Allen menunggu dengan penuh harap. Menatap pria imut yang tengah mengangkat sendok untuk suapan pertama."Gimana?""Apa kamu buta? Bahkan aku belum memasukkan sendok ke dalam mulut," sergah Baron kesal."Yah, aku hanya penasaran. Cepatlah."Baron melesakkan suapan pertama ke mulutnya. Mengunyah beberapa saat sebelum terdiam. "Gimana, gimana?" Buru Allen."Hmm."Allen mengernyit penasaran. "Apa maksudmu dengan, hmm?""Katakan lebih jelas," tuntutnya."Yah." Baron mengeram dalam. Kali ini ia harus mengakui dengan berat hati. "Yah, enak," ungkapnya."Yes." Seru Allen puas. "Aku berhasil. Kamu pasti suka padaku 'kan?"Baron memicingkan matanya. "Hanya masakan mu tidak dengan orangnya," sanggahnya cepat sebelum Allen berpikir terlalu tinggi."Apapun itu yang penting kamu suka," ujar Allen. Melilit pastanya ke sendok dengan penuh semangat."Apa kamu sering memasak?""Tidak. Aku dan Riley tidak ingin repot lama-lama di dapur. Jadi kami lebih sering pesan antar dari restoran Eropa di dekat a
Yasmen turun dari mobil didampingi bodyguard dan asistennya. Ia celingukan untuk mencari sosok putranya yang telah lebih dulu menuju lokasi syuting. Daniel mengijinkannya untuk mengunjungi lokasi dengan syarat Yasmen tidak mengusiknya selama syuting.Langkah Yasmen terhenti begitu matanya menangkap sosok wanita berkulit putih dengan rambut sebahu, lesung di pipi kiri yang menjorok ke dalam membuatnya sangat menarik untuk mengusik pandangan orang-orang disekelilingnya.Setiap gerakan sang wanita menjadi pusat perhatian Yasmen. Ia merasa sosok itu terlihat familiar baginya. Yasmen tersenyum geli begitu melihat kedutan di kening sang wanita saat dia bersitegang dengan orang-orang disekitarnya."Maaf, Bu. Tuan Daniel sedang diruang ganti, kita tidak bisa mendekatinya saat ini," ujar Gea.Yasmen mengangguk paham. "Tak apa. Lebih baik kita menunggu disini. Daniel akan marah kalau kita menganggu nya saat bekerja.""Gea, kamu jaga Ibu Yasmen. Saya akan mengambilkan kursi dan payung," ujar Boy
"Ploy." panggil Zian. "Kamu merekam foot path 'kan?""Iya, tadi aku mengambil beberapa jejak video untuk opening," sahut pria yang telah lima tahun berpengalaman menjadi kameraman dalam tim produksi film.Zian mengangguk puas. "Ayo kita lihat."Ploy—sang kameraman membuka laptop dan menghubungkannya dengan kamera yang digunakannya siang tadi."Putar di waktu kejadian," perintah Zian."Maksudmu waktu mobil putih itu melaju ke arah Megan?"Zian mengangguk. "Kamu merekamnya 'kan?"Ploy tak menjawab. Ia bangkit menuju ruang ganti dan kembali bersama kamera lainnya. Ia membongkar setelan awal dan kembali menyambungkan kamera lainnya ke laptop."Sebelum syuting di mulai, aku meletakkan kamera cadangan di tripod untuk jaga-jaga bila ada adegan yang terlewat. Kamera ini merekam dengan jelas apa yang dilakukan SUV itu sejak awal kita memulai syuting," jelas Ploy."Bagus." Zian tersenyum puas sambil mengacungkan kedua jempolnya."Mari kita lihat, apa sebenarnya yang dilakukan SUV ini," ujar Zia
"Sayang, kamu baik-baik saja?"Riley menatap cemas istrinya yang sejak beberapa menit lalu hanya terpaku, tampak enggan untuk beranjak. Melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobil."Katanya kamu mau pulang?"Megan menatap Riley dengan mata bergetar. "A—aku,""bisakah kita pulang dengan kendaraan lain," pintanya."Kamu tidak ingin naik mobil?" tebak Riley."Hmm." Riley mengangguk paham. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dengan sebelah tangan tanpa melepaskan genggamannya dari tangan sang istri."Allen, aku menunggu di landasan. Suruh mereka bergegas," ujarnya—bicara melalui ponsel."Ayo.""Mau ke mana?" tanya Megan karena tiba-tiba Riley mengajaknya kembali masuk ke dalam gedung rumah sakit dan menuju lift.Riley mengandeng tangan Megan erat. "Karena kamu tidak ingin naik mobil, kita akan menempuh jalur lain untuk pulang," jelasnya."Jalur lain?""Yah." Riley masih saja bersikap misterius hingga pintu lift terbuka di lantai teratas gedung."Kita pulang pakai ini saja," tunjuknya p
Baron memegang telepon di telinga dan menunggu dengan harap cemas, dia mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya beberapa kali untuk menghilangkan perasaan gugup. “Meg, kamu dimana?” Tembaknya langsung begitu nada sambung berganti dengan suara yang sangat dikenalinya."Di lokasi. Hari ini ada pengambilan scene yang tertunda.""Apa kamu kembali ke kantor?" Kecemasan Baron meningkat kala bayangan Daniel dan Ibunya yang bisa saja datang menghampiri Megan selama di lokasi."Hmm, mungkin. Kalau syutingnya berakhir lebih cepat, aku akan kembali ke kantor untuk revisi naskah scene selanjutnya.""Kenapa?"Baron mulai bisa mendengar nada curiga di balik pertanyaan Megan."Tidak, tidak ada apapun. Aku hanya ingin mendiskusikan sesuatu dengan mu," kilah Baron. Berharap Megan tak menyadari getaran di balik suaranya."Hmm. Aku akan usahakan kembali secepatnya."Setelah suara Megan menghilang dari balik speaker ponselnya, Baron baru bisa menghela napas panjang. Namun tak lama, ketakutannya kembali.
"Lepas! Apa-apaan kamu, Daniel?" Sentak Baron marah karena Daniel tiba-tiba muncul dan menyeretnya pergi begitu saja."Lepaskan tanganmu!"Daniel mendesah panjang. Meremas rambut depannya gemas. "Baron, aku minta padamu. Jangan katakan apapun pada Megan.""Kenapa aku harus mendengarkan mu?" Tantang Baron. "Kenapa? Kamu takut Megan tahu siapa kamu sebenarnya?""Bukan itu yang aku takutkan. Aku hanya tak ingin Megan membenci ku dan Mama."Baron melengos. "Kamu terlambat, Daniel. Dalam hidupnya, orang yang paling di benci Megan adalah wanita yang melahirkan dan menelantarkannya begitu saja seperti sampah di jalanan."Daniel tercengang. "Mamaku tak seburuk itu," gumamnya terbata."Kamu lahir dalam keutuhan keluarga tapi tidak dengan Megan. Aku tahu jelas, bagaimana Megan menolak semua orang yang ingin mengadopsinya karena dia masih berharap wanita itu kembali menjemputnya seperti yang dituliskan dalam surat yang ditinggalkan.""Tapi—"Baron terdiam sejenak. Menelan pil pahit yang tersangk
"Sayang."Riley membuka pintu kamar, melongokkan kepalanya ke dalam lalu kembali menutup dengan wajah resah.Ia telah memeriksa setiap sudut rumah namun tak juga menemukan istrinya. Seharusnya, Megan tiba lebih cepat darinya. Mereka punya janji makan malam bersama dan Megan bilang dia akan pulang lebih awal untuk bersiap-siap.Riley mengeluarkan ponselnya, menekan angka satu disana.'Mailbox?' batinnya gelisah. Keningnya berkerut dalam karena hanya mendengar suara operator saat menghubungi nomor ponsel Megan.Riley beralih ke laman kontak, mencari nama 'Adik galak!' dalam daftar kontak."Apa?"Riley tersenyum maklum. Kini dia tak lagi mempermasalahkan setiap kali mendengar suara ketus Baron saat bicara dengannya."Apa Megan bersamamu?" tanya Riley. Mengatur nada suaranya sebaik mungkin."Megan?""Ya, katanya dia akan pulang lebih cepat tapi—""Megan udah pulang dari tiga jam yang lalu."Intonasi suara Baron turun, terdengar gelisah."Apa dia—""Kenapa? Apa dia mengatakan padamu akan m
"Megan!"Zian berteriak nyaring. Dia tengah susah payah memegangi background agar tak terhempas angin kencang yang mengarah dari blower besar yang diletakkan di depan model."Kamu kejam," desisnya nelangsa.Megan terkekeh-kekeh sambil mengibaskan tangannya."Jangan cengeng," balasnya tanpa mengindahkan protes Zian.Baron yang tengah melakukan pose di tengah set up pantry dengan background puluhan jenis tanaman—sambil memegang moca pot, harus mengencangkan otot pipinya agar tidak tertawa keras ataupun melayangkan protes yang sama nyaringnya kepada Megan."Ok, cut." Suara teriakan yang menandakan pengambilan satu scene telah selesai, sukses membuat Baron dan Zian kompak mendesah lega."Baron, kita istirahat dulu ya," ujar wanita yang memegang kamera.Baron mengangguk cepat dan buru-buru merenggangkan tubuhnya dan berjalan keluar dari set. Dibelakangnya, Zian melakukan hal yang sama dan segera mengejar langkah kru lainnya."Megan, kita kesini mau liburan loh. Ini malah tiba-tiba jadi suka
"Rey, apa kamu marah karena aku menolak permintaan Papa untuk mengadakan ulang pesta pernikahan kita?"Megan memainkan jemarinya di atas gelembung sabun yang menutupi permukaan air."Ah." Pekik Megan kaget karena tiba-tiba tubuhnya di tarik ke belakang hingga punggungnya menempel di dada bidang suaminya."Katakan alasannya, kenapa aku harus marah?" bisik Riley tepat telinga istrinya.Tubuh Megan mengelijang, ia bergelung di dada suaminya. "Aku takut, kamu berpikir bahwa aku terlalu egois karena memutuskan untuk menolak permintaan Papa tanpa berdiskusi denganmu," sesalnya.Riley menciumi pundak Megan. "Boleh aku tahu, apa alasan sebenarnya kamu menolak?""Aku hanya tidak ingin media terlalu menyorot pernikahan kita, terlebih anak-anak. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuh milikku." Tutur Megan sambil mengosok buku-buku jari suaminya."Menjadi posesif, hmm?' goda Riley."Tidak boleh?"Riley tak berkata apapun, ia hanya mencium kening Megan lamat-lamat."Hmm. Rey, itu … ahhh." Megan
"Hufff … sedikit lagi, Sayang."Zian menopangkan kedua tungkai Nesa ke pundak lalu mendorong gerakan pinggulnya lebih dalam dan keras."Cepat! A—acara udah mau di mulai," teriak Nesa panik."Sedikit lagi. Aku hampir nyampe," racau Zian. Ia menyibak gaun yang dikenakan Nesa untuk memberi akses lebih dalam baginya. Zian mempercepat gerakannya, mendorong lebih untuk menembus kedalaman menuju dasar."Akh, Zian! Terlalu cepat." Protes Nesa saat Zian bergerak maju mundur dengan tempo cepat tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas."Sayang, di luar atau da—dalam?" Napas Zian tersengal hingga membuat kalimatnya terputus-putus."Dalam aja," lenguh Nesa. "Jangan mengotori gaunnya." Pesannya sebelum mengepalkan tangannya, mencengkram pinggiran sofa dengan erat."Ah … Zian, a—aku …" Nesa menjerit nyaring kala menjemput puncak pelepasannya."Akh … ah." Zian mengikuti jejak istrinya. Melepaskan sentakan beserta tembakan kuat ke dalam rahim dan perlahan menarik keluar miliknya.Zian bangkit untuk
Megan keluar dari kamarnya dengan wajah cerah. Ia menyibakkan rambut sebahunya yang mengayun lembut setelah keramas untuk yang kedua kalinya. Langkahnya masih sedikit terseok-seok akibat pertempuran semalam. Riley benar-benar mengamuk, bagai kuda liar melampiaskan seluruh hasratnya yang telah lama tertunda. Megan meraih kenop pintu, kamar si kembar. Bibirnya mengurai senyum geli melihat kumpulan orang yang tidur, saling berhimpitan di ranjang sempit.Semalam, para sahabat menginap di ruangan si kembar sedangkan para bayi tidur terpisah di kamar tamu bersama kakeknya."Baron." Panggilnya sambil mencolek pipi pria imut yang memeluk erat lengan kekasihnya."Hmm." Erang Baron pelan."Udah pagi."Baron mengeliat pelan. "Hmm." Balasnya dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Allen. "Lima menit lagi."Megan tersenyum kecil lalu beralih pada Nesa yang merebahkan kepalanya di paha suaminya."Bangunlah. Bukankah kalian harus ke lokasi syuting hari ini?" Megan mengelus pipi Nesa yang pucat
Baron dan Zian berjingkrak perlahan, mengendap-endap bagai maling jemuran yang tengah menyortir tali jemuran targetnya."Di mana mereka?" Bisik Zian.Baron menggeleng. Ia telah menyusuri hampir seluruh rumah tapi tak juga menemukan jejak Megan dan suaminya.Keduanya menghilang bagai di telan bumi setelah menyerahkan si kembar di bawah pengawasan para kakek dan nenek."Apa mereka ke hotel?" Celetuk Zian."Masa sih? Niat banget," balas Baron ragu."Mereka 'kan udah lama nggak make out. Pasti bakal semalaman bertempur."Baron menegakkan tubuhnya, lelah mengintai. Ia memutar pinggulnya ke kiri dan kanan untuk merenggangkan tubuh."Dah ah, nggak asyik." Keluhnya. "Masuk yuk, lapar."Zian mengikuti jejaknya. "Ya udah deh. Aku juga mau nemanin Nesa bobok."Baron mengerlingkan matanya. "Cie … udah punya temen bobok," godanya.Zian melayangkan tangannya untuk mengeplak kepala Baron, tapi pria imut itu dengan cepat berkelit."Kamu butuh seribu tahun lagi untuk menyentuh ku," ledek Baron."Awas a
"Ku harap hasilnya baik." Gumam Edbert sambil terkekeh. Menertawakan kebodohan yang tengah dilakukannya.Edbert membuka amplop yang diterimanya dari dokter Brown, ia mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam sana dan mulai membaca setiap baris kalimat yang tercetak di kertas."Tentu saja baik, Pak. Apakah itu DNA putri anda? Karena 99%, DNA nya cocok dengan milik anda," ujar sang dokter yang seketika membuat dunia Edbert terguncang."Cocok? Maksud mu?" Edbert mengabaikan kertas yang hendak ia buka dan lebih tertarik untuk memandang sang dokter. Mencari kebenaran akan apa yang baru saja ia dengar."Ya. Dari sampel darah yang anda berikan, kami memastikan bahwa DNA itu adalah putri kandung anda.""Anda yakin dokter Brown?" "Seratus persen yakin." Ucap sang dokter tegas.Edbert memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa panas dan berat. "Anakku? Putriku?" Gumamnya sedih."Apa ada masalah, Pak Edbert?"Edbert melambaikan tangannya. "Tidak, tidak ada yang salah. Justru ini kabar yang sanga
"Pergilah," usir Riley."Rey, mari kita bicara dengan kepala dingin," ajak Zian. Ia maju beberapa langkah mendekati Riley."Lebih baik kalian pergi. Aku tidak ingin bertindak kasar," ucap Riley lalu berbalik kembali masuk ke dalam rumah."Rey!"Baron berusaha maju tapi para pengawal yang berjaga segera menghentikan langkahnya."Sialan," umpat Baron sambil menendang pot disampingnya hingga terguling menjauh."Jangan sakiti dirimu, Baron," tahan Allen yang menarik Baron ke sisinya."Apa yang harus kita lakukan sekarang? Riley tidak akan mau mendengar siapapun lagi," desah Zian. Ia mengacak rambutnya lalu meremas gemas."Bagaimana dengan Papanya? Kita bisa minta Jenderal itu untuk menemui Riley dan bicara padanya." Usul Nesa."Jangan gila!" Sergah Baron cepat. "Riley sudah lama memutuskan hubungannya dengan Papanya. Lagian, siapa yang masih mau berurusan dengan sumber masalah."Zian mengangguk setuju. "Baron benar. Untuk saat ini Riley tidak akan mau mendengarkan orang lain, terutama Papa
Megan mengangkat Ayanna dan meletakkannya dalam pelukan Riley. Kemudian beralih pada Anthea yang kembali menangis."Sabar, Sayang. Gantian sama Kakak ya," hibur Megan."Ayanna dan Anthea," gumam Riley. "Nama yang bagus.""Artinya bunga. Mereka adalah bunga dihidup kita Rey."Riley terharu saat Ayanna menatapnya dengan mata kecil yang mengemaskan sambil tersenyum senang."Rey, gantian sama Anthea. Biar Ayanna menyusu dulu." Megan meletakkan Anthea kembali ke dalam box dan beralih pada Ayanna.Riley tersenyum senang melihat Anthea tersenyum padanya dan menyerahkan tangannya. Meminta untuk digendong."Apa aku boleh mengendongnya?"Megan mengangguk. "Anthea baru selesai menyusu, jadi tepuk punggungnya dengan lembut agar dia sendawa.""Baiklah." Riley merebahkan Anthea di dadanya dan menepuk lembut punggungnya."Apa mereka hanya menyusu?" "Terkadang aku memberi mereka susu formula tapi itu jarang terjadi hanya pada kondisi darurat," sahut Megan. Ia berkonsentrasi menyusu si sulung yang ta
"Rey, sakit." Teriak Megan saat Riley menariknya denga paksa untuk masuk ke kamar.Tubuh Megan dihempaskan dengan kasar ke atas ranjang."Sakit," ringis Megan. Dia memijat pergelangan tangannya yang merah akibat cengkraman tangan Riley yang terlalu kuat hingga meninggalkan cetakan ruas jarinya. Megan beringsut mundur saat Riley menarik kursi dan duduk dihadapannya."Kenapa? Kamu takut padaku?" Tukas Riley sengit.Megan tak berusaha untuk mengelak tudingan Riley. Ia hanya diam, menutup rapat-rapat mulutnya."Apa maksud semua ini?" Riley melemparkan lembaran kertas yang dibawanya ke atas ranjang."Cerai? Kamu minta cerai?" Suara Riley bergetar saat mengucapkan kata cerai. Ia tak menyangka, Megan akan sejauh ini menyiksanya.Megan melirik kertas yang dikirimkannya ke kantor Riley melalui kurir pagi ini."I—iya, Rey. Kamu hanya perlu menandatangani surat itu dan aku akan mengurus semuanya sampai sidang perceraian kita selesai," tutur Megan terbata.Riley mengacak rambutnya geram akan