"Siapa itu?" tanya Megan. Matanya menangkap sosok Riley bersama seorang wanita. Dari kejauhan keduanya tampak saling mengenal satu sama lain, terlibat pembicaraan yang serius hingga sang wanita menangis dan menerjang—memeluk tubuh pria dihadapannya.Allen dan Baron mengikuti arah pandangan Megan. Dalam hati Allen mengutuk kebodohannya karena tidak memprediksi kemungkinan Megan bisa melihat Riley bersama Celine yang berjarak tidak jauh dari lobi gedung."Wanita itu menangis?" Imbuh Baron—menambah aura kelam di sekitar Megan.Raut wajah Megan tetap tenang, tak ada gurat-gurat tanda emosi ataupun cemburu disana. Namun, bila seseorang mengamati dengan jeli, aura disekitar Megan terasa gelap dan dingin. Tangannya terkepal erat, mengengam kain lap hingga tak berbentuk. "Hmm, dia—""Lebih baik kamu menjawab dengan jujur bila masih ingin keluar dari tempat ini dengan aman," kecam Baron mengirimkan ancaman.Allen meneguk ludah, menghela napas panjang. "Celine, wanita itu mantan tunangan Rile
"Rey, aku nggak cemburu," protes Megan. Dia tidak ingin Riley menganggapnya sebagai wanita lemah yang mulai bersikap tak masuk akal kala terbakar cemburu."Hmm. Ya ... Ya," gumam Riley di sela tawa gemasnya."Rey ..." rengek Megan yang mulai putus asa."Ya, Sayang." Riley menarik Megan untuk duduk di sofa bersamanya. "Akui saja kalau kamu cemburu," kekehnya senang."Nggak." Tantang Megan berkeras. Ia membulatkan pipinya sembari membuang muka.Riley meraup tubuh Megan—mengunci di atas pangkuannya. "Meg, tak bisakah kamu sedikit jujur?" Bisiknya di telinga istrinya. "Jujur? Aku sudah berusaha jujur," keluh Megan.Riley menyusuri setiap lekuk tajam di wajah Megan dengan bibirnya. Mendaratkan kecupan selembut kapas demi memancing reaksi kala pujian tak bersyair dilepaskan."Yah. Jujurlah, Sayang. Katakan apa yang kamu inginkan."Megan mengeliat—bergelut untuk melepaskan diri. Tangan kekar itu menahan tubuhnya hingga tak dapat beranjak sedikit pun. Tatapan hangat seolah merayu, bagai ma
"Ulang."Zian dan Nesa tertegun, pemandangan di dalam ruangan membuat mereka harus kompak merapatkan diri—bersembuyi di balik pintu. Dua jam telah berlalu tapi, Daniel masih berkutat dengan baris pertama dalam skrip bagiannya."Ulang." Seru Megan untuk ke sekian kalinya."Si Megan kerasukan jin, ya?" Bisik Zian sembari bergidik ngeri melihat aura kelam di sekitar Megan. Sedangkan dari arah yang berlawanan, Daniel duduk dengan pundak lemah dan mata berkaca, siap menumpahkan airmata."Lebih tepatnya setan," imbuh Nesa. "Megan dalam mode serius selalu mengerikan."Tak ada satupun kru yang berani mendekati ruangan yang dipakai Megan. Mereka memilih menjauh, menyelamatkan diri dari amukan sang penulis. Bahkan kali ini Baron juga menolak untuk ikut campur. "Ulang! Jangan tersenyum dalam adegan sedih," sentak Megan tegas. Daniel mendesah pelan sebelum akhirnya kembali menarik napas dalam-dalam. "Apakah, kamu—""Ulang!"Megan mengebrak meja. "Apa yang sebenarnya kamu pelajari selama ini?"
Daniel memandang dari kejauhan, Megan dan pasangannya tampak bahagia, bergandengan tangan, saling beriringan dengan senyum yang tak tergantikan. "Baron, apa pria itu suami Megan?"Baron mengalihkan perhatiannya dari buku tebal yang tengah diperiksanya. "Hmm." Gumamnya sebagai jawaban."Sudah berapa lama mereka menikah?" "Tahun ini," sahut Baron singkat dan kembali menekuni pembukuan dari dua cafe."Apa pria itu baik?""Apa pekerjaannya?""Berapa umurnya?""Dimana rumahnya?""Dimana mereka bertemu?" Baron mengerutkan keningnya hingga berlapis-lapis begitu mendengar rentetan pertanyaan Daniel. Ia kembali mengangkat wajahnya—menatap pria tampan itu curiga."Kamu menyukai Megan?"Daniel mengaitkan kedua alisnya. "Maksud mu?" tanyanya bingung karena tiba-tiba saja si kecil Baron melontarkan pertanyaan yang sangat acak. "Kami menyukai Megan, 'kan?" Ulang Baron dengan menambahkan penekanan.Daniel tergelak. "Kenapa tiba-tiba kamu mengajukan pertanyaan bodoh?""Terlihat seperti itu," bala
"Meg!"Megan yang baru saja menjejakkan kakinya ke dalam ruangan harus terhenti. Ia menautkan alisnya—bingung, karena langsung disambut wajah-wajah panik."Ada apa?""Gawat Meg! Kamu udah baca berita pagi ini?" Cecar Zian.Megan mengerjap lalu menggeleng. "Nggak. Aku malah belum buka HP.""Emang ada apaan?" Burunya penasaran.Dari raut wajah orang-orang yang ada di ruangan, Megan bisa menarik kesimpulan kalau mereka tengah di terpa masalah baru dan kali ini berpotensi menjadi bencana."Ada apa sih? Kalian bikin parno deh.""Nih, baca." Zian menyerahkan ponselnya pada Megan.Megan mengambil alih ponsel itu dan membaca berita headline yang di tampilkan media online pagi ini."Sialan!"***"Bukankah aku yang seharusnya bertanya, siapa kamu? Kenapa kamu sangat penasaran dengan latar belakang Megan?"Daniel terdiam, suaranya tercekat seolah tengah berada di ruang sidang yang memaksanya untuk mengakui dosa yang telah dilakukannya."A—aku ...""Jangan coba berbohong!""A—apaan sih! Kamu berle
Zian meremat jemarinya. Keputusan mendadak ini diambil atas inisiatif Megan sebagai penulis skenario. Menurutnya, melakukan audisi dadakan akan menghabiskan banyak waktu dan memunculkan rumor buruk di kalangan wartawan dan netizen. Meski tak yakin, Zian harus mengakui apa yang diutarakan Megan benar adanya. Terlalu beresiko bila kabar ini terendus para pembuat berita dan di goreng ke arah yang berbeda. Lagipula, mereka mulai kehabisa waktu. Film ini sudah tertunda lumayan lama, penundaan atas alasan lain akan menambah cost dan sulitnya penyesuaian jadwal."Begini Daniel, kami baru saja menerima kabar buruk dari salah satu artis pendukung," ujar Zian mengawali penjelasannya. "Kamu pasti tahu, siapa dia."Daniel mengangguk paham. "Lalu?" Matanya tak lepas dari wajah Megan. Memperhatikan tingkah lucunya yang tampak serius memainkan lato-lato.Zian mengikuti arah pandangan Daniel dan segera tahu apa yang mengusik perhatiannya."Megan, berisik," sergahnya kesal karena Daniel tidak fokus
"Keluar kamu!"Megan mengerutkan keningnya karena melihat Celine mengamuk di depan pintu mobil dan mengetuk kaca jendela dengan kasar."Celine, apa-apaan kamu!" Hardik Riley. Ia menyentak lengan Celine untuk menjauh dari sisi mobil dan menghadang pintu agar Megan tak keluar."Jangan macam-macam," kecamnya mengirim nada ancaman."Aku nggak akan bersikap kayak gini kalau kamu mau bertanggung jawab atas Soni. Dia butuh sosok ayah!""Anak itu punya ayah! Dan ayah kami sama," tandas Riley yang mulai terpancing emosi."Cukup sudah, kurasa kamu mulai gila," sergahnya dan berbalik menuju pintu kemudi, masuk ke dalamnya tanpa berkata apapun lagi."Rey, Rey!" Raung Celine histeris.Megan berbalik untuk melihat Celine yang masih meneriakkan nama Riley meski jarak semakin membentang jauh."Hmm, Rey. Wanita itu siapa?" Riley mendesah dalam. "Celine. Ibu tiri ku," sahutnya dengan berat hati tanpa mengalihkan perhatiannya dari kemudi.'Heh?! Ibu tiri?'"Wow," seru Megan sedikit impresif.Riley meng
Seorang suster berlari keluar dari pintu ruang operasi dengan wajah panik dan kembali lagi bersama box besar. Kegaduhan itu seketika menarik perhatian tiga orang yang sedari dua jam lalu menunggu di depan ruang operasi."Ada apa, Rey?" tanya Megan penasaran. Mengangkat kepalanya yang bersandar di bahu suaminya.Riley menggeleng pelan. "Sayang, sebentar," ucapnya agar Megan melepaskan kaitan di lengannya. "Aku bicara dengan dokter dulu."Dokter keluar dari pintu ruang operasi menatap Riley dan Allen yang menghampirinya, dengan tatapan sayu."Apa yang terjadi, dok? Bagaimana kondisi Ibu saya?""Rey."Nada suara rendah terdengar putus asa seketika membuat tubuh Riley lemah."Maaf, Rey. Kami sudah berusaha semampu kami."Kalimat itu seketika memupuskan semua harapan yang di pupuk Rey dengan susah payah."Apa?!""Terjadi komplikasi, pembuluh darah Ibu Maria pecah karena tidak mampu menahan tekanan.""12.30, kami menyatakan Ibu Maria telah berpulang," tutur sang dokter."Tidak mungkin," lir