"Rey, hari ini aku boleh ikut ke kantor ya?"Megan memasang wajah polos, menggoyang pupil—menampilkan tatapan penuh harap. Ia memainkan kancing depan kemeja yang dikenakan Riley.Riley yang tengah memasang dasi memalingkan pandangannya—menahan hasrat untuk tidak menerkam istrinya yang tiba-tiba saja bertingkah imut pagi hari ini."Rey," rengek Megan. "Boleh ya?""Tentu saja boleh. Milikku adalah milikmu, kamu bisa datang kapan saja kamu mau, Sayang," sahut Riley. Ia menarik tubuh Megan lebih dekat sembari mengecup keningnya."Tapi pasti ada alasannya 'kan?""Alasan?" Megan membulatkan matanya—seolah tidak mengerti apa yang dibicarakan Riley."Yah, nggak mungkin kamu tiba-tiba ke kantor tanpa alasan.""Hmm," Megan merenggut manja. "Kenapa? Nggak boleh?""Jangan-jangan kamu menyembunyikan sekretaris cantik di ruangan mu," selidiknya curiga.Riley mengeram dalam. "Aku tidak butuh wanita manapun lagi setelah memilikimu, Meg," desisnya sebelum menanamkan bibirnya di balik ceruk putih, mengh
"Siapa itu?" tanya Megan. Matanya menangkap sosok Riley bersama seorang wanita. Dari kejauhan keduanya tampak saling mengenal satu sama lain, terlibat pembicaraan yang serius hingga sang wanita menangis dan menerjang—memeluk tubuh pria dihadapannya.Allen dan Baron mengikuti arah pandangan Megan. Dalam hati Allen mengutuk kebodohannya karena tidak memprediksi kemungkinan Megan bisa melihat Riley bersama Celine yang berjarak tidak jauh dari lobi gedung."Wanita itu menangis?" Imbuh Baron—menambah aura kelam di sekitar Megan.Raut wajah Megan tetap tenang, tak ada gurat-gurat tanda emosi ataupun cemburu disana. Namun, bila seseorang mengamati dengan jeli, aura disekitar Megan terasa gelap dan dingin. Tangannya terkepal erat, mengengam kain lap hingga tak berbentuk. "Hmm, dia—""Lebih baik kamu menjawab dengan jujur bila masih ingin keluar dari tempat ini dengan aman," kecam Baron mengirimkan ancaman.Allen meneguk ludah, menghela napas panjang. "Celine, wanita itu mantan tunangan Rile
"Rey, aku nggak cemburu," protes Megan. Dia tidak ingin Riley menganggapnya sebagai wanita lemah yang mulai bersikap tak masuk akal kala terbakar cemburu."Hmm. Ya ... Ya," gumam Riley di sela tawa gemasnya."Rey ..." rengek Megan yang mulai putus asa."Ya, Sayang." Riley menarik Megan untuk duduk di sofa bersamanya. "Akui saja kalau kamu cemburu," kekehnya senang."Nggak." Tantang Megan berkeras. Ia membulatkan pipinya sembari membuang muka.Riley meraup tubuh Megan—mengunci di atas pangkuannya. "Meg, tak bisakah kamu sedikit jujur?" Bisiknya di telinga istrinya. "Jujur? Aku sudah berusaha jujur," keluh Megan.Riley menyusuri setiap lekuk tajam di wajah Megan dengan bibirnya. Mendaratkan kecupan selembut kapas demi memancing reaksi kala pujian tak bersyair dilepaskan."Yah. Jujurlah, Sayang. Katakan apa yang kamu inginkan."Megan mengeliat—bergelut untuk melepaskan diri. Tangan kekar itu menahan tubuhnya hingga tak dapat beranjak sedikit pun. Tatapan hangat seolah merayu, bagai ma
"Ulang."Zian dan Nesa tertegun, pemandangan di dalam ruangan membuat mereka harus kompak merapatkan diri—bersembuyi di balik pintu. Dua jam telah berlalu tapi, Daniel masih berkutat dengan baris pertama dalam skrip bagiannya."Ulang." Seru Megan untuk ke sekian kalinya."Si Megan kerasukan jin, ya?" Bisik Zian sembari bergidik ngeri melihat aura kelam di sekitar Megan. Sedangkan dari arah yang berlawanan, Daniel duduk dengan pundak lemah dan mata berkaca, siap menumpahkan airmata."Lebih tepatnya setan," imbuh Nesa. "Megan dalam mode serius selalu mengerikan."Tak ada satupun kru yang berani mendekati ruangan yang dipakai Megan. Mereka memilih menjauh, menyelamatkan diri dari amukan sang penulis. Bahkan kali ini Baron juga menolak untuk ikut campur. "Ulang! Jangan tersenyum dalam adegan sedih," sentak Megan tegas. Daniel mendesah pelan sebelum akhirnya kembali menarik napas dalam-dalam. "Apakah, kamu—""Ulang!"Megan mengebrak meja. "Apa yang sebenarnya kamu pelajari selama ini?"
Daniel memandang dari kejauhan, Megan dan pasangannya tampak bahagia, bergandengan tangan, saling beriringan dengan senyum yang tak tergantikan. "Baron, apa pria itu suami Megan?"Baron mengalihkan perhatiannya dari buku tebal yang tengah diperiksanya. "Hmm." Gumamnya sebagai jawaban."Sudah berapa lama mereka menikah?" "Tahun ini," sahut Baron singkat dan kembali menekuni pembukuan dari dua cafe."Apa pria itu baik?""Apa pekerjaannya?""Berapa umurnya?""Dimana rumahnya?""Dimana mereka bertemu?" Baron mengerutkan keningnya hingga berlapis-lapis begitu mendengar rentetan pertanyaan Daniel. Ia kembali mengangkat wajahnya—menatap pria tampan itu curiga."Kamu menyukai Megan?"Daniel mengaitkan kedua alisnya. "Maksud mu?" tanyanya bingung karena tiba-tiba saja si kecil Baron melontarkan pertanyaan yang sangat acak. "Kami menyukai Megan, 'kan?" Ulang Baron dengan menambahkan penekanan.Daniel tergelak. "Kenapa tiba-tiba kamu mengajukan pertanyaan bodoh?""Terlihat seperti itu," bala
"Meg!"Megan yang baru saja menjejakkan kakinya ke dalam ruangan harus terhenti. Ia menautkan alisnya—bingung, karena langsung disambut wajah-wajah panik."Ada apa?""Gawat Meg! Kamu udah baca berita pagi ini?" Cecar Zian.Megan mengerjap lalu menggeleng. "Nggak. Aku malah belum buka HP.""Emang ada apaan?" Burunya penasaran.Dari raut wajah orang-orang yang ada di ruangan, Megan bisa menarik kesimpulan kalau mereka tengah di terpa masalah baru dan kali ini berpotensi menjadi bencana."Ada apa sih? Kalian bikin parno deh.""Nih, baca." Zian menyerahkan ponselnya pada Megan.Megan mengambil alih ponsel itu dan membaca berita headline yang di tampilkan media online pagi ini."Sialan!"***"Bukankah aku yang seharusnya bertanya, siapa kamu? Kenapa kamu sangat penasaran dengan latar belakang Megan?"Daniel terdiam, suaranya tercekat seolah tengah berada di ruang sidang yang memaksanya untuk mengakui dosa yang telah dilakukannya."A—aku ...""Jangan coba berbohong!""A—apaan sih! Kamu berle
Zian meremat jemarinya. Keputusan mendadak ini diambil atas inisiatif Megan sebagai penulis skenario. Menurutnya, melakukan audisi dadakan akan menghabiskan banyak waktu dan memunculkan rumor buruk di kalangan wartawan dan netizen. Meski tak yakin, Zian harus mengakui apa yang diutarakan Megan benar adanya. Terlalu beresiko bila kabar ini terendus para pembuat berita dan di goreng ke arah yang berbeda. Lagipula, mereka mulai kehabisa waktu. Film ini sudah tertunda lumayan lama, penundaan atas alasan lain akan menambah cost dan sulitnya penyesuaian jadwal."Begini Daniel, kami baru saja menerima kabar buruk dari salah satu artis pendukung," ujar Zian mengawali penjelasannya. "Kamu pasti tahu, siapa dia."Daniel mengangguk paham. "Lalu?" Matanya tak lepas dari wajah Megan. Memperhatikan tingkah lucunya yang tampak serius memainkan lato-lato.Zian mengikuti arah pandangan Daniel dan segera tahu apa yang mengusik perhatiannya."Megan, berisik," sergahnya kesal karena Daniel tidak fokus
"Keluar kamu!"Megan mengerutkan keningnya karena melihat Celine mengamuk di depan pintu mobil dan mengetuk kaca jendela dengan kasar."Celine, apa-apaan kamu!" Hardik Riley. Ia menyentak lengan Celine untuk menjauh dari sisi mobil dan menghadang pintu agar Megan tak keluar."Jangan macam-macam," kecamnya mengirim nada ancaman."Aku nggak akan bersikap kayak gini kalau kamu mau bertanggung jawab atas Soni. Dia butuh sosok ayah!""Anak itu punya ayah! Dan ayah kami sama," tandas Riley yang mulai terpancing emosi."Cukup sudah, kurasa kamu mulai gila," sergahnya dan berbalik menuju pintu kemudi, masuk ke dalamnya tanpa berkata apapun lagi."Rey, Rey!" Raung Celine histeris.Megan berbalik untuk melihat Celine yang masih meneriakkan nama Riley meski jarak semakin membentang jauh."Hmm, Rey. Wanita itu siapa?" Riley mendesah dalam. "Celine. Ibu tiri ku," sahutnya dengan berat hati tanpa mengalihkan perhatiannya dari kemudi.'Heh?! Ibu tiri?'"Wow," seru Megan sedikit impresif.Riley meng
"Megan!"Zian berteriak nyaring. Dia tengah susah payah memegangi background agar tak terhempas angin kencang yang mengarah dari blower besar yang diletakkan di depan model."Kamu kejam," desisnya nelangsa.Megan terkekeh-kekeh sambil mengibaskan tangannya."Jangan cengeng," balasnya tanpa mengindahkan protes Zian.Baron yang tengah melakukan pose di tengah set up pantry dengan background puluhan jenis tanaman—sambil memegang moca pot, harus mengencangkan otot pipinya agar tidak tertawa keras ataupun melayangkan protes yang sama nyaringnya kepada Megan."Ok, cut." Suara teriakan yang menandakan pengambilan satu scene telah selesai, sukses membuat Baron dan Zian kompak mendesah lega."Baron, kita istirahat dulu ya," ujar wanita yang memegang kamera.Baron mengangguk cepat dan buru-buru merenggangkan tubuhnya dan berjalan keluar dari set. Dibelakangnya, Zian melakukan hal yang sama dan segera mengejar langkah kru lainnya."Megan, kita kesini mau liburan loh. Ini malah tiba-tiba jadi suka
"Rey, apa kamu marah karena aku menolak permintaan Papa untuk mengadakan ulang pesta pernikahan kita?"Megan memainkan jemarinya di atas gelembung sabun yang menutupi permukaan air."Ah." Pekik Megan kaget karena tiba-tiba tubuhnya di tarik ke belakang hingga punggungnya menempel di dada bidang suaminya."Katakan alasannya, kenapa aku harus marah?" bisik Riley tepat telinga istrinya.Tubuh Megan mengelijang, ia bergelung di dada suaminya. "Aku takut, kamu berpikir bahwa aku terlalu egois karena memutuskan untuk menolak permintaan Papa tanpa berdiskusi denganmu," sesalnya.Riley menciumi pundak Megan. "Boleh aku tahu, apa alasan sebenarnya kamu menolak?""Aku hanya tidak ingin media terlalu menyorot pernikahan kita, terlebih anak-anak. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuh milikku." Tutur Megan sambil mengosok buku-buku jari suaminya."Menjadi posesif, hmm?' goda Riley."Tidak boleh?"Riley tak berkata apapun, ia hanya mencium kening Megan lamat-lamat."Hmm. Rey, itu … ahhh." Megan
"Hufff … sedikit lagi, Sayang."Zian menopangkan kedua tungkai Nesa ke pundak lalu mendorong gerakan pinggulnya lebih dalam dan keras."Cepat! A—acara udah mau di mulai," teriak Nesa panik."Sedikit lagi. Aku hampir nyampe," racau Zian. Ia menyibak gaun yang dikenakan Nesa untuk memberi akses lebih dalam baginya. Zian mempercepat gerakannya, mendorong lebih untuk menembus kedalaman menuju dasar."Akh, Zian! Terlalu cepat." Protes Nesa saat Zian bergerak maju mundur dengan tempo cepat tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas."Sayang, di luar atau da—dalam?" Napas Zian tersengal hingga membuat kalimatnya terputus-putus."Dalam aja," lenguh Nesa. "Jangan mengotori gaunnya." Pesannya sebelum mengepalkan tangannya, mencengkram pinggiran sofa dengan erat."Ah … Zian, a—aku …" Nesa menjerit nyaring kala menjemput puncak pelepasannya."Akh … ah." Zian mengikuti jejak istrinya. Melepaskan sentakan beserta tembakan kuat ke dalam rahim dan perlahan menarik keluar miliknya.Zian bangkit untuk
Megan keluar dari kamarnya dengan wajah cerah. Ia menyibakkan rambut sebahunya yang mengayun lembut setelah keramas untuk yang kedua kalinya. Langkahnya masih sedikit terseok-seok akibat pertempuran semalam. Riley benar-benar mengamuk, bagai kuda liar melampiaskan seluruh hasratnya yang telah lama tertunda. Megan meraih kenop pintu, kamar si kembar. Bibirnya mengurai senyum geli melihat kumpulan orang yang tidur, saling berhimpitan di ranjang sempit.Semalam, para sahabat menginap di ruangan si kembar sedangkan para bayi tidur terpisah di kamar tamu bersama kakeknya."Baron." Panggilnya sambil mencolek pipi pria imut yang memeluk erat lengan kekasihnya."Hmm." Erang Baron pelan."Udah pagi."Baron mengeliat pelan. "Hmm." Balasnya dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Allen. "Lima menit lagi."Megan tersenyum kecil lalu beralih pada Nesa yang merebahkan kepalanya di paha suaminya."Bangunlah. Bukankah kalian harus ke lokasi syuting hari ini?" Megan mengelus pipi Nesa yang pucat
Baron dan Zian berjingkrak perlahan, mengendap-endap bagai maling jemuran yang tengah menyortir tali jemuran targetnya."Di mana mereka?" Bisik Zian.Baron menggeleng. Ia telah menyusuri hampir seluruh rumah tapi tak juga menemukan jejak Megan dan suaminya.Keduanya menghilang bagai di telan bumi setelah menyerahkan si kembar di bawah pengawasan para kakek dan nenek."Apa mereka ke hotel?" Celetuk Zian."Masa sih? Niat banget," balas Baron ragu."Mereka 'kan udah lama nggak make out. Pasti bakal semalaman bertempur."Baron menegakkan tubuhnya, lelah mengintai. Ia memutar pinggulnya ke kiri dan kanan untuk merenggangkan tubuh."Dah ah, nggak asyik." Keluhnya. "Masuk yuk, lapar."Zian mengikuti jejaknya. "Ya udah deh. Aku juga mau nemanin Nesa bobok."Baron mengerlingkan matanya. "Cie … udah punya temen bobok," godanya.Zian melayangkan tangannya untuk mengeplak kepala Baron, tapi pria imut itu dengan cepat berkelit."Kamu butuh seribu tahun lagi untuk menyentuh ku," ledek Baron."Awas a
"Ku harap hasilnya baik." Gumam Edbert sambil terkekeh. Menertawakan kebodohan yang tengah dilakukannya.Edbert membuka amplop yang diterimanya dari dokter Brown, ia mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam sana dan mulai membaca setiap baris kalimat yang tercetak di kertas."Tentu saja baik, Pak. Apakah itu DNA putri anda? Karena 99%, DNA nya cocok dengan milik anda," ujar sang dokter yang seketika membuat dunia Edbert terguncang."Cocok? Maksud mu?" Edbert mengabaikan kertas yang hendak ia buka dan lebih tertarik untuk memandang sang dokter. Mencari kebenaran akan apa yang baru saja ia dengar."Ya. Dari sampel darah yang anda berikan, kami memastikan bahwa DNA itu adalah putri kandung anda.""Anda yakin dokter Brown?" "Seratus persen yakin." Ucap sang dokter tegas.Edbert memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa panas dan berat. "Anakku? Putriku?" Gumamnya sedih."Apa ada masalah, Pak Edbert?"Edbert melambaikan tangannya. "Tidak, tidak ada yang salah. Justru ini kabar yang sanga
"Pergilah," usir Riley."Rey, mari kita bicara dengan kepala dingin," ajak Zian. Ia maju beberapa langkah mendekati Riley."Lebih baik kalian pergi. Aku tidak ingin bertindak kasar," ucap Riley lalu berbalik kembali masuk ke dalam rumah."Rey!"Baron berusaha maju tapi para pengawal yang berjaga segera menghentikan langkahnya."Sialan," umpat Baron sambil menendang pot disampingnya hingga terguling menjauh."Jangan sakiti dirimu, Baron," tahan Allen yang menarik Baron ke sisinya."Apa yang harus kita lakukan sekarang? Riley tidak akan mau mendengar siapapun lagi," desah Zian. Ia mengacak rambutnya lalu meremas gemas."Bagaimana dengan Papanya? Kita bisa minta Jenderal itu untuk menemui Riley dan bicara padanya." Usul Nesa."Jangan gila!" Sergah Baron cepat. "Riley sudah lama memutuskan hubungannya dengan Papanya. Lagian, siapa yang masih mau berurusan dengan sumber masalah."Zian mengangguk setuju. "Baron benar. Untuk saat ini Riley tidak akan mau mendengarkan orang lain, terutama Papa
Megan mengangkat Ayanna dan meletakkannya dalam pelukan Riley. Kemudian beralih pada Anthea yang kembali menangis."Sabar, Sayang. Gantian sama Kakak ya," hibur Megan."Ayanna dan Anthea," gumam Riley. "Nama yang bagus.""Artinya bunga. Mereka adalah bunga dihidup kita Rey."Riley terharu saat Ayanna menatapnya dengan mata kecil yang mengemaskan sambil tersenyum senang."Rey, gantian sama Anthea. Biar Ayanna menyusu dulu." Megan meletakkan Anthea kembali ke dalam box dan beralih pada Ayanna.Riley tersenyum senang melihat Anthea tersenyum padanya dan menyerahkan tangannya. Meminta untuk digendong."Apa aku boleh mengendongnya?"Megan mengangguk. "Anthea baru selesai menyusu, jadi tepuk punggungnya dengan lembut agar dia sendawa.""Baiklah." Riley merebahkan Anthea di dadanya dan menepuk lembut punggungnya."Apa mereka hanya menyusu?" "Terkadang aku memberi mereka susu formula tapi itu jarang terjadi hanya pada kondisi darurat," sahut Megan. Ia berkonsentrasi menyusu si sulung yang ta
"Rey, sakit." Teriak Megan saat Riley menariknya denga paksa untuk masuk ke kamar.Tubuh Megan dihempaskan dengan kasar ke atas ranjang."Sakit," ringis Megan. Dia memijat pergelangan tangannya yang merah akibat cengkraman tangan Riley yang terlalu kuat hingga meninggalkan cetakan ruas jarinya. Megan beringsut mundur saat Riley menarik kursi dan duduk dihadapannya."Kenapa? Kamu takut padaku?" Tukas Riley sengit.Megan tak berusaha untuk mengelak tudingan Riley. Ia hanya diam, menutup rapat-rapat mulutnya."Apa maksud semua ini?" Riley melemparkan lembaran kertas yang dibawanya ke atas ranjang."Cerai? Kamu minta cerai?" Suara Riley bergetar saat mengucapkan kata cerai. Ia tak menyangka, Megan akan sejauh ini menyiksanya.Megan melirik kertas yang dikirimkannya ke kantor Riley melalui kurir pagi ini."I—iya, Rey. Kamu hanya perlu menandatangani surat itu dan aku akan mengurus semuanya sampai sidang perceraian kita selesai," tutur Megan terbata.Riley mengacak rambutnya geram akan