Seorang suster berlari keluar dari pintu ruang operasi dengan wajah panik dan kembali lagi bersama box besar. Kegaduhan itu seketika menarik perhatian tiga orang yang sedari dua jam lalu menunggu di depan ruang operasi."Ada apa, Rey?" tanya Megan penasaran. Mengangkat kepalanya yang bersandar di bahu suaminya.Riley menggeleng pelan. "Sayang, sebentar," ucapnya agar Megan melepaskan kaitan di lengannya. "Aku bicara dengan dokter dulu."Dokter keluar dari pintu ruang operasi menatap Riley dan Allen yang menghampirinya, dengan tatapan sayu."Apa yang terjadi, dok? Bagaimana kondisi Ibu saya?""Rey."Nada suara rendah terdengar putus asa seketika membuat tubuh Riley lemah."Maaf, Rey. Kami sudah berusaha semampu kami."Kalimat itu seketika memupuskan semua harapan yang di pupuk Rey dengan susah payah."Apa?!""Terjadi komplikasi, pembuluh darah Ibu Maria pecah karena tidak mampu menahan tekanan.""12.30, kami menyatakan Ibu Maria telah berpulang," tutur sang dokter."Tidak mungkin," lir
"Rey, bisakah aku meninggalkan mu," pamit Megan. Ia menemui Riley yang seharian ini menghabiskan waktu di kamar ibunya."Kenapa, Sayang? Kamu mau ke mana?" "Ah, aku harus mampir ke kantor sebentar.""Ada masalah?" Riley menghentikan kegiatannya membereskan barang-barang Maria. Ia bergegas menghampiri Megan."Hanya masalah kecil tapi bisa menjadi besar kalau aku terus menundanya."Riley mengangguk mengerti. "Biar aku antar.""Nggak usah, Rey," tahan Megan. "Dari semalam kamu belum tidur, lebih baik kamu istirahat di rumah.""Lalu, kamu berangkat sama siapa? Di jemput Baron.""Aku naik taksi aja.""Nggak boleh, bahaya. Aku antar aja," tegas Riley. "Oh, sebentar ya. Kamu bareng Allen aja. Kebetulan dia lagi OTW ke sini."Megan mengangguk patuh.***"Begini Bu Celine, saya sudah berulang kali menyampaikan informasi bahwa saat ini wakil direktur tengah ada halangan jadi kontrak belum bisa di tandatangani."Mulut Zian serasa berbusa karena terus mengulang kalimat yang sama setiap hari. Sem
"Mau apa kamu ke sini?"Allen yang baru turun dari mobilnya langsung berlari untuk menghadang langkah Celine yang melewati halamanl rumah Riley dengan langkah terburu-buru."Rey sedang berduka, nggak bisa diganggu," tandasnya."Aku harus ketemu sama, Rey. Dia harus bertanggung jawab atas anaknya," pungkas Celine kasar."Nggak sekarang, Celine!" "Aku nggak bisa membiarkan ini lebih lama lagi. Jalang itu akan menguasai Rey!""Jalang? Siapa maksudmu?""Siapa lagi? Tentu saja si Megan itu. Wanita yang menikahi Rey karena mengincar hartanya!""Celine, kamu bisa di tuntut atas pasal fitnah dan pencemaran nama baik!" Kecam Allen. Celine mengibaskan tangannya, tak perduli. "Aku berani jamin, jalang itu tidak mencintai Rey.""Siapa yang kamu sebut jalang?!"Riley keluar dari balik pintu rumahnya. Begitu terjadi keributan di depan rumah, para penjaga langsung menghubunginya."Jangan pernah kamu berani menghina istriku!""Rey, kamu jangan bersikap seperti ini sama aku," rayu Celine. Ia meraih
"Hah." "Kenapa?"Baron meletakkan gelas kopi dihadapan Megan yang berulangkali menghembuskan napas panjang. "Oh, lagi narik napas lega aja.""Ck." Baron berdecak pelan. Ia sudah cukup lama mengenal Megan hingga tidak bisa dibohongi, wanit itu tengah memikirkan sesuatu di dalam otak kecilnya itu."Apalagi yang kamu pikirkan? Bukannya masalah si Nenek lampir itu udah selesai. Bahkan dia nggak pernah nonggol lagi disini."Megan menautkan alisnya. "Celine, maksud mu?""He eh." Sahut Baron tanpa mengalihkan perhatiannya pada oven."Kamu manggang apaan? Harum banget." Megan mengendus senang begitu aroma sedap menguar dari oven yang baru saja di buka."Butter cake, besok 'kan ulang tahun Zian."[BRAK!]"Apaan sih!" Baron melotot karena kaget karena tiba-tiba Megan mengebrak meja."Ulang tahun Zian, aku lupa!" Teriak Megan panik.Baron melengos malas. "Kirain ada apaan."Ia mengangkat loyang berbentuk lingkaran dan meletakkannya di atas tray pendingin cake."Udah bangkotan, nggak perlu di
Megan melambai ke arah pintu kedatangan. Matanya terpaku pada dua pria tampan yang mengayunkan langkah dengan penuh percaya diri. Keduanya menggiring koper, menghampiri wanita yang telah menunggunya sejak sepuluh menit yang lalu."Sayang, aku kangen," ucap Riley manja. Begitu melihat sosok istrinya diantara kerumunan, ia ingin berlari dan segera memeluknya."Berlebihan, cuma dua hari nggak ketemu udah kayak sebulan aja," ledek Allen.Allen yang berdiri disamping Riley, menggelengkan kepala sambil tersenyum geli. Bisa-bisanya, bos yang tampil gagah tanpa senyum, langsung bertingkah manja begitu bertemu istrinya."Kamu capek? Padahal nggak perlu sampe jemput ke bandara," ujar Riley prihatin. Ia melepaskan pelukan, beralih mengelus lembut pipi Megan."Halah, padahal dia senang banget tuh," ledek Allen."Berisik!"Megan terkekeh pelan. "Selamat datang," sambutnya."Banyak banget bawaannya?" Alis Megan berkedut begitu melihat deretan koper yang digiring keluar dari pintu khusus untuk bara
[Kriukkk ...]Gerakan Riley terhenti. Ia perlahan melepaskan ikatan diantara mereka."Sayang, kamu lapar?" Megan buru-buru menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.'Sial! Ini memalukan,' jeritnya dalam hati.Riley terkekeh pelan lalu mengambil kemeja Megan yang tadi ia lempar ke lantai lalu menyampirkan ke pundak istrinya."Maaf ya, aku egois. Aku lupa kalau kita belum makan malam.""Hmm." Gumam Megan tanpa menurunkan tangannya. "Sayang, kok ditutupi wajahnya?" Riley menarik turun tangan Megan untuk menikmati pipi yang bersemu, semerah kepiting rebus."Memalukan," desah Megan tanpa berani menatap mata Riley langsung."Kenapa harus malu?""Justru aku senang, perutmu jauh lebih jujur daripada pemiliknya," ledek Riley.Megan mendelik kesal lalu mengarahkan tinju kecilnya ke pundak suaminya."Ayo, Sayang. Kita harus membereskan kekacauan ini lalu aku akan masak dan memberi makan istriku yang sangat kelaparan ini," ujar Riley sambil mengangkat tubuh Megan, menurunkannya dari atas mej
"Irene, apa kamu bisa mengantarkan dokumen diatas meja kerja Allen?"Riley menghubungi sekretaris Allen karena tak bisa menemukan berkas yang seharusnya mereka bawa untuk melaporkan pajak perusahaan."Bagaimana kamu bisa jadi pengacara dengan ingatan seburuk itu?" Sindir Riley kesal karena Allen meninggalkan berkas penting dan membuat mereka membuang banyak waktu."Sorry, Rey. Patah hati membuat otakku tak berfungsi dengan baik," keluh Allen sendu. "Ah, orang seperti mu tak akan mengerti perasaanku.""Sialan," maki Riley. "Bukankah aku sudah memperingatkanmu dari awal.""Rey, aku ingin makan sesuatu yang manis."Riley berdecak pelan. "Aku merasa tengah mengurus bayi," keluhnya.Allen selalu saja ingin makan cake atau apapun yang manis setiap kali dia sedih ataupun butuh asupan energi."Kita ke cafe depan aja sambil nungguin Irene."Allen mendesah pelan. "Aku tidak ingin bertemu dengan wanita yang telah mematahkan hatiku," racaunya."Kalau begitu tutup matamu," ujar Riley santai sambil
"Irene, kamu nggak usah ikut rapat. Ganti baju dan istirahat saja di ruangan," ujar Riley. Ia kasihan melihat Irene terseok-seok menyeret langkahnya sepanjang perjalanan pulang."Tapi, Pak Riley. Saya harus mencatat notulen—""Tak apa. Allen atau karyawan lain bisa melakukannya."Allen mengangguk. "Ya. Lebih baik kamu istirahat saja dulu. Meskipun tidak ada luka serius tapi dokter melarangmu menggerakkan tangan terlalu sering," timpalnya sembari menunjuk gips di lengan Irene."Baik, Pak. Terima kasih," ucap Irene haru sembari menatap bosnya kagum.Riley dan Allen segera melangkah ke ruang rapat. Mereka sudah ditunggu oleh para karyawan sejak dua jam yang lalu. Beberapa jadwal hari ini harus bergeser atau di tunda karena kecelakaan yang terjadi pada Irene."Rey, lihat!"Konsentrasi Riley terusik Allen yang menyodorkan ponselnya. "Apa ini?" Sentak Riley marah. Semua mata bergetar takut. Mereka terdiam, menanti penjelasan atas apa yang terjadi pada bosnya."Lanjutkan," erang Riley memb