"Hah." "Kenapa?"Baron meletakkan gelas kopi dihadapan Megan yang berulangkali menghembuskan napas panjang. "Oh, lagi narik napas lega aja.""Ck." Baron berdecak pelan. Ia sudah cukup lama mengenal Megan hingga tidak bisa dibohongi, wanit itu tengah memikirkan sesuatu di dalam otak kecilnya itu."Apalagi yang kamu pikirkan? Bukannya masalah si Nenek lampir itu udah selesai. Bahkan dia nggak pernah nonggol lagi disini."Megan menautkan alisnya. "Celine, maksud mu?""He eh." Sahut Baron tanpa mengalihkan perhatiannya pada oven."Kamu manggang apaan? Harum banget." Megan mengendus senang begitu aroma sedap menguar dari oven yang baru saja di buka."Butter cake, besok 'kan ulang tahun Zian."[BRAK!]"Apaan sih!" Baron melotot karena kaget karena tiba-tiba Megan mengebrak meja."Ulang tahun Zian, aku lupa!" Teriak Megan panik.Baron melengos malas. "Kirain ada apaan."Ia mengangkat loyang berbentuk lingkaran dan meletakkannya di atas tray pendingin cake."Udah bangkotan, nggak perlu di
Megan melambai ke arah pintu kedatangan. Matanya terpaku pada dua pria tampan yang mengayunkan langkah dengan penuh percaya diri. Keduanya menggiring koper, menghampiri wanita yang telah menunggunya sejak sepuluh menit yang lalu."Sayang, aku kangen," ucap Riley manja. Begitu melihat sosok istrinya diantara kerumunan, ia ingin berlari dan segera memeluknya."Berlebihan, cuma dua hari nggak ketemu udah kayak sebulan aja," ledek Allen.Allen yang berdiri disamping Riley, menggelengkan kepala sambil tersenyum geli. Bisa-bisanya, bos yang tampil gagah tanpa senyum, langsung bertingkah manja begitu bertemu istrinya."Kamu capek? Padahal nggak perlu sampe jemput ke bandara," ujar Riley prihatin. Ia melepaskan pelukan, beralih mengelus lembut pipi Megan."Halah, padahal dia senang banget tuh," ledek Allen."Berisik!"Megan terkekeh pelan. "Selamat datang," sambutnya."Banyak banget bawaannya?" Alis Megan berkedut begitu melihat deretan koper yang digiring keluar dari pintu khusus untuk bara
[Kriukkk ...]Gerakan Riley terhenti. Ia perlahan melepaskan ikatan diantara mereka."Sayang, kamu lapar?" Megan buru-buru menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.'Sial! Ini memalukan,' jeritnya dalam hati.Riley terkekeh pelan lalu mengambil kemeja Megan yang tadi ia lempar ke lantai lalu menyampirkan ke pundak istrinya."Maaf ya, aku egois. Aku lupa kalau kita belum makan malam.""Hmm." Gumam Megan tanpa menurunkan tangannya. "Sayang, kok ditutupi wajahnya?" Riley menarik turun tangan Megan untuk menikmati pipi yang bersemu, semerah kepiting rebus."Memalukan," desah Megan tanpa berani menatap mata Riley langsung."Kenapa harus malu?""Justru aku senang, perutmu jauh lebih jujur daripada pemiliknya," ledek Riley.Megan mendelik kesal lalu mengarahkan tinju kecilnya ke pundak suaminya."Ayo, Sayang. Kita harus membereskan kekacauan ini lalu aku akan masak dan memberi makan istriku yang sangat kelaparan ini," ujar Riley sambil mengangkat tubuh Megan, menurunkannya dari atas mej
"Irene, apa kamu bisa mengantarkan dokumen diatas meja kerja Allen?"Riley menghubungi sekretaris Allen karena tak bisa menemukan berkas yang seharusnya mereka bawa untuk melaporkan pajak perusahaan."Bagaimana kamu bisa jadi pengacara dengan ingatan seburuk itu?" Sindir Riley kesal karena Allen meninggalkan berkas penting dan membuat mereka membuang banyak waktu."Sorry, Rey. Patah hati membuat otakku tak berfungsi dengan baik," keluh Allen sendu. "Ah, orang seperti mu tak akan mengerti perasaanku.""Sialan," maki Riley. "Bukankah aku sudah memperingatkanmu dari awal.""Rey, aku ingin makan sesuatu yang manis."Riley berdecak pelan. "Aku merasa tengah mengurus bayi," keluhnya.Allen selalu saja ingin makan cake atau apapun yang manis setiap kali dia sedih ataupun butuh asupan energi."Kita ke cafe depan aja sambil nungguin Irene."Allen mendesah pelan. "Aku tidak ingin bertemu dengan wanita yang telah mematahkan hatiku," racaunya."Kalau begitu tutup matamu," ujar Riley santai sambil
"Irene, kamu nggak usah ikut rapat. Ganti baju dan istirahat saja di ruangan," ujar Riley. Ia kasihan melihat Irene terseok-seok menyeret langkahnya sepanjang perjalanan pulang."Tapi, Pak Riley. Saya harus mencatat notulen—""Tak apa. Allen atau karyawan lain bisa melakukannya."Allen mengangguk. "Ya. Lebih baik kamu istirahat saja dulu. Meskipun tidak ada luka serius tapi dokter melarangmu menggerakkan tangan terlalu sering," timpalnya sembari menunjuk gips di lengan Irene."Baik, Pak. Terima kasih," ucap Irene haru sembari menatap bosnya kagum.Riley dan Allen segera melangkah ke ruang rapat. Mereka sudah ditunggu oleh para karyawan sejak dua jam yang lalu. Beberapa jadwal hari ini harus bergeser atau di tunda karena kecelakaan yang terjadi pada Irene."Rey, lihat!"Konsentrasi Riley terusik Allen yang menyodorkan ponselnya. "Apa ini?" Sentak Riley marah. Semua mata bergetar takut. Mereka terdiam, menanti penjelasan atas apa yang terjadi pada bosnya."Lanjutkan," erang Riley memb
Zian bersiul riang kala menginjakkan kakinya di depan gedung klinik dokter Rika. Keriuhan di dalam ruangan mengusik rasa penasaran Zian. Ia melongokkan kepala untuk melihat suara bernada tinggi yang terus membentak dengan kata-kata kasar dan tidak sopan."Ma, aku udah bilang berkali-kali. Berhenti menjodohkan ku dengan pria pilihan Mama. Aku nggak butuh marga," teriak Rika di tengah Isak tangisnya."Kamu, memang anak nggak tahu diri! Udah disekolahin susah-susah malah membantah orangtua. Mama pilihkan pria baik dari marga kita tapi kamu malah milih pria begajulan yang nggak jelas kerjaannya.""Ma, Zian itu baik sama aku bahkan selama ini dia yang selalu membantu keuangan ku. Mama lupa? Dua tahun lalu Mama nikah lagi sama pria yang lebih muda dan berhenti membiayai hidupku. Mama pikir, siapa yang membantuku?""Zian, Ma! Zian!""Anak kurang ajar!" "Eh. Tahan,Tante." Zian menyeruak masuk ke dalam keributan. Menahan laju tangan yang hendak mendarat di pipi sang dokter cantik. "Tante, ten
"Rey, kita mau kemana, sih?"Megan kesusahan mengikuti langkah cepat Riley, menyusuri pelataran parkir. Terpaan angin, mengacak anak-anak rambut hingga menghalangi pandangannya."Ikut aja, Sayang," balas Riley.Seorang pria paruh baya berlari untuk menghampiri Riley."Selamat siang, Tuan Riley," sapanya."Siang, Ben. Apa permintaan saya sudah disiapkan?""Ya, Tuan. Semua sudah siap," sahut pria paruh baya berkebangsaan Italia itu terbata. "Kapten dan para narkoda menunggu anda dermaga kedua, Tuan. Di tempat biasa.""Kita segera berangkat.""Ba—baik, Tuan." Ben melirik takut sosok wanita asing disamping bosnya."Ini istriku, namanya Megan Charles," jelas Riley begitu sadar dengan perhatian yang ditunjukkan Ben pada Megan."Oh, maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bermaksud untuk—""Nanti kita bicarakan lagi," potong Riley tak sabar. Ia kembali menyeret Megan untuk ikut bersamanya."Baik, Tuan." Ben segera menarik diri, dengan sigap mengikuti langkah cepat Riley.Megan hanya bisa tersenyum
Cahaya rembulan mengintip malu-malu dari celah awan yang melapisi kelamnya langit malam ini. Pantulan cahaya merambat tegak lurus, memberi efek warna keemasan di atas permukaan air. Menambah aura romantis bagi pasangan pengantin baru yang tengah memadu kasih di bawah naungan sang rembulan."Hmm. Rey." Megan menepuk keras dada Riley, meminta jeda untuk bernapas. Namun, pria itu tak bergeming, dia semakin memperkuat tekanan di tekuk Megan, enggan untuk mengurai jarak."Rey!" Jerit Megan sambil mengigit cukup keras bibir yang melapisi miliknya. "Aku hampir mati kehabisan napas," keluhnya.Riley terkekeh pelan. "Itu tidak akan terjadi, Sayang. Aku sedang memberimu CPR."Megan berdecak sebal. Ia tahu, Riley tengah menggodanya."Sepertinya kamu punya hobi baru," sindir Megan."Oh ya, apa itu?" balas Riley. Berpura-pura polos."Mengangguku!""Benarkah?" Riley memasang wajah serius. "Bahkan aku belum melakukan setengah dari maksud 'menganggu' yang kamu katakan," ujarnya."Rey, ah ..."Megan
"Megan!"Zian berteriak nyaring. Dia tengah susah payah memegangi background agar tak terhempas angin kencang yang mengarah dari blower besar yang diletakkan di depan model."Kamu kejam," desisnya nelangsa.Megan terkekeh-kekeh sambil mengibaskan tangannya."Jangan cengeng," balasnya tanpa mengindahkan protes Zian.Baron yang tengah melakukan pose di tengah set up pantry dengan background puluhan jenis tanaman—sambil memegang moca pot, harus mengencangkan otot pipinya agar tidak tertawa keras ataupun melayangkan protes yang sama nyaringnya kepada Megan."Ok, cut." Suara teriakan yang menandakan pengambilan satu scene telah selesai, sukses membuat Baron dan Zian kompak mendesah lega."Baron, kita istirahat dulu ya," ujar wanita yang memegang kamera.Baron mengangguk cepat dan buru-buru merenggangkan tubuhnya dan berjalan keluar dari set. Dibelakangnya, Zian melakukan hal yang sama dan segera mengejar langkah kru lainnya."Megan, kita kesini mau liburan loh. Ini malah tiba-tiba jadi suka
"Rey, apa kamu marah karena aku menolak permintaan Papa untuk mengadakan ulang pesta pernikahan kita?"Megan memainkan jemarinya di atas gelembung sabun yang menutupi permukaan air."Ah." Pekik Megan kaget karena tiba-tiba tubuhnya di tarik ke belakang hingga punggungnya menempel di dada bidang suaminya."Katakan alasannya, kenapa aku harus marah?" bisik Riley tepat telinga istrinya.Tubuh Megan mengelijang, ia bergelung di dada suaminya. "Aku takut, kamu berpikir bahwa aku terlalu egois karena memutuskan untuk menolak permintaan Papa tanpa berdiskusi denganmu," sesalnya.Riley menciumi pundak Megan. "Boleh aku tahu, apa alasan sebenarnya kamu menolak?""Aku hanya tidak ingin media terlalu menyorot pernikahan kita, terlebih anak-anak. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuh milikku." Tutur Megan sambil mengosok buku-buku jari suaminya."Menjadi posesif, hmm?' goda Riley."Tidak boleh?"Riley tak berkata apapun, ia hanya mencium kening Megan lamat-lamat."Hmm. Rey, itu … ahhh." Megan
"Hufff … sedikit lagi, Sayang."Zian menopangkan kedua tungkai Nesa ke pundak lalu mendorong gerakan pinggulnya lebih dalam dan keras."Cepat! A—acara udah mau di mulai," teriak Nesa panik."Sedikit lagi. Aku hampir nyampe," racau Zian. Ia menyibak gaun yang dikenakan Nesa untuk memberi akses lebih dalam baginya. Zian mempercepat gerakannya, mendorong lebih untuk menembus kedalaman menuju dasar."Akh, Zian! Terlalu cepat." Protes Nesa saat Zian bergerak maju mundur dengan tempo cepat tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas."Sayang, di luar atau da—dalam?" Napas Zian tersengal hingga membuat kalimatnya terputus-putus."Dalam aja," lenguh Nesa. "Jangan mengotori gaunnya." Pesannya sebelum mengepalkan tangannya, mencengkram pinggiran sofa dengan erat."Ah … Zian, a—aku …" Nesa menjerit nyaring kala menjemput puncak pelepasannya."Akh … ah." Zian mengikuti jejak istrinya. Melepaskan sentakan beserta tembakan kuat ke dalam rahim dan perlahan menarik keluar miliknya.Zian bangkit untuk
Megan keluar dari kamarnya dengan wajah cerah. Ia menyibakkan rambut sebahunya yang mengayun lembut setelah keramas untuk yang kedua kalinya. Langkahnya masih sedikit terseok-seok akibat pertempuran semalam. Riley benar-benar mengamuk, bagai kuda liar melampiaskan seluruh hasratnya yang telah lama tertunda. Megan meraih kenop pintu, kamar si kembar. Bibirnya mengurai senyum geli melihat kumpulan orang yang tidur, saling berhimpitan di ranjang sempit.Semalam, para sahabat menginap di ruangan si kembar sedangkan para bayi tidur terpisah di kamar tamu bersama kakeknya."Baron." Panggilnya sambil mencolek pipi pria imut yang memeluk erat lengan kekasihnya."Hmm." Erang Baron pelan."Udah pagi."Baron mengeliat pelan. "Hmm." Balasnya dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Allen. "Lima menit lagi."Megan tersenyum kecil lalu beralih pada Nesa yang merebahkan kepalanya di paha suaminya."Bangunlah. Bukankah kalian harus ke lokasi syuting hari ini?" Megan mengelus pipi Nesa yang pucat
Baron dan Zian berjingkrak perlahan, mengendap-endap bagai maling jemuran yang tengah menyortir tali jemuran targetnya."Di mana mereka?" Bisik Zian.Baron menggeleng. Ia telah menyusuri hampir seluruh rumah tapi tak juga menemukan jejak Megan dan suaminya.Keduanya menghilang bagai di telan bumi setelah menyerahkan si kembar di bawah pengawasan para kakek dan nenek."Apa mereka ke hotel?" Celetuk Zian."Masa sih? Niat banget," balas Baron ragu."Mereka 'kan udah lama nggak make out. Pasti bakal semalaman bertempur."Baron menegakkan tubuhnya, lelah mengintai. Ia memutar pinggulnya ke kiri dan kanan untuk merenggangkan tubuh."Dah ah, nggak asyik." Keluhnya. "Masuk yuk, lapar."Zian mengikuti jejaknya. "Ya udah deh. Aku juga mau nemanin Nesa bobok."Baron mengerlingkan matanya. "Cie … udah punya temen bobok," godanya.Zian melayangkan tangannya untuk mengeplak kepala Baron, tapi pria imut itu dengan cepat berkelit."Kamu butuh seribu tahun lagi untuk menyentuh ku," ledek Baron."Awas a
"Ku harap hasilnya baik." Gumam Edbert sambil terkekeh. Menertawakan kebodohan yang tengah dilakukannya.Edbert membuka amplop yang diterimanya dari dokter Brown, ia mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam sana dan mulai membaca setiap baris kalimat yang tercetak di kertas."Tentu saja baik, Pak. Apakah itu DNA putri anda? Karena 99%, DNA nya cocok dengan milik anda," ujar sang dokter yang seketika membuat dunia Edbert terguncang."Cocok? Maksud mu?" Edbert mengabaikan kertas yang hendak ia buka dan lebih tertarik untuk memandang sang dokter. Mencari kebenaran akan apa yang baru saja ia dengar."Ya. Dari sampel darah yang anda berikan, kami memastikan bahwa DNA itu adalah putri kandung anda.""Anda yakin dokter Brown?" "Seratus persen yakin." Ucap sang dokter tegas.Edbert memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa panas dan berat. "Anakku? Putriku?" Gumamnya sedih."Apa ada masalah, Pak Edbert?"Edbert melambaikan tangannya. "Tidak, tidak ada yang salah. Justru ini kabar yang sanga
"Pergilah," usir Riley."Rey, mari kita bicara dengan kepala dingin," ajak Zian. Ia maju beberapa langkah mendekati Riley."Lebih baik kalian pergi. Aku tidak ingin bertindak kasar," ucap Riley lalu berbalik kembali masuk ke dalam rumah."Rey!"Baron berusaha maju tapi para pengawal yang berjaga segera menghentikan langkahnya."Sialan," umpat Baron sambil menendang pot disampingnya hingga terguling menjauh."Jangan sakiti dirimu, Baron," tahan Allen yang menarik Baron ke sisinya."Apa yang harus kita lakukan sekarang? Riley tidak akan mau mendengar siapapun lagi," desah Zian. Ia mengacak rambutnya lalu meremas gemas."Bagaimana dengan Papanya? Kita bisa minta Jenderal itu untuk menemui Riley dan bicara padanya." Usul Nesa."Jangan gila!" Sergah Baron cepat. "Riley sudah lama memutuskan hubungannya dengan Papanya. Lagian, siapa yang masih mau berurusan dengan sumber masalah."Zian mengangguk setuju. "Baron benar. Untuk saat ini Riley tidak akan mau mendengarkan orang lain, terutama Papa
Megan mengangkat Ayanna dan meletakkannya dalam pelukan Riley. Kemudian beralih pada Anthea yang kembali menangis."Sabar, Sayang. Gantian sama Kakak ya," hibur Megan."Ayanna dan Anthea," gumam Riley. "Nama yang bagus.""Artinya bunga. Mereka adalah bunga dihidup kita Rey."Riley terharu saat Ayanna menatapnya dengan mata kecil yang mengemaskan sambil tersenyum senang."Rey, gantian sama Anthea. Biar Ayanna menyusu dulu." Megan meletakkan Anthea kembali ke dalam box dan beralih pada Ayanna.Riley tersenyum senang melihat Anthea tersenyum padanya dan menyerahkan tangannya. Meminta untuk digendong."Apa aku boleh mengendongnya?"Megan mengangguk. "Anthea baru selesai menyusu, jadi tepuk punggungnya dengan lembut agar dia sendawa.""Baiklah." Riley merebahkan Anthea di dadanya dan menepuk lembut punggungnya."Apa mereka hanya menyusu?" "Terkadang aku memberi mereka susu formula tapi itu jarang terjadi hanya pada kondisi darurat," sahut Megan. Ia berkonsentrasi menyusu si sulung yang ta
"Rey, sakit." Teriak Megan saat Riley menariknya denga paksa untuk masuk ke kamar.Tubuh Megan dihempaskan dengan kasar ke atas ranjang."Sakit," ringis Megan. Dia memijat pergelangan tangannya yang merah akibat cengkraman tangan Riley yang terlalu kuat hingga meninggalkan cetakan ruas jarinya. Megan beringsut mundur saat Riley menarik kursi dan duduk dihadapannya."Kenapa? Kamu takut padaku?" Tukas Riley sengit.Megan tak berusaha untuk mengelak tudingan Riley. Ia hanya diam, menutup rapat-rapat mulutnya."Apa maksud semua ini?" Riley melemparkan lembaran kertas yang dibawanya ke atas ranjang."Cerai? Kamu minta cerai?" Suara Riley bergetar saat mengucapkan kata cerai. Ia tak menyangka, Megan akan sejauh ini menyiksanya.Megan melirik kertas yang dikirimkannya ke kantor Riley melalui kurir pagi ini."I—iya, Rey. Kamu hanya perlu menandatangani surat itu dan aku akan mengurus semuanya sampai sidang perceraian kita selesai," tutur Megan terbata.Riley mengacak rambutnya geram akan