"Rey, bangun. Katanya kamu ada rapat pagi?" Megan menguncang tubuh Riley pelan, membangunkan. Megan telah selesai berkemas sejak lima belas menit yang lalu. Dia sengaja tidak membangunkan Riley lebih awal karena pria itu terlihat sangat kelelahan. Jadi Megan memberinya waktu tidur lebih lama."Hmm, Sayang, kamu udah bangun?" Riley mengucek matanya, tak lama dia bangkit dari ranjang—membuat tubuh atasnya yang berbalut otot terekspos dengan jelas.Megan segera mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tidak melihat pemandangan menggoda di pagi hari.Riley terkekeh geli. Menghampiri Megan yang duduk di balik meja hias dan memeluk tekuk nua dari arah belakang."Hmm, kenapa kamu harus berpaling? Walaupun kita belum melangkah terlalu jauh tapi, kamu sudah melihat semuanya," desah Riley tepat di telinga istrinya. ia mengecup pipi kiri lalu berpindah ke kanan. "Selamat pagi.""Pa—pagi," balas Megan terbata.Riley terkekeh puas. Menggoda Megan menjadi hobi baru baginya. Dia sangat menyukai rona
"Apa kamu yakin?"Daniel menyusuri setiap kata yang tertulis dalam laporan yang diberikan detektif swasta yang sengaja disewanya untuk mencari keberadaan bayi dalam foto.Rasa penasaran mengusik Daniel untuk mencari tahu kabar sepupunya. Namun kenyataan pahit harus Daniel terima karena bayi yang digendong Mama dalam foto bukanlah sepupu melainkan kakak perempuan atau lebit tepatnya kakak tiri."Ya. Informasi dari panti asuhan, wanita di dalam foto meninggalkan anaknya disana dengan alasan akan menikah dengan laki-laki lain dan suami barunya tidak menginginkan anak ini."Mata Daniel menatap nanar wajah wanita di dalam foto. Dia seolah tak lagi mengenal sosok Mama, ingatannya mengabur bersama kenyataan bahwa wanita yang selama ini dia kagumi karena sikapnya bak seorang malaikat, ternyata tega mengabaikan bahkan membuang anaknya.***"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Zian.Dia meletakkan puluhan lembar kertas biodata aktor yang melamar untuk peran pendukung di hadapan Megan dan juri lainnya
"Baron."Baron mendengus malas begitu melihat dua pria bersetelan jas menghampirinya."Hai." sapa Allen. Ia meringis begitu pria imut itu membuang muka—mengabaikannya."Di mana Megan?" tanya Riley."Apa aku terlihat seperti babysitter?" Sergah Baron ketus."Hei, tak bisakah kamu sedikit ramah," hardik Allen. Ia mulai kehabisan sabar untuk menghadapi emosi Baron.Riley menepuk pundak Allen—menenangkannya. "Aku menganggap mu sebagai adik dari istriku," ucap Riley tenang. Tidak ada gunanya berdebat dengan Baron yang menunjukkan sikap sangat jelas menolak kehadirannya dalam hidup Megan. Riley berusaha memahami itu, sifat Megan dan Baron hampir sama, keduanya cenderung keras dan sulit untuk di dekati secara langsung. Mereka harus benar-benar merasa nyaman, baru bersedia membuka diri menerima keberadaan orang-orang baru di sekitar mereka. Baron terhenyak oleh pengakuan Riley. "Dia di rooftop, istirahat," sahutnya mengalah."Baiklah. Terima kasih." Riley melirik sekilas pria asing yang te
"Romeo, sampai kapanpun cinta ini akan selalu milikmu. Meski jarak dan waktu memisahkan kita.""Juliette, izinkan aku mencintaimu sampai maut memisahkan—""Cut."Suara teriakan Zian menghentikan gerakan sepasang manusia di tengah ruangan. Pria dan wanita itu saling melepas pelukan dan kembali bersikap canggung."Ini yang kamu bilang bagus?" sindir Megan yang duduk diantara Nesa dan Zian. Wajahnya menekuk suram.Zian tersenyum lebar—penuh kemenangan.Nesa menunduk—memainkan ujung pointer di tangannya. "Kemarin bagus kok," cicitnya berusaha membela diri."Itu karena kalian terlalu terpukau sama penampilan. Sekarang, lihat! Kita sudah mengulang adegan yang sama sebanyak sepuluh kali," omel Zian. "Kalau sekali lagi harus diulang aku akan membuang scene tidak penting ini.""Tidak penting?!"Zian langsung diam—mengalihkan pandangannya ke arah lain sebelum Megan beralih untuk mengamuk padanya.Nesa semakin menunduk—menyadari kesalahannya."Hei, anak baru."Suara panggilan bernada ketus membua
"Rey, hari ini aku boleh ikut ke kantor ya?"Megan memasang wajah polos, menggoyang pupil—menampilkan tatapan penuh harap. Ia memainkan kancing depan kemeja yang dikenakan Riley.Riley yang tengah memasang dasi memalingkan pandangannya—menahan hasrat untuk tidak menerkam istrinya yang tiba-tiba saja bertingkah imut pagi hari ini."Rey," rengek Megan. "Boleh ya?""Tentu saja boleh. Milikku adalah milikmu, kamu bisa datang kapan saja kamu mau, Sayang," sahut Riley. Ia menarik tubuh Megan lebih dekat sembari mengecup keningnya."Tapi pasti ada alasannya 'kan?""Alasan?" Megan membulatkan matanya—seolah tidak mengerti apa yang dibicarakan Riley."Yah, nggak mungkin kamu tiba-tiba ke kantor tanpa alasan.""Hmm," Megan merenggut manja. "Kenapa? Nggak boleh?""Jangan-jangan kamu menyembunyikan sekretaris cantik di ruangan mu," selidiknya curiga.Riley mengeram dalam. "Aku tidak butuh wanita manapun lagi setelah memilikimu, Meg," desisnya sebelum menanamkan bibirnya di balik ceruk putih, mengh
"Siapa itu?" tanya Megan. Matanya menangkap sosok Riley bersama seorang wanita. Dari kejauhan keduanya tampak saling mengenal satu sama lain, terlibat pembicaraan yang serius hingga sang wanita menangis dan menerjang—memeluk tubuh pria dihadapannya.Allen dan Baron mengikuti arah pandangan Megan. Dalam hati Allen mengutuk kebodohannya karena tidak memprediksi kemungkinan Megan bisa melihat Riley bersama Celine yang berjarak tidak jauh dari lobi gedung."Wanita itu menangis?" Imbuh Baron—menambah aura kelam di sekitar Megan.Raut wajah Megan tetap tenang, tak ada gurat-gurat tanda emosi ataupun cemburu disana. Namun, bila seseorang mengamati dengan jeli, aura disekitar Megan terasa gelap dan dingin. Tangannya terkepal erat, mengengam kain lap hingga tak berbentuk. "Hmm, dia—""Lebih baik kamu menjawab dengan jujur bila masih ingin keluar dari tempat ini dengan aman," kecam Baron mengirimkan ancaman.Allen meneguk ludah, menghela napas panjang. "Celine, wanita itu mantan tunangan Rile
"Rey, aku nggak cemburu," protes Megan. Dia tidak ingin Riley menganggapnya sebagai wanita lemah yang mulai bersikap tak masuk akal kala terbakar cemburu."Hmm. Ya ... Ya," gumam Riley di sela tawa gemasnya."Rey ..." rengek Megan yang mulai putus asa."Ya, Sayang." Riley menarik Megan untuk duduk di sofa bersamanya. "Akui saja kalau kamu cemburu," kekehnya senang."Nggak." Tantang Megan berkeras. Ia membulatkan pipinya sembari membuang muka.Riley meraup tubuh Megan—mengunci di atas pangkuannya. "Meg, tak bisakah kamu sedikit jujur?" Bisiknya di telinga istrinya. "Jujur? Aku sudah berusaha jujur," keluh Megan.Riley menyusuri setiap lekuk tajam di wajah Megan dengan bibirnya. Mendaratkan kecupan selembut kapas demi memancing reaksi kala pujian tak bersyair dilepaskan."Yah. Jujurlah, Sayang. Katakan apa yang kamu inginkan."Megan mengeliat—bergelut untuk melepaskan diri. Tangan kekar itu menahan tubuhnya hingga tak dapat beranjak sedikit pun. Tatapan hangat seolah merayu, bagai ma
"Ulang."Zian dan Nesa tertegun, pemandangan di dalam ruangan membuat mereka harus kompak merapatkan diri—bersembuyi di balik pintu. Dua jam telah berlalu tapi, Daniel masih berkutat dengan baris pertama dalam skrip bagiannya."Ulang." Seru Megan untuk ke sekian kalinya."Si Megan kerasukan jin, ya?" Bisik Zian sembari bergidik ngeri melihat aura kelam di sekitar Megan. Sedangkan dari arah yang berlawanan, Daniel duduk dengan pundak lemah dan mata berkaca, siap menumpahkan airmata."Lebih tepatnya setan," imbuh Nesa. "Megan dalam mode serius selalu mengerikan."Tak ada satupun kru yang berani mendekati ruangan yang dipakai Megan. Mereka memilih menjauh, menyelamatkan diri dari amukan sang penulis. Bahkan kali ini Baron juga menolak untuk ikut campur. "Ulang! Jangan tersenyum dalam adegan sedih," sentak Megan tegas. Daniel mendesah pelan sebelum akhirnya kembali menarik napas dalam-dalam. "Apakah, kamu—""Ulang!"Megan mengebrak meja. "Apa yang sebenarnya kamu pelajari selama ini?"