Nesa menggiring kursi roda Megan memasuki ruangan luas bernuansa serba putih dengan salah satu dinding di lapisi kaca yang memantulkan setiap gerakan orang-orang yang melewatinya."Hari ini, kita mau ngadain audisi untuk pemeran pengganti," jelas Nesa."Peran pengganti? Harusnya semua pemeran sudah lengkap 'kan?" tanya Megan heran.Nesa mengangguk, tak lama dia berdecak kasar. "Derek memboyong mereka semua untuk bermain di projek terbarunya," keluhnya kesal.Megan terkekeh melihat wajah kesal Nesa. Dari awal wanita muda itu sudah menunjukkan tanda ketidaksukaannya pada Derek—sang sutradara."Ya sudahlah. Kita memakai Derek karena Zian terlalu sibuk dengan projek sebelumnya dan sekarang semuanya membaik dan aku lebih tenang bila Zian yang memimpin langsung syuting film ini," hibur Megan—membesarkan hati penulis muda itu."Iya juga sih." Nesa manggut-manggut membenarkan. "Oh ya, Meg. Kapan kita mulai proses re-create naskah? Aktris utama sudah tak sabar menunggu naskah mereka di kirim."
"Rey, bangun. Katanya kamu ada rapat pagi?" Megan menguncang tubuh Riley pelan, membangunkan. Megan telah selesai berkemas sejak lima belas menit yang lalu. Dia sengaja tidak membangunkan Riley lebih awal karena pria itu terlihat sangat kelelahan. Jadi Megan memberinya waktu tidur lebih lama."Hmm, Sayang, kamu udah bangun?" Riley mengucek matanya, tak lama dia bangkit dari ranjang—membuat tubuh atasnya yang berbalut otot terekspos dengan jelas.Megan segera mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tidak melihat pemandangan menggoda di pagi hari.Riley terkekeh geli. Menghampiri Megan yang duduk di balik meja hias dan memeluk tekuk nua dari arah belakang."Hmm, kenapa kamu harus berpaling? Walaupun kita belum melangkah terlalu jauh tapi, kamu sudah melihat semuanya," desah Riley tepat di telinga istrinya. ia mengecup pipi kiri lalu berpindah ke kanan. "Selamat pagi.""Pa—pagi," balas Megan terbata.Riley terkekeh puas. Menggoda Megan menjadi hobi baru baginya. Dia sangat menyukai rona
"Apa kamu yakin?"Daniel menyusuri setiap kata yang tertulis dalam laporan yang diberikan detektif swasta yang sengaja disewanya untuk mencari keberadaan bayi dalam foto.Rasa penasaran mengusik Daniel untuk mencari tahu kabar sepupunya. Namun kenyataan pahit harus Daniel terima karena bayi yang digendong Mama dalam foto bukanlah sepupu melainkan kakak perempuan atau lebit tepatnya kakak tiri."Ya. Informasi dari panti asuhan, wanita di dalam foto meninggalkan anaknya disana dengan alasan akan menikah dengan laki-laki lain dan suami barunya tidak menginginkan anak ini."Mata Daniel menatap nanar wajah wanita di dalam foto. Dia seolah tak lagi mengenal sosok Mama, ingatannya mengabur bersama kenyataan bahwa wanita yang selama ini dia kagumi karena sikapnya bak seorang malaikat, ternyata tega mengabaikan bahkan membuang anaknya.***"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Zian.Dia meletakkan puluhan lembar kertas biodata aktor yang melamar untuk peran pendukung di hadapan Megan dan juri lainnya
"Baron."Baron mendengus malas begitu melihat dua pria bersetelan jas menghampirinya."Hai." sapa Allen. Ia meringis begitu pria imut itu membuang muka—mengabaikannya."Di mana Megan?" tanya Riley."Apa aku terlihat seperti babysitter?" Sergah Baron ketus."Hei, tak bisakah kamu sedikit ramah," hardik Allen. Ia mulai kehabisan sabar untuk menghadapi emosi Baron.Riley menepuk pundak Allen—menenangkannya. "Aku menganggap mu sebagai adik dari istriku," ucap Riley tenang. Tidak ada gunanya berdebat dengan Baron yang menunjukkan sikap sangat jelas menolak kehadirannya dalam hidup Megan. Riley berusaha memahami itu, sifat Megan dan Baron hampir sama, keduanya cenderung keras dan sulit untuk di dekati secara langsung. Mereka harus benar-benar merasa nyaman, baru bersedia membuka diri menerima keberadaan orang-orang baru di sekitar mereka. Baron terhenyak oleh pengakuan Riley. "Dia di rooftop, istirahat," sahutnya mengalah."Baiklah. Terima kasih." Riley melirik sekilas pria asing yang te
"Romeo, sampai kapanpun cinta ini akan selalu milikmu. Meski jarak dan waktu memisahkan kita.""Juliette, izinkan aku mencintaimu sampai maut memisahkan—""Cut."Suara teriakan Zian menghentikan gerakan sepasang manusia di tengah ruangan. Pria dan wanita itu saling melepas pelukan dan kembali bersikap canggung."Ini yang kamu bilang bagus?" sindir Megan yang duduk diantara Nesa dan Zian. Wajahnya menekuk suram.Zian tersenyum lebar—penuh kemenangan.Nesa menunduk—memainkan ujung pointer di tangannya. "Kemarin bagus kok," cicitnya berusaha membela diri."Itu karena kalian terlalu terpukau sama penampilan. Sekarang, lihat! Kita sudah mengulang adegan yang sama sebanyak sepuluh kali," omel Zian. "Kalau sekali lagi harus diulang aku akan membuang scene tidak penting ini.""Tidak penting?!"Zian langsung diam—mengalihkan pandangannya ke arah lain sebelum Megan beralih untuk mengamuk padanya.Nesa semakin menunduk—menyadari kesalahannya."Hei, anak baru."Suara panggilan bernada ketus membua
"Rey, hari ini aku boleh ikut ke kantor ya?"Megan memasang wajah polos, menggoyang pupil—menampilkan tatapan penuh harap. Ia memainkan kancing depan kemeja yang dikenakan Riley.Riley yang tengah memasang dasi memalingkan pandangannya—menahan hasrat untuk tidak menerkam istrinya yang tiba-tiba saja bertingkah imut pagi hari ini."Rey," rengek Megan. "Boleh ya?""Tentu saja boleh. Milikku adalah milikmu, kamu bisa datang kapan saja kamu mau, Sayang," sahut Riley. Ia menarik tubuh Megan lebih dekat sembari mengecup keningnya."Tapi pasti ada alasannya 'kan?""Alasan?" Megan membulatkan matanya—seolah tidak mengerti apa yang dibicarakan Riley."Yah, nggak mungkin kamu tiba-tiba ke kantor tanpa alasan.""Hmm," Megan merenggut manja. "Kenapa? Nggak boleh?""Jangan-jangan kamu menyembunyikan sekretaris cantik di ruangan mu," selidiknya curiga.Riley mengeram dalam. "Aku tidak butuh wanita manapun lagi setelah memilikimu, Meg," desisnya sebelum menanamkan bibirnya di balik ceruk putih, mengh
"Siapa itu?" tanya Megan. Matanya menangkap sosok Riley bersama seorang wanita. Dari kejauhan keduanya tampak saling mengenal satu sama lain, terlibat pembicaraan yang serius hingga sang wanita menangis dan menerjang—memeluk tubuh pria dihadapannya.Allen dan Baron mengikuti arah pandangan Megan. Dalam hati Allen mengutuk kebodohannya karena tidak memprediksi kemungkinan Megan bisa melihat Riley bersama Celine yang berjarak tidak jauh dari lobi gedung."Wanita itu menangis?" Imbuh Baron—menambah aura kelam di sekitar Megan.Raut wajah Megan tetap tenang, tak ada gurat-gurat tanda emosi ataupun cemburu disana. Namun, bila seseorang mengamati dengan jeli, aura disekitar Megan terasa gelap dan dingin. Tangannya terkepal erat, mengengam kain lap hingga tak berbentuk. "Hmm, dia—""Lebih baik kamu menjawab dengan jujur bila masih ingin keluar dari tempat ini dengan aman," kecam Baron mengirimkan ancaman.Allen meneguk ludah, menghela napas panjang. "Celine, wanita itu mantan tunangan Rile
"Rey, aku nggak cemburu," protes Megan. Dia tidak ingin Riley menganggapnya sebagai wanita lemah yang mulai bersikap tak masuk akal kala terbakar cemburu."Hmm. Ya ... Ya," gumam Riley di sela tawa gemasnya."Rey ..." rengek Megan yang mulai putus asa."Ya, Sayang." Riley menarik Megan untuk duduk di sofa bersamanya. "Akui saja kalau kamu cemburu," kekehnya senang."Nggak." Tantang Megan berkeras. Ia membulatkan pipinya sembari membuang muka.Riley meraup tubuh Megan—mengunci di atas pangkuannya. "Meg, tak bisakah kamu sedikit jujur?" Bisiknya di telinga istrinya. "Jujur? Aku sudah berusaha jujur," keluh Megan.Riley menyusuri setiap lekuk tajam di wajah Megan dengan bibirnya. Mendaratkan kecupan selembut kapas demi memancing reaksi kala pujian tak bersyair dilepaskan."Yah. Jujurlah, Sayang. Katakan apa yang kamu inginkan."Megan mengeliat—bergelut untuk melepaskan diri. Tangan kekar itu menahan tubuhnya hingga tak dapat beranjak sedikit pun. Tatapan hangat seolah merayu, bagai ma
"Megan!"Zian berteriak nyaring. Dia tengah susah payah memegangi background agar tak terhempas angin kencang yang mengarah dari blower besar yang diletakkan di depan model."Kamu kejam," desisnya nelangsa.Megan terkekeh-kekeh sambil mengibaskan tangannya."Jangan cengeng," balasnya tanpa mengindahkan protes Zian.Baron yang tengah melakukan pose di tengah set up pantry dengan background puluhan jenis tanaman—sambil memegang moca pot, harus mengencangkan otot pipinya agar tidak tertawa keras ataupun melayangkan protes yang sama nyaringnya kepada Megan."Ok, cut." Suara teriakan yang menandakan pengambilan satu scene telah selesai, sukses membuat Baron dan Zian kompak mendesah lega."Baron, kita istirahat dulu ya," ujar wanita yang memegang kamera.Baron mengangguk cepat dan buru-buru merenggangkan tubuhnya dan berjalan keluar dari set. Dibelakangnya, Zian melakukan hal yang sama dan segera mengejar langkah kru lainnya."Megan, kita kesini mau liburan loh. Ini malah tiba-tiba jadi suka
"Rey, apa kamu marah karena aku menolak permintaan Papa untuk mengadakan ulang pesta pernikahan kita?"Megan memainkan jemarinya di atas gelembung sabun yang menutupi permukaan air."Ah." Pekik Megan kaget karena tiba-tiba tubuhnya di tarik ke belakang hingga punggungnya menempel di dada bidang suaminya."Katakan alasannya, kenapa aku harus marah?" bisik Riley tepat telinga istrinya.Tubuh Megan mengelijang, ia bergelung di dada suaminya. "Aku takut, kamu berpikir bahwa aku terlalu egois karena memutuskan untuk menolak permintaan Papa tanpa berdiskusi denganmu," sesalnya.Riley menciumi pundak Megan. "Boleh aku tahu, apa alasan sebenarnya kamu menolak?""Aku hanya tidak ingin media terlalu menyorot pernikahan kita, terlebih anak-anak. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuh milikku." Tutur Megan sambil mengosok buku-buku jari suaminya."Menjadi posesif, hmm?' goda Riley."Tidak boleh?"Riley tak berkata apapun, ia hanya mencium kening Megan lamat-lamat."Hmm. Rey, itu … ahhh." Megan
"Hufff … sedikit lagi, Sayang."Zian menopangkan kedua tungkai Nesa ke pundak lalu mendorong gerakan pinggulnya lebih dalam dan keras."Cepat! A—acara udah mau di mulai," teriak Nesa panik."Sedikit lagi. Aku hampir nyampe," racau Zian. Ia menyibak gaun yang dikenakan Nesa untuk memberi akses lebih dalam baginya. Zian mempercepat gerakannya, mendorong lebih untuk menembus kedalaman menuju dasar."Akh, Zian! Terlalu cepat." Protes Nesa saat Zian bergerak maju mundur dengan tempo cepat tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas."Sayang, di luar atau da—dalam?" Napas Zian tersengal hingga membuat kalimatnya terputus-putus."Dalam aja," lenguh Nesa. "Jangan mengotori gaunnya." Pesannya sebelum mengepalkan tangannya, mencengkram pinggiran sofa dengan erat."Ah … Zian, a—aku …" Nesa menjerit nyaring kala menjemput puncak pelepasannya."Akh … ah." Zian mengikuti jejak istrinya. Melepaskan sentakan beserta tembakan kuat ke dalam rahim dan perlahan menarik keluar miliknya.Zian bangkit untuk
Megan keluar dari kamarnya dengan wajah cerah. Ia menyibakkan rambut sebahunya yang mengayun lembut setelah keramas untuk yang kedua kalinya. Langkahnya masih sedikit terseok-seok akibat pertempuran semalam. Riley benar-benar mengamuk, bagai kuda liar melampiaskan seluruh hasratnya yang telah lama tertunda. Megan meraih kenop pintu, kamar si kembar. Bibirnya mengurai senyum geli melihat kumpulan orang yang tidur, saling berhimpitan di ranjang sempit.Semalam, para sahabat menginap di ruangan si kembar sedangkan para bayi tidur terpisah di kamar tamu bersama kakeknya."Baron." Panggilnya sambil mencolek pipi pria imut yang memeluk erat lengan kekasihnya."Hmm." Erang Baron pelan."Udah pagi."Baron mengeliat pelan. "Hmm." Balasnya dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Allen. "Lima menit lagi."Megan tersenyum kecil lalu beralih pada Nesa yang merebahkan kepalanya di paha suaminya."Bangunlah. Bukankah kalian harus ke lokasi syuting hari ini?" Megan mengelus pipi Nesa yang pucat
Baron dan Zian berjingkrak perlahan, mengendap-endap bagai maling jemuran yang tengah menyortir tali jemuran targetnya."Di mana mereka?" Bisik Zian.Baron menggeleng. Ia telah menyusuri hampir seluruh rumah tapi tak juga menemukan jejak Megan dan suaminya.Keduanya menghilang bagai di telan bumi setelah menyerahkan si kembar di bawah pengawasan para kakek dan nenek."Apa mereka ke hotel?" Celetuk Zian."Masa sih? Niat banget," balas Baron ragu."Mereka 'kan udah lama nggak make out. Pasti bakal semalaman bertempur."Baron menegakkan tubuhnya, lelah mengintai. Ia memutar pinggulnya ke kiri dan kanan untuk merenggangkan tubuh."Dah ah, nggak asyik." Keluhnya. "Masuk yuk, lapar."Zian mengikuti jejaknya. "Ya udah deh. Aku juga mau nemanin Nesa bobok."Baron mengerlingkan matanya. "Cie … udah punya temen bobok," godanya.Zian melayangkan tangannya untuk mengeplak kepala Baron, tapi pria imut itu dengan cepat berkelit."Kamu butuh seribu tahun lagi untuk menyentuh ku," ledek Baron."Awas a
"Ku harap hasilnya baik." Gumam Edbert sambil terkekeh. Menertawakan kebodohan yang tengah dilakukannya.Edbert membuka amplop yang diterimanya dari dokter Brown, ia mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam sana dan mulai membaca setiap baris kalimat yang tercetak di kertas."Tentu saja baik, Pak. Apakah itu DNA putri anda? Karena 99%, DNA nya cocok dengan milik anda," ujar sang dokter yang seketika membuat dunia Edbert terguncang."Cocok? Maksud mu?" Edbert mengabaikan kertas yang hendak ia buka dan lebih tertarik untuk memandang sang dokter. Mencari kebenaran akan apa yang baru saja ia dengar."Ya. Dari sampel darah yang anda berikan, kami memastikan bahwa DNA itu adalah putri kandung anda.""Anda yakin dokter Brown?" "Seratus persen yakin." Ucap sang dokter tegas.Edbert memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa panas dan berat. "Anakku? Putriku?" Gumamnya sedih."Apa ada masalah, Pak Edbert?"Edbert melambaikan tangannya. "Tidak, tidak ada yang salah. Justru ini kabar yang sanga
"Pergilah," usir Riley."Rey, mari kita bicara dengan kepala dingin," ajak Zian. Ia maju beberapa langkah mendekati Riley."Lebih baik kalian pergi. Aku tidak ingin bertindak kasar," ucap Riley lalu berbalik kembali masuk ke dalam rumah."Rey!"Baron berusaha maju tapi para pengawal yang berjaga segera menghentikan langkahnya."Sialan," umpat Baron sambil menendang pot disampingnya hingga terguling menjauh."Jangan sakiti dirimu, Baron," tahan Allen yang menarik Baron ke sisinya."Apa yang harus kita lakukan sekarang? Riley tidak akan mau mendengar siapapun lagi," desah Zian. Ia mengacak rambutnya lalu meremas gemas."Bagaimana dengan Papanya? Kita bisa minta Jenderal itu untuk menemui Riley dan bicara padanya." Usul Nesa."Jangan gila!" Sergah Baron cepat. "Riley sudah lama memutuskan hubungannya dengan Papanya. Lagian, siapa yang masih mau berurusan dengan sumber masalah."Zian mengangguk setuju. "Baron benar. Untuk saat ini Riley tidak akan mau mendengarkan orang lain, terutama Papa
Megan mengangkat Ayanna dan meletakkannya dalam pelukan Riley. Kemudian beralih pada Anthea yang kembali menangis."Sabar, Sayang. Gantian sama Kakak ya," hibur Megan."Ayanna dan Anthea," gumam Riley. "Nama yang bagus.""Artinya bunga. Mereka adalah bunga dihidup kita Rey."Riley terharu saat Ayanna menatapnya dengan mata kecil yang mengemaskan sambil tersenyum senang."Rey, gantian sama Anthea. Biar Ayanna menyusu dulu." Megan meletakkan Anthea kembali ke dalam box dan beralih pada Ayanna.Riley tersenyum senang melihat Anthea tersenyum padanya dan menyerahkan tangannya. Meminta untuk digendong."Apa aku boleh mengendongnya?"Megan mengangguk. "Anthea baru selesai menyusu, jadi tepuk punggungnya dengan lembut agar dia sendawa.""Baiklah." Riley merebahkan Anthea di dadanya dan menepuk lembut punggungnya."Apa mereka hanya menyusu?" "Terkadang aku memberi mereka susu formula tapi itu jarang terjadi hanya pada kondisi darurat," sahut Megan. Ia berkonsentrasi menyusu si sulung yang ta
"Rey, sakit." Teriak Megan saat Riley menariknya denga paksa untuk masuk ke kamar.Tubuh Megan dihempaskan dengan kasar ke atas ranjang."Sakit," ringis Megan. Dia memijat pergelangan tangannya yang merah akibat cengkraman tangan Riley yang terlalu kuat hingga meninggalkan cetakan ruas jarinya. Megan beringsut mundur saat Riley menarik kursi dan duduk dihadapannya."Kenapa? Kamu takut padaku?" Tukas Riley sengit.Megan tak berusaha untuk mengelak tudingan Riley. Ia hanya diam, menutup rapat-rapat mulutnya."Apa maksud semua ini?" Riley melemparkan lembaran kertas yang dibawanya ke atas ranjang."Cerai? Kamu minta cerai?" Suara Riley bergetar saat mengucapkan kata cerai. Ia tak menyangka, Megan akan sejauh ini menyiksanya.Megan melirik kertas yang dikirimkannya ke kantor Riley melalui kurir pagi ini."I—iya, Rey. Kamu hanya perlu menandatangani surat itu dan aku akan mengurus semuanya sampai sidang perceraian kita selesai," tutur Megan terbata.Riley mengacak rambutnya geram akan