"Aku merindukanmu, Megan," batin Riley sambil menghirup dalam-dalam aroma tubuh istrinya. "Riley," panggil Megan. Keningnya mengerut bingung karena Riley terpaku di tempatnya dan menatap Megan dengan pandangan kosong."Turunkan aku."Riley mendesah kecewa sambil mengutuk dalam hati. Berharap bisa memeluk tubuh yang dirindukannya lebih lama. Dengan berat hati, dia menurunkan tubuh Megan di atas bangku taman lalu turut duduk disampingnya."Kamu lapar?" tanya Riley.Megan menggeleng cepat. "Apa yang dikatakan dokter?" alihnya. Setelah menanti cukup lama, Megan diliputi rasa penasaran, dia tidak sabar untuk mendengar penjelasan dokter tentang kondisi Ibu mertuanya. "Menurut dokter, Mama harus segera menjalani operasi untuk mengangkat pengumpalan darah yang menekan saraf di otaknya," jelas Riley. Mata Riley memperhatikan seksama, menangkap ekspresi sedih di mata Megan, manik berwarna gelap itu berkaca-kaca, memantulkan kilasan airmata. "Seburuk itu," gumam Megan prihatin. 'Apakah Mega
Allen bergantian, melirik bingung dua orang yang sedari tadi hanya diam. Saling membuang muka—menghindar, layaknya pasangan suami istri yang tengah perang dingin. Dia bertanya-tanya apa yang membuat Riley tiba-tiba menghubungi dan memintanya untuk segera datang ke rumah sakit dengan membawa beberapa barang yang membuat Allen mengerutkan dahi—materai dan stempel.'Apa mereka akan bercerai?!' pikir Allen."Bisa kita mulai?" Seru Megan yang tiba-tiba memecah kesunyian diantara mereka.Allen mengendikkan dagunya pada Riley, meminta penjelasan. Namun sahabatnya itu hanya diam dan enggan untuk menjawabnya."Kalian tiba-tiba meminta ku datang tanpa alasan, hanya untuk melihat aksi diam seperti ini?" ujar Allen kesal karena tak seorangpun mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Rey!" Riley mendesah dalam. "Aku ingin Megan pulang ke rumah tapi dia malah mengajukan beberapa persyaratan dan meminta kamu untuk melegalkan surat perjanjian ini," jelasnya singkat.Dia menyilangkan kakinya, pe
"Megan," desah Riley. Ia merengkuh wajah Megan dengan kedua tangannya. Menyesap bibir itu lebih dalam. Menikmati candu yang memabukkannya.Megan kehilangan arah—meremas kemeja Riley, napasnya mulai memburu karena pria tampan itu tidak memberikan sedetik pun jeda bagi Megan untuk sekedar menghela napas."Hmm," ia melenguh pelan. Lipatan bibirnya terbuka untuk memberi celah, berharap ada udara yang masuk untuk memberi paru-parunya pasokan oksigen. Namun celah itu segera terisi oleh lidah yang menyusup masuk—aktif bergerak, menjilat dinding langit hingga mengabsen setiap sudut. Saat kedua untaian bertemu, mereka saling menyapa—membelit disertai lumatan yang semakin cepat dan basah hingga terdengar decakan saat keduanya bertukar saliva."Rey," erang Megan yang nyaris kehilangan kesadaran. Ia menepuk dada bidang yang menekan—merengkuh tubuhnya. Memaksa pria bertubuh kekar itu melepas jalinan diantara mereka."Meg," desah Riley begitu melepaskan bibirnya. Napasnya memburu, mengimbangi wani
Megan dengan bantuan Riley, keduanya memasuki ruang rapat kantor pengacara lebih tepatnya kantor Allen. Sebelum tiba di rumah sakit, Allen menghubungi ponsel Riley dan meminta keduanya untuk ke kantornya lebih dulu untuk membicarakan kontrak yang harus di tanda tangani."Apa yang terjadi dengan leher mu?" Seru Baron langsung begitu melihat syal tebal yang dikenakan Megan untuk menutupi lehernya."Apa kalian baru selesai bercinta?"Semua orang yang ada di ruang rapat kantor mendelik kaget dengan sikap Baron yang terlalu lugas. Zian menarik Baron untuk kembali duduk. "Bersikaplah baik untuk hari ini," desisnya memaksa pria imut itu untuk menjaga sikap.Baron tak menanggapi, ia hanya melempar pantatnya ke kursi lalu melengos kesal karena Megan melotot—memintanya untuk diam.Setelah membantu istri ya duduk, Riley beralih pada Allen. "Kenapa kamu membawa mereka ke sini?"Allen mengendikkan bahu. "Well, dia memaksa ikut begitu tahu kamu dan Megan akan menemui ku," ujarnya pasrah."Kamu memb
"Aku ingin menambahkan satu syarat dalam kontrak ini," tukas Megan tiba-tiba."Apa lagi, Meg?" Sergah Riley sambil mengepalkan tangannya.Hampir semua orang yang ada di dalam ruangan terhenyak bingung, terutama Allen dan Riley. "Megan, sebelumnya kita sudah mencapai kata sepakat," ujar Allen untuk mengendalikan situasi keruh yang tengah terjadi. "Kenapa kamu mau menambahkan syarat lagi?"Megan mengangguk sempurna. "Aku tahu tapi, syarat terakhir ini sangat penting bagi ku." Urai Megan tegas."Apa? Katakan." Emosi Riley mulai mencapai ambang batas. Dia tidak ingin pengorbanannya untuk tetap mengikat istrinya dalam mahligai pernikahan menjadi sia-sia. Apapun permintaan Megan, untuk kali ini saja Riley akan bersabar dan menyetujuinya hingga pada waktunya, Riley akan membuat Megan tidak bisa beranjak dari sisinya selangkah pun."Aku tidak ingin kontrak ini mempengaruhi jalinan kerja antara perusahaan mu dengan agensi kami," ujar Megan hati-hati.Riley mendengus pelan. "Hanya itu?" buruny
"Megan, bangun, Sayang."Megan melenguh pelan, mengeliatkan tubuhnya di atas ranjang. "Berhenti melakukan itu, kamu bisa membuatku menerkam mu sekarang juga."Mendengar suara bernada gelap dan dalam membuat Megan seketika membuka matanya, mengerjab beberapa saat sebelum bisa mengenali dengan baik pemilik suara yang tengah menatap tubuhnya penuh minat."Jaga mata nakal mu itu atau aku akan menusuknya dengan sumpit," hardik Megan. Ia turun dari ranjang, memamerkan tubuh sintalnya yang hanya tertutup dress satin tipis."Holy shit, you're sexy as fuck," puji Riley kagum. Ia meraih lengan Megan untuk duduk diatas pangkuannya. Setelah saling bersitatap beberapa saat, Megan mengerakkan jarinya menuju leher Riley, bermain dengan simpul dasi yang melengkapi setelan jas suaminya. "Kamu mau berangkat ke kantor? tanyanya.Riley mengangguk. "Ya, ada pertemuan dengan kolega dari Singapura.""Apa kamu akan pulang terlambat?"Ibu jari Riley mengusap pelan bibir Megan. "Kenapa? Kamu merindukanku?""
Nesa menggiring kursi roda Megan memasuki ruangan luas bernuansa serba putih dengan salah satu dinding di lapisi kaca yang memantulkan setiap gerakan orang-orang yang melewatinya."Hari ini, kita mau ngadain audisi untuk pemeran pengganti," jelas Nesa."Peran pengganti? Harusnya semua pemeran sudah lengkap 'kan?" tanya Megan heran.Nesa mengangguk, tak lama dia berdecak kasar. "Derek memboyong mereka semua untuk bermain di projek terbarunya," keluhnya kesal.Megan terkekeh melihat wajah kesal Nesa. Dari awal wanita muda itu sudah menunjukkan tanda ketidaksukaannya pada Derek—sang sutradara."Ya sudahlah. Kita memakai Derek karena Zian terlalu sibuk dengan projek sebelumnya dan sekarang semuanya membaik dan aku lebih tenang bila Zian yang memimpin langsung syuting film ini," hibur Megan—membesarkan hati penulis muda itu."Iya juga sih." Nesa manggut-manggut membenarkan. "Oh ya, Meg. Kapan kita mulai proses re-create naskah? Aktris utama sudah tak sabar menunggu naskah mereka di kirim."
"Rey, bangun. Katanya kamu ada rapat pagi?" Megan menguncang tubuh Riley pelan, membangunkan. Megan telah selesai berkemas sejak lima belas menit yang lalu. Dia sengaja tidak membangunkan Riley lebih awal karena pria itu terlihat sangat kelelahan. Jadi Megan memberinya waktu tidur lebih lama."Hmm, Sayang, kamu udah bangun?" Riley mengucek matanya, tak lama dia bangkit dari ranjang—membuat tubuh atasnya yang berbalut otot terekspos dengan jelas.Megan segera mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tidak melihat pemandangan menggoda di pagi hari.Riley terkekeh geli. Menghampiri Megan yang duduk di balik meja hias dan memeluk tekuk nua dari arah belakang."Hmm, kenapa kamu harus berpaling? Walaupun kita belum melangkah terlalu jauh tapi, kamu sudah melihat semuanya," desah Riley tepat di telinga istrinya. ia mengecup pipi kiri lalu berpindah ke kanan. "Selamat pagi.""Pa—pagi," balas Megan terbata.Riley terkekeh puas. Menggoda Megan menjadi hobi baru baginya. Dia sangat menyukai rona
"Megan!"Zian berteriak nyaring. Dia tengah susah payah memegangi background agar tak terhempas angin kencang yang mengarah dari blower besar yang diletakkan di depan model."Kamu kejam," desisnya nelangsa.Megan terkekeh-kekeh sambil mengibaskan tangannya."Jangan cengeng," balasnya tanpa mengindahkan protes Zian.Baron yang tengah melakukan pose di tengah set up pantry dengan background puluhan jenis tanaman—sambil memegang moca pot, harus mengencangkan otot pipinya agar tidak tertawa keras ataupun melayangkan protes yang sama nyaringnya kepada Megan."Ok, cut." Suara teriakan yang menandakan pengambilan satu scene telah selesai, sukses membuat Baron dan Zian kompak mendesah lega."Baron, kita istirahat dulu ya," ujar wanita yang memegang kamera.Baron mengangguk cepat dan buru-buru merenggangkan tubuhnya dan berjalan keluar dari set. Dibelakangnya, Zian melakukan hal yang sama dan segera mengejar langkah kru lainnya."Megan, kita kesini mau liburan loh. Ini malah tiba-tiba jadi suka
"Rey, apa kamu marah karena aku menolak permintaan Papa untuk mengadakan ulang pesta pernikahan kita?"Megan memainkan jemarinya di atas gelembung sabun yang menutupi permukaan air."Ah." Pekik Megan kaget karena tiba-tiba tubuhnya di tarik ke belakang hingga punggungnya menempel di dada bidang suaminya."Katakan alasannya, kenapa aku harus marah?" bisik Riley tepat telinga istrinya.Tubuh Megan mengelijang, ia bergelung di dada suaminya. "Aku takut, kamu berpikir bahwa aku terlalu egois karena memutuskan untuk menolak permintaan Papa tanpa berdiskusi denganmu," sesalnya.Riley menciumi pundak Megan. "Boleh aku tahu, apa alasan sebenarnya kamu menolak?""Aku hanya tidak ingin media terlalu menyorot pernikahan kita, terlebih anak-anak. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuh milikku." Tutur Megan sambil mengosok buku-buku jari suaminya."Menjadi posesif, hmm?' goda Riley."Tidak boleh?"Riley tak berkata apapun, ia hanya mencium kening Megan lamat-lamat."Hmm. Rey, itu … ahhh." Megan
"Hufff … sedikit lagi, Sayang."Zian menopangkan kedua tungkai Nesa ke pundak lalu mendorong gerakan pinggulnya lebih dalam dan keras."Cepat! A—acara udah mau di mulai," teriak Nesa panik."Sedikit lagi. Aku hampir nyampe," racau Zian. Ia menyibak gaun yang dikenakan Nesa untuk memberi akses lebih dalam baginya. Zian mempercepat gerakannya, mendorong lebih untuk menembus kedalaman menuju dasar."Akh, Zian! Terlalu cepat." Protes Nesa saat Zian bergerak maju mundur dengan tempo cepat tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas."Sayang, di luar atau da—dalam?" Napas Zian tersengal hingga membuat kalimatnya terputus-putus."Dalam aja," lenguh Nesa. "Jangan mengotori gaunnya." Pesannya sebelum mengepalkan tangannya, mencengkram pinggiran sofa dengan erat."Ah … Zian, a—aku …" Nesa menjerit nyaring kala menjemput puncak pelepasannya."Akh … ah." Zian mengikuti jejak istrinya. Melepaskan sentakan beserta tembakan kuat ke dalam rahim dan perlahan menarik keluar miliknya.Zian bangkit untuk
Megan keluar dari kamarnya dengan wajah cerah. Ia menyibakkan rambut sebahunya yang mengayun lembut setelah keramas untuk yang kedua kalinya. Langkahnya masih sedikit terseok-seok akibat pertempuran semalam. Riley benar-benar mengamuk, bagai kuda liar melampiaskan seluruh hasratnya yang telah lama tertunda. Megan meraih kenop pintu, kamar si kembar. Bibirnya mengurai senyum geli melihat kumpulan orang yang tidur, saling berhimpitan di ranjang sempit.Semalam, para sahabat menginap di ruangan si kembar sedangkan para bayi tidur terpisah di kamar tamu bersama kakeknya."Baron." Panggilnya sambil mencolek pipi pria imut yang memeluk erat lengan kekasihnya."Hmm." Erang Baron pelan."Udah pagi."Baron mengeliat pelan. "Hmm." Balasnya dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Allen. "Lima menit lagi."Megan tersenyum kecil lalu beralih pada Nesa yang merebahkan kepalanya di paha suaminya."Bangunlah. Bukankah kalian harus ke lokasi syuting hari ini?" Megan mengelus pipi Nesa yang pucat
Baron dan Zian berjingkrak perlahan, mengendap-endap bagai maling jemuran yang tengah menyortir tali jemuran targetnya."Di mana mereka?" Bisik Zian.Baron menggeleng. Ia telah menyusuri hampir seluruh rumah tapi tak juga menemukan jejak Megan dan suaminya.Keduanya menghilang bagai di telan bumi setelah menyerahkan si kembar di bawah pengawasan para kakek dan nenek."Apa mereka ke hotel?" Celetuk Zian."Masa sih? Niat banget," balas Baron ragu."Mereka 'kan udah lama nggak make out. Pasti bakal semalaman bertempur."Baron menegakkan tubuhnya, lelah mengintai. Ia memutar pinggulnya ke kiri dan kanan untuk merenggangkan tubuh."Dah ah, nggak asyik." Keluhnya. "Masuk yuk, lapar."Zian mengikuti jejaknya. "Ya udah deh. Aku juga mau nemanin Nesa bobok."Baron mengerlingkan matanya. "Cie … udah punya temen bobok," godanya.Zian melayangkan tangannya untuk mengeplak kepala Baron, tapi pria imut itu dengan cepat berkelit."Kamu butuh seribu tahun lagi untuk menyentuh ku," ledek Baron."Awas a
"Ku harap hasilnya baik." Gumam Edbert sambil terkekeh. Menertawakan kebodohan yang tengah dilakukannya.Edbert membuka amplop yang diterimanya dari dokter Brown, ia mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam sana dan mulai membaca setiap baris kalimat yang tercetak di kertas."Tentu saja baik, Pak. Apakah itu DNA putri anda? Karena 99%, DNA nya cocok dengan milik anda," ujar sang dokter yang seketika membuat dunia Edbert terguncang."Cocok? Maksud mu?" Edbert mengabaikan kertas yang hendak ia buka dan lebih tertarik untuk memandang sang dokter. Mencari kebenaran akan apa yang baru saja ia dengar."Ya. Dari sampel darah yang anda berikan, kami memastikan bahwa DNA itu adalah putri kandung anda.""Anda yakin dokter Brown?" "Seratus persen yakin." Ucap sang dokter tegas.Edbert memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa panas dan berat. "Anakku? Putriku?" Gumamnya sedih."Apa ada masalah, Pak Edbert?"Edbert melambaikan tangannya. "Tidak, tidak ada yang salah. Justru ini kabar yang sanga
"Pergilah," usir Riley."Rey, mari kita bicara dengan kepala dingin," ajak Zian. Ia maju beberapa langkah mendekati Riley."Lebih baik kalian pergi. Aku tidak ingin bertindak kasar," ucap Riley lalu berbalik kembali masuk ke dalam rumah."Rey!"Baron berusaha maju tapi para pengawal yang berjaga segera menghentikan langkahnya."Sialan," umpat Baron sambil menendang pot disampingnya hingga terguling menjauh."Jangan sakiti dirimu, Baron," tahan Allen yang menarik Baron ke sisinya."Apa yang harus kita lakukan sekarang? Riley tidak akan mau mendengar siapapun lagi," desah Zian. Ia mengacak rambutnya lalu meremas gemas."Bagaimana dengan Papanya? Kita bisa minta Jenderal itu untuk menemui Riley dan bicara padanya." Usul Nesa."Jangan gila!" Sergah Baron cepat. "Riley sudah lama memutuskan hubungannya dengan Papanya. Lagian, siapa yang masih mau berurusan dengan sumber masalah."Zian mengangguk setuju. "Baron benar. Untuk saat ini Riley tidak akan mau mendengarkan orang lain, terutama Papa
Megan mengangkat Ayanna dan meletakkannya dalam pelukan Riley. Kemudian beralih pada Anthea yang kembali menangis."Sabar, Sayang. Gantian sama Kakak ya," hibur Megan."Ayanna dan Anthea," gumam Riley. "Nama yang bagus.""Artinya bunga. Mereka adalah bunga dihidup kita Rey."Riley terharu saat Ayanna menatapnya dengan mata kecil yang mengemaskan sambil tersenyum senang."Rey, gantian sama Anthea. Biar Ayanna menyusu dulu." Megan meletakkan Anthea kembali ke dalam box dan beralih pada Ayanna.Riley tersenyum senang melihat Anthea tersenyum padanya dan menyerahkan tangannya. Meminta untuk digendong."Apa aku boleh mengendongnya?"Megan mengangguk. "Anthea baru selesai menyusu, jadi tepuk punggungnya dengan lembut agar dia sendawa.""Baiklah." Riley merebahkan Anthea di dadanya dan menepuk lembut punggungnya."Apa mereka hanya menyusu?" "Terkadang aku memberi mereka susu formula tapi itu jarang terjadi hanya pada kondisi darurat," sahut Megan. Ia berkonsentrasi menyusu si sulung yang ta
"Rey, sakit." Teriak Megan saat Riley menariknya denga paksa untuk masuk ke kamar.Tubuh Megan dihempaskan dengan kasar ke atas ranjang."Sakit," ringis Megan. Dia memijat pergelangan tangannya yang merah akibat cengkraman tangan Riley yang terlalu kuat hingga meninggalkan cetakan ruas jarinya. Megan beringsut mundur saat Riley menarik kursi dan duduk dihadapannya."Kenapa? Kamu takut padaku?" Tukas Riley sengit.Megan tak berusaha untuk mengelak tudingan Riley. Ia hanya diam, menutup rapat-rapat mulutnya."Apa maksud semua ini?" Riley melemparkan lembaran kertas yang dibawanya ke atas ranjang."Cerai? Kamu minta cerai?" Suara Riley bergetar saat mengucapkan kata cerai. Ia tak menyangka, Megan akan sejauh ini menyiksanya.Megan melirik kertas yang dikirimkannya ke kantor Riley melalui kurir pagi ini."I—iya, Rey. Kamu hanya perlu menandatangani surat itu dan aku akan mengurus semuanya sampai sidang perceraian kita selesai," tutur Megan terbata.Riley mengacak rambutnya geram akan