Lucas menurunkan tablet di depannya, lantas mendongak. Ia langsung bangkit dari duduknya demi menyambut pria berkulit putih pucat itu. Bagaimanapun Lucas segan karena dokter Isaac sudah lama melayani keluarganya."Silakan, kau bisa makan bersama kami dulu di sini," ajak Lucas menunjuk meja makannya yang sudah terhidang banyak makanan."Oh, tidak usah, Tuan. Saya kemari hanya bertanggung jawab untuk memeriksa Nona Chiara, bukan makan," selorohnya tertawa."Jangan begitu. Ayolah, makan bersama kami dulu. Chiara pasti sedang makan juga."Isaac tampak menimbang-nimbang sekilas, kemudian menuruti ajakan Lucas. Ia menggiring kaki dan menarik salah satu kursi tepat di depan Lucas.Setelah melihat sekilas beberapa makanan di depannya, ia tak sengaja bertemu pandang dengan Albert. Isaac sempat terpaku selama beberapa detik. Sementara Albert langsung mengulas senyum dan mengajak Isaac untuk segera mengambil makanan. Isaac membalasnya dengan senyum simpul, kemudian ikut makan bersama mereka.Sel
Chiara yang sedang duduk di tepi jendela menoleh. Menangkap raut wajah merah padam pada Lucas. Pria itu menatap tajam ke arah buket bunga mawar segar yang bertengger di atas nakas. Seketika Chiara panik.Lucas mengatupkan rahangnya. Menggiring kaki lantas menyahut secara kasar bunga mawar merah itu. Tatapan tajamnya beralih kepada Chiara."Siapa yang kemari?! Dari mana ini?!" Lucas mencengkeram erat buket itu dengan melempar tatapan nyalang.Chiara yang pucat menggigit bibir bawahnya. Mencari-cari alasan agar Lucas tak marah. Apalagi kalau tahu buket bunga tersebut berasal dari Zyan."Jangan diam saja! Jawab!" Lucas melangkahkan kaki mendekat."Itu dari Zyan," jawab cepat Chiara. Lucas langsung termenung."Bagaimana bisa dia masuk kemari?""Aku tidak tahu, Lucas." Chiara menggeleng pasrah.Lucas menggertakkan gigi. Kakinya berderap menuju pintu kaca yang terhubung dengan balkon kamar Chiara. Ia membuka pintu itu, membuat Chiara terjingkat lalu mengikuti jejak Lucas dengan cemas.Mula-
Dada Albert mulai sesak karena ditekan dengan kaki si pelaku. Kaki pria itu sekarang menukik tajam menusuk punggungnya. Sementara kedua tangannya ditarik keras ke belakang.Albert mengerang, namun hal itu justru membuat tenaga lawan lebih besar."Ayo jawab! Kenapa kau ke rumahku!""Biarkan aku bicara dulu," desis Albert di tengah rasa yang menyiksanya."Kau pikir aku bodoh?! Kalau aku lengah kau pasti akan menyerangku. Iya kan!""Aku tidak akan menyerangmu." Albert memang tak akan menyerang pria itu sebelum ia sendiri tahu siapa dalang kejadian dua puluh tahun lalu."Dari awal aku sudah curiga padamu!" pekik Chen Ze di sela dengusan napasnya.Albert meringis kesakitan. Wajahnya sudah merah padam. "Lepaskan aku!"Lalu Chen Ze menuruti permintaan Albert. Tangan Albert ditarik sampai badannya terpaksa mendongak, lantas dalam posisi bersimpuh. Albert melihat Chen Ze di depannya tengah menyeringai. Ternyata pria itu mempunyai dua preman yang bekerja untuknya. Satu memegang tangan kanan, sa
Mentari hangat yang bersemu orange menyelinap mulai merangkak dari sisi timur. Sengaja membangunkan aktivitas lagi di bumi.Dapur sedang sibuk-sibuknya menyiapkan berbagai makanan di meja. Chiara menggeliat dan terbangun, merasakan hari ini tubuhnya mulai membaik. Ia memandang ke arah buket bunga segar yang masih tersimpan rapi di atas nakasnya. Chiara mengembangkan senyum. Memandangi buket itu selalu membuatnya senang.Sementara Lucas mulai menutup laptopnya. Beruntung pekerjaan yang ia kerjakan semalam sudah rampung. Lucas mendongak memastikan jam, lantas bangkit dari meja untuk membersihkan diri.Ketika waktu menunjukkan pukul setengah tujuh, Lucas dan Albert sudah siap berada di meja makan. Chiara juga ikut serta, tapi datang paling akhir."Memangnya Nona sudah sembuh?" celetuk salah satu pelayan yang berpapasan dengannya. Chiara menjawabnya dengan anggukan girang."Sudah kok, Bi." Lalu langkah kakinya yang ceria menuntunnya hingga ke salah satu kursi di depan Lucas dan Albert sep
Lucas dan Albert berdiri di antara kerumunan orang yang memakai pakaian dominan hitam. Angin yang mengalir lembut menerpa wajah keduanya. Mereka menunduk, ikut berduka.Beberapa orang menangis di dekatnya. Ada juga seorang wanita paruh baya sambil menggendong bayi yang masih kecil menangis histeris. Sesekali menyedot ingusnya keras.Chiara baru saja tiba. Ditemani Melly, ia berdiri di samping Albert dan ikut berduka cita. Ia memandangi nama Isaac Hank yang terukir di batu nisan baru, kemudian terisak karena bagaimanapun pria itu telah berperan penting menyembuhkan sakitnya beberapa hari lalu. Chiara ikut menyesalkan kematian cepat seorang dokter Isaac yang namanya pernah masyhur pada zamannya.Di tempat yang lain, Robert dan Sarah juga turut hadir di pemakaman satu-satunya dokter yang mereka andalkan lebih dari tiga puluh tahun. Sarah mengusap air matanya. Wajahnya sudah memerah karena tak dapat menahan emosi sedihnya. Robert di dekatnya berusaha menenangkan istrinya. Mengusap bahu wa
Robert terkikik setelah melontarkan pernyataan itu. Apalagi sekarang wajah Lucas tampak kesal dan frustasi."Apa?! Kau juga mengundangnya?" Lucas tak habis pikir dengan apa yang ada di dalam otak Robert. Mengundang istri Lucas dan biang kerok di acara pertunangannya nanti?"Tapi ini kan cuma pertunangan!" desah Lucas kalut.Senyum di bibir Robert menyurut. "Cuma pertunangan menurutmu? Tidak ada kata cuma di antara Knight Group dan K Group, Lucas. Seharusnya kau tahu itu.""Tetap saja, Dad. Aku cuma ingin acara pertunangan sederhana yang hanya dihadiri keluarga saja. Tidak lebih!"Robert menatap tajam sambil melempar punggungnya ke sandaran kursi. "Ck! Kau membuatku berpikir betapa rugi mempunyai dua anak bodoh! Seharusnya kau lebih terbiasa dengan namanya fasilitas, Lucas," decaknya kesal."Tapi, Dad, ini acaraku. Aku berhak mengundang siapa saja yang hadir nanti!" sembur Lucas kesal."Kau anakku! Aku juga berhak menentukan apapun di hidupmu!"Lalu muncul senyuman getir dari bibir Luc
Setelah mendengar pernyataan yang terlontar dari mulut Lucas, Chiara terpegun. Ekspresinya menunjukkan ketidakpercayaan. Chiara buru-buru menggeleng. Tak berhasil mencerna dengan baik apa yang sebenarnya Lucas katakan."Tunggu, apa maksudmu, Lucas?" Chiara menautkan kedua alisnya.Lucas mengeraskan rahangnya. "Aku dan Poppy cuma bersandiwara. Apa kau puas?!"Chiara menggeleng lagi. "Tidak mungkin…" lirihnya. Ia tidak pernah berekspektasi jika dua orang itu cuma pura-pura.Lucas kemudian membuang muka. Mendengus kasar untuk kesekian kalinya. Memandang secara tak bergairah ke arah makanan di depannya.Lucas lalu meletakkan alat makannya dengan gerak berangasan, lantas segera bangkit dari duduknya."Sudahlah! Jangan dibahas lagi, aku jadi tidak nafsu makan!" ujarnya lantas berderap pergi. Meninggalkan Chiara yang termangu sendiri.Namun baru saja Lucas menapakkan langkah pertama pada anak tangga, ia menoleh sekilas dan memperingatkan Chiara."Jangan pernah membocorkan hal ini kepada siapa
"Apa Anda merasa deg-degan, Tuan?" tanya Albert di suatu pagi. Pria itu sedikit memiringkan kepala demi mengamati ekspresi yang tercetak pada wajah Lucas.Lucas yang sedang mengunyah mengernyit. Ia segera menelan makanannya untuk kemudian meraih jus jeruk dan menenggaknya singkat.Setelah meletakkan gelasnya, ia menanggapi, "Apa maksudmu, Albert?""Acara pertunangan Tuan akan digelar besok? Apa Anda baik-baik saja?" ulangnya. Lucas jadi tergelak, kemudian buru-buru menggeleng."Kau itu apa-apaan. Pertunangan itu kan bagiku cuma sandiwara. Lalu apa yang harus aku cemaskan?"Albert ikut tertawa. Lucas barusan menjawabnya cukup tenang. Namun ia berharap ada rasa kegugupan—meskipun sedikit. Hal itu pasti akan lucu."Sudah tertawanya. Kita fokus makan dulu," hardik Lucas untuk menghentikan tawa Albert. "Sebentar lagi kita akan mengunjungi pabrik untuk mengawasi pengerjaannya," tambahnya lagi mengingatkan.Pagi ini mereka sengaja berangkat lebih awal dan sarapan di kantin perusahaan. Bebera