"Sebaiknya Puteri kembali ke kamar, kondisi Puteri masih belum sepenuhnya pulih." Logan tiba-tiba angkat suara. Sejak tadi berdiri di belakang Katherine. Katherine melirik sekilas sambil berkata,"Kau tenang saja, aku baik-baik saja kok, lagipula aku mau memeriksa keadaan Lea, aku tidak mau dia juga dijahati seseorang, cukup aku saja yang merasakan kesakitan tadi."Mendengar hal itu Lea tertegun sejenak. Sorot matanya yang semula bak lautan api seketika lenyap.'Apa Katherine tidak tahu kalau dia diberi obat perangsang tadi?' Lea menerka-nerka tanpa mengalihkan pandangan dari depan. 'Tapi baguslah, setidaknya dia tidak menaruh curiga padaku dan aku masih menetap di sini!'Lea tak tahu bila Katherine dan Logan tengah berakting. Di sepanjang jalan tadi Katherine meminta Logan mengucapkan kata-kata tadi. Logan pun menuruti kemauan sang tuan. "Lea," panggil Katherine berusaha mendekat,"kenapa diam? Ada apa denganmu? Kau masih marah karena aku hukum tadi."Lea segera tersadar, cepat-cepat
Kemarahan Zara sudah tak bisa dibendung lagi. Terlebih situasi saat ini sangat menguntungkan, di belakang sana Logan masih sibuk bercakap-cakap di ponsel.Sedangkan di depan sana, Katherine bergeming, menegadahkan kepala ke atas langit. Akan tetapi, iris mata Zara melebar seketika, kakinya pun mendadak berhenti bergerak."Selamat pagi Ma, tumben Mama datang kemari?" Tanpa dugaan Katherine memutar badan sambil melempar senyum lebar. Zara tentu saja sangat terkejut. Dia balas dengan senyum kaku lalu mendekati Katherine."Pagi Katherine, hehe, mama hanya ingin menyapamu sebentar dan nanti mau bertemu Lea, mama senang kau terlihat sehat hari ini," papar Zara basa-basi. Membungkuk sedikit dengan hormat. Zara tidak melupakan status Katherine sekarang adalah seorang Puteri kerajaan. Memikirkan hal itu dia sangat jengkel dan kesal.Katherine tersenyum tipis. Namun senyumnya itu, senyum kepalsuan. "Pagi ini aku sangat sehat dan merasa seperti terlahir kembali, tapi tadi malam seseorang memb
"Apa yang kau lakukan?!" Mata Zara melotot seketika. Pintu baru saja dibuka, namun dirinya malah disambut dengan sebuah tamparan kuat dari anak kandungnya. Lea menutup rapat bibirnya. Tetapi otot-otot di wajah menegang, matanya pun melotot keluar dan napasnya memburu, seolah-olah tengah mengeluarkan emosinya yang meluap-luap. "Kenapa kau menampar Mama?" Katherine segera mengeser kaki lalu berdiri tepat di samping Zara. Sejak tadi dia berada di balik pintu, yang otomatis tidak bisa dilihat Lea. Lea tampak terkejut. Melihat Katherine ternyata di sekitar mereka dari tadi. Ekspresi wajahnya yang semula marah berubah dalam sekejap, dia melempar senyum kaku kemudian. Atmosfer di sekitar mendadak menjadi canggung, Lea enggan menyahut malah menggerakkan bola matanya ke segala arah. Sementara Zara memandang putrinya dengan sangat dingin. Katherine mengerutkan dahi, samar. Meskipun bingung dengan situasi sekarang. Dia sedikit terhibur dengan kejadian di depan matanya barusan. "Lea,
"Selamat pagi Ratu." Secepat kilat Zara membungkuk dengan hormat lalu menegakkan tubuh. "Pagi Ratu." Lea pun melakukan hal yang sama. Meski jantungnya berdetak amat cepat dan kencang sekarang. "Hmm, apa ini obatmu?" Celine menyodorkan obat kepada Lea.Lea meraih obat dari tangan Celine."Iya, mengapa ada di tempat Ratu?" tanyanya berhati-hati.Lea menelan ludah berkali-kali menatap obat pengugur kandungan tersebut, yang ternyata bagian luarnya diganti kemasan dengan obat pereda sakit kepala. Dia sangat senang karena penjual mau menuruti permintaannya. Padahal tadi sempat terjadi cek-cok mulut saat memesan obat.Sekarang, permasalahannya apakah Celine mendengar perbincangan mereka tadi di dalam. Lea terlihat panik. Tetapi jika mendengar, sang ratu pasti tidak akan bersikap seperti ini. Kendati demikian, Lea harus waspada. Apalagi suaranya tadi cukup nyaring. "Aku baru saja sampai, aku pikir Katherine ada di sini, aku sempat melihat Logan yang membawanya tadi, dia meletakkan obat di
Katherine mencoba mengabaikan pendapat para bangsawan di sekitar. Memilih fokus berjalan menuju tempat acara. Beberapa minggu sebelumnya, saat statusnya berubah menjadi Puteri Kathrerine banyak desas-desus yang berhembus mengenai dirinya dan Frederick. Meskipun pernikahan diadakan tertutup. Pasti ada saja mulut-mulut orang di istana yang gatal lalu menyebarkan humor tersebut. Katherine tak mau ambil pusing, fokus pada misi balas dendamnya. Meladeni para bangsawan itu hanya membuang waktu dan tenaganya saja."Kakak tidak apa-apa 'kan?" tanya Lea tiba-tiba. Sejak tadi mendengar gunjingan di sekitar. Sekarang, dia tengah bersandiwara di depan Katherine. Padahal hatinya sangat senang barusan.Tentu saja Katherine tahu isi pikiran Lea. Dengan sorot mata acuh dia pun menoleh."Memangnya kenapa, apa ada masalah?"Reaksi Katherine di luar perkiraan Lea. Wanita itu menahan kesal sambil mengepalkan sedikit kedua tangannya. "Eh, tidak Kak, hehe.""Cepatlah berjalan Katherine." Perhatian Kath
Semua wanita membeku di tempat. Baik Lea, Flo dan wanita yang pernah tidur dengan Karl, mendadak terdiam dengan muka merah. Saat ini mereka ingin sekali menguliti Katherine hidup-hidup. Topik pembicaraan sore ini bukan hanya sekadar gosip tapi aib dan skandal para bangsawan. "Sekarang pun Lea menyukai apa yang kumiliki. Ternyata dia ingin bersanding bersama Pangeran. Kau ingin merebut Frederick dariku bukan? Ya sama seperti dulu kau menjalin hubungan dengan mantan kekasihku," lanjut Katherine lagi. Sambil menyelam minum air, itulah yang dilakukan Katherine saat ini. Mempermalukan Lea dan para wanita yang tidak disangka-sangka menyukai Frederick juga. Tentu saja dia tidak akan melewatkan momen ini.Lea membeku. Wajahnya semakin merah padam. Dengan sekuat tenaga dia menahan amarahnya lalu berucap,"Apa maksud Kakak? Aku tidak mengerti."Ekspresi Katherine mendadak dingin. Dia amati mata Lea dengan tajam. "Berhentilah berpura-pura Lea, buka saja topengmu itu, aku tahu semua tentangmu,
Frederick mengerutkan dahi dengan samar, memperhatikan Katherine tengah menutup mata. "Memangnya kenapa?" Katherine menggeleng cepat lalu berkata,"Tidak.""Kau kedinginan?" tanya Frederick membuat Katherine semakin salah tingkah. Lelaki bermata biru itu belum menyadari keadaan tubuh Katherine sekarang, sangat tembus pandang hingga siapa saja yang melintas di jalan pasti akan melihat ke arah Katherine. Sekali lagi gelengan cepat dibalas Katherine. Frederick memicingkan mata saat melihat tubuh Katherine. Secepat kilat ia membuka jasnya yang basah lalu menarik tangan Katherine.Katherine amat terkejut dan reflek membuka mata. "Frederick, mau a–pa?!" tanyanya panik. Frederick mendengus dingin lalu berkata,"Semuanya terlihat, kenapa kau tidak bilang?" Tanpa mendengar balasan dia taruh jas hitam miliknya di pundak Katherine."Kau kedinginan, maaf gara-gara aku, kau jadi basah, seandainya saja aku tidak mengajakmu tadi, pasti kau kau tidak kedinginan seperti sekarang," ujar Frederick k
Katherine amat terkejut. Jantungnya hampir saja melompat dari tempat sarangnya. Padahal sudah diingatkan tetapi otak mungilnya ini memang sangat malas mengingatkan sang pemilik tubuh agar tidak bertindak ceroboh. Entah bagaimana ceritanya dia bisa berada di bawah tubuh Frederick sekarang. Yang dia ingat tadi, dalam keadaan tubuh basah dan rambut panjang yang basah pula, ia berlari kecil keluar dari kamar. Akan tetapi, kakinya tergelincir dan tanpa sengaja menabrak punggung belakang Frederick. Karena kehilangan keseimbangan dia spontan menarik tangan Frederick. Alhasil lelaki yang berstatus menjadi suami kontraknya itu di atas tubuhnya kini."Frederick, berdirilah!" Dalam keadaan mata tertutup dan bibir bergetar, Katherine pun berkata.Tak ada pergerakkan, Frederick tertegun, mengamati dengan seksama lekukan tubuh polos Katherine sambil menelan ludahnya berkali-kali. Dia sedang menahan sensasi aneh mulai menjalar di tubuhnya. Dengan jarak yang sangat dekat dan begitu intens, dari tad
Benda berbahan kaca itu langsung pecah, mengenai punggung Victor. Victor tak peduli malah makin mempercepat langkah kaki sambil tersenyum puas. Meninggalkan Larisa menjerit-jerit histeris. ...Keesokan harinya, pagi-pagi sekali istana gempar dengan kabar gembira dari Grace. Grace ternyata tengah mengandung. Bukan hanya Grace, Katherine pun juga, mengandung anak kedua. Keduanya sama-sama muntah tadi pagi. Sukacita menyelimuti hati Xavier, Frederick dan Victor. Saat ini mereka tengah sarapan bersama di ruang makan, ada Logan dan Robert juga terlihat duduk bersama. Sementara Larisa memilih sarapan di kamar karena hatinya dalam keadaan buruk sekarang. "Aku tidak sabar dengan kedatangan anakku, Grace. Semoga saja anakku perempuan dan anakmu laki-laki, jadi kalau sudah besar kita bisa menjodohkan mereka," celetuk Katherine setelah selesai menyantap roti. "Iya, amin, semoga saja anakku laki-laki, pasti lucu jika mereka sudah besar nanti," balas Grace tak kalah senang. "Aku setuju, maka
"Apa kau lupa aku menikahimu karena terpaksa, sampai kapan pun nama Clara tidak akan hilang, kaulah yang membuat aku dan Clara tidak bisa bersama, aku muak dengan sikapmu Larisa!" seru Victor dengan mata berkobar-kobar. Larisa mendekat. "Oh ya? Tapi wanita itu sudah mati sekarang dan kau tidak bisa memilikinya! Akulah yang memilikimu sekarang Victor!" Victor menyeringai tipis. "Kau hanya memiliki ragaku tapi tidak dengan jiwaku!"serunya dengan lantang. Membuat Larisa mengepalkan kedua tangan. Meski Clara sudah meninggal tapi di hati Victor nama Clara masih terus terukir dan tak pernah memudar sekali pun. Dulu, sebelum menikah dengan Larisa. Victor dan Clara sudah terlebih dahulu menjalin hubungan. Kala itu status Victor masih menjadi pangeran, belum menjadi raja. Sementara Clara baru bekerja di istana dan menjadi pelayan pribadi Victor. Karena sering bertatap muka Victor mulai jatuh cinta dengan Clara. Keduanya pun menjalin hubungan tanpa sepengetahuan anggota kerajaan. Akan
"Diam kau! Kau juga sama seperti mamaku! Bedanya mamaku pelayan istana! Sementara kau jadi anak angkat bangsawan baik hati! Asal-usulmu juga tidak jelas. Jadi jangan menghina mamaku, wanita jalang!" seru Xavier dengan muka Xavier semakin memerah. Dia sudah tidak memikirkan lagi adab dan sopan santunnya di istana. Larisa masih saja menghina mendiang mamanya. Padahal mamanya sudah tidak ada lagi di dunia, Larisa berhati ular dan tidak pantas disebut manusia!"Xavier, cukup! Kau tidak boleh menghina Mamamu!" teriak Victor menggelegar tiba-tiba. Membuat kumpulan manusia di ruangan tertegun. Mereka tak berani membuka suara di antara ayah dan anak itu, memilih diam dan mendengarkan dengan seksama pertikaian yang terjadi di depan mata.Pemegang tinggi di istana, saat ini wajahnya sangat tak bersahabat. Kemarahannya membuat sebagian orang ketakutan, termasuk Grace yang saat ini meneguk ludah berkali-kali. Berbeda dengan Xavier tak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar dari bola matanya.
Mendengar suara teriakan Xavier, seluruh anggota kerajaan Norwegia datang menuju sumber suara, tepatnya di ruang tamu. Sesampainya di ruangan, Larisa dan Sisilia membelalakan mata dengan kedatangan anggota kerajaan Denmark berada di sini. "Apa-apaan ini Xavier?" Victor, raja yang masih menjabat menjadi pemegang kekuasaan di Norwegia langsung bertanya. Kerutan di keningnya mendadak muncul dengan kedatangan tamu yang tak diundang pada malam-malam begini. Xavier tak langsung menjawab, ada secuil kerinduan menjalar di hatinya. Dia sudah lama tidak bertatap muka dengan ayahnya. Terlebih, umur ayahnya sudah tak lagi muda sekarang, ada banyak keriput di wajah dan rambut hitamnya pun sebagian sudah memutih. Akan tetapi, Xavier menghapus cepat kerinduannya tersebut kala mengingat perlakuan Victor selama ini. "Atas nama kerajaan Denmark, aku minta maaf karena datang malam-malam begini ke istana bersama istriku dan Pangeran Xavier." Saat melihat Xavier terdiam, Frederick langsung angkat bica
"Ayolah Pangeran, keluarlah kami tidak akan mengigit!" Lagi pria itu berseru sambil mengeluarkan tawa keras hingga teman-temannya pun ikut tertawa. Xavier menahan geram. Dadanya bergemuruh kuat seakan-akan meledak juga saat ini. Sampai-sampai Grace menggerakkan sedikit kepalanya ke samping dan membuat salah satu rumput bergerak. Alhasil salah seorang pria yang tak sengaja melihat adanya pergerakkan dari salah satu rumput yang memanjang, mengalihkan pandangan. Dalam sepersekian detik dia pun langsung meloncat tepat di hadapan Grace dan Xavier. "Bah! Dapat kalian!" pekiknya sambil menodongkan pistol ke kepala Grace. Grace langsung memekik histeris,"Tolong!!!" Xavier tak diam, ikut juga menodongkan pistol ke arah kepala si pelaku. Kelima pria lainnya serempak mengarahkan mata ke arah pasangan suami istri itu sambil mengangkat pistol masing-masing. Suasana mendadak tegang. Baik Xavier maupun keenam pria lainnya tak ada yang mau mengalah. "Jangan bunuh kami!" pekik Grace,
Grace terbelalak ketika melihat enam orang pria keluar dari mobil sambil menodongkan pistol ke arah mereka sekarang. Pria-pria asing itu tampangnya sangat menyeramkan, seperti preman pasar, ada tato-tato di tangan dan muka, bahkan terlihat tindik pula di hidung. "Keluar kalian!" teriak salah seorang pria dari luar lalu melempar senyum smirk. Grace makin panik. Dengan cepat menoleh ke samping kembali. "Xavier, bagaimana ini?" Dia sedikit heran mengapa Xavier sama sekali tak panik. Suaminya itu hanya menampilkan ekspresi datar namun tanpa sepengetahuan Grace, mata elang Xavier memandang ke arah kumpulan pria tersebut dengan sorot mata tajam. Tanpa menoleh ke samping, Xavier pun berkata,"Jangan lepas sabuk pengamanmu."Grace hendak bertanya namun belum juga lidahnya bergerak, Xavier melajukan mobil dalam kecepatan di atas rata-rata. Alhasil enam orang pria tersebut melesatkan timah ke arah mereka. Akan tetapi, Xavier berhasil mengelak dan menabrak pula kedua mobil yang menjadi pengha
"Kenapa kalian ingin keluar istana? Apa ada seseorang yang menyakiti kalian?" Dengan sorot mata merah menyala, Katherine lantas beranjak dari kursi. Riak mukanya pun berubah tak enak pandang sekarang. Mendengar tanggapan Katherine, Xavier dan Grace saling lempar sesaat dengan dahi mengerut samar. "Tidak ada Putri, ini kulakukan karena kami ingin hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuk,"jawab Xavier. Tadi malam Xavier dan Grace telah mempertimbangkan rencana dengan matang. Keduanya ingin hidup tenang dan menetap di desa terpencil, hanya berdua dan suatu saat nanti tinggal bersama buah hati mereka. Bukan hanya alasan itu, Xavier juga tak enak hati dengan kedatangan Robert dan Sisilia akhir-akhir ini. "Tidak bisa! Aku tidak mengizinkan kalian keluar istana!" seru Katherine kemudian. Xavier melebarkan mata, tampak terkejut dengan respons Katherine. "Tapi Putri, kami—""Aku bilang tidak, ya tidak–""Sayang, tenangkan dirimu dulu, hei duduklah." Frederick langsung menyela saat kondisi d
"Fred." Katherine merasa ada yang tidak beres lantas mendorong pelan dada Frederick. Frederick pun merasakan hal yang sama. Sungguh aneh, malam-malam begini malah terdengar bunyi pecahan kaca. Katherine dan Frederick serempak melirik jendela, memastikan apa jendelanya yang rusak. Akan tetapi, setelah diamati, jendela kamar dalam keadaan aman. Kerutan di kening Katherine dan Frederick makin bertambah. Pasangan suami istri tersebut menyudahi kegiatan panasnya lalu beringsut dari kasur dan memakai pakaian dengan tergesa-gesa. Begitu pula dengan Xavier dan Grace menghentikan kegiatannya, memilih keluar hendak memeriksa apa yang telah terjadi. Keduanya tanpa sengaja berpapasan dengan Frederick dan Katherine di lantai satu. "Ada apa ini Pangeran?" tanya Xavier dengan kening mengerut kuat. "Entahlah, aku juga tidak tahu, aku pikir dari jendela kamar kalian?" Frederick pun bertanya. Jika bukan berasal dari kamarnya bisa jadi bunyi pecahan dari kamar Grace. Sebab kamar Grace tepat berada
Katherine dan Frederick saling melirik satu sama lain, tengah menahan senyum sekaligus merasa bersalah atas perbuatan mereka tempo lalu. "Untuk apa meminta maaf Xavier?" Frederick memberi tanggapan terlebih dahulu, perasaan bersalah mulai memenuhi hatinya. Sebab demi egonya dia menjebak Xavier dengan obat perangsang kala itu. "Sudah seharusnya kami meminta maaf pada Pangeran dan Putri karena telah berbohong selama ini, aku juga minta maaf." Grace ikut menimpali. "Kalian tidak salah Grace, Xavier. Itu masalah kalian, dan setidaknya buah dari kebohongan kalian menghasilkan sebuah rasa, 'kan?" ujar Katherine, ikut berkomentar. Grace malah cengengesan. Merasa pasangan suami istri di hadapannya ini, terlampau baik. Hal yang wajar jika Katherine dan Frederick marah. Namun, reaksi keduanya di luar perkiraan. Xavier pun memiliki pikiran yang sama dengan Grace. Secara perlahan menatap kembali pasangan tersebut."Iy—a Putri, tapi terimalah permohonan maaf dari kami, hatiku rasanya mengganj