Semalaman penuh Aretha telah memikirkan berbagai macam cara agar Nenek Elvan bisa mengakuinya dan menyukainya, tetapi berapa banyak dan berapa kali pun dia memikirkan berbagai cara, dia tidak tahu dengan pasti pilihan mana yang tepat untuk dia pergunakan.
Alasannya, Aretha tidak tahu bagaimana sifat dan watak dari Nenek Elvan.
Dia tidak bisa sembarangan bersikap, karena ini adalah pertama kalinya mereka akan bertemu.
Seperti kata orang, kesan pertama harus berkesan karena itu akan melekat untuk waktu yang lama.
Jadi, Aretha tidak ingin membuat kesan buruk apa pun untuk pertemuan pertama mereka kali ini.
Aretha sempat menyesal karena tidak sempat bertanya lebih dulu pada Elvan, soal Neneknya itu.
Aretha bisa saja menghubungi Dirga untuk bertanya, tetapi dia terlalu enggan untuk melakukannya.
Apalagi karena ini sudah sangat malam. Rasanya tidak akan sopan jika dia harus menghubungi orang yang tidak di kenalnya dekat, di malam yang selarut ini.
Waktu telah menunjuk pukul 12 malam, tetapi Aretha belum juga bisa memejamkan matanya yang sudah terasa berat karena terlalu bersemangat dan cemas menantikan hari besok.
Dia tidak tahu apakah pertemuannya nanti dengan Nyonya Sofia akan berjalan lancar atau tidak, tetapi sekiranya, seperti yang sudah pernah dia katakan sebelum-sebelumnya, lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.
Sekalipun dia gagal, dia tidak akan rugi apa pun karena memang tidak ada apa pun yang dia korbankan.
Walaupun tentu saja dia berharap usahanya ini akan bisa membuahkan hasil yang baik untuknya.
Aretha telah membuat beberapa daftar karakter dan situasi yang akan dia perankan nanti, saat dia bertemu dengan Nyonya Sofia.
Walaupun telah banyak melakukan pertimbangan serta membuat pilihan, Aretha tetap saja tidak tahu mana yang harus dia pakai.
Atau apakah dia sebaiknya menjadi dirinya sendiri, daripada dia harus berpusing ria memikirkan segala macam cara yang bahkan dia sendiri tidak tahu apakah itu akan berhasil atau tidak?
Semua mertua pasti menginginkan seorang wanita yang baik-baik untuk menjadi menantunya.
Mereka pasti ingin seorang menantu yang penurut dan tidak banyak menuntut.
Jadi apakah dia sebaiknya bersikap biasa saja, saat dia menemui nenek itu nanti? Daripada dia harus bersikap berlebihan dan malah akan terlihat seperti dibuat-buat?
Toh sepertinya, ini akan menjadi pertemuan yang sangat dinanti-nantikan oleh Nyonya Sofia, karena memang beliau sudah sangat menginginkan seorang cucu menantu dari cucunya, Elvan Syahreza.
Mungkinkah akan semudah itu?
Jika perlu, apakah dia perlu untuk sedikit menambahkan beberapa bumbu penyedap di antara cerita-ceritanya nanti agar terdengar lebih dramatis dan tidak membosankan?
Ehm.. sepertinya Aretha akan melakukan hal itu jika diperlukan, dia jelas tidak bisa begitu saja memaparkan tentang dirinya dengan gamblang.
Hah- makin dipikir makin membuat kepala terasa pusing saja!!
Tanpa sadar, mata Aretha sudah terpejam dan dia tertidur dengan lelap malam itu.
Entah mimpi apa yang sedang dia mimpikan setelahnya, sekilas seulas senyum tersungging di bibirnya.
Seolah dia sedang bermimpi indah dan menolak untuk bangun kembali pada dunianya yang nyata.
Berkat itu, besok paginya bangun terlambat. Dia begitu terkejut saat membuka matanya setelah dia mendapati waktu di jamnya menunjuk pukul 8 pagi.
Dengan tergesa-gesa Aretha bangun lalu mandi dan membereskan seluruh dirinya dengan segera.
Tak lebih dari sepuluh menit dia telah selesai bersiap.
Setelah mengambil tas dan mengunci pintu, Aretha langsung bergegas menuju ke jalan utama dan memesan sebuah taksi untuk membawanya ke rumah sakit.
Tak lupa, dia mampir ke sebuah swalayan untuk membeli beberapa buah dan membungkusnya menjadi sebuah parsel.
Lalu, tak lebih dari setengah jam setelah dia membeli beberapa buah-buahan itu, kini Aretha telah sampai di sebuah rumah sakit besar dengan perasaan yang makin tidak menentu.
Makin dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah sakit dan mengitari setiap sudut koridor yang ada di sana, Aretha merasa detak jantungnya makin berdetak dengan cepat dan tak karuan karena gugup.
Sambil mengatur napas dan mengurangi sedikit ketegangan yang ada di salah satu telapak tangannya yang dingin, dengan takut-takut Aretha mengetuk pintu kamar milik Nyonya Sofia yang berada di lantai tiga rumah sakit.
Dengan sedikit keraguan dia membuka perlahan pintu kamar nomor 303, dan mendongakkan kepalanya ke dalam.
"Permisi, apa benar ini kamar Nyonya Sofia?" tanya Aretha begitu dia telah mencondongkan bagian atas tubuhnya ke dalam kamar, dan mendapati dua orang wanita berada di dalam kamar itu sedang menatapnya dengan terkejut.
Seorang wanita tua duduk di atas ranjang dengan pakaian rumah sakit dan ada seorang wanita lain yang duduk di samping, di kursi yang ada di dekat ranjang.
Wanita itu juga seorang wanita tua. Mungkin dia adalah seorang tamu juga.
Merasa tidak nyaman karena kedua wanita itu tidak menjawab pertanyaan Aretha dan malah menatapnya dengan terkejut dan bingung, Aretha kembali mengulang pertanyaannya itu sekali lagi.
"Apakah ini benar kamar Nyonya Sofia?" tanya Aretha mengulang.
Awalnya kedua wanita itu saling melemparkan pandangan satu sama lain.
Hingga kemudian salah satu di antara mereka memberi jawaban.
"Iya benar, tapi siapa kau dan ada keperluan apa kau kemari?" tanya wanita yang duduk di kursi.
Aretha lega mendengar dirinya telah mengetuk pintu yang benar.
Jadi, Aretha yang awalnya hanya mencondongkan kepalanya saja ke dalam kamar, langsung bergerak maju untuk menampilkan keseluruhan dirinya ke depan.
Dengan sikap yang sopan dia berdiri dan mulai menyapa serta memperkenalkan diri pada kedua wanita yang ada di depannya itu, sambil tentunya tidak lupa mengulaskan sebuah senyuman yang paling lebar yang dimilikinya.
"Ah.. Selamat pagi!! Perkenalkan, nama saya Aretha Anindia. Saya adalah pacar cucu Anda, Elvan Syahreza."
"Emm... maaf karena baru berkunjung sekarang. Apa Anda sudah lebih baik?" Sapa Aretha sekaligus tanyanya secara berurutan.
Dia tidak tahu kata-kata apa yang tepat untuk menyapa. tetapi setidaknya sapaannya tidak buruk.
Kedua wanita tua yang ada di ruangan itu saling berpandangan.
Aretha sama sekali tidak menangkap kejanggalan apa pun dari tatapan keduanya.
Hingga kemudian dia melihat Nyonya Sofia, wanita yang duduk di atas ranjang bersuara.
"Kau.. pacar cucuku... Elvan Syahreza?" Tanya wanita itu dengan nada yang tidak hanya terkejut tetapi juga tatapannya.
Aretha mengangguk, "Ya."
"Kau serius kau itu adalah pacarnya cucuku Elvan Syahreza?? Elvan Syahreza Addison??"
Aretha merasakan ada banyak nada tidak percaya di setiap kata-kata yang diucapkan Nenek Elvan padanya.
Sehingga saat di awal dia bisa mengangguk dengan yakin, pertanyaan kedua itu mulai membuat Aretha bingung harus membalas apa. Apa satu anggukkan saja tidaklah cukup?
"Ya, Saya pacarnya. Saya tahu Anda mungkin sangat terkejut, tapi ini benar. Saya adalah pacarnya Elvan, cucu Anda. Apa itu masih diragukan?" Tanya Aretha dengan ragu dan tidak yakin akan keputusannya untuk datang ke sana.
Aretha tidak tahu mengapa kedua wanita yang ada di depannya ini terus saja menatapnya dengan tidak percaya dan terkejut.
Walau tentu saja keduanya terus saling melempar pandangan dan memberi kode satu sama lain tanpa Aretha sadari, Aretha hanya bisa menatap mereka dengan wajah serius dan diusahakannya semeyakinkan mungkin.
Entah apakah kedatangannya ini akan disambut dengan baik, atau malah akan langsung diusir dengan tanpa persiapan.
Sementara Nyonya Sofia menatap wanita yang baru dikenalnya itu dengan perasaan tidak jelas.
Setengah jam sebelum kedatangannya, Nyonya Sofia telah meminta Daniar, asistennya untuk menyamar menjadi dirinya dan bertukar posisi menggantikannya berbaring di atas ranjang.
Dengan maksud untuk mengelabui banyak orang, Nyonya Sofia meminta Daniar untuk menyiapkan segala sesuatunya yang mereka butuhkan dalam proses melakukan penyamaran dan mengenakan semua barang-barang itu pada diri mereka masing-masing.
Slang beberapa menit mereka telah selesai bertukar peran, wanita muda itu datang dan mengetuk pintu.
Sungguh membuat jantung hampir lepas saja jika mereka tidak melihat siapa yang menolehkan kepala dan masuk.
Lantas, belum lepas dari keterkejutan itu, wanita itu masuk dan memperkenalkan diri sebagai pacar Elvan, cucunya?
"Apa benar kau adalah pacar Elvan?" Tanyanya dengan antusias.
Aretha merespon dengan kening sedikit berkerut.
"Ya itu benar, tetapi kalau saya boleh tahu Anda...?" Tanya Aretha terlihat bingung, melihat keantusiasan Nyonya Sofia yang disangkanya adalah orang lain.
"Ah, Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Daniar. Aku adalah asisten pribadi Nyonya Sofia," jawab Nyonya Sofia dengan sengaja mengunakan nama Daniar, untuk mengungkap jati dirinya pada Aretha.
"Ah.. Senang bertemu dengan Anda," balas Aretha dengan sopan.
"Kau datang sendiri kemari?" tanya Nyonya Sofia dengan menebak.
Aretha tersenyum, "Em, iya. Saya datang kemari sendiri, dan kebetulan saya membawa sedikit buah-buahan untuk Nyonya Sofia. Apa saya bisa memberikan ini padanya?"
Aretha mengangkat sedikit parsel yang dibawanya, lalu melirik ke arah Daniar yang dikiranya Nyonya Sofia. Meminta persetujuan.
"Tentu saja! Sini! Berikan kepadaku. Aku yang akan meletakkannya di atas meja." Balas Nyonya Sofia dengan segera, sambil meraih parsel milik Aretha dan meletakkannya di atas meja yang ada di samping tempat tidur pasien.
Tepat ketika dia meletakkan parsel itu di atas meja, Nyonya Sofia berbisik pelan pada Daniar.
"Tanya dia mengapa dia baru datang kemari sekarang, menemuiku." Bisiknya pelan lalu menjauh, kembali pada posisinya yang semula.
Daniar menatap Aretha lalu menghela napas panjang sejenak.
"Aku senang kau datang kemari, tetapi bisakah kau katakan kepadaku apa alasanmu menyembunyikan hubungan kalian dan baru sekarang datang menemuiku?" Tanya Daniar dengan nada cukup tegas tetapi juga sedikit marah.
Sepertinya dia perlu berusaha untuk menirukan gaya bicara Nyonya Sofia yang dipikirnya akan dilakukannya dalam situasi yang seperti ini.
Aretha terdiam sejenak dan berpikir, sejak awal dia memang sudah menduga Nyonya Sofia akan melontarkan pertanyaan itu padanya.
Jadi, dia telah mempersiapkan jawaban yang akan dia katakan padanya.
"Saya benar-benar tidak bermaksud menyembunyikannya, atau mungkin lebih tepatnya terpaksa."
"Saya... saya terpaksa melakukan itu karena saya punya alasan tersendiri. Mungkin bagi Anda itu bukanlah hal yang penting, tetapi bagi saya itu sangat penting," seru Aretha.
Membuat Daniar dan Nyonya Sofia makin menatapnya lebih dalam.
"Apa yang kau maksudkan?" Tanya Daniar.
Raut wajah Aretha menjadi berubah serius.
"Saya adalah anak yatim-piatu."
"Apa?" Nyonya Sofia dan Daniar terkejut secara bersamaan.
"Orang tua saya telah meninggal saat saya masih kecil, dan satu-satunya keluarga yang saya punya yaitu paman saya. Beliau baru saja meninggal sekitar dua tahun yang lalu," papar Aretha secara perlahan.
"Jadi, saya tidak memiliki kepercayaan diri yang besar untuk menunjukkan diri saya, di depan Anda."
"Sama halnya dengan banyak orang yang memandang saya dengan sebelah mata, saya juga takut keluarga Elvan akan mengganggap saya sama seperti itu."
Walaupun Aretha telah berbicara dengan sangat alami dan lancar, sesungguhnya dalam hati Aretha berdegup dengan kencang.
Dia tahu dirinya telah memulai beberapa kebohongan. tetapi terlepas dari itu, sebagian yang dia katakan adalah benar.
Selama ini, dia memang telah banyak dipandang dengan sebelah mata oleh beberapa orang, karena statusnya yang hanya seorang anak yatim-piatu.
Di lingkungan tempat tinggalnya, oleh sejumlah tetangga, lingkungan sekolahnya dahulu, oleh beberapa teman yang dikenalnya dan beberapa guru, atau bahkan di lingkungan tempat dia pernah bekerja.
Banyak di antara mereka memandang Aretha dengan remeh, karena dia tidak memiliki orang tua.
Sementara anak-anak yang lain, mereka yang memiliki keluarga yang lengkap, cenderung lebih mendapat perhatian lebih serta tanggapan yang lebih positif dari oranglain.
"Saya harap Anda tidak menyalahkan Elva, dia melakukan semua ini karena saya yang memintanya."
"Jika bukan karena dia ingin membuat saya merasa aman dan tenang, Elvan tidak akan mungkin merahasiakannya dari Anda. Ini sungguh adalah atas permintaan saya yang egois. Jadi saya benar-benar meminta maaf pada Anda dengan sangat." lanjut Aretha dengan memasang wajah sedih dan perasaan bersalah.
Bukan perasaan bersalah karena telah meminta Elvan untuk merahasiakan dirinya karena tentu saja itu semua tidak benar, tetapi lebih kepada perasaan bersalah karena telah mulai memupuk dosa karena telah membohongi orang yang bahkan jauh lebih tua darinya.
Sementara kedua wanita yang lain hanya bisa diam dan terus mengamati.
Sepertinya mereka sedang bersiap-siap untuk memikirkan langkah selanjutnya yang akan mereka lakukan.
"Jadi, karena itu kau merahasiakan hubungan kalian dariku? Karena kau... takut kepadaku?"
"Kau takut aku tidak merestui hubungan kalian?" Tanya Daniar setelah mendapat kode dari Nyonya Sofia.
Aretha mengangguk dengan sedih.
"Anda benar. Bagaimanapun juga saya sangat mencintai cucu Anda, Saya tidak ingin berpisah dengannya."
Aretha hampir saja muntah mendengar ucapan menggelikannya sendiri.
Mencintai Elvan dan tidak ingin berpisah? Pada pria yang bahkan tidak dikenalnya baik itu?
Ya. Elvan adalah pria yang memiliki wajah tampan dan mampuni, tapi itu tidak menjadikan alasan bagi Aretha untuk bisa langsung menyukai pria itu begitu saja.
Perlu banyak seleksi yang ketat untuk hati Aretha menyukai pria semacam itu, sekalipun pria itu disukai oleh banyak orang.
"Kalian saling mencintai???" Tanya Nyonya Sofia tidak percaya.
Pasalnya, sejak awal Nyonya Sofia berpikir bahwa Elvan mungkin saja berbohong padanya soal kekasihnya itu.
Lantaran dia ingin menolak perjodohkan darinya, tetapi setelah melihat dan mendengar sendiri kekasih cucunya itu datang dan menunjukkan diri, serta menjelaskan semua kesalahpahaman yang terjadi, apa yang bisa dilakukan Nyonya Sofia selain merasa takjub dan terpesona?
Nyonya Sofia tahu bagaimana sifat cucunya, dia adalah pria yang dingin.
Selama ini dia sudah melihat betapa sangat sulitnya bagi sebagian banyak wanita, untuk mendapatkan hati dan perhatian dari cucunya yang hanya peduli pada pekerjaan dan dirinya sendiri.
Lalu.. apa yang baru saja diucapkan Aretha? Mereka saling mencintai dan tidak ingin berpisah?
Pantas saja Elvan begitu kuat menjaga wanita itu darinya, inikah alasannya?
Aretha tidak bisa membaca ekspresi apa pun di wajah Nyonya Sofia ataupun Nenek Daniar, tetapi dia tetap mencelotehkan cerita khayalannya lagi pada mereka.
"Ya, tentu saja kami saling mencintai. Jika tidak, mengapa kami masih tetap bersama selama kurang lebih dua tahun ini?"
"Mungkinkah Elvan hanya bermain-main dengan saya?" Sahut Aretha dengan menampilkan ekspresi terkejut dan tersiksa.
"Ah, tidak. Tentu saja aku tidak bermaksud mengatakan itu, Aku hanya tidak percaya saja." ralat Nyonya Sofia dengan cepat.
Detik berikutnya dia tersenyum senang.
"Jika apa yang kau katakan adalah benar... bagaimana jika kita membicarakan hal ini di luar saja?" Nyonya Sofia melirik sedikit ke arah Daniar.
"Nyonya Sofia pasti sangat lelah saat ini, jadi dia perlu banyak beristirahat. Sebaiknya saya menemani Anda berbincang-bincaang sebentar di luar."
"Cuacanya sedang bagus sekarang, aku yakin kita akan merasa nyaman berbicara di taman. Bagaimana?" Tawar Nyonya Sofia.
"Ya?" Aretha memasang wajah tak berdaya.
Mengapa dia harus berbicara dengan asistennya Nenek Elvan?
Apa ini pengusiran secara halus? dia telah dinyatakan gagal pada tahap awal?
"Mari kita keluar," ajak Nyonya Sofia lagi.
Nyonya Sofia menarik sebuah selendang di dekatnya lalu memakainya di kepala.
Tidak lupa, dia mengambil juga sebuah kacamata hitam dan mengenakannya. Aretha memandangnya dengan ngeri.
"Sa-Saya belum berbicara banyak dengan Nyonya Sofia," seru Aretha sedih.
Dia melirik ke arah Daniar yang dikiranya adalah Nyonya Sofia.
Yang justru tidak berbicara banyak dan malah menyuruhnya untuk mengikuti asistennya, yang tentu saja adalah Nyonya Sofia sendiri.
"Aku lelah. Kalian berdua berbicaralah di luar," seru Daniar dengan singkat.
Apa??
Aretha tidak tahu bagaimana kehidupannya nanti setelah ia menikah dengan Elvan. Walaupun dulu ia sempat berpikir baru akan menikah setelah ia menginjak usia 30, dan setelah ia telah memiliki penghasilan yang cukup, ia akan memiliki dua orang anak yang sangat lucu dan menggemaskan. Sampai saat itu, Aretha tidak pernah sekalipun berpikir bahwa pernikahannya itu akan berawal dan berakhir seperti ini. Demi melunasi semua hutangnya yang bodoh. Dan demi memberikan perekonomian yang lebih baik untuk dirinya sendiri, Aretha rela menjual dirinya sendiri hanya untuk sebuah kebahagian yang bersifat semu dan mendesak. Walau tak bisa dipungkiri, kebahagian ini juga bersifat berkepanjangan. Karena dengan hanya mewujudkannya saja, Aretha jadi tidak perlu pusing lagi memikirkan bagaimana caranya ia bisa melunasi semua hutangnya itu di sisa hidupnya. Ia kini berlenggang dengan cantik tanpa adanya beban. Apapun itu, ini adalah pilihannya. Setidaknya walaupun ia bukan sedang
Untuk itu, tidak perduli jika Bibi Ani adalah wanita yang pelit bicara, tidak mau bicara., atau bagaimana pun itu. Selama ia bisa membuat semua makanan yang begitu enak ini lagi untuknya, Aretha tidak akan pernah mempermasalahkan apapun tentang wanita hebat itu kedepannya! la sudah cukup puas dengan masakannya. Dan itu lebih dari cukup. Berbeda dengan Elvan. Elvan yang telah terbiasa dengan semua masakan Bibi Ani, merasa bahwa ucapan Aretha terlalu dilebih-lebihkan. Sehingga ketika ia mendengar ucapannya yang membuatnya geli itu, ia menghentikan makannya, lalu bertopang dagu. Di tatapnya Aretha dengan ekspresi yang tidak bersahabat. Aretha menatapnya balik, "Apa aku terlalu berisik?" Tanyanya polos. "Menurutmu?" Balas Elvan dengan malas. Aretha kemudian berdeham. Tanpa Elvan menjawab pun Aretha tahu pria itu merasa terganggu dengan kehadirannya. Jadi Aretha memutuskan untuk melanjutkan saja makannya lagi dengan lebih tenang. Elvan pun kembali melanjutkan makannya jug
"Apa? Dua belas juta.. tu-tujuh ratus?" Aretha terbelalak tak pecaya, ketika seorang kasir menyebutkan sebuah jumlah yang sangat fantastik untuk ia bayar demi sebuah makan siang yang tidak terduga. Ia melirik kasir itu dengan ragu. "Apa kau yakin sudah menghitungnya dengan benar?" Tanya Aretha penuh harap, kasir itu salah menghitung jumlah bon tagihan miliknya. "Sudah Nyonya, totalnya 12.785.000 rupiah. Anda bisa mengeceknya kembali sebelum membayar." Kasir ramah itu menyerahkan sebuah struk pada Aretha.Aretha hanya bisa menatapnya tidak berdaya. Bagaimana ia bisa mengeceknya, jika ia saja tidak mengerti satu pun nama-nama makanan yang tertera di dalam struk itu? Ada sekitar delapan orang yang memesan makanan, dan ia tidak tahu apa saja yang mereka pesan. Jadi darimana ia bisa tahu makanan mana saja yang benar disajikan di atas meja? Ia bahkan tidak tahu harga dari masing-masing menu!! Bukankah ini adalah restoran berbintang dengan segala macam menu
"..." Sofia terdiam sejenak untuk berpikir. "Aku ingin tahu, apa yang akan dilakukan cucuku nantinya, jika dia tahu istrinya mengunakan uangnya dengan sesuka hati dan melebih batas. Ya, walaupun sejujurnya hari ini aku belum menguras banyak pengeluaran di kartunya itu. Tapi aku yakin, itu cukup untuk menggelitiknya," ungkap Sofia santai dan tenang. Tanpa merasa bersalah karena telah membuat cucunya rugi beberapa juta, dan Daniar hanya bisa menggelengkan kepala menanggapi kelakuan majikannya ini. Sofia kembali melanjutkan ceritanya. "Sebenarnya aku bisa saja lebih banyak menguras uangnya, tapi Aretha bersikeras tidak ingin menghambur-hamburkan uang untuk dirinya sendiri. Sehingga hari ini, kami hanya bersenang-senang untuk keperluan pribadiku saja. Dia bahkan tidak menggunakan se-sen pun uang untuk dirinya sendiri. Padahal aku sudah memaksanya. Ini membuatku takjub sekaligus merasa tidak enak. Jadi, aku hanya berbelanja untuk beberapa transaksi saja," tutur Sofi
"Kau baru saja habis berbelanja?" Tanya Elvan pada Aretha. Aretha langsung menjawabnya dengan bingung. "Ya, aku baru saja berbelanja sedikit tadi pagi. Tapi.. darimana kau tahu?" Tanya Aretha. Elvan yang sudah melihat beberapa tumpukan kantung belanjaan di atas sofa yang ada di ruang tamu, tak serta merta langsung mengatakan itu dengan jelas. "Kau meninggalkan sampahmu di tempatku," ujar Elvan secara membingungkan. Aretha menatapnya bingung, sampah? Di tempatnya? Tepat ketika ia ingin bertanya lagi karena tidak mengerti ucapannya, Aretha mendadak teringat sesuatu. "Oh, ya ampun! Aku lupa meletakkan semua kantung belanjaanku itu ke kamar." Teriaknya heboh, ketika ia baru ingat kalau pemilik rumahnya tidak suka sesuatu yang berantakan. Setumpuk sampah yang dimaksudkan Elvan tentu bukan benar-benar menunjuk pada sampah yang sesungguhnya. Pria itu hanya menganggap semua barang yang tidak berguna baginya sebagai 'sampah'.Jadi ketika pria itu m
Elvan Syahreza seperti yang telah dikenal oleh banyak orang, dia adalah pria yang sangat dingin dan sangat memandang rendah seorang wanita. Itu sebabnya tidak heran jika banyak orang merasa sangat takjub dengan pernikahannya yang sangat tidak terduga ini. Apalagi dengan seorang gadis yang entah muncul dari mana dan ternyata dikabarkan telah bersama dengannya untuk waktu yang cukup lama. Itu lantas membuat banyak orang merasa penasaran sekaligus menyaksikannya secara luar biasa. Tapi pada kenyataannya, jauh sebelum itu, Elvan yang dulu dikenal Dirga tidak seperti ini. Dia mungkin memang bukan pria yang hangat seperti pria-pria periang pada umumnya, tapi Elvan yang dulu bukan pria yang sedingin dan serendah ini dalam memandang seorang wanita. Mengunderestimate semua wanita dan berpikiran buruk tentang mereka, sebelum ini ia tidak pernah bertingkah seperti itu. Jangankan bersikap perhitungan soal uang terhadap wanita, Elvan yang dulu justru sangat memanjakan wa
Elvan menatap Rangga. "Dia datang kemari hari ini?" Tanyanya yang langsung dibalas anggukkan oleh Rangga. "Ya, aku tidak tahu kapan tepatnya dia datang kemari karena ia datang memang bukan khusus untuk menemuiku. Tapi karena dia ingin menemui teman-teman sekerjanya di sini sambil memberikan beberapa cindera mata dan mengobrol sebentar. Aku secara tidak sengaja berpapasan dengannya saat dia akan pulang," terang Rangga. Mengingat kembali pertemuannya tadi siang dengan mantan karyawannya, Aretha, sekaligus wanita yang kini sudah menjadi istri sahabatnya. Elvan mengerutkan keningnya. "Dia memberikan cindera mata pada mantan rekan kerjanya?" Tanya Elvan terkejut, dan Rangga kembali mengiyakan. "Kau tidak tahu?" Tanya Rangga balik. Elvan tak menjawab, membuat Rangga kembali menjelaskan. "Dia datang dengan membawa beberapa bingkisan untuk dibagikannya kepada beberapa karyawanku, Aku rasa itu pasti di lakukannya sebagai bentuk rasa terima kasih dan bala
"Ayah dan ibu belum turun?" Tanya sebuah suara dari belakang yang langsung membuat semua orang menoleh. Seorang gadis remaja berperawakan cantik dan muda menyapa semua tamunya dengan sikap yang santai, tapi juga ramah. Setelah sebelumnya menatap semua orang secara bergantian, gadis itu menyapa anggota keluarganya yang lain yang baru saja tiba. "Hai Kak Elvan, Kak Aretha." Sapanya sopan. Aretha membalas dengan anggukan dan tersenyum, sementara Elvan melirik sekilas gadis yang sudah dikenalnya itu. Dia adalah Christina. Cucu perempuan satu-satunya keluarga Addison dari pihak paman Elvan yang merupakan anak kedua dari Nyonya Sofia. Dan bisa dikatakan juga, dia adalah sepupu Elvan. Seorang gadis muda dan cantik yang saat ini masih duduk di bangku kuliah semester awal. Melihat cucu perempuannya turun seorang diri, Sofia segera meminta Christina untuk memanggil kedua orang tuanya. "Panggil ayah dan ibumu turun. Panggil juga Si Bungsu," pinta nenek. C
Jadi, kapan kalian akan berencana untuk berbulan madu?" Tanya Sofia menjurus tajam pada dua pasangan yang ada di depannya. Hingga membuat Aretha yang ketika itu masih mengisi mulutnya dengan makanan, hampir saja tersedak. Ia terbatuk pelan sekali dan mengambil minum. Elvan mulai memikirkan kemungkinan selanjutnya yang akan terjadi, dan Alfin yang lebih dulu memberikan respon suaranya lebih cepat daripada siapa pun. "Mereka harus pergi berbulan madu?" Tanya Alfin dengan penuh keterkejutan. Sofia menatapnya dengan yakin. "Tentu saja! Kenapa tidak?" Tanya Sofia balik dan itu cukup membuat Alfin tidak berani membalas. Ia hanya melirik Elvan dan Aretha dengan ngeri, lalu berpikir dengan pasti bahwa jika nenek sudah berkehendak dan membidik sesuatu, siapa pun itu pasti harus menunduk padanya! "Kami akan memikirkannya," jawaban Elvan yang hanya mengambil jalan aman dan tidak menunjukkan kepastian apa pun dalam ucapannya membuat Sofia tidak merasa pu
"Aku yang seharusnya bertanya padamu! Siapa kau? Dan apa tujuanmu kemari? Aku sedang bicara dengannya dan kau sangat mengganggu!" Seru Willy sambil kemudian berbalik menatap Aretha. "Kau kenal dengannya?" Tanya Willy sambil menunjuk sengit pada Elvan, dan menuntut jawabannya dari Aretha. Aretha yang tiba-tiba menerima pertanyaan, bingung sendiri harus menjawab apa. Jika ia menjawab tidak mengenalnya tentu akan sangat kentara sekali bahwa ia berbohong karena Aretha sudah sempat menyebut nama Elvan barusan ketika ia muncul. Tapi jika ia mengatakan bahwa ia mengenalnya, Aretha harus memperkenalkannya sebagai siapa? Suaminyakah? Itu jelas tidak mungkin! Itu sama saja menghancurkan seluruh cerita penuh fiktifnya pada Willy dan pria itu akan semakin marah padanya, lantas apa yang harus di katakannya? Di saat Aretha masih berkutat dengan kebingungannya untuk menjawab, Elvan sudah mewakilinya lebih dulu dengan bertindak lebih cepat dalam memahami situasi dan mera
Sang pemilik kedai mengenalinya duluan dan menyapa. "Aretha! Kau datang hari ini?" Tanya sang pemilik kedai yang bernama Alex, nama yang sesuai dengan nama kedainya. Kedai Om Alex. "Sudah lama sekali aku jarang melihatmu. Walaupun kau sudah sejak dulu jarang datang. Tapi kapan ya terakhir kalinya kamu datang kemari?" Tanya Alex lagi dengan suaranya yang berat dan bass. Membuat Aretha tersenyum terlebih dulu untuk membalasnya, sambil melihat sekeliling mencari Willy, Aretha menatap Om Alex di ujungnya. "Mungkin sekitar 4 bulan yang lalu, dan kalau aku boleh tahu apa paman melihat Willy?" Tanya Aretha menanyakan keberadaan Willy. Namun tanpa perlu dijawab, pria yang sedang ia tunggunya muncul. "Kau tidak perlu mencariku lagi karena aku sudah berada di sini. Sekarang ayo kita bicara di luar," seru Willy to the point tanpa memberi jeda untuk Aretha menjawabnya, dan pria itu sudah menghilang di balik pintu keluar tanpa bisa dicegah. Aretha mengejarnya den
Aretha melirik kegiatan Elvan sekilas dan kemudian merasa cukup terkagum-kagum, karena jarang sekali ia bisa melihat seseorang begitu telaten dalam melakukan sebuah pekerjaan tanpa jeda. Setelah bekerja dari pagi hingga malam dan ia harusnya pulang untuk beristirahat sambil menikmati makan malamnya, Elvan justru masih tetap harus sibuk dengan segala rutinitas pekerjaannya yang dia kontrol dari ponselnya yang canggih dan multi tasking. Orang kaya dan sibuk memang berbeda level. Walaupun orang miskin seperti Aretha juga pernah sesibuk dirinya sampai-sampai hanya punya waktu untuk menyantap makanannya, satu kali dalam satu hari untuk terus bekerja dalam mencari uang sebanyak-banyaknya agar bisa melunasi hutangnya dengan cepat. Aretha tak bisa memungkiri bahwa ia sesungguhnya benar-benar kagum dengan etos kerja Elvan yang tak mengenal lelah, walaupun ini sudah merupakan waktu untuknya menikmati hidup. Bukankah Elvan memiliki sangat banyak uang untuk ia menikm
Martha mengepalkan tangannya kuat-kuat. Lalu, ketika Elvan berhasil menarik Aretha menjauh dari wanita berparasit itu, Aretha dengan santainya langsung melayangkan sebuah pertanyaan untuk Elvan. "Apa dia itu pernah menjadi model majalah dewasa?" Tanya Aretha dengan tiba-tiba membuat Elvan menatapnya. "Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah tadi katamu kau tidak mengenalnya?" Tanya Elvan balik dengan acuh. "Aku memang tidak mengenalnya, tapi tampaknya aku pernah melihatnya. Jadi, apa dia benar pernah menjadi model majalah dewasa?" Tanya Aretha sekali lagi dengan penasaran. Elvan memindahkan tatapannya dari Aretha, membuat Aretha kembali memaksa. "Hei! Kau belum menjawab pertanyaanku! Jadi yang aku katakan itu benar atau tidak? Soalnya aku seperti pernah melihat wajahnya entah di majalah dewasa mana yang aku lihat di rumah temanku! Em, apa itu dia?" Tanya Aretha sekali lagi. Elvan mengangkat sebelah alisnya. "Kau bermain ke tempat temanmu yang memi
Setelah seminggu kemudian berlalu dengan cepat, Elvan dan Aretha kini sedang berada di sebuah pesta ulang tahun Steven yang ke-30 dengan mengenakan pakaian yang sudah mereka persiapkan sebelumnya dengan sempurna. Karena sebelumnya Steven mengundang Elvan dan Aretha ke acara ulang tahunnya.Penampilan Elvan dan Aretha menyita hampir sebagian tamu yang hadir di pesta itu, dan membuat mereka tak henti-hentinya menatap ke arah mereka dengan penuh antusiasme yang tinggi dan juga terkesima. Tak hanya dikarenakan mereka tahu dengan baik siapa pria yang tengah melewati mereka dengan begitu luwesnya, tapi mereka juga cukup terpukau dengan penampilan mereka yang begitu mencolok dan keserasian yang pasangan itu tunjukkan. Hingga Aretha akhirnya mengerti satu hal. Pantas saja Elvan menyiapkan gaun yang begitu mewah untuknya sebelum acara ini. Ternyata pesta perayaan ulang tahun sekaligus keberhasilan dan kepulangannya Steven ke tanah kelahiran, juga dilakukan dengan sanga
Untuk beberapa waktu ke depan setelah Aretha mulai diberikan beberapa pekerjaan tambahan oleh Dirga atas instruksi Elvan, Aretha tak henti-hentinya menatap setumpuk dokumen yang ada di depan matanya itu dengan skala yang menghitung. Aretha memang pernah mengeluh soal kurangnya ata bahkan tidak adanya pekerjaan apa pun yang harus ia kerjakan, tapi semejak ia mengeluh soal pekerjaannya yang terlalu remeh, Dirga terus saja menambahkan pekerjaan tambahan untuknya sejak hari itu sampai saat ini. Sehingga dengan ekspresi yang tidak kuasa, Aretha menatap Dirga dengan penuh rasa ingin di berikan simpati. "Apa ini tidak terlalu berlebihan?" Tanya Aretha dengan sepenuh hati dan sangat tidak paham dengan maksud dari pekerjaan yang terus di tambahkan, padahal ia bukan bekerja pada mereka untuk menjadi seorang pekerja kantoran. Tapi m
Elvan sudah biasa bersikap dingin pada wanita, tapi ia tidak terbiasa diperlakukan dingin oleh wanita. Itu sebabnya, melihat perlakuan Aretha yang begitu acuh padanya membuat Harry merasa cukup kesal. Elvan masih ingat bagaimana sikap Aretha, ketika dia meminta waktu dua hari kebebasan padanya untuk urusan pribadi. "Aku sudah menuruti keinginanmu untuk ikut ke kantor. Kalau begitu, apa aku boleh meminta sesuatu?" Tanya Aretha mencoba menyampaikan sesuatu, tepat ketika ia dan Elvan berada dalam perjalanan pulang ke rumah di hari pertamanya masuk ke kantor. Elvan yang saat itu sedang sangat lelah, memejamkan mata dan tidak memberikan respon, tapi Aretha tetap melanjutkan permintaannya. "Apa aku boleh meminta hari libur di sela-sela waktuku dalam satu minggu?" Tanya Aretha mencoba bernegosiasi. Entah apa tujuannya. Elvan yang saat itu sedang tidak ingin berpikir terlalu banyak karena lelah, hanya membuka sedikit matanya untuk melirik Aretha. Aretha pun
"Jadi ini kantinnya?" Tanya Aretha hampir tidak percaya.Dirga mengangguk dan mengiyakan."Benar Nyonya, ini adalah kantin kami yang diperuntukkan khusus untuk seluruh pegawai dan pemimpin yang ada." Terang Dirga berucap dengan sopan.Aretha menatap ruangan besar itu dengan kikuk dan tidak terlalu mempedulikan panggilan Dirga yang suka berubah-ubah.Sebentar-bentar 'Nyonya', sebentar-bentar 'Nona'. Apapun itu selama sebutan itu adalah sebutan untuk seorang wanita, Aretha tidak akan mempermasalahkannya.Ia tahu Dirga akan berbicara dan memanggil Aretha s