Ini terdengar seperti sebuah petir di siang bolong. Impian yang hampir saja tercapai mendadak musnah dan harus dilepaskan. Di sudut ruangan kamarnya yang penuh barang berserakan, Clara tersungkur memeluk kedua lututnya sambil terisak. Tubuhnya tergunjang, hatinya bergetar hebat.
"Kalian egois!" seru Clara sambil menendang sebuah benda yang ada di lantai.
Kini Clara mendongak dengan kedua kaki selonjor dan kedua tangan kemudian menangkup wajah.
"Selalu saja aku yang dikorbankan!" seru Clara lagi.
Tidak lama setelah itu, terdengar suara beberapa langkah kaki beriringan mendekat dan berhenti setelah masuk di kamar Clara yang bak kapal pecah.
"Cukup, Clara!" teriak suara serak dari ambang pintu. "Kau tidak usah mengamuk seperti ini!"
Clara membuka kedua telapak tangan dari wajahnya hingga kini bisa melihat dengan jelas siapa yang sudah berada di dalam kamarnya. Ayah dan ibu sudah melangkah masuk, sementara di belakang mereka terlihat sosok pria belasan tahun memasang wajah iba.
Clara kini mengusap wajah lalu berdiri tegak menatap wajah kedua orang tuanya bergantian. Tadi, sebelum kamar ini berantakan, sudah lebih dulu terjadi adu mulut ruang tamu.
Perdebatan antara anak dan orang tua yang pada akhirnya berujung pertengkaran.
"Kenapa harus aku, Ayah?" kata Clara dengan mata memerah. "Kenapa?"
"Karena memang harus kau!" jelas Bill. Di sampingnya, sang istri tengah memegang lengannya coba untuk menenangkan.
"Karena Cloe, kakakmu! Kau harus mengalah padanya!" sambung Bill lagi.
Clara mendecih dan sedikit menelengkan kepala. "Mengalah? Ini bukan mengalah, Ayah. Ini tidak jauh berbeda dengan mengorbankan!"
Bill semakin mendekat. "Memang. Apa salahnya kau berkorban untuk keluargamu? Chloe sudah banyak berkorban, kau harusnya bisa balas budi."
Clara sungguh tidak menyangka kalau kedua orang tuanya tega berbuat seperti ini. Menyuruhnya menikah dengan kekasih kakaknya, apa-apaan ini? Clara ingin memaki tapi sama sekali tidak bisa.
Bagaimana kata ayah, memang Chloe sudah banyak membantu keluarga ini termasuk dengan kebutuhan sehari-hari. Untuk Clara, bukan berarti tidak membantu. Dia hanya sedang mengejar mimpi menjadi seorang designer. Dan betapa sedihnya saat mimpi itu hampir tercapai, Clara harus mundur.
"Tidakkah ayah dan ibu kasihan padaku?" Clara menatap mereka iba. "Aku sedang coba mewujudkan mimpiku. Kenapa kalian rusak?"
Saat Bill hendak maju dan mungkin akan memarahi Clara, Tania melerai dan menyuruh Bill diam dulu. Setelah itu, Tania yang maju menghampiri Clara.
"Sayang, kita hanya butuh bantuanmu," kata Tania sembari meraih telapak tangan Clara.
Clara buang muka dan diam-diam, air mata kembali menitik.
"Kalau keadaannya tidak mendesak seperti ini, ayah dan ibu tidak mungkin berbuat sampai sejauh ini padamu," sambung Tania lagi.
Bill ingin maju dan ikut bicara, tapi dengan cepat Tania melotot lalu memberinya kode dengan sebuah kedipan mata.
"Hanya kau yang bisa menolong keluarga kita saat ini," ujar Tania memohon.
"Apa tidak ada cara lain, Bu? Ini terlalu kejam menurutku." Pria yang semula berdiri di ambang pintu ikut bicara. Dia adalah Glen yang tak lain adalah adik Clara dan Chloe.
Clara dan Cloe adalah putri dari pasangan Bill Holand dan Tania Ricardo. Mereka berdua terlahir sebagai dua anak yang kembar. Tidak terlalu identik memang, jika di amati, banyak perbedaan diantara keduanya melalui sisi wajah.
Itu tidak penting sekarang. Sekarang adalah, bagaimana Clara harus menghadapi kehidupan yang sama sekali tidak sejalan dengan keinginannya.
Bill dan Glen sudah keluar meninggalkan kamar, dan kini hanya ada Tania dan Clara.
"Nasib keluarga kita ada di tanganmu, Sayang." Sekali lagi Tania coba terus membujuk. "Ibu tidak akan memaksa jika kejadiannya tidak sekacau ini."
"Lalu bagaimana dengan perasaanku?" Clara masih sesenggukan.
"Kau tepiskan dulu sekarang. Jangan berpikir ibu kejam, tapi ibu hanya tidak ada pilihan lain. Kakakmu sudah pergi jauh dan harus menggapai mimpinya yang tertunda."
Rania mendecih lalu membuang muka. Ia melepas genggaman tangan ibunya lalu menyeka air mata. Dalam hatinya Clara tengah memaki keadaan ini.
Chloe pergi tanpa penjelasan dan hanya mengatakan akan mengejar kesempatan menjadi model internasional yang memang selama ini ia impikan. Clara juga begitu, tapi kenapa harus begini. Selalu saja Chloe yang menang.
"Ibu harusnya tahu kalau aku juga sedang mengejar mimpiku menjadi designer," kata Clara tanpa menoleh.
"Ibu tahu. Ibu sungguh tahu, Sayang." Tania membalas. "Tapi impian kakakmu jauh lebih besar akan keberhasilannya dibandingkan dirimu."
Oh astaga! Kejam sekali ini. Kenapa rasanya sakit sekali?
Clara merasa hatinya sedang disayat-sayat hanya karena sekedar mendengar kalimat sang ibu. Bagaimana mungkin seorang ibu bisa pilihkasih seperti itu? Clara tidak habis pikir.
"Terserah apa mau kalian saja, aku tetap akan kalah," kata Clara kemudian.
Diam-diam Tania tersenyum. "Apa itu artinya kau setuju?"
Huh! Ibu macam apa ini!
Tidakkah dia tahu hati ini sangat sakit?
Clara ingin memaki dengan sangat keras saat ini. "Ya." Namun hanya satu kata itu yang akhirnya keluar dari mulut Clara.
Saat itu juga, Tania menghambur memeluk Clara dengan erat. "Terimakasih, Sayang."
Setelah ibu pergi dan hanya tinggal sendirian di dalam kamar, Clara kembali menggeram dan mengacak-acak rambutnya. Ketika melihat beberapa lembar kertas yang berserakan, Clara tertunduk dan diam.
Perlahan Clara turun hingga terjatuh lagi di atas lantai. Lembaran kertas itu ia pungunti lalu dipandangnya dengan derasnya air mata yang membasahi pipi.
Gambar-gambar gaun indah yang sudah ia rancang, kini tiada artinya. Keikutsertaan lomba hingga sampai di titik sepuluh besar harus ia tinggalkan begitu saja.
"Memang jahat!" teriak Clara. "Kalian jahat!"
Semua menjadi gelap dan Clara terjatuh pingsan tanpa ada yang tahu. Mereka--orangtua Clara--tengah bergembira karena akhirnya Clara mau menggantikan Chloe menikah dengan pria yang tak lain putra dari pasangan Josh Pedro dan Lilyana Wang. Mereka sepasang suami istri yang sudah sikenal banyak orang sejagad negara.
Mungkin, itu sebannya Bill dan Tania tidak berani melawan karena pada dasarnya perusahaan milik Bill bisa saja hancur karena dilengser pihak Josh.
"Aku rasa kalian memang kejam," kata Glen sebelum masuk ke dalam kamar.
"Kau tahu kalau ayah dan ibu tidak ada pilihan kan?"
"Itu karena kalian terlalu memanjakan Chloe sampai-sampai dia selalu berbuat seenaknya. Clara bukan hanya akan menjadi istri pria itu, tapi kalian juga harus ingat kalau Clara pastilah akan menjadi ibu dari anak Chloe yang sudah ditinggalkan di rumah konglomerat itu."
Bill dan Tania diam sejenak. Mereka tahu ini akan sangat berat untuk Clara. Namun, lagi-lagi rasa kasihan dan peduli itu tertepiskan oleh pentingnya perusahaan dan martabat yang harus diselamatkan.
"Dan kalian juga harus berpikir, apa nantinya pria itu akan menerima Clara dengan baik atau tidak. Sungguh tidak punya hati!"
Setelah berkata demikian, Glen pun menghilang masuk ke dalam kamar.
"Atur saja sesuka kalian," kata Noah sebelum menaiki tangga menuju lantai dua. "Asal ada wanita yang mau mengurus bayi itu, aku nurut." Obrolan berakhir sejenak diikuti helaan napas dari empat orang yang duduk di ruang tengah. Ada Bill, Tania dan kedua orang tua Noah yang tidak lain adalah Josh dan Iily. "Kalian sudah dengar jawaban dari putraku, kan?" Lily menatap serius. "Hari esok juga, maka langsungkan pernikahan untuk mereka." "Baik, Tuan," jawab Bill dengan anggukan kepala. "Ingat!" Kini Josh yang bicara. "Aku tidak ingin ada orang lain yang mengetahui akan hal ini. Jika mulut kalian berani berkoar, habislah kalian!" Seperti itukah sifat seorang penguasa? Josh seorang presdir di sebuah perusahaan yang berpusat pada pembangunan gedung-gedung perk
Pernikahan sudah tidak terhindarkan. Di sebuah kamar, Clara sedang dihias secantik mungkin seperti seorang pengantin pada umumnya. Clara duduk di depan cermin, menatapi pantulan wajahnya sembari meremas-remas jemarinya sendiri. Di sampingnya, ada seorang penata rias yang begitu telaten merias wajahnya. Meski nampak cantik, semburat wajah sendu dan pias tidak bisa terelakkan. Clara gugup, takut, panik dan juga ingin berlari. Namun, dia seperti sudah diikat dengan tali yang begitu kuat. "Nona sangat cantik," puji penata rias pada Clara. Clara kembali menatap dirinya dari pantulan cermin dan sedikit melengkungkan senyum. Ingin menangis, huh! Itu sungguh tidaklah mungkin. Martabat dan kondisi keluarga yang dipertaruhkan di sini. Sementara di ruangan lain, Noah sudah siap dengan setelan jas berwarna
Sudah berada di dalam kamar, Clara entah kenapa merasa lega. Di dalam sini tidak ada sosok Noah, yang ada rasa kagum pada ruang kamar yang megahnya tidak jauh berbeda dengan rumah ini. Clara berjalan maju dengan sedikit bibir terbuka, sementara bola mata memutar menyapu setiap sudut ruangan. "Di sinikah aku akan tidur?" gumam Clara. "Seperti di dunia dongeng." "Sedang apa kau!" "Eh!" Clara sontak berjinjit dan mendaratkan telapak tangan di dada saat dikejutkan dengan suara dari arah belakang. Begitu Clara sudah menoleh, saat itu juga Ia harus membuang muka dari hadapan pria yang saat ini berdiri di hadapannya. Noah, kini tengah berdiri di depan pintu kamar mandi hanya dengan memakai handuk yang melilit di pinggangnya.
Dari jarak cukup dekat-- sekitar tiga meter--Lily melengkungkan senyum saat memandangi Clara yang sedang berbincang dengan Jou. Bayi berumur satu bulan itu, sepertinya bisa langsung menerima kehadiran Clara. Terbukti dari cara Clara yang menggendong Jou tanpa menangis. "Kau sangat lucu," kata Clara yang terus menggendong sambil menimang-nimang baby Jou. Baby boy itu terus saja memandangi wajah Clara yang juga memandangnya sambil sesekali berceloteh macam-macam. "Sepertinya kau begitu suka dengan bayi," kata Lily ketika sudah berdiri di samping Clara. "Jou juga sepertinya nyaman denganmu." Clara tersipu. "Aku memang suka bayi, Bu. Dulu aku sering mengunjungi panti asuhan dan membantu ibu panti mengurus bayi." Lily menarik satu kursi yang semula berada
Pagi datang, Clara lumayan bisa tidur dengan nyenyak untuk pertama kali di rumah ini. Meski terdengar keterlaluan, karena Lily harus meninggalkan Jou bersama Clara, tapi sebenarnya ada maksud tertentu. Toh Clara sepertinya tidak keberatan dengan keberadaan Jou di sini. Tidur bersama Baby Jou juga terasa nyaman. "Apa Nona butuh bantuan?" tanya Mela yang baru saja datang ke kamar Clara. "Bantu siapkan air hangat untuk mandi dan pakaian ganti," sahut Clara. Di atas ranjang, Clara mulai melucuti pakaian Jou bergantian. Selesai dari itu dan Mela juga sudah mempersiapkan semua yang tadi Clara katakan, Jou ia fendong dan mengarahkan pada Mela. "Kau mandikan dia. Aku bangunkan tuan rumah dulu," kata Clara setelah Jou ada dalam gendongan Mela. "Baik, Nona."
Mau berniat dirahasiakan seperti apa, pernikahan tersebut pastilah banyak yang tahu. Meski mereka-mereka hanya menebak-nebak dan tidak seratus persen yakin, tapi gunjingan atau omongan orang-orang tetap ada. Ada yang membicarakan sisi baik, ada juga yang memihak sisi buruknya. Setelah ditinggal pergi oleh Noah ke kantor, Clara diam di rumah bersama suster dan Baby Jou. Awal pernikahan yang buka keinginannya tetaplah harus ia buat seolah tidak menjadi beban. "Mela," panggil Clara saat suster Jou itu tengah membuatkan susu untuk Jou. "Iya, kenapa Nona?" "Apa kau bekerja bersama keluarga Noah baru saat Jou ada?" "Tidak, Nona. Saya sudah ikut keluarga Tuan Josh sekitar enam tahun yang lalu." Clara manggut-mangg
"Ibu tahu aku menikah bahkan karena terpaksa. Bisa-bisa menyuruhku seranjang dengan wanita itu," cerocos Noah sambil melangkah masuk. Melangkah sampai ke ruang dalam, beberapa pelayan menunduk sopan. Noah terus saja berjalan angkuh seperti biasanya. Ia berjalan menaiki anak tangga. Ceklek! Bunyi pintu terbuka, membuat Clara yang sedang berada di ruang ganti mendadak gelagapan sendiri. Ia baru saja selesai memakai piama yang ibu mertuanya belikan. Piama tersebut terbuat dari bahan satin silk. Tidak terlalu terbuka karena dilengkapi jubah, hanya bagian roknya yang sedikit tinggi di atas lutut. "Haruskah aku seperti ini?" batin Clara. "Aku bahkan terlihat seperti wanita aneh." Ketika terdengar pintu sudah tertutup, kini Clara bisa mendengar suara tapak s
Pagi datang lagi, seperti biasanya Clara sudah terbangun sekitar pukul lima pagi. Ia belum sempat mandi apalagi berganti pakaian karena pakaian ganti semua ada di kamar atas. Clara hanua merapikan diri dengan menyisir rambut lalu menjapitnya. Semalam Clara hanya tidur sendiri. Kata Mela, dia yang akan tidur bersama Jou beberapa hari ini. Ternyata semua itu atas perintah Nyonya Lily. "Pagi semuanya!" sapa Clara pada para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan. Mereka nampak antusias menjawab sapaan dari Clara. "Pagi, Nona." Begitu jawab mereka bersamaan. "Ada yang bisa aku bantu?" Clara berjalan mendekati meja konter dapur yang terlijat ada beberapa sayuran mentah. Ke tiga pelayan itu saling pandang sejenak.
Noah sudah mengeraskan rahang dan mencengkeram kuat bundaran setir saat melihat rekaman yang dikirim dari para pengawalnya yang ia tugaskan untuk mencari Clara. Seberapa kencang laju mobilnya, Noah tidak peduli asal bisa cepat sampai di tujuan."Kamu harusnya sadar diri, Clara." Chloe membungkuk dan kembali mencengkeram pipi Clara. "Selamanya, Noah akan menjadi milikku. Paham!"Chloe tertawa lebar, membuat suaranya bergema di gedung kosong ini. Cara tertawanya, seperti seorang yang sudah dirasuki sesuatu yang lain. Suaranya yang menggelegar bahkan membuat Clara merinding ketakutan. Meski mustahil, Clara bahkan sampai coba berontak melepas kedua tangannya yang terikat.Jelas itu bukan Chloe. Pikir Clara begitu. Rasa cintanya pada Noah membuat Chloe mati rasa dan memilih apapun akan ia lakukan asalkan yang ia inginkan bisa didapatkan.Tidak jauh dari mereka, para pengawal suruhan Noah sedang memantau lebih detail keadaan di sana. Sebelum menyergap, tentu mereka akan lebih dulu memastika
Lily sudah kembali pulang. Sampai di rumah dia langsung menghubungi Noah karena sudah saking khawatirnya dengan keadaan Clara."Kenapa kau tidak bilang pada ibu!" Lily langsung menyalak.Noah sedang duduk di ruang kerjanya sambil menunggu kabar dari para pengawalnya. "Aku harus fokus dulu, Bu. Aku tidak mau buat semuanya panik."Lily berdecak. Di sampingnya ada sang suami yang juga sudah tidak sabar menunggu kabar."Kabari ibu secepatnya!" tegas Lily sebelum panggilan tetutup.Setelah itu, Noah menghela napas panjang lalu bersandar pada sofa. Ia memijat panggal hidungnya masih sambil berdoa supaya lekas dapat kabar dan Clara dalam keadaan baik-baik saja."Sebaiknya aku memastikan di rumah saja." Noah bangkit. Dia menjambret kontak mobil dan jasnya lalu pergi meninggalkan ruangannya.Tidak lama kemudian, Noah sampai di tempat tujuan. Dia sudah berada di halaman rumah di mana istri tercintanya dilahirkan. Sebelum turun, Noah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Terpampang j
Noah berangkat ke kantor tentunya dengan perasaan gelisah. Yang ada di kepalanya saat ini tentu sang istri tercinta. Noah jadi berpikir mungkin Clara marah karena dirinya sempat membentak semalam. Noah sungguh tidak bermaksud, ia hanya sedang kelelahan.Noah coba menghubungi orang kepercayaannya untuk mencari tahu keberadaan Clara. Karena ponsel Clara berada di tangan Chloe, tentu akan sedikit butuh waktu mencarinya.Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan Clara."Segera temukan dia!" tekan Noah sebelum panggilan terputus.Noah melempar ponsel ke dasbor lalu memukul bundaran setir diikuti erangan kuat."Aku bahkan hampir melakukannya dengan wanita itu. Gila!" seru Noah lagi. "Untung aku segera menyadarinya."Hari ini Noah berangkat ke kantor tanpa diantar sopirnya. Pak Rey mengantar Tuan Muda Jou ke tempat kakek dan neneknya.Sekitar pukul sebelas, sepulangnya dari sekolah Jou sudah sampai di rumah Josh dan Lily."Bu, aku menitipkan Jou untuk sementara waktu," kata Noah di telpon."M
"Kau dari mana?" tanya Noah saat tiba-tiba Clara muncul dari balik pintu kamar.Sudah berkali-kali Noah coba menghubungi, tapi tidak kunjung tersambung. Dan tiba-tiba ternyata Clara sudah sampai di rumah."Maaf, tadi aku keluar sebentar," sahut Clara.Noah mengerutkan dahi. Wanita di hadapannya saat ini terlihat aneh."Untuk apa? Apa kau marah padaku karena hal tadi?" tanya Noah lagi.Clara menggeleng. "Tidak, aku hanya cari udara segar."Noah terdiam beberapa saat seperti tengah memikirkan sesuatu. Diam-diam, Noah mengamati wanita cantik di hadapannya saat ini. Tidak ada yang salah sepertinya, tapi entah kenapa Noah merasa aneh saja."Ada apa?" tanya Clara. "Apa kau marah padaku?"Noah bergidik seraya berkedip. "Ah, tidak. Aku tidak marah. Aku yang minta maaf karena tadi membentakmu."Clara lantas tersenyum lalu merangkul pinggang Noah. "Aku ngantuk. Ayo kita tidur!"Noah masih terlihat seperti orang bingung. Karena tidaka mau berpikiran macam-macam, Noah balas merangkul pundak Clara
Hari-hari mulai Noah lalui dengan sekumpulan celotehan Clara yang terasa tidak masuk akal. Clara menjadi sensitif dan begitu manja pada Noah. Sudah satu minggu ini, Noah menghadapi Clara hingga beberapa kali mengeluh pada ibunya. Bukan mengeluh untuk menyerah, melainkan hanya melapor karena tidak percaya wanita hamil bisa bertingkah di luar kendali."Wanita hamil memang begitu." Itulah yang selalu ibu katakan akhir-akhir ini.Jika sebelumnya Noah jarang bertemu atau menelpon ibunya, kini hampir tiap sore Noah melapor bagaimana keadaan di rumah. Terkadang Noah menggeram, menjerit dan menghentak-hentak merengek seperti anak kecil.Lily terkadang tidak tega, tapi mau menolong pun tidak bisa. Pada akhirnya Lily coba menenangkan. Dan hanya begitu terus yang Lily bisa lakukan."Kau sedang apa, Sayang!" Seru Noah saat melihat Clara tengah menaiki tangga besi.Clara terlihat berjinjit, sementara bagian leher ke atas tidak nampak karena masuk ke balkon langit-langit. Noah yang was-was segera m
Hari berikutnya Clara mendapat panggilan dari hunian rumah orang tuanya. Clara ragu untuk ke sana karena Noah pasti tidak akan memberi ijin. Akan tetapi, kalau tidak datang, tentu Clara tidak enak hati. Karena masih belum yakin, Clara akhirnya mengatakan akan minta ijin pada sang suami dan kemungkinan baru bisa datang esok hari.Selesai panggilan, Clara mendengar suara pintu ruang tamu diketuk. Saat Clara hendak berdiri, dengan sigap Mela berlari lebih dulu menuju ruang tamu. Melihat tingkah Mela, Clara mengulum senyum dan kembali duduk menatap layar tv yang sedari tadi terabaikan."Sore, Sayang," sapa Lily dari arah belakang Clara.Mendengar suara tak asing itu, Clara menoleh dan seketika senyumnya melebar. "Ayah, ibu?" ceplosnya. "Kalian datang? Dan ayah, em … kapan pulang?"Clara lantas berdiri menyambut kedua mertuanya dengan antusias. Barang bawaan mereka begitu banyak, Mela bahkan sampai meminta pelayan lain untuk membantu membawa ke belakang."Silakan duduk!" Clara mempersilahk
Sebelum pergi ke butik, Lily lebih dulu datang ke kantor Noah. Dia sudah dirundung rasa penasaran karena semalam Noah menlpon. Begitu masuk ke dalam, para karyawan yang berpapasan dengannya maupun yang sedang di meja kerjanya menunduk sopan saat melihat Lily. Tidak perlu bertanya-tanya, Lily langsung menuju ruangan Noah. Dan ternyata, Noah baru saja sampai. Terlihat dari tingkahnya yang sedang melepas jas hitam lalu meletakkan tas kerjanya. Grep! Pintu tertutup. Noah yang menghadap meja kerja, berbalik karena terkejut. Dia tidak mendengar pintu terbuka, tapi mendengar saat pintu tertutup. "Ibu," celetuk Noah heran. "Ada apa ibu datang sepagi ini?" tanyanya kemudian. Lily berdecak lalu memukul lengan Noah menggunakan tas jinjingnya. "Bukankah kau yang meminta ibu datang?" Noah gantian berdecak lalu menggaruk-garuk kening hingga kepalanya sedikit menunduk. Setelah itu, Noah mendongak lagi menatap ibunya. "Memang begitu, tapi tidak sepagi ini juga, Bu. Ini masih jam kantor, ibu bis
Clara dibawa pulang sore harinya. Penyebab utama pingsan, kata dokter tentunya karena Clara kelelahan, dan juga karena berada di awal awal kehamilan. Itu sering terjadi pada para wanita yang sedang hamil muda."Pelan-pelan," kata Noah saat membantu Clara turun dari mobil.Clara berdecak kecil saat Noah coba meraih lengan bagian atas. "Kau tidak perlu memegangiku, aku bisa jalan sendiri."Noah balas berdecak. "Kalau kau tersandung bagaimana, Ha? Sudah, nurut saja."Clara mencebik lalu nurut saja saat Noah menuntun dirinya dengan kuat. Padahal Clara sudah yakin kalau dirinya bisa. Toh, tidak ada yang sakit dan sudah tidak pusing lagi."Bibi Tere!" seru Noah begitu sampai di dalam rumah. Saking kerasnya panggilan itu, Clara sampai mengatupkan kedua matanya."Buatkan minum untuk Clara! Bawa saja ke atas!" Tidak perlu menunggu Bibi Tere muncul, Noah kembali berteriak.Pak Rey yang sudah paham, bergegas ke belakang untuk memastikan apakan Bibi Tere mendengar perintah dari Noah atau tidak. S
Noah sudah masuk ke dalam. Dilihatnya ada Bibi Tere yang masih mondar-mandir dan Mela yang tengah duduk mencondongkan badan sambil bersangga tangan."Tuan," celetuk Bibi Tere sembari menundukkan kepala. Mela segera berdiri dan ikut menunduk."Di mana Clara?" tanya Noah dengan panik. "Apa yang terjadi?""Nona Clara sedang diperiksa, Tuan," kata Bibi Tere.Noah mengintip dari balik kaca, akan tetapi tidak terlihat. Kedua tangan mendadak dingin, badan pun terasa gemetaran hebat."Sebenarnya ada apa?" tanya Noah lagi.Bibi Tere dan Mela saling pandang sesaat karena bingung harus menjawab apa. Mereka sendiri tidak tahu Clara pingsan penyebabnya apa."Kami tidak tahu, Tuan. Saat saat mau mengantar minuman, Nona Clara sudah jatuh pingsan di lantai."Astaga! Saat itu juga Noah terasa lepas. Satu tangan menepuk kening dan sedikit menekannya. Belum sempat Noah ambruk terduduk, Dokter yang memeriksa Clara keluar. Noah sontak terkesiap dan berdiri tegak."Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya