Pagi datang, Clara lumayan bisa tidur dengan nyenyak untuk pertama kali di rumah ini. Meski terdengar keterlaluan, karena Lily harus meninggalkan Jou bersama Clara, tapi sebenarnya ada maksud tertentu. Toh Clara sepertinya tidak keberatan dengan keberadaan Jou di sini. Tidur bersama Baby Jou juga terasa nyaman.
"Apa Nona butuh bantuan?" tanya Mela yang baru saja datang ke kamar Clara.
"Bantu siapkan air hangat untuk mandi dan pakaian ganti," sahut Clara.
Di atas ranjang, Clara mulai melucuti pakaian Jou bergantian. Selesai dari itu dan Mela juga sudah mempersiapkan semua yang tadi Clara katakan, Jou ia fendong dan mengarahkan pada Mela.
"Kau mandikan dia. Aku bangunkan tuan rumah dulu," kata Clara setelah Jou ada dalam gendongan Mela.
"Baik, Nona."
Clara berjalan keluar sambil menggulung rambutnya yang tadi masih tergerai. Masih sambil terus melangkah dan memaiki tangga, Clara juga merapikan piamanya yang telihat tersingkap karena tali di pinggang terlalu kencang.
"Aku malas jika harus membangunkannya!" celoteh Clara. "Aku hanya betugas layaknya seorang istri, tidak ada maksud lain tentunya."
Clara terus saja ngedumel sampai tidak terasa sudah sampai di depan pintu kamar Noah. Sebelum memgetuk pintu, Clara menarik napas dalam-dalam. Begitu udara berembus keluar, tangan Clara mulai terangkat dan mengepal.
Tok! Tok! Tok!
Clara hanya mengetuk pintu tanpa memanggil penghuni kamar tersebut. Satu kali tidak ada jawaban, Clara kembali mengetuk pintu.
"Apa dia mati?" celetuk Clara begitu saja.
Di saat tangannya hendak mengetuk kembali, tiba-tiba pintu terbuka membuat Clara membelalak dan spontan mundur.
"Ada apa?" tanya Noah ketus. "Pagi-pagi sudah mengganggu!"
"Ini sudah pukul tuju, sudah tugasku membangunkanmu," jawab Clara tak kalah ketus.
"Memang kau siapa!"
"Kau juga siapa?"
Noah sudah melotot mendengar jawaban Clara. "Kau!"
"Apa!" Clara ikut melotot membuat Noah mendesis dengan rahang mengeras.
"Katakan saja ada apa!" salak Noah kemudian.
"Biar bagaimanapun juga aku istrimu, sudah tugasku melayanimu," jelas Clara. "Mandilah dan makan. Sarapan sudah siap."
Setelah berkata demikian, Clara berlalu pergi.
"Jangan pikir aku sedang peduli denganmu, aku hanya sekedar bersikap sebagai istri." Clara kembali mengoceh sepanjang menuruni tangga. "Aku tentu masih ingat bagaimana pesan Nenek, tentang menghormati suami."
"Hai, Jou!" Wajah merengut Clara berubah sumringah tatkala di lantai dasar disambut Baby Jou yang sudah wangi. "Kau tampan sekali!"
Clara mengulurkan kedua tangan hingga Jou berpindah tangan dari Mela kepadanya dirinya. "Uh, kau begitu lucu."
Masih berubur satu bulan, tapi Clara sudah begitu gemas melihat Jou. Kedua pipi yang tembem dan wajahnya yang putih bersih, belum lagi bulu mata lentik, sungguh bayi yang sempurna.
"Apa dia sudah kau beri susu?" tanya Clara.
"Sudah, Nona," jawab Mela.
Tidak lama setelah itu, Noah muncul sudah memakai setelan jas hitam. Dia sepertinya akan pergi ke kantor, padahal harusnya dia tahu hari ini dia berhak cuti karena baru sehari menikah.
"Apa dia tidak punya otak?" Batin Clara sembari melirik tampilan Noah dari atas hingga bawah. "Pasti dia akan dicibir nanti," imbuhnya.
"Kenapa kau menatapku begitu?" tegur Noah.
Clara segera bergidik dan buang muka. "Tidak, aku hanya sedang asal lihat."
Noah mendecih lalu berlalu ke ruang makan. Clara bergegas memberikan Jou pada Mela sementara dirinya menyusul Noah ke ruang makan.
"Kita bicara sekarang," kata Noah usai menarik kursi dan duduk.
"Baik. Aku juga perlu bicara denganmu." Clara ikut duduk.
Makanan yang tersaji di atas meja memang menggiurkan, tapi mereka berdua memilih bicara dengan tatapan begitu tajam, mengabaikan sarapan yang ada.
"Katakan!" kata Clara.
Noah berdehem lalu mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kerjanya lalu menjulurkannya ke arah Clara.
"Ini aturan selama kau ada di sini." Begitu kata Noah.
Dengan dahi berkerut, Clara menerima selembar kertas putih itu. "Apa ini?"
"Kau baca saja."
Clara mulai menggerakkan bola mata menyusuri hurup-hurup di kertas itu, sementara Noah sudah mulai menikmati sarapannya.
"Apa-apaan ini!" gumam Clara saat satu baris sudah ia baca.
Lembar perjanjian yang harus dipatuhi!
Jangan masuk kamar tanpa ijin
Dilarang menyentuh apapun milik Noah.
Dilarang menyentuh Noah.
Dilarang membantah.
Bersikaplah sopan.
Apabila dilanggar, sanki akan berlaku!
"Apa maksudmu!" kata Clara ketus. "Kau sedang mempermainkanku ya!"
Noah mendongak dan meletakkan kedua sendok di atas piring. "Apa kau keberatan?"
"Tentu saja aku keberatan!" sahut Clara.
"Oh, jadi kau maunya kita saling bersentuhan? Iya begitu?"
"Najis!" cerca Clara saat itu juga. "Memamg siapa yang mau? Dasar Gila!
"Lalu kenapa kau tidak setuju?"
Clara lantas berdiri kemudian mengibaskan sekali kertas itu lalu menghadapkan ke arah Noah. Berikutnya, Clara menunjuk tulisan di nomor 4.
"Kau pikir ini maksudnya apa?" salak Clara. "Kau mau membudakku?"
Noah menelan ludah lalu diikuti decakan. "Karena disini aku Tuannya. Apapun harus dipatuhi. Bukan hanya para pelayan, tapi kau juga."
Clara spontan mendecih dan terduduk kembali. Lembaran kertas itu sudah terlempar melayang dan berakhir jatuh di atas meja.
"Gila! Kau memang gila!" Clara geleng-geleng kepala.
"Sopanlah sedikit padaku!" hardik Noah.
"Memang kau pikir, kau sopan padaku? Cih!"
Noah berdiri. "Aku tidak mau berdebat. Yang jelas, apa yang ada di kertas itu, kau patuhi saja."
"Hei!" teriak Clara.
Noah tidak menggubris dan terus melangkah keluar meninggalkan rumah sambil menenteng tas kerjanya.
"Aish, sialan!" Clara menggeram lalu menghentak-hentakkan kaki. "Brengsek!"
Dari kejauhan, Mela hanya menelan ludah sambil menimang baby Jou.
"Kasihan Nona Clara," gumam Mela. "Dia harus menderita karena ulah kakak kembarnya sendiri. Semoga di luar sana tidak ada cibiran."
Sampai di kantor, para karyawan mengangguk sopan saat Noah melintas. Beberapa karyawan bahkan ada yang berbisik-bisik dan mungkin sedang menggunjingnya.
"Noah?" pekik Betrand saat berpapasan di belokan masuk lorong utama. "Sedang apa kau di sini?"
Noah melotot. "Apa maksudmu? Kenapa tanya begitu?"
"Em, maksudku kau kan baru sehari menikah. Kau pasti ambil cuti. Kenapa kau malah di sini?"
"Bukan urusanmu. Aku boss di sini, terserah aku mau bagaimana." Noah melengos masuk ke dalam lift yang sudah terbuka.
"Hei, tunggu!" Betrand melompat ikut masuk ke dalam lift.
"Kau baik-baik saja kan?" tanya Betrand penasaran.
"Menurutmu?"
"Harusnya kau ambil cuti. Em, bulan madu misalnya."
"Sembarangan!" sembur Noah. "Untuk apa aku bulan madu? Buang-buang waktu."
Pintu lift terbuka dan Noah keluar lebih dulu lalu disusul Betrand lagi.
"Tunggu dulu!" Betran meraih lengan Noah. "Apa benar?"
"Apanya?" Noah mengibaskan tangan.
"Tentang pernikahanmu," kata Betrand. "Wanita yang kau nikahi bukan Chloe?"
"Bukankah kau dengar saat pendeta menyebutkan nama dia?"
Betran nampak terdiam dan mengingat-ingat. Karena pada saat itu Betrand juga ikut menghadiri pernikahan Noah.
Mau berniat dirahasiakan seperti apa, pernikahan tersebut pastilah banyak yang tahu. Meski mereka-mereka hanya menebak-nebak dan tidak seratus persen yakin, tapi gunjingan atau omongan orang-orang tetap ada. Ada yang membicarakan sisi baik, ada juga yang memihak sisi buruknya. Setelah ditinggal pergi oleh Noah ke kantor, Clara diam di rumah bersama suster dan Baby Jou. Awal pernikahan yang buka keinginannya tetaplah harus ia buat seolah tidak menjadi beban. "Mela," panggil Clara saat suster Jou itu tengah membuatkan susu untuk Jou. "Iya, kenapa Nona?" "Apa kau bekerja bersama keluarga Noah baru saat Jou ada?" "Tidak, Nona. Saya sudah ikut keluarga Tuan Josh sekitar enam tahun yang lalu." Clara manggut-mangg
"Ibu tahu aku menikah bahkan karena terpaksa. Bisa-bisa menyuruhku seranjang dengan wanita itu," cerocos Noah sambil melangkah masuk. Melangkah sampai ke ruang dalam, beberapa pelayan menunduk sopan. Noah terus saja berjalan angkuh seperti biasanya. Ia berjalan menaiki anak tangga. Ceklek! Bunyi pintu terbuka, membuat Clara yang sedang berada di ruang ganti mendadak gelagapan sendiri. Ia baru saja selesai memakai piama yang ibu mertuanya belikan. Piama tersebut terbuat dari bahan satin silk. Tidak terlalu terbuka karena dilengkapi jubah, hanya bagian roknya yang sedikit tinggi di atas lutut. "Haruskah aku seperti ini?" batin Clara. "Aku bahkan terlihat seperti wanita aneh." Ketika terdengar pintu sudah tertutup, kini Clara bisa mendengar suara tapak s
Pagi datang lagi, seperti biasanya Clara sudah terbangun sekitar pukul lima pagi. Ia belum sempat mandi apalagi berganti pakaian karena pakaian ganti semua ada di kamar atas. Clara hanua merapikan diri dengan menyisir rambut lalu menjapitnya. Semalam Clara hanya tidur sendiri. Kata Mela, dia yang akan tidur bersama Jou beberapa hari ini. Ternyata semua itu atas perintah Nyonya Lily. "Pagi semuanya!" sapa Clara pada para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan. Mereka nampak antusias menjawab sapaan dari Clara. "Pagi, Nona." Begitu jawab mereka bersamaan. "Ada yang bisa aku bantu?" Clara berjalan mendekati meja konter dapur yang terlijat ada beberapa sayuran mentah. Ke tiga pelayan itu saling pandang sejenak.
Tania pulang sekitar pukul lima sore. Seharian dia di sini, lebih banyak mengagumi keadaan rumah dari pada mengobrol atau sekedar bertanya bagaimana keadan Clara selama tinggal di sini. Yang Tania temui sambil tersenyum-senyum tentunya Baby Jou. Kalau dengan Clara, ya … tidak ada yang istimewa selain obrolan yang tidak terlalu penting. "Ibu bahkan sama sekali tidak menanyai bagaimana kabarku," dengus Clara. Clara menggerutu sambil coret-coret kertas putih. Ia biasanya mengisi kesuntukan dengan menggambar sesuatu. Misalnya gaun atau model baju yang sedang trend. "Apakah ibu tidak peduli bagaimana keadaanki di sini?" lanjut Clara lagi. Ia meletakkan pensilnya di atas kertas lalu bersandar pada kursi. Ia meraup wajahnya dan membuang napas seolah ingin melepas segala penat yang ada.
Noah terus saja memikirkan kalimat sang ibu yang menohok. Meski pernikahan ini sungguh tidak ia sukai, tapi semua ini juga bermula dari kesalahannya sendiri. Sampai pagi menjelang, Lily masih betah menemani Clara tidur. Clara menangis semalaman karena ulah Noah tentunya. Cukup lama Lily menenangkan Clara sampai akhirnya semalam bisa tidur. "Kau bangun, Sayang?" celetuk Lily ketika Clara menggeliatkan badan. Lily sendiri saat ini sebenarnya baru saja terbangun, tapi sudah terduduk di tepi ranjang sambil sesekali menguap. "Maaf, Bu. Aku jadi merepotkanmu," kata Clara sambil meraup wajah. Lily tersenyum sambil mengusap lengan Clara. Meski kedekatan dengan Noah masih begitu jauh dan entah ada harapan dekat atau
Noah sudah turun sambil menjinjing tas kerjanya. Begitu masuk, semua karyawan yang berpapasan segera menunduk sopan dan menyapa. "Kupikir kau tidak hadir," kata Angela begitu sudah menyusul Noah masuk ke dalam ruangan kerja. Sebagai sahabat sekaligus sekertaris Noah, Angela bisa dengan leluasa berbicara tanpa rasa sungkan. "Memang kenapa aku harus tidak hadir?" sungut Noah. "Jangan katakan tentang bulan madu." Noah terlihat mendengus saat terduduk di kursi kerjanya. Angela juga ikut duduk. "Sudahlah, berhenti muram begitu. Semua bisa begibi juga karena ulahmu sendiri kan?" Lagi-lagi Noah merasa disudutkan. Tidak di rumah tidak di kantor, sepertinya selalu disalahkan. Noah yang cukup kesal, menatap Angela de
Sekitar pukul tiga sore, hujan turun dengan begitu derasnya. Jika hari-hari lalu hanya hujan gerimis, kali ini membludak lebih deras diikuti suara petir yang terkadang membuat dada berdegup terkejut. Noah sudah selesai mandi. Di dalam kamarnya, dia mulai merasa khawatir karena Clara tidak kunjung pulang. Sudah satu jam dari waktu Bibi Tere dan Jou pulang tadi. Harusnya Noah tidak peduli. Harusnya masa bodoh saja. Namun, rasa was-was di hatinya membuatnya panik akan keberadaan Clara. Belum lagi di luar sana hujan deras. "Kemana dia?" gumam Noah saat langkah kakinya sampai di pintu kaca menuju balkon. Noah mendorong pintu tersebut dan berjalan keluar sambil memeluk tubuhnya sendiri menahan hawa dingin di luar sini. Cipratan hujan yang tertiup angin, semakin menambah hawa dingin. Kabut tebal juga n
"Lebih cepat, Pak!" teriak Noah yang kini duduk bersama Clara di jok belakang. Melihat darah itu membuat Noah semakin bergidik ngeri. Beberapa kali bahkan Noah mengetutkan wajah dan medesis. "Cepat, Pak!" teriak Noah sekali lagi. "I-iya, Tuan," jawab Pak Rey tergagap. "Aku baik-baik saja. Sungguh." Clara ikut bicara. "Diam kau!" Hardik Noah membuat Clara menciut diam. "Tapi …" "Diamlah!" Noah masih saja membentak. "Cepat dong, Pak. Masa dari tadi tidak ada rumah sakit!" "Eh!" Mendadak Clara menjerit kecil. "Tidak usah. Kenapa jadi rumah sakit." "Sudah kubilang, kau diam saja
Noah sudah mengeraskan rahang dan mencengkeram kuat bundaran setir saat melihat rekaman yang dikirim dari para pengawalnya yang ia tugaskan untuk mencari Clara. Seberapa kencang laju mobilnya, Noah tidak peduli asal bisa cepat sampai di tujuan."Kamu harusnya sadar diri, Clara." Chloe membungkuk dan kembali mencengkeram pipi Clara. "Selamanya, Noah akan menjadi milikku. Paham!"Chloe tertawa lebar, membuat suaranya bergema di gedung kosong ini. Cara tertawanya, seperti seorang yang sudah dirasuki sesuatu yang lain. Suaranya yang menggelegar bahkan membuat Clara merinding ketakutan. Meski mustahil, Clara bahkan sampai coba berontak melepas kedua tangannya yang terikat.Jelas itu bukan Chloe. Pikir Clara begitu. Rasa cintanya pada Noah membuat Chloe mati rasa dan memilih apapun akan ia lakukan asalkan yang ia inginkan bisa didapatkan.Tidak jauh dari mereka, para pengawal suruhan Noah sedang memantau lebih detail keadaan di sana. Sebelum menyergap, tentu mereka akan lebih dulu memastika
Lily sudah kembali pulang. Sampai di rumah dia langsung menghubungi Noah karena sudah saking khawatirnya dengan keadaan Clara."Kenapa kau tidak bilang pada ibu!" Lily langsung menyalak.Noah sedang duduk di ruang kerjanya sambil menunggu kabar dari para pengawalnya. "Aku harus fokus dulu, Bu. Aku tidak mau buat semuanya panik."Lily berdecak. Di sampingnya ada sang suami yang juga sudah tidak sabar menunggu kabar."Kabari ibu secepatnya!" tegas Lily sebelum panggilan tetutup.Setelah itu, Noah menghela napas panjang lalu bersandar pada sofa. Ia memijat panggal hidungnya masih sambil berdoa supaya lekas dapat kabar dan Clara dalam keadaan baik-baik saja."Sebaiknya aku memastikan di rumah saja." Noah bangkit. Dia menjambret kontak mobil dan jasnya lalu pergi meninggalkan ruangannya.Tidak lama kemudian, Noah sampai di tempat tujuan. Dia sudah berada di halaman rumah di mana istri tercintanya dilahirkan. Sebelum turun, Noah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Terpampang j
Noah berangkat ke kantor tentunya dengan perasaan gelisah. Yang ada di kepalanya saat ini tentu sang istri tercinta. Noah jadi berpikir mungkin Clara marah karena dirinya sempat membentak semalam. Noah sungguh tidak bermaksud, ia hanya sedang kelelahan.Noah coba menghubungi orang kepercayaannya untuk mencari tahu keberadaan Clara. Karena ponsel Clara berada di tangan Chloe, tentu akan sedikit butuh waktu mencarinya.Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan Clara."Segera temukan dia!" tekan Noah sebelum panggilan terputus.Noah melempar ponsel ke dasbor lalu memukul bundaran setir diikuti erangan kuat."Aku bahkan hampir melakukannya dengan wanita itu. Gila!" seru Noah lagi. "Untung aku segera menyadarinya."Hari ini Noah berangkat ke kantor tanpa diantar sopirnya. Pak Rey mengantar Tuan Muda Jou ke tempat kakek dan neneknya.Sekitar pukul sebelas, sepulangnya dari sekolah Jou sudah sampai di rumah Josh dan Lily."Bu, aku menitipkan Jou untuk sementara waktu," kata Noah di telpon."M
"Kau dari mana?" tanya Noah saat tiba-tiba Clara muncul dari balik pintu kamar.Sudah berkali-kali Noah coba menghubungi, tapi tidak kunjung tersambung. Dan tiba-tiba ternyata Clara sudah sampai di rumah."Maaf, tadi aku keluar sebentar," sahut Clara.Noah mengerutkan dahi. Wanita di hadapannya saat ini terlihat aneh."Untuk apa? Apa kau marah padaku karena hal tadi?" tanya Noah lagi.Clara menggeleng. "Tidak, aku hanya cari udara segar."Noah terdiam beberapa saat seperti tengah memikirkan sesuatu. Diam-diam, Noah mengamati wanita cantik di hadapannya saat ini. Tidak ada yang salah sepertinya, tapi entah kenapa Noah merasa aneh saja."Ada apa?" tanya Clara. "Apa kau marah padaku?"Noah bergidik seraya berkedip. "Ah, tidak. Aku tidak marah. Aku yang minta maaf karena tadi membentakmu."Clara lantas tersenyum lalu merangkul pinggang Noah. "Aku ngantuk. Ayo kita tidur!"Noah masih terlihat seperti orang bingung. Karena tidaka mau berpikiran macam-macam, Noah balas merangkul pundak Clara
Hari-hari mulai Noah lalui dengan sekumpulan celotehan Clara yang terasa tidak masuk akal. Clara menjadi sensitif dan begitu manja pada Noah. Sudah satu minggu ini, Noah menghadapi Clara hingga beberapa kali mengeluh pada ibunya. Bukan mengeluh untuk menyerah, melainkan hanya melapor karena tidak percaya wanita hamil bisa bertingkah di luar kendali."Wanita hamil memang begitu." Itulah yang selalu ibu katakan akhir-akhir ini.Jika sebelumnya Noah jarang bertemu atau menelpon ibunya, kini hampir tiap sore Noah melapor bagaimana keadaan di rumah. Terkadang Noah menggeram, menjerit dan menghentak-hentak merengek seperti anak kecil.Lily terkadang tidak tega, tapi mau menolong pun tidak bisa. Pada akhirnya Lily coba menenangkan. Dan hanya begitu terus yang Lily bisa lakukan."Kau sedang apa, Sayang!" Seru Noah saat melihat Clara tengah menaiki tangga besi.Clara terlihat berjinjit, sementara bagian leher ke atas tidak nampak karena masuk ke balkon langit-langit. Noah yang was-was segera m
Hari berikutnya Clara mendapat panggilan dari hunian rumah orang tuanya. Clara ragu untuk ke sana karena Noah pasti tidak akan memberi ijin. Akan tetapi, kalau tidak datang, tentu Clara tidak enak hati. Karena masih belum yakin, Clara akhirnya mengatakan akan minta ijin pada sang suami dan kemungkinan baru bisa datang esok hari.Selesai panggilan, Clara mendengar suara pintu ruang tamu diketuk. Saat Clara hendak berdiri, dengan sigap Mela berlari lebih dulu menuju ruang tamu. Melihat tingkah Mela, Clara mengulum senyum dan kembali duduk menatap layar tv yang sedari tadi terabaikan."Sore, Sayang," sapa Lily dari arah belakang Clara.Mendengar suara tak asing itu, Clara menoleh dan seketika senyumnya melebar. "Ayah, ibu?" ceplosnya. "Kalian datang? Dan ayah, em … kapan pulang?"Clara lantas berdiri menyambut kedua mertuanya dengan antusias. Barang bawaan mereka begitu banyak, Mela bahkan sampai meminta pelayan lain untuk membantu membawa ke belakang."Silakan duduk!" Clara mempersilahk
Sebelum pergi ke butik, Lily lebih dulu datang ke kantor Noah. Dia sudah dirundung rasa penasaran karena semalam Noah menlpon. Begitu masuk ke dalam, para karyawan yang berpapasan dengannya maupun yang sedang di meja kerjanya menunduk sopan saat melihat Lily. Tidak perlu bertanya-tanya, Lily langsung menuju ruangan Noah. Dan ternyata, Noah baru saja sampai. Terlihat dari tingkahnya yang sedang melepas jas hitam lalu meletakkan tas kerjanya. Grep! Pintu tertutup. Noah yang menghadap meja kerja, berbalik karena terkejut. Dia tidak mendengar pintu terbuka, tapi mendengar saat pintu tertutup. "Ibu," celetuk Noah heran. "Ada apa ibu datang sepagi ini?" tanyanya kemudian. Lily berdecak lalu memukul lengan Noah menggunakan tas jinjingnya. "Bukankah kau yang meminta ibu datang?" Noah gantian berdecak lalu menggaruk-garuk kening hingga kepalanya sedikit menunduk. Setelah itu, Noah mendongak lagi menatap ibunya. "Memang begitu, tapi tidak sepagi ini juga, Bu. Ini masih jam kantor, ibu bis
Clara dibawa pulang sore harinya. Penyebab utama pingsan, kata dokter tentunya karena Clara kelelahan, dan juga karena berada di awal awal kehamilan. Itu sering terjadi pada para wanita yang sedang hamil muda."Pelan-pelan," kata Noah saat membantu Clara turun dari mobil.Clara berdecak kecil saat Noah coba meraih lengan bagian atas. "Kau tidak perlu memegangiku, aku bisa jalan sendiri."Noah balas berdecak. "Kalau kau tersandung bagaimana, Ha? Sudah, nurut saja."Clara mencebik lalu nurut saja saat Noah menuntun dirinya dengan kuat. Padahal Clara sudah yakin kalau dirinya bisa. Toh, tidak ada yang sakit dan sudah tidak pusing lagi."Bibi Tere!" seru Noah begitu sampai di dalam rumah. Saking kerasnya panggilan itu, Clara sampai mengatupkan kedua matanya."Buatkan minum untuk Clara! Bawa saja ke atas!" Tidak perlu menunggu Bibi Tere muncul, Noah kembali berteriak.Pak Rey yang sudah paham, bergegas ke belakang untuk memastikan apakan Bibi Tere mendengar perintah dari Noah atau tidak. S
Noah sudah masuk ke dalam. Dilihatnya ada Bibi Tere yang masih mondar-mandir dan Mela yang tengah duduk mencondongkan badan sambil bersangga tangan."Tuan," celetuk Bibi Tere sembari menundukkan kepala. Mela segera berdiri dan ikut menunduk."Di mana Clara?" tanya Noah dengan panik. "Apa yang terjadi?""Nona Clara sedang diperiksa, Tuan," kata Bibi Tere.Noah mengintip dari balik kaca, akan tetapi tidak terlihat. Kedua tangan mendadak dingin, badan pun terasa gemetaran hebat."Sebenarnya ada apa?" tanya Noah lagi.Bibi Tere dan Mela saling pandang sesaat karena bingung harus menjawab apa. Mereka sendiri tidak tahu Clara pingsan penyebabnya apa."Kami tidak tahu, Tuan. Saat saat mau mengantar minuman, Nona Clara sudah jatuh pingsan di lantai."Astaga! Saat itu juga Noah terasa lepas. Satu tangan menepuk kening dan sedikit menekannya. Belum sempat Noah ambruk terduduk, Dokter yang memeriksa Clara keluar. Noah sontak terkesiap dan berdiri tegak."Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya