Barra tak berkedip menatap wajah Olivia dari jarak begitu dekat ini, bahkan tak ada lagi jarak. Jantungnya berdetak kencang, ada rasa menggelora di naluri kelelakiannya yang tak dapat di tolak. Barra membuka bibirnya, tak tahan untuk membalas kecupan Olivia dengan melumat bibir manis Istrinya itu. Belum sempat melakukannya, Olivia secara tiba-tiba menyudahi morning kiss tersebut, menjauh dari Barra. “Kenapa berhen_” “Udah sepuluh detik!” Jawab Olivia cepat, memutus ucapan Barra yang terpana. “Kamu korupsi waktu. Hitungan saya tidak sama dengan kamu. Baru tiga detik Olivia!” Protes Barra. “Dih, jelas-jelas udah sepuluh detik, jangan di kurang-kurangi!” Olivia tak menerima protes Barra. “Udah, aku mau sarapan!” Tanpa persetujuan Barra, Olivia cabut dari tempat itu, tak mau sampai terjadi hal yang di inginkan sang CEO. Barra terperangah, Olivia sudah pergi begitu saja. Keluar dari kamarnya. Ia usap bibirnya bekas kecupan Olivia tadi. Senyum sumringah seketika terbit di wajahnya.
Mobil yang di kemudikan supir berjalan dengan kecepatan sedang menuju Bandara. Barra masih belum tenang dengan perpisahan antara dirinya dan sang istri tadi. Olivia dengan tingkah manjanya memberi panggilan khusus untuknya di kontak telepon gadis itu. Barra tak bisa mengelak jika ada rasa senang di hatinya, atau entah apalah? “Jef.” Panggilnya, sedikit gusar. “Ya Pak?” Jawab Jefri yang duduk di depan, di samping supir. “Olivia membuat namaku menjadi Barra-nya Olivia di kontak teleponnya. Menurut kamu, bagaimana?” Tanya Barra, sedikit pamer. Kenapa pula ia harus menjelaskan hal tersebut pada asisten pribadinya. “Wah, itu terdengar manis sekali Pak!” Jefri tersenyum. “M-Manis?” Barra semakin penasaran dengan pendapat Jefri. “Iya Pak. Nyonya seperti menyatakan kepemilikannya terhadap anda dengan mengatakan anda adalah Barra-nya Olivia. Manis sekali terdengar. Tetapi itu pendapat saya saja. Mungkin menurut orang lain terkesan lebay. Tapi kalau pun lebay, ini adalah kelebayan
“Serius Kak? Boleh.” Olivia sudah tentu setuju. “Bagus itu Wan. Kita berharap aja kalau kejadian itu bukan karena sebuah kesengajaan. Tapi kalau ternyata iya, semoga dari video, pelakunya bisa segera di tangkap. Saya akan laporkan ke Pak Barra. Karena waktu itu beliau marah besar ada kejadian berbahaya seperti itu di acara pentingnya.” Ujar Ardi, setuju pada Ridwan. “Iya Pak.” Angguk Ridwan, dirinya juga tak mau Olivia hidup dalam ketakutan dan tak bebas mau melakukan apa saja. “Kalau dapat videonya, aku mau ya kak. Mau kasi liat ke Mas aku.” pinta Olivia, ingin memberitahu Barra yang memang masih menyelidiki masalah itu. “Iya Oliv, tentu!” Jawab Ridwan, pasti. “Ya udah. Kita makan aja dulu, keburu habis jam istirahat!” Ajak Ardi. “Ayo. Nanti kita bahas setelah perut terisi.” Nanda sudah merasa lapar. “Ayo Ridwan! Kamu jangan ngajak Olivia ngobrol lagi. Dia mau makan juga itu...” Panggil Ardi yang sudah berjalan menuju pintu bersama Nanda. Ridwan menatap Olivia lekat,
“Jef.” “Ya Pak?” Jefri menoleh ke samping, pada Barra yang duduk di sebelahnya. Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil, menuju airport untuk penerbangan ke Jakarta. “Olivia hanya meminta di bawakan oleh-oleh makanan. Aku tidak puas.” Ucap Barra. “Anda ingin Nyonya meminta apa selain oleh-oleh makanan khas Bali, Pak? Bukankah Nyonya Olivia meminta hal yang lebih besar, yaitu anda kembali pulang ke rumah dalam keadaan selamat untuknya?” Jawab Jefri santun. Barra seketika menyunggingkan senyum cerah, Jefri mengingatkan kembali tentang permintaan Olivia tersebut. “Iya juga Jef! Dia ingin aku pulang dengan selamat demi dia, ha...” Barra spontan tertawa mengingat keinginan Olivia itu. Jefri membelalakkan mata saat melihat Barra. Bosnya tertawa? “Kamu tau tadi di telepon dia bilang apa? Dia bilang kangen. Ha ha...” Barra tertawa senang campur salah tingkah sendiri sembari geleng-geleng kepala menatap keluar jendela. Istrinya itu benar-benar menggemaskan. Jefri takjub, hingga sp
Dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dengan menempuh penerbangan sekitar kurang lebih dua jam, hingga akhirnya tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Barra dan Jefri di jemput supir yang telah menunggu mereka, agar segera ke mobil. Barra menatap kotak beludru biru tua di tangannya, ada sebuah kalung cantik di dalamnya yang ia beli saat masih di Bali tadi, untuk di berikan pada Olivia istrinya yang mengatakan jika telah merindukannya. “Nyonya pasti senang Pak.” Sahut Jefri, ikut gembira melihat semangat Bosnya yang ia tahu sedang kasmaran. “Benarkah? Apa menurut kamu dia akan suka dengan kalungnya?” Barra deg-degan. Matanya tak bisa lepas dari menatap kagum kalung cantik itu. Terbayang saat kalung tersebut melingkar di leher jenjang istrinya. Pasti sangat indah dan cocok. “Sudah pasti. Anda memilih sebuah kalung berlian yang simpel tapi elegan, sama seperti Nyonya Olivia. Saya yakin beliau pasti suka Pak!” Ujar Jefri meyakinkan Barra. Barra tersenyum sumring
‘Benar kata Pak Barra. Mereka ini memang gak pantas menjadi keluargaku!’ Olivia membatin. Sekarang dirinya benar-benar sadar jika orang-orang toxic memang tak akan pernah bisa berubah. Tak perlu di anggap ada dalam hidup. “Mulai detik ini, aku tidak akan menganggap kalian sebagai keluargaku lagi. Jangan salahkan aku bertindak kasar. Aku muaaakkk!!” Olivia yang berjalan sambil menyeret Angelina dengan menarik rambut perempuan itu, kemudian melepaskan genggaman tangannya dari rambut Angelina yang terus berteriak kesakitan sembari mengumpat, ia dorong sekuat tenaga tubuh perempuan tak berhati itu hinggap jatuh terhempas ke tanah. Saatnya melarikan diri sebelum dirinya tak bisa lagi mengontrol diri. Aargh! Angelina mengerang kesakitan, namun lebih sakit lagi karena di permalukan oleh gadis yang selama ini ia intimidasi. “Sial*n lo Olivia!! Gue gak akan memaafkan apa yang lo lakukan ini!! Sebentar lagi Reyhan datang, di akan bawa lo! Tamat hidup lo!” Angelina terus mengumpat, Olivia su
Olivia tiba di penthouse. Dengan sekuat tenaga, tadi ia mengemudikan mobilnya sendiri menuju kediamannya dan Barra. Olivia tak mau menunggu Barra di mobil suaminya itu, di karenakan perasaannya sudah semakin tak terkontrol. Rasa panas dan gerah yang menyergap ini membuat Olivia ingin melucuti seluruh pakaiannya dari tubuhnya. Namun tak mungkin ia lakukan hal itu di depan semua orang, termasuk Barra suaminya. Olivia menekan kode pintu penthouse, tak tahan untuk segera masuk dan melepas semua yang ada di tubuhnya saat ini. Hijab dan baju panjangnya benar-benar membuat tubuhnya seakan dililit, sesak, semakin gerah. Pintu terbuka. Olivia dengan napas naik turun, masuk ke dalam dengan langkah cepat, setengah berlari. Ia masuk ke dalam kamar. Saat ini Olivia hanya ingin menenangkan diri agar reaksi obat itu sedikit demi sedikit berkurang dan hilang. “Panas... Ya Allah...” Olivia beristighfar berkali-kali, baru pertama kali ini ia merasakan sensasi aneh akibat obat perangsang. Di tam
Tak menghiraukan Barra, Olivia tetap saja berlari. Tak berhati-hati di saat tubuhnya masih basah dan lantai licin. Seet... Aww! Olivia terpekik. Kakinya terpeleset, tubuhnya tak kuasa menahan kaki tersebut agar tak terjatuh. “Olivia!!” Barra menangkap tubuh Olivia dengan sigap, ia tarik pinggang gadis itu ke dalam dekapannya. Hug! Olivia masuk ke dalam pelukan Barra. Kedua tangannya mencengkeram kuat lengan kemeja Barra, takut jatuh. Sedang Barra yang tangannya di kalungkan erat di pinggul Olivia, tak melepas tatapannya dari wajah cantik istrinya yang hanya tinggal berjarak beberapa centimeter saja dari wajahnya. Entah ke berapa kalinya mereka dalam posisi seperti ini. Lagi-lagi Olivia yang kadang ceroboh, terjatuh dan di selamatkan Barra dengan memeluk tubuhnya. Seperti drama percintaan ftv saja... Namun kali ini... Zzrrt! Tiba-tiba seakan ada aliran listrik yang menyengat sekujur tubuh Olivia akibat sentuhan dan pelukan Barra. Wangi maskulin parfum di tubuh atletis pria i
Mobil Amanda tiba di PT. LV-RAWLESS ENERGY. Vincent membantu membukakan pintunya, mempersilahkan sang Nyonya turun. “Ibu ada beberapa jadwal rapat sampai sore. Kamu bisa pulang saja dulu Vincent, temani Adnan bermain ya,” Ucap Amanda setelah turun dari mobil. “Terimakasih, Bu,” Vincent menatap Amanda melangkah pergi bersama para staff perusahaan yang dari tadi telah menunggu Pimpinan sebenarnya PT. LV-RAWLESS itu di depan lobbi. la buang napas kasar. Sejak tadi rasanya begitu tegang dan sesak. Hatinya tak tenang. Jika pengkhianat seperti Margaretha dan Helen diperlakukan seperti tadi, bagaimana dengan dirinya dan Nia nanti? Mereka masih aman karena belum ketahuan telah mengkhianati kepercayaan sang Nyonya. Jika sampai ketahuan, bisa habis mereka berdua, terutama Nia yang sangat ia khawatirkan. Drrt... Ponsel Vincent tiba-tiba bergetar saat dirinya sedang larut dalam kekhawatiran. la terkejut, cepat-cepat menerima panggilan masuk tersebut. “Ini siapa?” Lirihnya dengan mengernyi
“Tunggu! Apa maksudnya ini? Aku mau diapakan Manda!!” pekik Margaretha, histeris dengan tubuh bergetar hebat. “Kamu maling! Hukuman untuk maling ada pada tangannya!” Jawab Amanda menegaskan. “Kamu kejam!!!” Teriak Margaretha, tak mau. “Aku memang kejam! Dan bukan hanya tangan, tetapi sedikit demi sedikit bagian tubuh lainnya juga akan mendapat perlakuan yang sama setiap harinya!” Amanda berwajah bengis, menyeramkan. “Mandaaa... Jangan lakukan itu...” Margaretha menjerit-jerit, ketakutan. “Lakukan di sini, sekarang juga. Biar wanita pengkhianat itu bisa melihat langsung!” Tunjuk Amanda pada Helen yang menggigil. “Baik, Bu!” dua wanita penjaga menarik kasar Margaretha, mendudukkannya di kursi dengan mengikat masing-masing pergelangan tangannya di pegangan kursi. Margaretha berteriak, meraung-raung, histeris saat pembalasan Amanda disegerakan. Amanda tersenyum sinis, dirinya begitu puas bisa memberikan pelajaran pada istri Laksmana ini atas apa yang telah dilakukannya. Tatapanny
“Ada apa, Pa?” Elgard terheran melihat Haris Nugroho tiba-tiba mendatanginya ke ruang wakil Presiden direktur. “Kamu dari mana? Kenapa baru ada jam segini di kantor,” Haris Nugroho mendengus kesal. “Dari rumah sakit. Tadi nemani Chelsea cek kandungan.” “Hah, dia lagi!” Haris Nugroho selalu muak jika sudah mendengar nama menantunya itu. Elgard menatap sang Ayah. Haris Nugroho memang tak peduli sedikit pun pada calon bayinya di kandungan Chelsea. Tak pernah menanyakan keadaannya. “Tadi Papa datang ke rumah Paman Abraham Rawless untuk berkunjung sekaligus kembali menjalin hubungan baik dengan keluarga Rawless.” Ungkap Haris Nugroho to the point. “Benarkah? Kenapa Papa gak ajak Elgard?” Elgard seketika excited. “Papa aja habis disemprot karena gak menjaga Olivia dengan baik. Apalagi kamu yang udah nyia-nyiain cucunya. Bisa mati kamu!” Elgard terhenyak, benar juga. “Seharusnya kita dan keluarga Rawless adalah dua gabungan keluarga besar yang luar biasa. Tetapi gara-gara kamu, kita
“Sudah tau di mana Oliv?” Amanda bertanya, namun tatapannya tetap fokus pada tangannya yang menandatangani beberapa berkas di atas meja kerjanya. Vincent diam sejenak, sedang mengatur kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Nyonya majikannya masih diliputi amarah yang besar. “Belum, Bu. Pak Jefri tidak pernah pergi ke suatu tempat yang diduga sebagai kediaman baru Pak Barra. Kami sudah mengawasi kemana pun dia pergi. Dia hanya ke UD Entertainment, lalu pulang ke rumah Tuan Rawless. Penthouse Pak Barra pun kosong setelah orang kita menyelidiki ke sana. Dan Pak Barra tidak ke Kantor sehingga kita tidak bisa mengikuti kemana dia pulang. Kami kehilangan jejaknya,” Jelas Vincent, hati-hati. Aura Amanda begitu dingin, membuat suasana di dalam ruang kerja wanita itu tegang mencekam. Amanda mengepal kuat jari jemarinya, tengah menahan amarah. “Dia pintar sekali. Putriku pasti disekap di suatu tempat. Aku tidak tau bagaimana keadaan Oliv sekarang di tengah kehamilan mudanya. Barra memisahka
“Jadi sekarang Dokter rajin memperdalam ilmu agama?” Tanya Barra serius.“Ya. Saya kan imam untuk istri dan anak-anak saya, jadi saya harus bisa memimpin mereka dengan cara selalu upgrade diri dengan ilmu agama yang luas,” Jelas Dokter Andrew.“Kalau Dokter punya waktu, bisa ajak saya sekalian ikut belajar ke ustadz-nya Dokter,” Barra berinisiatif. Ucapan dokter di hadapannya ini, membuka pikirannya tentang seorang pemimpin dalam rumah tangga yang harus berilmu.“Tentu, dengan senang hati. InsyaAllah saya kabari kapan ada kajian rutin dengan ustadz ya,” Dokter Andrew menyambut denganantusias.Barra benar-benar puas. Baru ini ia menemukan teman yang asik diajak mengobrol dan berbagi cerita.“Nah, itu istri saya,” Dokter Andrew menunjuk ke arah seorang wanita anggun berhijab yang sedang menyapa Olivia dengan ramah. ltu Dokter Anita, istrinya.Keduanya mendekati para istri, ikut bergabung.“Udah selesai praktek polinya, Sayang?” Tanya Dokter Andrew pada sang istri.“Udah, Mas. Sekarang
Barra kembali mendekati Dokter Andrew, sedang Olivia duduk dengan dijaga bodyguard yang siaga. “Bagaimana kabar Dokter? anda terlihat luar biasa,” Ungkapnya. “Alhamdulillah, namanya juga udah berkeluarga, udah ada istri yang menemani dan mengurus semua kebutuhan saya. Ditambah sudah punya dua orang jagoan. Hati jadi selalu senang, hidup penuh semangat,” Dokter Andrew berseri-seri. “Jadi anak anda sudah dua, keduanya laki-laki?” Barra lagi-lagi takjub. “Ya, Muhammad Azzam Daniel, dan Muhammad Izzam Daniel. Dua jagoan kebanggaan saya!” Dokter Andrew begitu bangga. Anak-anaknya adalah cucu kebanggaan Sultan Daniel. “Hem, luar biasa. Berapa umur mereka sekarang?” Barra cukup antusias sebagai seorang calon ayah, dirinya ikut senang mendengar kebahagiaan Dokter Andrew. Akan merasakan hal seperti itu juga tak lama lagi. “Alhamdulillah sekarang Azzam sudah tujuh tahun. Sudah SD kelas satu. Kalau Izzam, masih tiga tahun. Lagi lucu-lucunya,” Dokter Andrew begitu bangga menceritakan ke
“Sebenarnya berhubungan suami istri juga memberikan manfaat. Ada yang namanya Hormon Oksitosin yang dilepaskan secara alami saat berhubungan intim, dimana dapat merangsang ikatan dan keintiman yang baik antara ibu hamil dan suami. Lebih tepatnya mempererat bonding selama kehamilan.” Tambah Dokter Anita Iagi, semakin membuat Barra bersemangat. ‘Harus dengan cara yang tepat, hem.’ Gumamnya dalam hati. la lirik Olivia yang masih mengobrol dengan Dokter Anita, senyum samar terbit di wajahnya yang biasanya selalu tampak datar. ‘Bersiaplah, Sayang!’ Barra membatin, sudah tak sabar untuk segera menagih jatah dari istrinya itu. Terlebih Olivia belum sempat ia beri pelajaran yang tak terlupakan karena telah pergi meninggalkan dirinya selama satu bulan lebih. Hari ini istri cantiknya itu tak akan bisa lepas lagi. °°° “Duh, Mas, foto USG-nya diliatin mulu...” Goda Olivia mengulum senyum. Barra sejak keluar dari ruang Dokter tadi, seakan tak mau berhenti menatapi gambar janin dari print-an
~ROYAL HOSPITAL~ Mobil mewah berwarna hitam yang membawa Barra dan Olivia, melaju pelan hingga berhenti tepat di depan rumah sakit. Di belakangnya, beberapa mobil bodyguard telah lebih dulu parkir dan membentuk formasi ketat. Barra dan Olivia turun dari mobil, diiringi oleh tatapan tajam para bodyguard yang siap mengawal mereka. “Tuan, Nyonya, kami akan mendampingi Anda selama berada di rumah sakit,” Ujar salah satu bodyguard dengan sikap hormat. “Ya, dua tiga orang saja yang ikut masuk. Selebihnya tetap siaga di luar. Kita juga tidak boleh menimbulkan ketidaknyamanan pengunjung rumah sakit lainnya,” Titah Barra. “Baik, Tuan!” Ketua bodyguard tersebut menginstruksikan pada rekannya yang lain untuk melakukan apa yang diperintahkan sang Bos. Olivia menoleh ke Barra, heran dengan kehadiran penjaga yang begitu banyak. “Mas, apa ini? Kenapa banyak penjaga? Apa ada bahaya?” Tanyanya, wajahnya tampak cemas. Barra menatap Olivia dengan tatapan lembut, lalu menggenggam tangan i
Ketika hendak menuju mobil, Barra mendengar suara lembut seorang wanita yang sangat ia kenal dari arah samping rumah. Itu Olivia-nya. Barra langsung mengikuti kemana arah suara tersebut. Ternyata Olivia sedang berada di taman, mengagumi bunga-bunga yang baru saja mekar. Barra terpaku menatap istrinya yang tak menyadari kehadirannya. Hampir saja jantungnya lepas karena sudah overthinking duluan akan ditinggalkan lagi. la jadi parno sendiri. Ditambah nyawanya belum terkumpul sepenuhnya, semakin membuatnya panik tak jelas. Wajah Barra seketika begitu lega melihat Olivia, meski jantungnya masih terus berdetak cepat. Tak buang waktu, ia berlari menghampiri posisi Olivia, membuat Olivia akhirnya menyadari kedatangan suaminya. Hug! “Olivia!” Ucap Barra memeluk tubuh istrinya itu erat-erat. Olivia terkejut, suaminya datang-datang langsung memeluk, tak sadar jika saat ini tubuhnya tak menggunakan apapun kecuali dalaman boxer. “Kenapa keluar rumah tidak bilang-bilang? Saya khawatir,” Un