Setelah selesai makan malam, Zelda dan Marvin kembali ke kamar. Di mana Zelda langsung membaringkan tubuh di atas ranjang–sengaja agar dia bisa bebas dari permintaan Marvin. Jujur saja dia takut!Marvin mendekati istrinya, menarik Zelda dan mendudukkan perempuan tersebut– membuat Zelda memasang air muka dongkol dan masam secara bersamaan. Sedangkan Marvin, dia menyunggingkan smirk tipis– memperhatikan air muka bad mood sang istri yang malah cute di matanya. "Kau tidak bisa menghindar, Amore," ucap Marvin rendah, mengeluarkan sebuah kotak hitam berukuran besar. Lalu Marvin meletakkan kotak tersebut di atas pangkuan sang istri. "Permintaanku … kenakan pakaian di dalam dan buat aku bangun." "What?" Zelda mendongak, menatap aneh dan bingung ke arah sang paman. "Bukannya Paman sedang bangun dan nggak lagi tidur yah?" Marvin meraih tangan Zelda kemudian meletakkannya tepat di pusat senjatanya yang masih berbalut celana. "Maksudku ini, Mon Amour."Zelda membelalak dan spontan menarik tang
"Aku! Aku orang nya!" ucap seseorang, tiba-tiba menghampiri Zelda dan yang lainnya sembari meletakkan tas bermerk di atas meja tersebut. Baik Zelda maupun yang lainnya sontak menoleh ke arah perempuan tersebut, Vanya and the geng's (Melani serta Lilia). Ketiga mahasiswi dari fakultas manajemen yang kebetulan ikut satu team dengan Zelda untuk melaksanakan magang serta praktek kerja di perusahaan ini. "Aku keponakan Mr. Marvin. Pasti kalian kaget yah?" ucap Vanya dengan nada angkuh, membuka tas-nya sembari mengeluarkan coklat dari dalam tas yang terlihat mahal tersebut. "Aku sebentarnya awal-awal tidak ingin mengakuinya, karena aku cuma ingin magang dengan santai di perusahaan Pamanku ini. Yah, siapa tahu ada teman yang fake kan jika dia tahu aku keponakan Pak Marvin. Dan … coklat mahal untuk kalian. Aku membawanya dari Paris."Vanya membagi-bagi coklat tersebut pada teman satu teamnya. Namun, dia tak memberikannya pada Zelda. Hal tersebut membuat tanda tanya pada Reca maupun yang lai
Sialnya, bukan hanya Nita di ruangan ini tetapi ada Lusia juga– sekretaris pamannya. "Sebentar saja," bisik Marvin dengan suara serak dan rendah, memeluk tubuh mungil Zelda secara erat– seolah takut jika perempuan itu meninggalkannya. "Kau menghindariku, Humm," bisik Marvin lagi, mengecup pipi Zelda kemudian menduselkan hidungnya ke hidung Zelda. Oh, Shit! Kenapa Zelda-nya sangat manis dan menggemaskan?! 'Aduhhh … mana diingatkan lagi.' batin Zelda, diam-diam meringis dan risih dengan perlakuan Marvin padanya. Ini terlalu intim! "Aku tidak mengindari Paman," jawab Zelda, punya kesempatan dia langsung turun dari pangkuan Marvin. "Duduk di sini," dingin Marvin sembari menepuk pahanya– isyarat agar Zelda kembali duduk di pangkuannya. Zelda melongo konyol, menganga sedikit sembari melayangkan tatapan tak percaya pada pria dihadapannya tersebut. Sialnya, aura Marvin mendominasi tempat ini dan dia seperti ditundukkan oleh aura pekat gelap tersebut. "Aih." Zelda spontan menghindar k
Jantung Zelda seketika itu juga terasa copot dari tempat. Tangannya mulai bergetar, tubuh membeku serta punggung yang terasa panas luar biasa. Bu--bukan Dimas di depan sana yang membuatnya takut, tetapi seseorang yang saat ini sudah berada tepat di belakang tubuh Zelda! Gluk' Sedangkan Dimas, melihat siapa orang yang ada di belakang Zelda, dia spontan me-rem kaki. Matanya membelalak dan jantungnya hampir copot. Dia ingin mengacungkan jari tengah ke arah Zelda tetapi karena sosok di belakang sahabatnya tersebut, dia mengurungkan niatan. Akhirnya, dengan wajah muram bercampur pucat setengah mati, Dimas melarikan diri dari sana. "Kau membuatku marah, Amore," bisik seseorang dari belakang Zelda, semakin membuat Zelda mati gaya di tempat. "Ikut denganku!" geram Marvin, meraih tangan Zelda, menggenggamnya kemudian menariknya dari sana. Marvin akan membawa Zelda kembali ke kantor. ***Sesampainya di kantor, Zelda kembali meloloskan diri dari Marvin. Mudah baginya untuk kabur, karena ke
"Melapor! Gara-gara kalian!" kesal Zelda, buru-buru berjalan dari sana menunju rungan sang paman. Namun belum sempat Zelda benar-benar keluar dari ruangan mereka, seorang yang mereka sebut atasan datang– memberi informasi jika mereka semua harus berkumpul di ruangan kemarin. Ada yang ingin diinformasikan oleh sang desainer top pada mereka semua. Zelda mengurungkan niatnya, memilih berkumpul dahulu baru nanti menemui sang paman. Di ruangan tersebut cukup ramai. Para desainer yang bekerja sama di perusahaan ini juga ikut berkumpul. Neon-- kepercayaan suaminya juga ada di sana. Setelah memberikan kata sambutan dan lain-lainnya yang menurut Zelda tak penting, Nita langsung berbicara to the point, mengatakan tujuannya mengumpulkan mereka semua di sana. "Karena musim panas hampir tiba, di mana banyak bunga yang akan bermekaran maka saya-- Nita Caramol ingin menantang kalian semua yang ada di sini untuk membuat desain dress bertema taman bunga. Bagi desain yang berhasil menang, akan men
Setelah Zelda menghabiskan makan sorenya, Zelda langsung menuju kamar. Sedangkan suaminya, pria itu membawa kopi yang tadi Zelda buatkan di mana sekarang pria itu berada di ruang kerjanya; bersama Nita dan Neon. Oh Tuhan! Entah kenapa Zelda sangat membenci Nita. Bahkan melihat wanita itu bernapas saja rasanya Zelda sudah ingin memukul kepalanya hingga pecah. Di kamar bernuansa royal tersebut, Zelda membuka buku desain miliknya. Satu per satu ia membuka lembar demi lembar, memperhatikan setiap karya yang telah ia kerjakan. Sudah ada hampir seratus gambar yang dia selesaikan di buku tebal tersebut. Yah, gambar yang ia kerjakan semenjak awal ospek masuk kuliah hingga pada keadaan sekarang."Dia menantangku membuat desain dress bertema taman bunga. Cik, otakku sangat pusing!" keluh Zelda, menutup buku tersebut karena dia merasa tak punya inspirasi. Dia menyimpan buku tersebut– meletakkannya diantara tumpukan-tumpukan tugas kuliah. Setelah meja belajarnya rapi, Zelda memilih membaringka
"Zelda, kamu ini seorang perempuan. Makan yang tenang dan pelan-pelan," tegur Nita yang merasa terganggu dengan cara makan Zelda. Suaranya lembut dan anggun. Namun dalam hati, rasanya dia ingin sekali meneriaki Zelda sekaligus mengusir perempuan ini dari mejanya. Tapi tak mungkin! Shit! Zelda kesayangan Marvin. Bisa-bisa dia yang diusir. Jadi, Nita harus bermain cantik. Harus hati-hati dan pelan-pelan menjatuhkan Zelda dihadapan Marvin. "Aku pindah." Zelda berdiri, kemudian membawa piringnya untuk pindah dari sana. "Pembicaraan kalian sangat memuakkan," tambah Zelda, lalu buru-buru keluar dari cafe, memilih duduk di salah satu meja yang ada di bagian out door cafe. Marvin sejujurnya sudah menahan Zelda. Tetapi dia sedikit kaget ketika mendengar perkataan ketus Zelda selanjutnya. 'Pembicaraan kalian sangat memuakkan.' Nada bicara Amore-nya terdengar marah dan kesal. Seperti seorang pasangan saat cembu …-'Cik, tidak.' batin Marvin, memilih untuk tak acuh. Hah, hampir saja dia kege'
Marvin mengabaikannya, tiba-tiba mengikis jarak dengan merapatkan tubuhnya pada tubuh istrinya yang kini bagian atas hanya mengenakan bra saja. "Katakan, lebih tampan siapa, suamimu …- atau kucing jalanan tadi?" ucap Marvin tiba-tiba, melingkarkan tangan secara possessive dan erat di pinggang Zelda.Zelda menatap cengang dan tak percaya pada Marvin. Itu pertanyaan apa? "Paman," jawab Zelda cepat. Sengaja, agar dia cepat lepas dari cengkraman pria ini. Ta-tapi memang pamannya yang lebih tampan dibandingkan kucing jalanan tadi. 'Maaf, Mas kucing. Tapi jika aku menjawab kau yang lebih tampan, urusanku dengan Paman bisa makin bertambah.' batin Zelda. "Oh yah?" Marvin menaikkan sebelah alis, menyunggingkan smirk tipis sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Zelda, "kucing lebih pantas dipanggil Mas daripada suamimu sendiri?" tanya Marvin kembali, semakin membuat Zelda frustasi dan muram. Sekarang masalah panggilan Zelda pada kucing tadi. Oh shit! Yang benar saja pamannya ini. Jangan bilan
"To--tolong," pekik Zelda cukup kuat, membuat Marvin menoleh ke arahnya–menatap intens pada Zelda, di mana Naura dan Allenra telah berada di pelukan Marvin. "Tolong jangan celakai mereka," cicit Zelda, suaranya tiba-tiba melemah–menatap memohon pada Marvin. Mata Zelda memerah, berair; ingin menangis sebab khawatir jika Marvin berniat buruk pada kedua darah dagingnya sendiri. Marvin membawa anak-anak tersebut dalam gendongannya, berjalan santai ke arah Zelda yang masih terikat di ranjang. "Maaf," ucap Marvin, berkata lirih dan pelan. Dia menurunkan anak-anaknya ke atas ranjang, lalu dia mendekati Zelda untuk melepas ikatan di tangan dan kaki Zelda. Setelah itu, tiba-tiba saja Marvin membawa Zelda dalam pelukannya–mendekap istrinya tersebut secara erat. "Maafkan aku, Amore," ucap Marvin dengan serak, bersamaan dengan air mata yang jatuh dari pelupuk. Pelukannya begitu erat, dia takut kehilangan perempuan ini. Melupakan pernikahannya dengan Zelda adalah hal buruk yang pernah Marvin
"Marvin, tumben kamu datang ke apartemenku," ucap Nita, tersenyum manis pada Marvin. Dengan lebar dia membuka pintu, lalu mempersilahkan Marvin untuk masuk. 'Apa Marvin datang ke sini untuk menyetujui perjodohan kami? Dia setuju menikah denganku?' batin Nita, bertanya tanya dalam hati. "Aku datang untuk bertemu denganmu." Tanpa di persilahkan, Marvin duduk di salah satu sofa putih–ruang tengah apartemen. "Menemuiku? Ya, tapi untuk apa Marvin? Kita bertemu setiap hari di kantor. Dan … malam kamu ke sini?" Nita memicingkan mata, berpura-pura curiga serta waspada. Padahal dalam hati, dia suka kedatangan Marvin di sini. Dia berharap kedatangan Marvin ke sini untuk suatu hal yang manis. "Entahlah." Marvin menyender di sofa. "Tiba-tiba ada kilasan aneh yang muncul …-"Deg deg deg Nita menegang sejenak. "Aku menikah." Marvin melanjutkan, "tetapi aku tidak tahu siapa perempuan yang kunikahi. Aku hanya dekat denganmu selama ini. Apa …-" Marvin menggantungkan kalimat, mendongak–menatap i
Zelda terdiam, menundukkan kepala untuk menghindar kontak mata dengan Marvin. Sejujurnya, dia sungguh kaget– dia baru tahu jika ZelMard adalah singkatan namanya dan Marvin. Cinta pria ini padanya memang tidak bisa diragukan. Namun, kondisi membuat Zelda memilih untuk tutup mata pada cinta Marvin. Cinta Marvin yang terlalu besar padanya membawa bahaya untuk anak-anak nya saat ini. Zelda tidak mau Marvin melenyapkan anak-anaknya sendiri. Zelda tersiksa dengan semua ini! 'Tuhan, bantulah aku!' pinta Zelda dalam batin, rasanya ingin menangis karena ketidak mampuannya untuk menghadapi masalah ini. "Kau mau tahu kondisi Neon sekarang?" tanya Marvin tiba-tiba, kembali bersuara dengan dingin– mencengkeram cukup kuat pipi Zelda, memaksa perempuan tersebut mendongak padanya. "Apa kau akan menangis jika melihat Kakak iparmu itu penuh luka dan dirantai dibalik jeruji besi?" Mata Zelda membelalak. Dia sempat khawatir karena Neon mendadak hilang. Sekarang, tambah khawatir setelah mendengar pe
"Bu Zelda, tamunya mengotot ingin menemui ibu," lapor seorang perempuan, sama mudanya dengan Zelda tetapi karena Zelda adalah bos-nya jadi dia memanggil Zelda dengan sebutan Ibu. "Haduh, siapa sih tamunya?" Zelda mengeluh sejenak, memijit kening karena pusing memikirkan pekerjaannya serta tamu yang mengotot menemuinya. Setelah tiga tahun berlalu, Zelda memilih membuka butik dengan nama brand MaRa. Meskipun sempat terpuruk karena buku desainnya dicuri oleh Nita, tetapi Zelda memilih bangkit kembali. Demi anak-anaknya! "Kamu suruh tamunya menemuiku di sini, Rati. Tolong," pinta Zelda dengan nada rendah dan pelan, menandakan kondisinya yang memang sudah sangat penat. "Baik, Bu." Rati-- asisten Zelda tersebut pamit, beranjak dari sana untuk memanggil tamu penting tersebut. Tak lama, pintu ruangan Zelda diketuk. Kanza mempersilahkan, menyeru, "Masuk," sembari Zelda masih fokus pada laptop– memperbaiki desainnya di sana. Tak tak tak'Suara langkah kaki terdengar memasuki ruangan, Zel
"Tuan Marvin kecelakaan, Nona." Zelda hanya bisa terdiam membisu di tempatnya, berada dalam sebuah apartemen yang merupakan milik Neon. Tadi malam itu mengerikan. Banyak pria berseragam hitam masuk dalam rumahnya– berniat membunuhnya. Untungnya Zelda bisa bela diri dan berhasil menyelamatkan diri, dia kabur dari rumah itu lalu di tengah jalan bertemu dengan Neon; pria ini lah yang menyelamatkannya.Zelda mengira jika paginya semua akan baik-baik saja, Marvin datang menjemputnya lalu mereka kembali ke kehidupan sedia kala. Namun-- "Kondisi Tuan sangat memprihatinkan dan kita tidak bisa menemuinya karena Maya menjaga ketat rumah sakit." "Aku paham, Paman," ucap Zelda pelan, menunduk untuk menyembunyikan air matanya. Padahal dia baru saja berbahagia dengan suaminya, tetapi masalah ini--'Maaf, Nona. Aku tidak bisa mengetakan jika Maya berniat membunuh Tuan Marvin. Aku takut keadaanmu memburuk, aku takut bayimu dan bayi Tuan kenapa-napa. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri untuk men
"Mereka siapa, Mas?" tanya Zelda setelah ketiga wanita itu pergi dari rumahnya. Aneh! Wanita yang memeluk Marvin saat itu ternyata mengenalnya. Perempuan itu bahkan tersenyum hangat pada Zelda. "Perempuan tua itu adik dari ibunya Zeck," jawab Marvin, berdiri dari sopa sembari menggandeng tangan istrinya, "lupakan mereka. Kau ingin makan bukan, Amore?" Zelda menganggukkan kepala. "Aku ingin makan. Ta--tapi Mas yang memasak. Aku sangat suka Amaranthus viridis buatan Mas Marvin," ucap Zelda malu-malu, mendongak dengan melayangkan tatapan mata bulat sempurna. "Apapun untukmu, Amore." Marvin tersenyum lembut, mengacak surai di pucuk kepala Zelda karena gemas dengan tatapan mata bulat sang istri. Ah, Zelda sangat menggemaskan. Semakin ke sini, sikap Zelda semakin manis. Zelda tidak lagi malu-malu atau merasa tidak nyaman ketika di dekatnya. Malah Zelda sudah berani memeluknya lebih dulu. Bagi Marvin itu sebuah peningkatan. Dia suka Zelda sudah mau dekat dengannya, dia suka Zelda manja
"Jika suatu saat sepupuku yang kusebut tadi datang ke kota ini lalu memintaku untuk bertemu dengannya, berarti kami boleh bukan? Tentu saja, Mas tidak bisa protes. Kami hanya sepupu dan kami saling menyayangi layaknya adik dan Abang."Marvin mengecup singkat pucuk kepala Zelda, kecupannya cukup lama– meresapinya dengan penuh perasaan cinta. "Baiklah, aku salah, Amore. Maafkan aku," ucap Marvin, mencium kening Zelda khidmat lalu beralih mengecup bibir Zelda. Zelda hanya diam, tak menanggapi perkataan Marvin karena dia masih marah serta kecewa pada suaminya ini. Marvin membiarkan perempuan itu memeluk lengannya, Zelda sangat cemburu untuk itu. "Kenapa hanya diam?"Zelda menggelengkan kepala, tidak mengatakan apa-apa pada Marvin. Mood-nya hancur! ***"Ah, Marvin sayang." Marvin menatap perempuan paru baya tersebut dengan wajah datar, kemudian beralih menatap perempuan di sebelahnya dengan air muka dingin. Sedangkan Zelda, dia hanya mengamati– hanya satu orang yang dia kenali diantara
"Nona Zelda?" Deg deg deg Wajah Zelda memucat pias, mendongak dan menatap Neon dengan raut muka kaku– tersenyum tak enak pada Neon. "Hai, Paman," sapa Zelda ramah, menyengir lebar; dalam hati dia merutuk dan mengumpati nasib sial yang menimpa dirinya. Ke--kenapa Neon harus bertemu dengannya? Ini menyebalkan bagi Zelda. Neon memangut pelan, tersenyum tipis pada Nonanya tersebut. "Nona, Tuan Marvin ada di sana. Anda tidak menemuinya?" 'Menemuinya? Gila nih si Paman. Ya kali aku menemui Mas Marvin yang lagi kencan bersama selingkuhannya.' Zelda menggelengkan kepala. "Kebetulan aku mau pulang, Paman. Reca ada urusan, aku dan Reca harus cepat-cepat pulang. Iya kan, Reca?" Di akhir kalimat, Zelda menoleh ke arah Reca, memberikan isyarat agar Reca menyetujui kebohongan Zelda. Untungnya Reca berpihak padanya, sahabatnya tersebut menundukkan kepala sembari tersenyum kikuk. "Mari, Paman," ucap Zelda kemudian, berniat pamit dari tempat tersebut. Namun, ketika dia akan pergi tiba-tiba saja
Semenjak saat itu hubungan Marvin dan Zelda semakin membaik. Marvin selalu menunjukan kasih sayangnya pada Zelda, dan begitu juga dengan Zelda yang tak kaku lagi pada suaminya. Zelda berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan hasil yang sangat baik. Namun, karena dia masih hamil Marvin melarangnya untuk bergabung dengan perusahaan. "Hari ini kau ingin keluar, Amore?" tanya Marvin yang saat ini tengah sarapan dengan sang istri. Zelda menggelengkan kepala. "Aku sedang malas, Mas. Aku rencananya ingin tidur seharian," jawab Zelda pelan. Marvin menaikkan sebelah alis, menatap sang istri lamat. Kemudian dia tersenyum tipis, "humm." Marvin berdehem singkat. Setelah percakapan singkat itu, keduanya hanya diam untuk menikmati sarapan. Selesai sarapan, Marvin pamit untuk bekerja. "Mas sudah pergi, saatnya aku tidur," gumam Zelda, tersenyum tipis sembari berjalan ke arah lift. Semenjak dia hamil, Zelda lebih sering menggunakan lift. Naik atau turun tangga menguatnya ngos-ngosan. Ah, kecu