“Enak, enak banget! Kamu beli di tempat biasa? Aku kasih tahu, ya, mereka punya sudah yang paling mantap. Nggak ada toko lain yang bisa ngalahin! Serius! Aku nggak bohongin kamu, mau coba?” seru Calvin sambil menyendoki sepotong kue kecil dan menyodorkannya ke mulut Sharon. Akan tetapi Sharon malah menghindar, dan Calvin pun hanya bisa geleng-geleng, “Dasar, nggak tahu makanan mana yang enak!”Sampai kuenya sudah termakan separuh, barulah Sharon berkata, “Kak, akhir-akhir ini ada ketemu Kak Brandon?”“Nggak!”jawab Calvin. Dia masih sangat menikmati kuenya sambil sesekali menyeruput milk tea. “Akhir-akhir ini aku lagi nggak ada proyek bareng sama dia. Aku sibuk sendiri, dia juga sibuk sendiri. Kamu tahu sendiri dia kalau diajak minum itu susahnya setengah mati. Kamu saja masih lebih sering ketemu dia daripada aku. Memangnya kenapa?!”Sampai di sini, Calvin mulai menyadari ada sesuatu yang tidak beres.“Apa yang mau kamu omongin?”“Nggak apa-apa, aku cuma mau minta bantuan buat cari tahu
“Makanya kamu coba tanya dia!” pinta Sharon seraya menggoyangkan lengan kakaknya, “Kan cuma bantu aku ngorek informasi doang, masa begitu saja nggak mau bantuin?”Memang benar itu bukan masalah besar, tapi masalahnya, dari mana Sharon mengetahui informasi itu.“Masa kamu percaya sama begituan? Aku kira kamu orangnya percaya diri! Sejak kapan kamu pernah ngelihat Brandon punya pacar? Bukannya semua betina yang dekat-dekat sama dia selalu kamu usir? Aku masih lebih percaya kalau kamu bilang Brandon suka cowok. Oh, dia nggak mungkin tunangan sama cowok, ‘kan?”“Sembarangan! Kamu suka sama cowok mah mungkin saja, tapi mana mungkin Kak Brandon suka sama cowok! Kuminta tanyain ya tanya saja, nggak usah banyak omong!” ujar Sharon kesal dengan tangan mengepal erat.“Iya, iya. Nanti aku tanyain! Tega amat kamu bilang aku bisa suka sama cowok. Kalau aku suka sama cowok, keluarga kita nggak ada penerus, dong?”Namun, melihat Sharon yang hendak memukul dengan kepalan tangannya, Calvin pun segera
Awalnya Calvin berpikir seharusnya tidak sulit untuk mengajak Brandon bertemu, tapi teleponnya malah ditolak begitu saja.“Aku tahu kamu sibuk, tapi masa sampai waktu buat ketemuan saja nggak ada?! Kapan saja nggak masalah. Mau siang, sore, atau malam, terserah. Aku ikut saja jadwal kamu!” kata Calvin.“Nggak ada waktu,” balas Brandon sambil melihat-lihat jadwalnya selama beberapa hari ke depan.“Mana mungkin! Gimana kalau besok siang saja?”“Aku sudah bikin janji sama orang dari agency sejak setengah bulan yang lalu.”“..., kalau begitu besok malam saja, gimana!”“Besok malam aku juga sudah bikin janji sama orang lain.”“Kalau begitu lusa ….”“Lusa ada inspeksi bulanan perusahaan.”“Besoknya lagi?”“Sudahlah, mending kamu nyerah saja. Jadwalku buat setengah bulan ke depan sudah penuh. Aku benar-benar nggak punya waktu kosong.”“..., masa sebentar saja nggak bisa? Aku nggak percaya! Kamu pasti tetap butuh waktu buat makan. Ayo kita makan bareng! Kan kita bisa ngobrol sambil makan.”“Ng
Namun sebenarnya, tidak ada satu pun yang Brandon tutupi dari Calvin. Dia memang benar-benar sibuk. Mendekati akhir tahun, banyak hal yang harus dikerjakan seperti merangkum laporan dari setiap cabang perusahaan, termasuk kegiatan dengan karyawan di kantor dan lain hal. Tentu saja tidak hanya itu. Semua itu sebenarnya bisa dikerjakan pelan-pelan, tapi Brandon ingin semuanya selesai secepat mungkin agar dia punya waktu untuk menemani istri tercintanya.Dulu Brandon menjalankan pekerjaannya sesuai jadwal bahkan meski bentrok dengan jadwal tahun baru. Namun, sekarang situasinya sudah berbeda. Kii dia memiliki orang yang ingin dia habiskan waktunya bersama.Setelah sibuk seharian, Brandon mengadakan rapat terakhir di hari itu dan ketika melihat waktu di jam tangannya, ternyata dia sudah terlambat. Dengan hati yang sudah tidak sabar ingin pulang ke rumah secepatnya, dia langsung kembali ke ruang kantornya untuk menandatangani surat yang dibawakan oleh asisten. Begitu dia membuka pintu, dia
Dari kegigihannya ini, kurang lebih Brandon sudah bisa menebak apa alasan Calvin berbuat seperti ini, tapi dia tidak berkata apa-apa dan hanya meminta Frans untuk segera berangkat.Mobil pun melaju dan Calvin langsung menutup pintu. Hal ini juga bukan sesuatu yang mudah bagi Calvin! Dia harus menyempatkan diri di tengah kesibukannya, bahkan mobilnya masih tertinggal di tempat parkir. Setelah susah payah mendapatkan kesempatan untuk duduk satu mobil dengannya, kini Calvin harus memikirkan bagaimana dia memulai topik.Di saat Calvin masih sibuk berpikir keras, tiba-tiba Brandon bertanya, “Pasti Sharon yang nyuruh kamu, ya?”Calvin, “….”“Aku nggak bisa baca pikiran, tapi semua itu kelihatan jelas dari ekspresi muka kamu!”Calvin, “….”“Aku tahu kamu lagi mikir apa dan apa yang mau kamu tanyain.”“Ka-ka-kalau begitu … jadi rumornya benar?”Kalau tidak, mana mungkin Brandon bisa menebak isi kepala Calvin dengan begitu akurat, bahkan sampai tahu apa yang ingin dia tanyakan.“Iya,” jawab Bra
“Kamu nggak kenal!” sahut Brandon singkat.Yang benar saja! Calvin tidak kenal dengan orangnya?! Jadi mau Brandon mengatakannya atau tidak, sama saja!Namun, kalau Calvin tidak kenal siapa istrinya Brandon, berarti dia bukan berasal dari keluarga kaya. Bukannya mau sesumbar, tapi Calvin paling tidak pernah tatap muka dengan semua anak dari keluarga konglomerat. Dia tahu seperti apa rupa dan sifat semua perempuan dari keluarga mana pun. Apabila Brandon bilang Calvin tidak kenal orangnya, itu berarti dia hanya berasal dari keluarga biasa?! Tidak mungkin! Mana mungkin keluarga Setiawan mengizinkan seorang wanita dari keluarga biasa untuk masuk ke keluarga mereka?“Aku nggak kenal, tapi pasti dia punya nama, dong! Lagian, keluarga kamu memangnya ngasih cewek dari keluarga biasa buat jadi istri kamu? Atau jangan-jangan kamu terinspirasi dari cerita Cinderella? Sadar! Cinderella itu cuma dongeng, mana mungkin jadi kenyataan!”Brandon melayangkan tatapan sinis karena merasa terganggu dengan s
Calvin bahkan sampai lupa kalau ini adalah permintaan adiknya. Sekarang dia hanya ingin melihat seperti apa rupa wanita yang berhasil menggerakkan hati Brandon. Namun, Brandon tidak terlalu menggubris Calvin. Sejak dia memperkenalkan Yuna di depan Beny saat mereka menghadiri acara ulang tahun Gideon, dia sudah menduga suatu hari ini pasti akan terjadi. Cepat atau lambat, orang lain pasti akan tahu hubungan mereka berdua.Setibanya mereka di depan gerbang Royal Mansion, Brandon meminta Frans untuk menghentikan mobilnya.Calvin terheran-heran mengapa mereka tiba-tiba berhenti, tapi sesaat kemudian dia mendengar suara Brandon.“Turun.”“Eh?” sahut Calvin dengan mata celingukan.Lalu Brandon melirik ke arah Calvin dan menegaskan sekali lagi, “Kamu, turun.”“Kenapa?!”Masalahnya, mobil Calvin masih tertinggal di parkiran Uniasia. Kalau dia turun di sini, bagaimana dia bisa pulang? Akan tetapi bukan itu masalah utamanya. Yang penting adalah dia ingin melihat seperti apa sosok wanita misteri
Keamanan di Royal Mansion sangat ketat. Kalau bukan pemilik properti atau tamu sang pemilik, mereka tidak akan membiarkan siapa pun masuk ke dalam. Apalagi mereka tidak tahu siapa itu Calvin, jadi jangan harap Calvin bisa masuk hanya bermodal belas kasihan.Hanya saja, mana mungkin Calvin mundur begitu saja ketika dia sudah sampai di depan rumah Brandon. Terlebih lagi, Brandon berhasil memancing rasa penasarannya, dan Calvin tahu bahwa istrinya Brandon berada di dalam. Calvin tidak terima jika dia harus pulang dengan tangan kosong.Pagar yang membatasi area luar dengan area dalam tidak terlalu tinggi. Kalau Calvin bisa menemukan titik yang luput dari pengawasan satpam, sepertinya tidak terlalu sulit baginya untuk menyelinap ke dalam. Calvin pun berpura-pura pergi dari sana, tapi dia memutar ke samping dan berniat melompati pagar setela memastikan tidak ada orang di sekitar. Namun ketika kedua tangannya baru saja menggenggam ujung pagar dan menghempaskan tubuhnya ke udara, dia langsung
“Apa lagi ini?”Dalam berkas yang berisikan surat wasiat tersebut tertulis jelas bahwa sang Ratu mengetahui kesehatannya yang makin menurun dan sudah dekat ajalnya, karena itu selagi masih sadar, sang Ratu dengan sukarela menyerahkan posisinya kepada keturunannya, dan Fred diberikan kepercayaan penuh untuk menjadi penasihat mereka.“Kamu masih berani mengaku nggak mau merebut posisiku?! cucuku usianya baru empat tahun, tahu apa merea? Lagi pula bukannya menurunkan ke anakku, tapi malah langsung ke cucuku. Orang waras pasti sudah tahu apa maksudnya ini.”“Nggak juga, cucu Yang Mulia sangat pintar dan punya bakat untuk jadi penguasa yang baik. Saya cuma bertugas memberi nasihat, tapi pada akhirnya kekuasaan tertinggi tetap jatuh kepada mereka. Terkait masalah pewaris, apa Yang Mulia masih nggak sadar juga seperti apa mereka? Mereka sama sekali nggak cocok untuk jadi penguasa!”“Fred, kenapa baru sekarang aku sadar kalau ternyata ambisimu setinggi itu, ya?”“Bukan, Yang Mulia. Yang Mulia
Ketik sang Ratu tersadar, dia sudah berada di atas kasur. Dia berbaring dengan sangat nyaman ditutupi oleh selimut yang rapi. Di sampingnya ada semacam alat medis yang mengeluarkan suara nyaring. Walau demikian, sang Ratu tidak merasa nyaman.“Fred! Fred!” sahutnya.Mengira tidak akan ada yang datang, tak disangka Fred sendiri yang muncul di hadapannya.“Ada yang bisa dibantu, Yang Mulia?”“Lepasin aku!”“Wah, sayang sekali Yang Mulia, tapi nggak bisa! Eksperimennya sudah mau kita jalankan dua hari lagi. Yang Mulia nggak boleh ke mana-mana sampai dua hari ke depan.”“Eksperimen apaan. Kamu cuma mau membunuhku dan mengambil alih jabatanku, bukan?”“Yang Mulia, saya mana berani melakukan itu. Kalau saya membunuh Yang Mulia, apa saya perlu menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk membangun lab dan semua eksperimen ini? Saya benar-benar berniat baik untuk Yang Mulia, tapi Yang Mulia malah terbuai sama omongan si cewek licik itu dan nggak percaya lagi sama saya. Sayang sekali!” kata Fre
“Aku?” kata Chermiko. “Nggak, aku cuma merasa itu terlalu aneh! Apa pun yang keluar dari mulut cewek gila itu, aku ….”Kata-kata yang hendak Chermiko katakan tersangkut di lehernya saat ditatap oleh Shane. Tadinya dia mau bilang tidak akan menganggap serius apa pun yang Rainie katakan, tetapi setelah dipikir-pikir, dia juga akan berpikir hal yang sama dengan Shane.“Oke, mau dia benar-benar bisa menghilang atau nggak, selama masih ada kemungkinan itu benar sekecil apa pun, kita harus cari tahu!” kata Brandon. Dia tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang patut ditertawakan. Kalau sampai Rainie melarikan diri, maka bahaya terhadap masyarakat akan sangat besar.“Shane, jaga anak-anak!”Brandon pertama-tama langsung menghubungi Edgar agar dia bisa mengerahkan koneksinya untuk mencari Rainie di setiap sudut kota. ***Pintu kamar di mana Ratu sedang tidur siang diketuk sebanyak tiga kali, kemudian pintu itu dibuka begitu saja tanpa seizinnya. Sang Ratu membuka matanya sejenak dan langsung
“Seaneh apa pun ini pasti ada penjelasannya,” kata Brandon. Dia mengamati bantal di atas kasur itu dan menaruhnya kembali, lalu berkata, “Ayo kita keluar dulu sekarang!”Di kamar itu sudah tidak ada orang dan sudah tidak perlu dikunci lagi. Mereka berdua pun satu per satu keluar dan setela mereka kembali ke tempat Shane berada.“Rainie benar-benar menghilang?” tanya Shane.“Iya,” jawab Chermiko menganggu.“Kok bisa? Apa ada orang lain dari organisasi itu yang menolong dia?”“Aku nggak tahu.”Tidak ada satu orang pun di antara mereka yang tahu mengapa Rainie bisa menghilang. Mereka bertiga sama bingungnya karena tidak ada penjelasan yang masuk di akal. Brandon tak banyak bicara, dia mengerutkan keningnya membayangkan kembali ada apa saja yang dia lihat di kamar itu. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, tetapi dia tidak tahu apa itu.Shane, yang entah sedang memikirkan apa, juga tiba-tiba berkata, “Apa mungkin …? Nggak, itu mustahil ….”“Apaan? Apa yang nggak mungkin?” Cher
Chermiko sudah menahannya sebisa mungkin, tetapi suara gemetar bercampur dengan napas terengah-engah tetap saja menakutkan untuk didengar. Saat mendengar itu, Shane langsung terbelalak dan menyahut, “Apa?!”“Rainie … Rainie nggak ada di kamarnya!” kata Chermiko sembari menunjuk ke belakang.“Ngomong yang jelas, kenapa dia bisa nggak ada?” Ucapan ini datang dari belakang, membuat Chermiko kaget dan menoleh, dan menemukan ternyata Brandon sudah ada di belakangnya entah dari kapan.Brandon baru tidur sebentar dan belum lama terbangun. Semua masalah yang mereka alami membuat kualitas tidurnya terganggu. Anak dan istri tidak ada, dan sekarang ditambah lagi dengan sekian banyak masalah serius yang datang tak habis-habis. Bagaimana dia bisa tidur lelap? Apalagi sekarang ada dua bayi yang entah anaknya atau bukan datang membutuhkan penjagaan.Tidur singkat sudah cukup untuk memulihkan energinya, setelah itu Brandon mandi dan mengganti pakaian, lalu turun untuk melihat anak-anaknya, dan ternyat
Chermiko mulai menyadari Shane lagi-lagi terbawa oleh perasaan sedihnya. Dia pun segera melurusan, “Eh … maksudku. Aku cuma nggak menyangka ternyata kamu bisa ngurus anak juga. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah panik. Tapi kalau dilihat-lihat lagi, dua anak ini mukanya lumayan mirip sama Brandon, ya. Menurut kamu gimana?”Mendengar itu, Shane melirik kedua bayi yang sedang tertidur pulas dan melihat, benar seperti yang tadi Chermiko bilang, bagian kening mereka sedikit mirip dengan Brandon, sedangkan mulut mereka mirip dengan Yuna.“Kelihatannya memang mirip, ya. Tapi kita jangan tertipu dulu. Aku merasa makin lama kita lihat jadi makin mirip. Kalau sekarang aku bilang mereka nggak mirip, apa kamu masih merasa mereka mirip?”Benar juga, andaikan mereka bukan anaknya Brandon, dengan sugesti seperti itu Chermiko percaya saja kalau mereka tidak mirip.“Waduh, aku rasanya kayak lagi berhalusinasi!” ucapnya.“Makanya sekarang kita jangan berpikir mirip atau nggak mirip dulu. Lebih baik k
“Itu normal. Dulu waktu Nathan masih kecil juga aku kayak begini,” kata Shane. “Hampir semalaman penuh kamu nggak mungkin bisa tidur. Begitu kamu taruh mereka, mereka pasti langsung nangis, jadi kamu harus gending mereka terus. Waktu itu tanganku juga sudah mau patah rasanya.”“Kamu gendong anak sendiri? Bukannya pakai pengasuh?!”“Waktu itu aku masih belum sekaya sekarang, istriku nggak mau pakai pengasuh, jadi aku yang gendong.” Shane tidak mau mengingat masa lalunya lagi karena itu hanya akan membuatnya sedih. Shane lalu menghampiri Brandon dan hendak mengambil anak itu dari tangannya. “Sudah pagi, biar aku yang jagain. Kamu istirahat dulu.”“Nggak usah!”“Jangan begini lah! Kalau kamu merasa berutang sama Yuna dan anak-anak kamu, masih ada waktu lain untuk menebus, tapi sekarang kamu harus istirahat! Kalau kamu sampai tumbang, siapa lagi yang bisa jagain mereka, dan siapa yang bisa nolongin Yuna!”Ketika mendengar itu, akhirnya Brandon mengalah dan memberikan kedua anaknya kepada S
Kemampuan medis Yuna tak diragukan membuat Fred kagum kepadanya, tetapi Yuna punya perang yang lebih penting dari itu. Lagi pula sifat Yuna yang sangat keras membuatnya tidak mungkin dijadikan kawan oleh Fred. Dibiarkan hidup juga tidak ada gunanya.“Bagus … bagus sekali!”Setelah memahami apa yang sesungguhnya terjadi, Fred menarik napas panjang dan mengatur kembali emosinya. Dia mengucapkan kata “bagus” berulang kali, dan ini merupakan pelajaran yang sangat berharga baginya. Selama ini selalu dia yang mengerjai orang lain. Tak pernah sekali pun Fred berpikir dirinya tertipu oleh sebuah trik murahan. Bukan berarti Fred bodoh karena tidak menyadari hal itu, hanya saja terlalu banyak hal yang harus dia kerjakan sehingga dia tidak bisa berpikir dengan jernih.“Yuna, kali ini kamu menang! Tapi sayang sekali kamu nggak akan bisa melihat akhir dari semua ini! Sebentar lagi kita sudah mau masuk ke tahap terakhir dari R10. kamu sudah siap?”Fred menyunggingkan seulas senyum yang aneh di waja
“Tadi kamu ada diare lagi?” Yuna bertanya.“Nggak ada,” jawab Fred menggeleng, tetapi dia marah menyadari dirinya malah dengan lugu menjawab pertanyaan yang tidak berkaitan. “Itu nggak ada urusannya! Sekarang juga aku mau obat itu!”“Sudah nggak sakit perut dan nggak diare, rasa mual juga sudah mendingan, ya? Paling cuma pusing sedikit dan kadang kaki terasa lemas. Iya, ‘kan?”Fred tertegun diberikan sederet pertanyaan oleh Yuna, dia pun mengingat lagi apa benar dia mengalami gejala yang sama seperti Yuna sebutkan.“Kayaknya … iya!”Meski sudah berkat kepada dirinya sendiri untuk tidak terbuai oleh omongannya, tetap saja tanpa sadar Fred menjawab dengan jujur. Setelah Fred menjawab, Yuna tidaklagi bertanya dan hanya tersenyum.“Kenapa kamu senyum-senyum?! Aku tanya mana obatnya, kamu malah ….”“Pencernaan kamu sehat-sehat saja, nggak kayak orang yang lagi keracunan!”“Kamu ….”Fred lantas meraba-raba perut dan memukul-mukul dadanya beberapa kali. Dia merasa memang benar sudah jauh lebi