“Berbaring?”“Bu Yuna jangan takut, kami tenaga profesional. Kedua perawat ini juga akan ikut masuk. Kalau Bu Yuna masih kurang yakin, lakukan pemeriksaan di sini juga bisa, tapi ….”Dokter itu mendongak ke atas dan melanjutkan, “Itu kalau Ibu nggak keberatan.”Maksud dari ucapan si dokter adalah di tempat ini terdapat kamera pengawas sehingga untuk melakukan pemeriksaan di sini tidak ada privasi sama sekali.“Aku nggak keberatan,” ucap Yuna. “Aku nggak butuh kalian melakukan pemeriksaan apa pun. Suruh pemimpin kalian temui aku.”“Mohon maaf, aku nggak bisa. Bu Yuna, kumohon kerja samanya.”“Kalau aku nggak mau, kalian bisa apa? Kamu pikir dengan kekuatan kamu itu bisa memaksa aku?”Dokter itu menggelengkan kepala dan berkata, “Tentu nggak akan bisa, tapi Bu Yuna tolong ingat, di sini bukan cuma ada aku saja. Tenang saja, ini cuma pemeriksaan kehamilan biasa.”Dokter itu berbicara seraya menatap keluar. Pintu kamar tidak tertutup sepenuhnya dan dari dalam mereka bisa melihat kedua penj
Suasana di dalam kamar sunyi senyap seperti tidak ada orang di dalam. Setelah dokter masuk ke lift, di dalam sudah ada orang yang menutupi mata dokter dengan kain hitam. Kemudian mereka berdua keluar dari lift menyusuri lorong menuju ke sebuah aula besar hingga akhirnya tibalah mereka di sebuah kamar. Setelah berdiri di sana selama kurang lebih dua menit, kain hitam tadi dilepas dan si dokter dibawa masuk ke dalam.Kamar itu sangat luas dan lega. Di dekat jendela ada sofa kulit ada seseorang yang dikenal dengan nama Fred duduk seraya tersenyum. Satu tangannya bersandar di sofa dan satu tangan lainnya mengelus batu permata hijau yang terpasang di cincinnya.“Gimana?” tanya Fred dengan menggunakan bahasa Inggris.“Semuanya sudah dijalankan sesuai instruksi. Obatnya sudah disuntik,” jawab si dokter, juga dengan menggunakan bahasa Inggris.“Obat apa?” tanya Fred seolah dia tidak mengetahui apa yang terjadi.“Nggak tahu,” jawab si dokter menggeleng.“Bagus! Itu dia yang mau aku dengar! Kamu
Sementara itu Yuna masih tertidur di kamarnya. Entah sudah berapa lama waktu berlalu hingga dia akhirnya membuka matanya perlahan. Dia memeriksa denyut nadinya sendiri. Tidak ada perubahan apa pun yang terjadi padanya, denyut nadinya masih normal seperti biasa.Meski kodenya sudah benar, ucapannya tidak menimbulkan kecurigaan, dan diberikan secara langsung, tetapi Yuna tetap memeriksa sendiri untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun juga Yuna tidak boleh sampai lengah di tempat ini. Shane yang sudah begitu dekat saja masih bisa berbohong demi menolong anaknya sendiri, apalagi orang yang tidak dikenal.Yuna pergi ke kamar mandi dan diam-diam mengeluarkan secarik kertas yang terselip di cincinnya. Ketika kertas itu dibuka, dia melihat kata-kata “Tunggu aku, aku sudah ketemu tempatnya!” dengan tulisan tangan yang tentu tidak asing lagi.Sepertinya Brandon sudah menemukan lokasi di mana organisasi ini bersembunyi dan sedang melakukan persiapan untuk menyelamatkan Yuna. Hanya saja itu bukan hal yan
Malam hari itu, dokter pulang ke rumahnya. Rumahnya yang cukup besar itu terasa hampa, bahkan lampu juga tidak menyala. Dia melempar tasnya ke samping dan duduk di sofa seraya menutupi wajah dengan kedua tangannya dalam keputusasaan. Seketika dia menyadari seuatu dan langsung melirik.“Siapa?!”“Dokter, jangan panik,” ujar suara seorang pria di tengah kegelapan, lalu dia menyalakan lampu dan melanjutkan, “Kenapa nggak nyalain lampu?”“Aku … aku sudah melakukannya sesuai permintaanmu. Jadi kapan keluargaku dibebaskan?”“Kamu harus tahu kalau bukan kami yang menyandera keluargamu, kami justru bisa bantu menolong mereka!”“Iya, iya! Jadi kapan mereka bisa pulang, kapan aku bisa ketemu mereka?”“Kamu pikir sekarang waktu yang tepat untuk membebaskan mereka?” Frans keluar dari bayang-bayang kegelapan tanpa sedikit pun khawatir dokter mengenali wajahnya. “Kalau mereka pulang sekarang, apa mereka akan aman? Organisasi itu pasti akan menculik mereka lagi.”Pertanyaan itu membuat si dokter terd
Si dokter menyeka air mata dan mengeluarkan secarik kertas. “Ini ….”Pada saat itu situasinya cukup mendesak dan ada dua perawat yang menemaninya. Mau menyampaikan informasi pun tidak mudah, tetapi untung saja yuna cukup cerdas, dia bisa langsung mengerti tanpa perlu mengucapkan apa pun.Frans mengambil kertas itu dan bertanya, “Apa kabarnya dia?”“Baik-baik saja! Dia orang yang kuat, di situasi seperti itu saja dia masih sanggup bertahan. Aku nggak pernah ketemu cewek sekuat itu,” tutur si dokter.“Nggak usah banyak omong kosong!” bentak Frans.“Kandungan di perutnya masih aman, nggak perlu khawatir. Jadi … keluargaku ….”“Mereka juga aman. Kamu disuruh apa saja sama mereka?”“Mereka suruh aku menyuntikkan obat ke dia.”“Obat apa?!”“Aku juga nggak tahu, mereka nggak bilang. Tapi … dari pengalamanku selama ini, kemungkinan itu obat anestesi.”“Anestesi?”“Iya, semacam obat yang pelan-pelan kehilangan daya tahan tubuh. Sekuat apa pun fisik seseorang, kalau terlalu lama terpapar obat it
“Itu bukan urusanmu. Kamu cukup jaga saja Bu Yuna dengan baik, jangan sampai dia disakiti. Itu saja sudah cukup.”Frans sudah tahu organisasi itu memiliki banyak senjata api, bahkan sampai senjata kelas berat juga pasti ada, hanya saja itu tidak akan bisa mereka gunakan dengan mudah disini, kecuali jika mereka ingin mengajak perang. Namun dilihat dari situasi saat ini, itu rasanya tidak mungkin.“Oke, kalau itu aku bisa,” ucap si dokter. Dia tadi sudah sempat khawatir Frans meminta dia untuk menyelamatkan Yuna juga. Kalau itu … rasanya agak sulit.“Kamu tahu mereka di mana?” tanya Frans.“Setiap kali selalu ada orang yang antar jemput, dan mataku juga selalu ditutup dan dibius. Setiap kali aku sadar, tahu-tahu aku sudah sampai di sana. Mereka sangat waspada, bahkan mau ketemu bos mereka juga mataku selalu ditutup. Aku nggak tahu struktur bangunan di dalam sana.”“Kamu pernah ketemu sama bos mereka?”“Iya, seharusnya benar itu bos mereka!” Si dokter sebenarnya tidak begitu yakin, tapi i
Frans segera kembali ke mobil di mana Brandon sudah menunggu. Mobilnya cukup besar untuk Frans bersandar dan membentangkan kakinya. Walau begitu lingkaran hitam tebal yang ada di bawah matanya itu tak bisa menutupi kelelahan yang dia rasakan. Beberapa hari terakhir ini dia sungguh lelah karena terus bekerja tanpa henti. Upayanya membuahkan hasil, dia berhasil menemukan celah, yaitu dokter tadi, untuk berkomunikasi dengan Yuna yang ada sana melalui perantaranya.“Pak Brandon, orang itu ….”Tadi baru kali pertama Frans melihat orang yang ada di foto, tetapi dia merasa tidak terlalu asing dengannya. Setelah dipikir-pikir lagi, Frans baru ingat kalau mereka pernah bertemu, saat itu Frans juga sedang bersama dengan Brandon. Seandainya benar orang itu adalah dia, ini akan menjadi lebih sulit.“Iya, benar itu dia,” jawab Brandon seraya memijat batang hidungnya. Sebenarnya Brandon sudah punya dugaan, tetapi dia tetap ingin mendengar jawaban dari si dokter langsung untuk memperkuat dugaannya.“
Saat mesin mobil baru saja menyala, Brandon sepertinya mendadak teringat akan sesuatu. Dia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang, tetapi tidak ada yang mengangkat. Maka dia menaruh kembali ponselnya dan berbaring. ***Shane muntah-muntah tak berhenti, bahkan sampai perutnya kosong pun dia masih ingin muntah. Bukan hanya rasa mual saja yang mengganggu, tetapi bau busuk yang menyengat hidung juga membuat siapa pun yang ada di sana tidak akan tahan berlama-lama.“Dia ….”Ketika baru satu patah kata saja keluar, lagi-lagi Shane muntah. Dia langsung berlari keluar dan mengeluarkan cairan yang masih tersisa di lambungnya.“Kamu ini payah banget!” umpat Rainie kecewa seraya melihat mayat yang tergeletak di lantai. Apa yang terjadi ini jujur berada sedikit di luar perkiraannya. Dia berjongkok dan memakai sarung tangan, lalu memindahkan mayat itu.“Kamu masih bisa …. Hoek!”Tadinya sudah tidak mual lagi, ketika shane menoleh dan melihat Rainie dengan datarnya memindahkan mayat itu m