Di saat itulah Chermiko menggerakkan bola matanya. Namun dia hanya melirik Shane sesaat dan kembali menatap plafon seakan tidak percaya dengan omongan Shane.Shane sudah menduga itu akan terjadi, maka dia pun tersenyum dan duduk di samping ranjang di mana Chermiko terbaring dan berkata sekali lagi, “Kamu pasti nggak percaya sama aku, ‘kan? Apa yang kamu lakukan itu benar, karena gimanapun juga, di dunia ini nggak ada orang yang bisa kita percaya. Kamu boleh saja nggak percaya dan menganggap aku penipu. Tapi kamu harus ingat, aku cuma bakal ngomong ini sekali saja. Percaya nggak percaya, itu terserah kamu. Besok kamu baal dipindahkan ke tempat lain. Kami sudah nggak pakai tempat ini lagi. Pusat penelitian kami bakal pindah ke tempat yang lebih besar dan aman. Jadi bagimu, mungkin besok adalah kesempatan terakhir untuk melarikan diri.”Chermiko terus menerus meyakinkan dirinya kalau Shane adalah seorang penipu. Chermiko sudah pernah ditipu olehnya, dan dia tidak akan tertipu lagi untuk k
“Sekarang kamu nggak mikir aku lagi menipu kamu?” tanya Shane seraya tersenyum samar.Chermiko tidak menjawab. Sebenarnya dia pun tidak yakin apakah Shane sedang berbohong atau memang sungguh berniat menolongnya. Namun … Chermiko masih menyimpan sedikit harapan. Sekecil apa pun harapan itu, dia tidak akan menyerah. Walaupun kemungkinan berhasilnya hanya satu banding seribu, dia akan tetap mencoba.“Andaikan, ya. Andaikan kamu berhasil kabur, kamu pasti … nggak akan mengampuni mereka, ‘kan?”“.…”Setelah mengatakan itu, Shane langsung pergi tanpa menunggu balasan dari Chermiko. Pintu kembali tertutup dan suasana kembali sunyi senyap. Akan tetapi Chermiko yang dari tadi terbarung seperti mayat hidup mulai bangkit seolah mendapatkan embusan napas baru. Untuk duduk saja Chermiko sudah sangat kesulitan, tapi karena kini ada keyakinan di hatinya, dia tetap berusaha. Dia menatap obat yang ada di telapak tangan dan mendekatkannya ke hidung. Dia masih cukup sensitif terhadap bau obat. Setelah
“Oh jelas ada! Tapi untuk sementara ini masih nggak dibuka.”“..., apa bedanya kamar VIP dengan kamar biasa yang ada di bawah?”“Kamu bisa lihat sendiri. Kalau ada yang kurang memuaskan, boleh didiskusikan. Aku masih ada kerjaan lain, jadi Brandon kuserahkan ke kamu dulu. Terkait detail tentang kondisinya sekarang ini, kita bicarakan lagi nanti.”Setibanya Yuna di kamar VIP, dia melihat langsung betapa jauhnya perbedaan fasilitas yang disediakan dibandingkan dengan kamar biasa. Kamar biasa yang ada di bawah hanya kamar berukuran kecil, termasuk kloset dan kamar mandi yang hanya dipisahkan oleh sekat tipis. Bau di kamar biasa juga lebih pekat, sehingga terkadang ketika Yuna masuk, dia masih bisa mencium bau aneh meski sudah memakai masker. Namun itu semua berbeda dengan kamar VIP. Kamar VIP terasa seperti kamar hotel. Tidak hanya memiliki kamar mandi pribadi yang terpisah, di dalam juga dilengkapi dengan TV dan sofa. Kasurnya pun ditambahkan ekstra sehingga terasa lebih empuk.Sebelum m
Membicarakan hal itu membuat Yuna terisak. Dia bukanlah orang yang lemah, tapi hal ini membuatnya sangat sedih. Mungkin naluri seorang ibu yang membuat Yuna begitu memikirkan tentang Dora. Dia jadi ingin cepat-cepat menemukan obat untuk virus ini dan berharap bisa menemukan orang yang membuat virus ini agar dia bisa memukulinya.Peradaban manusia dan teknologi berkembang maju seperti sekarang harus digunakan untuk membuat kehidupan manusia makin sejahtera, bukannya malah membuat bencana hanya untuk memuaskan ambisi seseorang.“Minta anak itu untuk tinggal di lantai ini juga saja,” kata Brandon.“Eh? Kamu mau tukar kamar sama dia?”“Di lantai ini nggak cuma ada satu kamar VIP saja, ‘kan? Sekarang masih banyak yang kosong, kenapa nggak kasih saja satu untuk dia. Kalau perlu tambahan biaya, biar kita saja yang tanggung. Kalau misalkan mereka beralasan dia cuma rakyat biasa … bilang saja dia itu anakku. Bisa, ‘kan?”“Anakmu?”“Iya, kamu tadi bilang mamanya sudah meninggal dan nggak ada yan
Menyadari Yuna dari tadi terus menatapnya, Brandon tersenyum dan berkata, “Jangan lihat aku begitu. Jangan lupa, aku ini juga sering berurusan sama orang dari pemerintahan.”Ketika Brandon bilang begitu, Yuna baru ingat kalau itu memang benar.“Ada sesuatu yang mau aku omongin ….”“Tanya saja, kenapa harus sungkan sama aku?” Sebelum Yuna selesai berbicara, Brandon sudah bisa menangkap maksudnya.“Dari pemahaman kamu tentang kepribadian Edgar, menurut kamu dia itu orang yang sifatnya suka berubah-ubah, nggak?”“Justru sebaliknya, dia itu kalau sudah ngomong A, ya A. dia itu orangnya tegas banget. Memangnya kenapa?”Yuna tidak yakin karena dia hanya sebatas berkomunikasi melalui telepon dua kali. Hingga detik ini Yuna tidak bertemu langsung dengan Edgar dan hanya tahu sekilas melalui percakapannya dengan Bella.“Kamu nggak mungkin nanya ini tanpa alasan. Pasti terjadi sesuatu, ya?”“Iya, ini soal Bella.”“Dia kenapa?”Yuna pun menceritakan semua yang dia tahu dan berkata, “Bella itu buka
Brandon dulu berpikir kalau dia hanyalah tempat bagi Yuna untuk berlindung, dia adalah pelabuhan di mana Yuna bisa beristirahat sejenak di tengah perjalanannya. Namun kemudian Brandon baru menyadari bahwa Yuna jauh lebih hebat dari apa yang Brandon sangka selama ini. Makin dalam Brandon mengenali pribadi Yuna, makin besar pula cintanya.“Nggak ada lagi. Aku nggak sehebat apa yang kamu bilang.”“Nggak, kamu memang sehebat itu!” kata Brandon seraya menarik tangannya.Sungguh disayangkan tempat di mana mereka berada saat ini tidak pas. Kalau saja tempat dan situasi mendukung, Brandon sudah memeluk erat dan mencium Yuna.Setelah beberapa saat mereka berdua lalui dalam kesunyian, tiba-tiba Brandon bertanya, “Kenzi apa kabarnya?”“Kamu masih ingat anakmu?”Yuna pikir Brandon sudah lupa dengan anaknya. Sejak mereka berdua akhirnya bisa bertemu lagi hingga detik ini, Brandon tidak pernah sedikit pun mengungkit tentang Kenzi.“Dia kan anakku, mana mungkin aku bisa lupa.”“Kenzi aku titipkan di
“Stella, jangan nangis!” kata Frans sembari menggenggam tangan Stella. “Kan aku sudah pulang.”Stella membentangkan kedua lengannya lebar-lebar dan memeluk Frans dari belakang. Ya, Frans sudah pulang! Setelah begitu lama tenggelam dalam kekhawatiran yang mendalam, akhirnya Frans kembali juga ke sisinya. Sudah sewajarnya Stella bahagia, tapi entah mengapa dia masih merasa sedih.Dengan tangannya yang besar, Frans mengelus wajah Stella, mulai dari alis matanya, sampai ke bibirnya, lalu dia bertanya, “Jadi kamu masih belum ketemu Brandon, ya?”“Aku nggak tahu dia di mana sekarang. Kamu bilang dia sudah pulang, tapi aku nggak dengar kabar apa pun tentang dia. Kayaknya Setiawan Group juga nggak mengumumkan apa-apa. Akhir-akhir ini Setiawan Group juga lagi berantakan, mereka bilang … kalau terjadi sesuatu sama Brandon di luar negeri, tapi direksi perusahaan terus menutupi berita itu.”“Terus, Yuna di mana?” tanya Frans.“Aku juga nggak tahu belakangan ini Kak Yuna lagi sibuk apa. Aku telepon
“Dia cuma bilang Kenzi ada di tempat yang sangat aman, yang pasti bukan dibawa ke tempatnya Amara. Tapi persisnya di mana … aku kurang tahu.”Sejujurnya Stella bukannya tidak tahu sama sekali. Saat bertemu dengan Yuna di jalanan, Stella kurang lebih bisa menebak ke mana Yuna pergi. Namun entah ada alasan apa, Stella tidak mau mengatakannya kepada Frans.“Hah ….” Entah hanya ilusi atau bukan, di balik tawa Frans tersirat sedikit ejekan. “Kamu bukannya berteman baik sama dia? Kamu sudah kenal dia lama banget, masa begitu saja nggak tahu?”“Aku jadi ribut sama dia gara-gara kamu,” kata Stella yang sudah mulai kesal karena sikap Frans. “Aku sendiri juga nggak suka ngorek-ngorek hal yang dia nggak mau ngomong.”“Jadi sekarang kamu menyalahkan aku? Mungkin lebih baik aku nggak usah pulang.”Seusai berkata demikian, Frans berdiri dan mengancingkan kemejanya kembali. Alhasil Stella jadi panik dan segera memeluknya dari belakang.“Nggak, jangan pergi!”Frans sudah bersusah payah untuk pulang, j
“Apa lagi ini?”Dalam berkas yang berisikan surat wasiat tersebut tertulis jelas bahwa sang Ratu mengetahui kesehatannya yang makin menurun dan sudah dekat ajalnya, karena itu selagi masih sadar, sang Ratu dengan sukarela menyerahkan posisinya kepada keturunannya, dan Fred diberikan kepercayaan penuh untuk menjadi penasihat mereka.“Kamu masih berani mengaku nggak mau merebut posisiku?! cucuku usianya baru empat tahun, tahu apa merea? Lagi pula bukannya menurunkan ke anakku, tapi malah langsung ke cucuku. Orang waras pasti sudah tahu apa maksudnya ini.”“Nggak juga, cucu Yang Mulia sangat pintar dan punya bakat untuk jadi penguasa yang baik. Saya cuma bertugas memberi nasihat, tapi pada akhirnya kekuasaan tertinggi tetap jatuh kepada mereka. Terkait masalah pewaris, apa Yang Mulia masih nggak sadar juga seperti apa mereka? Mereka sama sekali nggak cocok untuk jadi penguasa!”“Fred, kenapa baru sekarang aku sadar kalau ternyata ambisimu setinggi itu, ya?”“Bukan, Yang Mulia. Yang Mulia
Ketik sang Ratu tersadar, dia sudah berada di atas kasur. Dia berbaring dengan sangat nyaman ditutupi oleh selimut yang rapi. Di sampingnya ada semacam alat medis yang mengeluarkan suara nyaring. Walau demikian, sang Ratu tidak merasa nyaman.“Fred! Fred!” sahutnya.Mengira tidak akan ada yang datang, tak disangka Fred sendiri yang muncul di hadapannya.“Ada yang bisa dibantu, Yang Mulia?”“Lepasin aku!”“Wah, sayang sekali Yang Mulia, tapi nggak bisa! Eksperimennya sudah mau kita jalankan dua hari lagi. Yang Mulia nggak boleh ke mana-mana sampai dua hari ke depan.”“Eksperimen apaan. Kamu cuma mau membunuhku dan mengambil alih jabatanku, bukan?”“Yang Mulia, saya mana berani melakukan itu. Kalau saya membunuh Yang Mulia, apa saya perlu menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk membangun lab dan semua eksperimen ini? Saya benar-benar berniat baik untuk Yang Mulia, tapi Yang Mulia malah terbuai sama omongan si cewek licik itu dan nggak percaya lagi sama saya. Sayang sekali!” kata Fre
“Aku?” kata Chermiko. “Nggak, aku cuma merasa itu terlalu aneh! Apa pun yang keluar dari mulut cewek gila itu, aku ….”Kata-kata yang hendak Chermiko katakan tersangkut di lehernya saat ditatap oleh Shane. Tadinya dia mau bilang tidak akan menganggap serius apa pun yang Rainie katakan, tetapi setelah dipikir-pikir, dia juga akan berpikir hal yang sama dengan Shane.“Oke, mau dia benar-benar bisa menghilang atau nggak, selama masih ada kemungkinan itu benar sekecil apa pun, kita harus cari tahu!” kata Brandon. Dia tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang patut ditertawakan. Kalau sampai Rainie melarikan diri, maka bahaya terhadap masyarakat akan sangat besar.“Shane, jaga anak-anak!”Brandon pertama-tama langsung menghubungi Edgar agar dia bisa mengerahkan koneksinya untuk mencari Rainie di setiap sudut kota. ***Pintu kamar di mana Ratu sedang tidur siang diketuk sebanyak tiga kali, kemudian pintu itu dibuka begitu saja tanpa seizinnya. Sang Ratu membuka matanya sejenak dan langsung
“Seaneh apa pun ini pasti ada penjelasannya,” kata Brandon. Dia mengamati bantal di atas kasur itu dan menaruhnya kembali, lalu berkata, “Ayo kita keluar dulu sekarang!”Di kamar itu sudah tidak ada orang dan sudah tidak perlu dikunci lagi. Mereka berdua pun satu per satu keluar dan setela mereka kembali ke tempat Shane berada.“Rainie benar-benar menghilang?” tanya Shane.“Iya,” jawab Chermiko menganggu.“Kok bisa? Apa ada orang lain dari organisasi itu yang menolong dia?”“Aku nggak tahu.”Tidak ada satu orang pun di antara mereka yang tahu mengapa Rainie bisa menghilang. Mereka bertiga sama bingungnya karena tidak ada penjelasan yang masuk di akal. Brandon tak banyak bicara, dia mengerutkan keningnya membayangkan kembali ada apa saja yang dia lihat di kamar itu. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, tetapi dia tidak tahu apa itu.Shane, yang entah sedang memikirkan apa, juga tiba-tiba berkata, “Apa mungkin …? Nggak, itu mustahil ….”“Apaan? Apa yang nggak mungkin?” Cher
Chermiko sudah menahannya sebisa mungkin, tetapi suara gemetar bercampur dengan napas terengah-engah tetap saja menakutkan untuk didengar. Saat mendengar itu, Shane langsung terbelalak dan menyahut, “Apa?!”“Rainie … Rainie nggak ada di kamarnya!” kata Chermiko sembari menunjuk ke belakang.“Ngomong yang jelas, kenapa dia bisa nggak ada?” Ucapan ini datang dari belakang, membuat Chermiko kaget dan menoleh, dan menemukan ternyata Brandon sudah ada di belakangnya entah dari kapan.Brandon baru tidur sebentar dan belum lama terbangun. Semua masalah yang mereka alami membuat kualitas tidurnya terganggu. Anak dan istri tidak ada, dan sekarang ditambah lagi dengan sekian banyak masalah serius yang datang tak habis-habis. Bagaimana dia bisa tidur lelap? Apalagi sekarang ada dua bayi yang entah anaknya atau bukan datang membutuhkan penjagaan.Tidur singkat sudah cukup untuk memulihkan energinya, setelah itu Brandon mandi dan mengganti pakaian, lalu turun untuk melihat anak-anaknya, dan ternyat
Chermiko mulai menyadari Shane lagi-lagi terbawa oleh perasaan sedihnya. Dia pun segera melurusan, “Eh … maksudku. Aku cuma nggak menyangka ternyata kamu bisa ngurus anak juga. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah panik. Tapi kalau dilihat-lihat lagi, dua anak ini mukanya lumayan mirip sama Brandon, ya. Menurut kamu gimana?”Mendengar itu, Shane melirik kedua bayi yang sedang tertidur pulas dan melihat, benar seperti yang tadi Chermiko bilang, bagian kening mereka sedikit mirip dengan Brandon, sedangkan mulut mereka mirip dengan Yuna.“Kelihatannya memang mirip, ya. Tapi kita jangan tertipu dulu. Aku merasa makin lama kita lihat jadi makin mirip. Kalau sekarang aku bilang mereka nggak mirip, apa kamu masih merasa mereka mirip?”Benar juga, andaikan mereka bukan anaknya Brandon, dengan sugesti seperti itu Chermiko percaya saja kalau mereka tidak mirip.“Waduh, aku rasanya kayak lagi berhalusinasi!” ucapnya.“Makanya sekarang kita jangan berpikir mirip atau nggak mirip dulu. Lebih baik k
“Itu normal. Dulu waktu Nathan masih kecil juga aku kayak begini,” kata Shane. “Hampir semalaman penuh kamu nggak mungkin bisa tidur. Begitu kamu taruh mereka, mereka pasti langsung nangis, jadi kamu harus gending mereka terus. Waktu itu tanganku juga sudah mau patah rasanya.”“Kamu gendong anak sendiri? Bukannya pakai pengasuh?!”“Waktu itu aku masih belum sekaya sekarang, istriku nggak mau pakai pengasuh, jadi aku yang gendong.” Shane tidak mau mengingat masa lalunya lagi karena itu hanya akan membuatnya sedih. Shane lalu menghampiri Brandon dan hendak mengambil anak itu dari tangannya. “Sudah pagi, biar aku yang jagain. Kamu istirahat dulu.”“Nggak usah!”“Jangan begini lah! Kalau kamu merasa berutang sama Yuna dan anak-anak kamu, masih ada waktu lain untuk menebus, tapi sekarang kamu harus istirahat! Kalau kamu sampai tumbang, siapa lagi yang bisa jagain mereka, dan siapa yang bisa nolongin Yuna!”Ketika mendengar itu, akhirnya Brandon mengalah dan memberikan kedua anaknya kepada S
Kemampuan medis Yuna tak diragukan membuat Fred kagum kepadanya, tetapi Yuna punya perang yang lebih penting dari itu. Lagi pula sifat Yuna yang sangat keras membuatnya tidak mungkin dijadikan kawan oleh Fred. Dibiarkan hidup juga tidak ada gunanya.“Bagus … bagus sekali!”Setelah memahami apa yang sesungguhnya terjadi, Fred menarik napas panjang dan mengatur kembali emosinya. Dia mengucapkan kata “bagus” berulang kali, dan ini merupakan pelajaran yang sangat berharga baginya. Selama ini selalu dia yang mengerjai orang lain. Tak pernah sekali pun Fred berpikir dirinya tertipu oleh sebuah trik murahan. Bukan berarti Fred bodoh karena tidak menyadari hal itu, hanya saja terlalu banyak hal yang harus dia kerjakan sehingga dia tidak bisa berpikir dengan jernih.“Yuna, kali ini kamu menang! Tapi sayang sekali kamu nggak akan bisa melihat akhir dari semua ini! Sebentar lagi kita sudah mau masuk ke tahap terakhir dari R10. kamu sudah siap?”Fred menyunggingkan seulas senyum yang aneh di waja
“Tadi kamu ada diare lagi?” Yuna bertanya.“Nggak ada,” jawab Fred menggeleng, tetapi dia marah menyadari dirinya malah dengan lugu menjawab pertanyaan yang tidak berkaitan. “Itu nggak ada urusannya! Sekarang juga aku mau obat itu!”“Sudah nggak sakit perut dan nggak diare, rasa mual juga sudah mendingan, ya? Paling cuma pusing sedikit dan kadang kaki terasa lemas. Iya, ‘kan?”Fred tertegun diberikan sederet pertanyaan oleh Yuna, dia pun mengingat lagi apa benar dia mengalami gejala yang sama seperti Yuna sebutkan.“Kayaknya … iya!”Meski sudah berkat kepada dirinya sendiri untuk tidak terbuai oleh omongannya, tetap saja tanpa sadar Fred menjawab dengan jujur. Setelah Fred menjawab, Yuna tidaklagi bertanya dan hanya tersenyum.“Kenapa kamu senyum-senyum?! Aku tanya mana obatnya, kamu malah ….”“Pencernaan kamu sehat-sehat saja, nggak kayak orang yang lagi keracunan!”“Kamu ….”Fred lantas meraba-raba perut dan memukul-mukul dadanya beberapa kali. Dia merasa memang benar sudah jauh lebi