“Tuan yakin tidak akan melaporkannya? Apa tidak ada cara lain? Keluarga Tuan bisa terpecah karena masalah ini.” Naomi juga ingin Pamela mendapat balasan yang setimpal. Namun, di satu sisi ia tidak ingin keluarga Alister terus berseteru karena dirinya. Naomi menyimpan piring yang baru saja dicucinya di rak yang tersedia. Kemudian, membalikkan tubuhnya. Ia terkejut mendapati Alister yang sudah berdiri tepat di belakangnya. Padahal tadi lelaki itu berada di tempat yang agak jauh darinya. Alister sedikit membungkuk tepat di hadapan Naomi. Memangkas jarak di antara mereka hingga hidung keduanya bersentuhan. “Kamu ingin aku membunuhnya?” Naomi spontan mendorong dada Alister. “Tentu saja tidak, Tuan! Itu sama saja bertindak kriminal.” Tentu saja Naomi tidak akan menyetujui ide gila itu. Mudah sekali Alister bertanya seperti itu. Seolah-olah nyawa manusia tidaklah berarti. Jika Alister benar-benar melakukannya. Itu sama saja menabuh genderang perang. Dan yang akan masuk penjara adala
“Apa ibumu mengajarimu untuk menjadi simpanan pria kaya?” tuduh Atma sembari mencengkram pergelangan tangan Naomi. Naomi memberontak, berusaha melepas tangan Atma yang mencengkram tangannya. “Jangan membawa ibuku! Lepaskan aku! Kita tidak punya urusan apa pun lagi!”Naomi sudah sangat yakin tidak ada yang mengikutinya. Namun, tiba-tiba ayahnya datang. Seperti pria paruh baya itu sengaja bersembunyi dan menunggunya. Ia menatap sekelilingnya, ada beberapa pengunjung restoran yang hendak pulang juga. Namun, jika meminta tolong pada mereka, itu terlalu berisiko. “Kita bicara di tempat lain!” desis Atma seraya menarik Naomi menjauh dari sana menuju ke area yang lebih gelap dan sepi. Tanpa memedulikan langkah Naomi yang terseok-seok padahal mengetahui jika putrinya tengah mengandung. Naomi menyentak keras tangannya hingga cengkraman Atma terlepas. Pergelangan tangannya terasa ngilu dan perih. Namun, ia mengabaikannya. “Apa lagi yang Ayah inginkan? Ayah pergi meninggalkan kami begitu saja
Srekk!Tepat ketika Pamela hendak menikam Naomi, Alister menarik wanita itu ke pelukannya. Membalikkan tubuh wanita itu dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng. Ujung pisau yang sangat tajam itu mengenai lengan Alister. Merobek kemeja putih dan menggores lengan lelaki itu hingga mengucurkan darah. “A-alister!” Pamela kontan melepas pisau di tangannya. Membiarkan benda bermata tajam itu terjatuh di lantai dan menimbulkan bunyi nyaring ke seluruh penjuru ruangan. Wanita itu tampak syok bukan main dan spontan melangkah mundur. Para polisi yang berjaga di sana bergegas mengamankan pisau yang Pamela gunakan dan kembali memborgol wanita itu. Kali ini dengan double borgol. Tidak ada yang menyadari sejak kapan borgol Pamela lepas dan di mana wanita itu mendapat pisau lipat. Sebab, sedari tadi sebenarnya wanita itu sudah diborgol. Ketegangan yang melingkupi ruangan besar itu semakin pekat. Semua orang yang awalnya sibuk sendiri kini mengalihkan atensi ke tengah-tengah ruangan, di mana keribu
Bruk!Keresek belanjaan Naomi kontan jatuh ke aspal ketika Atma menarik wanita itu. Sebagian isi dari kerseek tersebut berhamburan keluar. Berserakan di sekitar kaki mereka. Bahkan, ada juga yang tak sengaja terinjak. Tak ingin menurut begitu saja, Naomi pun memberontak lebih kuat. Ia juga mendorong ayahnya menjauh hingga pria paruh baya itu nyaris tersungkur. Persetan dengan sopan santun, ayahnya bukanlah orang yang pantas mendapat perlakuan baik. “Aku tidak peduli dengan apa yang Ayah lakukan dan bagaimana hidup Ayah sekarang. Jadi, tolong lakukan hal yang sama padaku. Jangan menggangguku!” tegas Naomi tanpa basa-basi. Masih banyak masalah yang belum usai dan belakangan ini Atma terus mengganggunya. Naomi benar-benar lelah dan muak. Jika bisa memilih, ia akan lebih memilih tak perlu bertemu lagi dengan ayahnya sampai kapan pun. Tak ada gunanya pertemuan seperti ini. Malah semakin menambah beban pikirannya. “Ayah tidak akan mengganggumu lagi setelah ini. Tapi, kamu harus membantu
“Kakak sudah sadar? Mana yang sakit? Atau pusing?” Suara samar-samar itu masuk ke indra pendengaran Naomi. Perlahan-lahan wanita itu mengerjap. Membuka matanya yang terasa berat. Siluet seseorang yang berada di hadapannya lama-kelamaan mulai tampak jelas. Namun, bukan seseorang yang ia harapkan berada di sini. Naomi kontan menatap sekelilingnya dan menyadari jika dirinya telah kembali ke kamarnya. Kepalanya pening berat, terasa seperti akan pecah. Bukan hanya karena efek pingsan. Tetapi juga karena pemberitaan mengejutkan yang ditontonnya. “Attar? Apa yang terjadi? Kenapa kamu di sini?” Naomi ingin bangkit, tetapi tubuhnya terlalu lemas dan ia memilih tak memaksakan diri. Tatapan Naomi sayu dan berkunang-kunang. Ia seperti kehilangan separuh tenaganya. Lemas dengan pikiran yang kacau. Wanita itu mengingat apa yang terjadi sebelum dirinya jatuh pingsan. Fakta mengejutkan itu masih menari-nari di kepalanya. Naomi sedang belajar untuk menerima kenyataan jika ayahnya telah memilik
“Tinggalkan kami!”Alister berucap lantang dengan tatapan yang lurus tertuju pada Naomi. Seolah-olah memang hanya mereka berdua saja yang berada di kamar tersebut. Attar pun berdeham pelan. Cukup sadar diri jika telah diusir. Namun, masih ada yang ingin ia bicarakan. “Kami tidak tahu apa-apa tentang kasus itu. Apalagi sampai terlibat.” Tanpa basa-basi, Attar langsung menjelaskan pada Alister. Sedangkan Naomi hanya bergeming. Penampilan Alister yang agak berantakan serta wajah lelaki itu yang tampak kuyu. Seperti orang kurang istirahat. Dan itu pasti karena kekacauan yang Atma lakukan. Ia curiga jangan-jangan lelaki itu tidak tidur semalaman. “Aku tahu,” jawab Alister datar, namun matanya masih tertuju pada Naomi. “Pelayan akan mengantarmu ke kamar tamu.” Kembali, lelaki itu melontarkan pengusiran tersirat pada Attar. Attar hendak menyanggah dan mengatakan ingin langsung pulang. Akan tetapi, lelaki itu memilih mengurungkan niatnya dan bergegas pergi. Membiarkan kakaknya bersama san
Plak!“Ternyata kamu anak koruptor itu!”“Kamu pasti sengaja mendekati putra saya untuk menguras hartanya, ‘kan?! Dasar penjilat gila harta!” bentak Miranda dengan suara melengking. Naomi terbelalak sembari menyentuh pipinya yang terasa panas dan perih. Ia tak menyangka mendapat perlakuan seperti ini. Bahkan, wanita itu tidak tahu kalau ibu mertuanya akan datang. Sebab, seharusnya wanita paruh baya itu berada di pengadilan untuk menghadiri sidang Pamela. Attar kontan melangkah maju. Sengaja berdiri di antara Naomi dan Miranda untuk melindungi sang kakak. “Apa yang Nyonya lakukan? Setidaknya sopan lah sedikit dan bicara baik-baik! Jangan main hakim sendiri dan menyakiti kakakku!”Miranda semakin melotot. Amarah terpancar sangat jelas dari wajah wanita paruh baya itu hingga matanya seolah akan keluar. Melihat keberadaan Attar membuatnya kian meradang. “Kalian berdua pasti sekongkol untuk menguasai harga putraku, ‘kan?”Miranda menuding wajah Attar dan Naomi secara bergantian menggunak
“Beraninya kamu membawa wanita jalang ini ke rumahku!”“Rumahmu?” Alister mendengus samar. “Sejak kapan rumah ini menjadi rumahmu?” Amara berjalan sempoyongan ke arah Alister dan Naomi. Wanita itu tampak mabuk berat dengan penampilan yang sangat berantakan. Ia membuka matanya lebar-lebar, menatap nyalang pada kedua insan yang tengah menatapnya. “Tentu saja ini rumahku! Bawa pergi jalangmu itu!”Naomi hanya memperhatikan Amara yang terlihat sangat berantakan. Berbanding terbalik dengan penampilan wanita itu yang biasanya selalu tampil sempurna. Tak berani membuka suara sama sekali. Sesungguhnya pun ia tak ingin semakin menambah masalah seperti ini. Naomi tidak tahu kalau Alister akan mengajaknya pindah ke rumah lelaki itu dan Amara. Seharusnya sejak awal ia memang bertanya dan setelah tahu dirinya tentu saja menolak. Lebih baik ia tinggal di rumah lamanya saja. Di sana akan jauh lebih nyaman dibanding harus satu rumah dengan Amara. “Kamu sedang mengatai dirimu sendiri? Berkacalah da
“Kakak yakin ingin pindah ke sini?” tanya Attar sembari menatap bangunan menjulang di hadapannya. “Iya. Kurasa sekarang sudah waktunya,” jawab Naomi yang spontan turut melirik rumah megah di depannya. Sejak terakhir kali menginjakkan kaki di sini, Naomi belum pernah datang lagi. Baru kali ini dirinya memberanikan diri untuk kembali datang. Setelah berbulan-bulan memilih mengasingkan diri dan berpikir tak akan pernah kembali sampai kapan pun. “Kuharap ini keputusan terbaik. Katakan kalau dia menyakitimu. Aku tidak akan segan-segan memukul wajahnya. Lagi. Atau Kakak bisa melakukan itu sendiri,” balas Attar sembari berkelakar. Naomi berdecak pelan. Niatnya datang kemari bukan untuk mencari masalah. Namun, untuk menyelesaikan salah satu masalah besar yang dihadapinya. Lebih tepatnya berdamai dengan hatinya setelah sekian lama dibuat bingung dengan keputusannya sendiri.Naomi ingat Attar bercerita kalau pemuda itu pernah memukul Alister. Itu terjadi setelah Alister menjelaskan kenapa d
“Ibu tirimu mengatakan ayahmu sakit sejak seminggu lalu. Dia berusaha menghubungimu dan adikmu, tapi tidak bisa,” ucap Alister yang sedang menyetir. Naomi spontan merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Ia mencari nomor telepon ibu tirinya yang sengaja dirinya blokir sejak lama. Ibu tirinya itu pernah menghubunginya di awal-awal ayahnya masuk penjara. Tentunya ingin meminta tolong agar Naomi membantu mengeluarkan sang ayah dari penjara. Oleh karena itu, Naomi memilih memblokir kontak ibu tirinya. Sebab, bagaimana pun caranya, Naomi tak mungkin membantu membebaskan ayahnya. Attar pun melakukan hal yang sama. Bukannya ingin memutuskan hubungan, mereka hanya muak dengan gangguan itu. Mendengar ayahnya sakit membuat kekhawatiran Naomi pada sang ayah mencuat tanpa bisa dicegah. Walaupun ia juga tidak tahu sakit apa yang ayahnya derita. Barusan, Naomi juga sudah menghubungi adiknya mengatakan tentang kondisi ayah mereka. “Kamu tenang dulu. Ayahmu pasti baik-baik saja,” tutur Alister sem
Naomi menyadari jika Alister berada di restoran yang dipenuhi hidangan mewah. Apa pun yang lelaki itu inginkan pasti ada di sana. Akan tetapi, tiba-tiba saja dirinya terdorong untuk membuat dan mengantarkan makanan pada lelaki itu. Sekarang Naomi sudah dalam perjalanan menuju ke salah satu restoran Alister, di mana lelaki itu berada. Ia pun datang tanpa mengatakan apa pun pada Alister. Mereka hanya sempat bertukar pesan sebelumnya hingga Naomi mengetahui di mana lelaki itu berada. Naomi pun tidak tahu suaminya itu sudah makan atau belum. Atau mungkin saja sudah berpindah ke restoran lain. Sebab, biasanya pun sering seperti itu. Ia melakukan ini sebagai bentuk terima kasihnya atas tutor bisnis dadakan yang lelaki itu lakukan belakangan ini. “Tuan Alister ada di ruangannya?” tanya Naomi pada salah seorang karyawan Alister yang sedang membuang sampah di luar restoran. “Eh, Nyonya? Tuan ada di ruangannya. Mau saya antar?” tawar sang pelayan dengan senyum ramah. Naomi langsung menggel
Naomi tahu Alister adalah perayu ulung. Lelaki itu berpengalaman melakukan negosiasi dengan puluhan, bahkan ratusan orang selama ini. Jelas saja, Alister memiliki banyak cara untuk membuat orang yang tadinya enggan menjadi setuju. Seperti itu juga yang dirasakan oleh Naomi. Tadinya, wanita itu bersikeras menolak keinginan Alister untuk mengelola restoran baru lelaki itu. Namun, dalam waktu singkat, Alister berhasil mengubah keputusannya. Naomi baru menyadari itu setelah dirinya memutuskan sesuatu yang berbanding terbalik dengan keinginan hatinya. Akhirnya, Naomi benar-benar mengelola restoran tersebut seperti yang lelaki itu inginkan. Setelah di pikir-pikir lagi, tawaran Alister tidak membuatnya rugi sama sekali. Malahan, dirinya bisa mendapat banyak ilmu dan pengalaman baru yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. “Bagian mana lagi yang belum kamu pahami?” tanya Alister membuyarkan lamunan Naomi. Naomi tersentak pelan dan langsung menunjuk satu bagian yang belum dirinya mengerti
“Kenapa Tuan mengajakku ke sini lagi?” tanya Naomi sembari menatap restoran mewah yang beberapa hari lalu ia kunjungi bersama Alister beberapa hari lalu. Bedanya, sekarang restoran tersebut telah beroperasi. Meskipun grand openingnya baru beberapa hari lalu, restoran ini sudah cukup ramai. Pengunjungnya pun terlihat berkelas dan bukan orang sembarangan. Naomi masih mengamati semuanya dari balik dinding kaca transparan yang mengelilingi restoran ini. Nama besar yang sudah Alister miliki membuat lelaki itu tak perlu terlalu mengeluarkan biaya untuk promosi. Bahkan, sepertinya tanpa promosi pun restoran ini tetap dapat beroperasi dengan baik. Bahkan, lelaki itu juga berhasil membuat restoran yang nyaris bangkrut kembali berjalan sebagaimana mestinya. Alkanna. Itulah nama restoran mewah ini. Alister mengatakan jika nama tersebut diambil dari gabungan namanya, nama putranya, dan Naomi. Alister, Ariana, dan Naomi. Entah itu benar atau tidak. Naomi pun tidak mempercayainya. Bahkan, masih
“Kamu pasti menerobos masuk tanpa izin!” tuduh Raga dengan sorot sinis. Dari semua sepupu Alister, hanya Raga yang berani menantang dan mengganggu Alister secara terang-terangan. Sedangkan sisanya tidak ada yang berani mendebat lelaki itu sama sekali. Bahkan, mereka cenderung menjauhi Alister jika tidak ada keperluan mendesak. Mereka akan berubah menjadi penjilat ulung jika membutuhkan bantuan Alister. Meskipun walau sudah berusaha keras, terkadang Alister mengabaikan permintaan mereka. Hanya Raga yang tak pernah melakukan itu karena merasa bisa mengatasi masalahnya sendiri. Sejak kecil mereka seolah bermusuhan dan bersaing untuk menjadi yang terbaik. Mungkin, lebih tepatnya hanya Raga yang melakukan itu. Sedangkan Alister tidak peduli dengan siapa pun, kecuali yang dianggapnya penting. Dan bersaing dengan Raga bukan salah satunya. “Jangan berisik! Istri dan anakku sedang tidur! Apa yang kamu inginkan? Pergi! Kami tidak menerima tamu!” Alister kembali melontarkan pengusiran pada R
Naomi mengenal sapu tangan itu. Sapu tangan itu memang miliknya. Lebih tepatnya peninggalan ibunya yang telah hilang beberapa tahun lalu. Ia sempat menangis saat mengetahui sapu tangan itu hilang. Sebab, baginya sapu tangan tersebut adalah benda keberuntungannya. Sapu tangan itu membuat Naomi merasa dekat dengan ibunya yang telah tiada. Ia selalu membawa sapu tangan iru ke mana pun dirinya pergi. Oleh karena itu, ketika sapu tangannya hilang entah ke mana, Naomi sangat merasa bersalah dan sedih. Naomi tidak pernah mengira jika sapu tangan itu berada di tangan Alister. Lebih tidak percaya lagi lelaki itu masih menyimpannya sampai sekarang. Padahal benda itu sudah terlihat lusuh. Orang sekelas Alister pasti menganggapnya seperti sampah. “Kamu tidak sengaja menumpahkan kopi di kemejaku dan kamu memberikan sapu tangan itu untuk membersihkannya. Kamu ingat? Kalau di pikir-pikir lagi, perbuatanmu waktu itu sangat tidak sopan,” ucap Alister sembari terkekeh. “Kamu ingin mengembalikannya
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali