"Bagaimana rasanya mencoba tubuh pembantu itu di atas ranjangku, Mas?"
Malam itu, betapa terkejutnya Aruna ketika membuka pintu kamarnya dan menyaksikan suaminya berada di atas pembantunya tanpa mengenakan sehelai benang pun. Melihat itu, amarahnya memuncah. Sementara itu, suaminya sendiri hanya menghela napas sembari meraih pakaian berserak di tepi ranjang."Bu, biar saya jelas--" ucap Tiara, pembantunya, merekatkan kedua telapak tangannya, seolah memohon ampun kepada ArunaMasih merasa emosi, dan tak ingin berurusan lebih panjang dengan wanita itu, Aruna memejamkan matanya, "Keluar." "Bu," sebut Tiara masih berusaha menjelaskan.Namun, Aruna tak kuasa lagi. Wanita itu pun berteriak, telunjuk kirinya menunjuk ke arah pintu. "Aku bilang keluar!"Sempat Tiara mengambil pakaian sebelum berlari meninggalkan kamar. Hal itu membuat mata Aruna menjadi panas, khawatir matanya sudah tak bisa lagi membendung isakan yang sedari tadi dia tahan. Sedangkan Yuda, suaminya, begitu santai duduk dan mulai menyulut rokok, mulutnya menyemburkan kepulan asap putih yang menyesakkan. “Ini adalah hal sepele. Kau tidak perlu marah seperti itu.”Mata Aruna dan Yuda saling bertukar pandang. Memang, sejak dulu pun suaminya sudah buruk di mata serta hatinya. Tapi hari ini! Aruna tak bisa memaafkan karena berbagi suami dengan wanita lain. Terlebih! Dengan pembantunya sendiri!"Lebih baik mana? Aku atau Tiara saat di ranjang? Sampai kau tak cukup hanya denganku!"Netra Yuda terangkat dan memenjarakan Aruna dengan tak percaya. Tubuh semampai ini bangkit dari duduk yang santai. Tangan Yuda yang lama tak mengukir lebam serta luka pada tubuhnya, kini mulai terangkat dan siap memukul."Ayo pukul aku," tantang Aruna.Mendengar ucapan Aruna, serta melihat manik yang menatapnya nyalang, membuat Yuda hanya mampu menggertakkan gigi. "Sial! Kenapa kau banyak sekali bicara!"Retina tajam Aruna mengekori Yuda yang meninggalkan kamar. "Aku tanya siapa yang lebih baik!? Aku atau Tiara!"Kaki Yuda terhenti dengan emosi. "Kau! Sampai kapan pun hanya kau yang terbaik! Karena aku hanya cinta dengan kau!"Jika memang pria itu cinta, lantas kenapa menyentuh pembantunya saat Aruna tak ada? Wajah Aruna seketika menjadi panik saat jemari Yuda meraih tongkat golf. Tangan Aruna bersiap meraih pintu dan mengunci, demi menghindar dari kekejaman suaminya.Aruna membisu sejenak, matanya menatap Yuda yang justru tidak mendekatinya. Ternyata, suaminya justru menyeret tongkat golf itu ke arah belakang, tempat kamar pembantunnya berada."Tiara," gumam Aruna kaget. Merasa panik, kakinya kini berlari mengejar Yuda, "Mas, kau mau ke mana membawa tongkat golf itu?"Sosok Yuda seperti dipeluk oleh iblis. Pria itu berjalan dengan langkah yang kasar dan penuh amarah ke arah kamar Tiara. Dugaan Aruna semakin kuat, Yuda yang keji akan kembali berulah."Pak Yuda," sebut Tiara langsung berdiri dan menjadi panik."Bagaimana kalau ibu Aruna ke sini dan semakin marah?" tanya Tiara, membuat Yuda mengukir senyum sinis."Mas!"Sebelum kaki Aruna sepenuhnya mencapai kamar itu, Yuda sudah menutup pintu serta mengunci dari dalam. Aruna menjadi panik ketika tak terdengar apa pun di sana. Selain hanya teriakan yang lolos dari Tiara."Mas, Mas Yuda tolong buka pintunya," pintanya dengan tak berhenti mengetuk pintu, "Mas, bicaralah baik-baik, jangan memukul!"Suasana yang terlalu senyap membuat Aruna makin cemas tak karuan. Kaki mondar-mandir sembari memikirkan cara supaya pintu bisa dibuka. Dengan bobot tubuh Aruna yang kurus, tak mungkin bisa mendobrak.Perlahan pintu kamar terbuka lebar. Netra Aruna terbelalak, begitu mendapati kamar di hadapannya menjadi lautan darah. Belum lagi, kaki Tiara yang diseret keluar oleh suaminya.Yuda menatap Aruna lekat. "Sayang, sekarang kau tidak marah lagi kan padaku?"Aruna menutup mulut dengan tangan bergetar. Selama ini, Yuda hanya berani memukul atau bertengkar dengan dirinya mau pun orang lain. Ini kali pertama Aruna menyaksikan suaminya membunuh orang, namun dengan ekspresi seolah tak terjadi apa pun."Mas," sebut Aruna dengan air mata sudah keluar, "Tiara masih hidup kan?""Entahlah," sahut Yuda santai."Kita harus membawanya ke rumah--"Ucapan Aruna sepenuhnya terhenti ketika Yuda kembali menyeret kaki Tiara. Sepanjang suaminya melangkah, kepala Tiara mengalirkan darah, membuat tubuh Aruna membeku sehingga terjatuh kei lantai."Mas…Tiara–"Yuda melirik ke bawah. "Ah, sepertinya sudah mati."Netra Aruna terangkat dan menatap punggung suaminya yang menjauhinya. Dia bukan Yuda, Aruna yakin soal itu. Suaminya tak akan mungkin setega itu membunuh, bahkan begitu tenang seolah Tiara bukan manusia.Melihat tubuh Aruna yang bergetar karena menangis, tangan Yuda mencampakkan Tiara begitu saja hanya untuk menghampiri sang istri. "Sayang," sebut Yuda sembari tersenyum.Ketika tangan Yuda hendak menyentuh pundak, Aruna langsung menepis. "Pergi! Kau bukan suamiku!"Wajah Yuda seketika menjadi marah. "Apa maksudmu? Kau sudah tak menganggapku suamimu lagi?!"Aruna tertegun dengan Yuda yang kembali ke kamar Tiara hanya untuk mengambil tongkat golf. "Mas, kau mau apa?""Ah!" jerit Aruna penuh ketakutan.Yuda mendengkus kesal dengan tongkat golf yang hampir saja terayun dan menambah korban. Dia menjatuhkan tongkat tersebut di sisi Aruna yang terduduk lemas. Aruna telah selamat dari kematian yang hampir dibuat oleh suami sendiri.Perbuatan suaminya membuat Aruna menggeser tubuh dengan takut. Namun, apa daya, tangannya tiba-tiba ditarik oleh Yuda."Aku tidak akan menyakitimu Sayang, bukankah sudah aku katakan. Hanya kau wanita yang aku cintai.""Lantas kenapa kau mengayunkannya padaku!" serunya marah sekaligus takut.Tatapan Yuda mengunci Aruna sejenak, kemudian menghela napas. "Aku hanya meminta bantuanmu saja. Lap darahnya dan ayo buang wanita sialan itu."**Aruna yang sejak tadi sudah berada di mobil suaminya hanya diam tak berkutik kala mendengar tiap suara yang Yuda timbulkan di bagasi. Aruna menggigit jarinya. Ini tidak benar, ini adalah pembunuhan.Perlahan Aruna turun dari mobil, berusaha berjalan tanpa suara menuju kendaraannya sendiri. Tepat saat tubuh Aruna memasuki mobil, dan berusaha menghidupkan mesin, kepala Yuda langsung menoleh dengan tangan menutup bagasi."Sayang, kau mau ke mana? Turun. Kita gunakan mobil yang sama."Aruna menggelengkan kepalanya dengan keras. "Tidak, Yuda. Yang kau lakukan ini pembunuhan, kau bersalah.""Aku tidak membunuh!" seru Yuda, tangannya terus mengetuk kaca mobil Aruna. Bahkan, ketukan itu kini menjadi gedoran yang kuat.Tepat saat Yuda emosi dan berusaha membuka paksa mobilnya, Aruna memanfaatkan momen tersebut untuk kabur. Hanya ada satu tempat yang ada di pikirannya, yaitu kantor polisi! Dia sudah tak bisa lagi berada di tempat yang sama dengan suaminya yang gila itu."Sialan! Aruna, kembali!”Emosi sudah sepenuhnya menyelimuti Yuda. Pria itu kini mengemudi dengan ugal-ugalan demi bisa mengejar Aruna. Yuda bahkan tak peduli dengan pengendara di sekitar, apalagi kecelakaan yang bakal ditimbulkan.Pria itu mengebut sangat gila dan mengklakson mobil Aruna yang sudah beriringan. Mata Aruna melirik dengan takut. Suaminya seperti kerasukan iblis."Aruna! Berhenti sialan!" seru Yuda membuka kaca mobil, membiarkan angin malam yang menerobos kencang menyapa wajahnya."Berhenti! Atau aku akan membunuhmu!"Tekad Aruna terlalu bulat. Ia ingin suaminya menyesali tindakan yang dilakukan. Membunuh dengan raut santai, bukankah itu sangat berbahaya untuk Aruna ke depannya? Kemarahan yang tak mengandalkan akal sehat itu membuat Yuda membanting setir dengan kasar, hingga mobilnya menghantam mobil sang istri."Aruna!" teriak Yuda, tersadar bahwa perbuatannya justru membuat istrinya hilang kendali. Naas, mobil Aruna kini terguling dengan kencang ke jurang. Yuda hanya bisa meneriakkan nama istrinya. Tubuhnya lemas, merasa bingung dan bersalah karena perhitungannya yang salah.Yuda mulai berlari cepat dan menangis ketika mendapati mobil Aruna yang berhenti berguling. Namun, seolah iblis telah mencampuri pemikiran Yuda. Ketika netra menoleh ke arah bagasi, pria itu langsung menyeringai."Ini salahmu Aruna, ini karma karena kau ingin melaporkan suamimu sendiri."Kini, pria itu justru tak peduli dengan keadaan mengenaskan istrinya. Yuda justru bergegas mengambil jasad pembantunya dan mulai membakar tubuh itu.Seusainya, Yuda bahkan tak menengok ke belakang. Pria gila itu bergegas, khawatir ada warga yang melihat perbuatannya. Namun, Yuda tak pernah sadar, jika tak jauh dari tempat ia meninggalkan Aruna, sebuah mobil hitam terparkir dengan sembunyi.Di dalamnya, duduk seorang pria dibalut setelan jas hitam legam. Setelah melihat Yuda kabur, pria itu turun dari mobilnya dan menyaksikan mobil yang terguling serta perempuan yang terbaring lemah di sampingnya.Dengan penuh kehati-hatian, pria itu mengangkat tubuh ramping Aruna dan menggendongnya. Pria itu menoleh ke arah bawahannya, dagunya bergerak menunjuk kekacauan di dekatnya. "Buang mobil ini beserta barang-barang yang ada di dalamnya. Buat seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.”Malam yang kehilangan kegelapan itu, mulai dihuni oleh suara letup santai yang ditimbulkan oleh terbakarnya mayat. Sedang suara menggelegar terdengar dari mobil yang meledak. Membuat diameter api membara dan memakan seluruh yang terlihat. "Pergi sekarang."Hanya dua kata terlontar oleh bibir tebal itu. Sopir langsung tancap gas meninggalkan tempat yang mungkin akan menjadi arang pada waktu fajar memunculkan diri. Jari-jemari tersebut mengusap lembut, tak peduli dengan darah yang mengikis warna kulit."Lebih cepat.""Baik Tuan Erland," sahut sopir langsung menambah kecepatan.Mulut membisu dengan netra membingkai Aruna yang berada dalam dekap pelukan. Menurut Erland kemiripan ini bukan sebuah kebetulan. Justru bak pinang dibelah dua."Istriku, Irene," sebut Erland dengan tangan meraih sejumput rambut Aruna dan hidung bangir tersebut mulai menghirup.Gigi terdengar saling beradu. "Sial, harusnya aroma sampo menyeruak."Mata sopir melirik sekilas. Jelas tahu alasan sang tuan terlihat ma
Erland? Nama yang cukup asing. Sekali pun pria dengan profesi dokter tadi pernah menyebutnya. Namun, sikap waspada Aruna mulai hilang. Meski tak merasa nyaman dengan tangan yang digenggam oleh sosok pria bernama Erland."Suami?" Mata Aruna melirik Erland sejenak.Sosok yang begitu tampan hingga terasa betah memandang lama. Tapi, anehnya. Pria ini sama sekali tak ada dalam ingatan Aruna. Bahkan, seolah tak pernah ada dalam kehidupannya.Bibir Erland mengulas senyum. "Benar Sayang. Aku suamimu."Aruna menarik napas. "Ini pasti lelucon."Ekspresi Erland berubah sejak saat itu. Wajah yang menegas, namun mencoba untuk bersikap ramah. Semua itu demi bisa meyakinkan bahwa sosok Aruna adalah Irene."Aku punya bukti kalau kita suami istri." Tangan Erland merogoh kantung dan membuka dompet yang terlipat."Lihatlah Irene-ku, Sayang."Mata Aruna membingkai foto yang diletakkan di tempat terpisah. Mustahil! Wajahnya ada di sana memakai gaun pengantin bersama pria ini. Sosok yang mengaku bernama Er
Belum sempat Aruna mendebat. Bibirnya langsung disesap oleh Erland, membuat tangan Aruna langsung mendorong tubuh pria ini. Namun, Erland menyudutkan dirinya hingga membentur dinding.Ciuman Erland begitu menggebu, sedang tangan merambat di pinggangnya. Berusaha memasuki cela bajunya. Ingin Aruna menampar kembali, namun sorot mata Erland bagai elang. Hingga berhasil mencengkram tangan Aruna."Apa yang kau lakukan!" serunya marah.Erland tersenyum meski mendapat bentakan. Reaksi Aruna benar-benar sesuai ekspetasi. Apalagi mata yang melotot, membuat Erland mengusap wajahnya. Tapi dengan kasar Aruna menepis."Apa kau tidak mendengar ucapanku? Telingamu tuli?" ocehnya.Lagi, pria ini malah tersenyum. Kemudian menyenderkan kepala pada dadanya, membuat Aruna tertegun. Napas Erland sedikit menembus hingga kulit dada terasa hangat."Aku sangat merindukanmu Sayang," gumam Erland sangat pelan, bahkan tak sampai ke telinga Aruna."Kau sedang apa? Menyingkir dariku," tegasnya.Perlahan Erland men
Erland benar-benar memejamkan mata. Bahkan napas yang menerpa puncak kepalanya terasa lebih halus dan damai. Aruna mencari kesempatan untuk lolos, namun pelukan Erland tak mampu ia singkirkan."Kau sungguh tidur? Nyaman dengan posisi membuat aku terjepit begini?" komennya.Terdengar sedikit tawa dari Erland. "Sudahlah Sayang, ayo kita tidur."Aruna menghela napas. Bobot tubuh Erland hampir separuhnya diberikan padanya dan terasa sangat berat. Aruna menjadi kesal dan berbalik, berniat memukul namun melihat wajah damai pria ini. Membuat niatan Aruna sirna sudah.Jantung yang terdengar melambat merajai malam sunyi. Namun, ada suara denyut yang lebih kencang di hadapannya. Mata Aruna fokus menatap dada Erland, selaku sumber suara itu."Sepertinya kau sungguh mencintai aku ya?" tanyanya.Erland menunduk sejenak untuk mengecup keningnya, kemudian menyahut dengan lembut, "sangat.""Bahkan jika harus mencarimu di tengah samudra, aku rela menghabiskan seluruh harta untuk mengarunginya," lanjut
Mulut pembantu sampai berteriak sedang netra Aruna mengecap gila pada Yuda yang baru saja berdiri di hadapan taksi. Sopir taksi begitu cekatan menginjak rem hingga tak sempat terjadi kecelakaan, meski sopir ini menunjukkan ekspresi kaget."Apa kau bosan hidup!" seru sopir taksi terlihat kesal.Yuda menunjukkan tangan, meminta kesempatan untuk bicara. Sopir taksi mendengkus kesal, tapi sedikit menepi. Pembantunya langsung menghalangi Yuda yang membuka pintu dan melongok ke dalam."Aruna," sebut Yuda menunjukkan raut seolah menemukan mainan lama.Pembantunya menjadi marah. "Siapa yang kau sebut Aruna! Lalu kenapa kau tidak sopan--"Kepala Aruna menoleh dan netra membingkai tangan Yuda yang membungkam mulut pembantunya. Kemudian menarik paksa tangan Aruna hingga keluar dari taksi."Kau gila!" serunya sembari berusaha memberontak.Yuda mendorong tubuhnya hingga membentur pintu taksi. Akses keluar yang tertutup, membuat pembantu geram. Lantas memutuskan untuk keluar dari sisi lain demi bis
"Apa yang kalian lakukan sialan!"Sepanjang berlari keluar cafe. Yuda memaki dan berteriak, membuat Daffa menoleh. Mata Yuda menangkap sosok sekretaris dari Erland yang terang-terangan memerintah beberapa orang berhenti merusak mobil."Ada apa ini? Kenapa Anda merusak mobil saya?" Yuda bertanya dengan mata nyalang.Kepala Daffa menoleh, menatap Yuda begitu santai. Lantas menunjuk mobil warna hitam di depan kendaraan Yuda dengan tatapan."Tuan Erland tak suka ada kendaraan yang menghalangi."Tangan Yuda mengepal marah. "Apa Anda bercanda? Di mana-mana parkir selalu ada yang terdepan dan belakang!""Benarkah? Kalau begitu jadikan ini sebagai pelajaran. Tuan Erland tidak suka ada mobil lain yang parkir di dekatnya, termasuk dari segala sisi."Tatapan Yuda mengikuti Daffa yang memasuki cafe dengan penuh amarah. Namun, ada hal yang perlu Yuda pertimbangkan untuk menyerang. Pria itu jelas membutuhkan pekerjaan yang sekarang untuk menyambung hidup. Membuat masalah dengan sekretaris serta Er
Sempat tertegun sejenak. Tapi, Erland yang sangat harus menyangkal, langsung mengulas senyum. Kemudian mencampakkan pekerjaan dan beranjak dari meja kerja."Tentu saja ada, itu pun jika kau yang meninggalkan kamar dari balkon atau jendela," sahut Erland.Aruna menarik napas. "Aku tidak sebodoh itu. Rumah disediakan pintu tentunya untuk keluar, lantas kenapa aku harus membahayakan diri sendiri."Erland tersenyum. "Benar, kau sangat pintar hingga aku tak perlu cemas."Mata Aruna membingkai tubuh Erland yang mendekati bar kecil, hanya terpisahkan oleh sekat dinding saja. Semakin melihat seluruh kamar, Aruna meyakini sesuatu. Bahwa ini adalah kamar yang suram.Erland berjalan mendekatinya dengan secangkir gelas berisi air putih. Menduduki sofa yang sama, namun sedikit memberi jarak. Selagi meneguk habis minuman, mata Erland tak berhenti menatapnya.Seolah sedang menilai. Bahwa tak akan ada Irene kedua yang rela menjatuhkan diri dari balkon kamar ini. Hanya demi sebuah kebebasan yang tak p
Mentari pagi itu nampak malu-malu mencuri pandang melalui jendela. Berbeda dengan Erland yang begitu antusias, memenjarakan sosok Aruna dalam retina mata. Apalagi kegiatan dirinya adalah berganti pakaian.Wanita yang sewaktu di rumah sakit begitu marah ketika dicium. Pagi tersebut sangat santai, meski diintip secara terang-terangan."Bukankah kau sedang bersiap ke kantor?" singgung Aruna sembari menoleh ke belakang.Erland tertawa sinis, lantas tangan melepas dasi yang belum terbentuk sempurna. Lantas, kaki Erland mendekati Aruna dengan santai. Merengkuh tubuh juga terobsesi menghirup lehernya."Aku berubah pikiran," ujar Erland."Soal apa?" Aruna menyelesaikan mengancing kemeja.Mata Erland membingkai cermin. Benda itu memantulkan sosok Aruna yang dibalut pakaian milik Erland. Terlihat oversize, namun tak membuat sang istri terlihat aneh."Bisakah pakai celana saja?" Dan Erland mulai menego penampilan Aruna.Wajah Aruna mulai terlihat kesal. "Kau kira aku anak remaja? Aku wanita mode
Tubuh Erland langsung membeku di tengah anak tangga saat mendengar ucapan dari Fira. Jantung Erland juga berdetak sangat kencang, mata saling pandangan dengan sang putri."Siapa yang beri tahu Fira hal konyol itu?"Fira diam sejenak, membaca ekspresi wajah Erland yang kali ini nampak marah. Perlahan pandangan Fira turun dan hanya berani menatap pundak Erland. "Semua orang membicarakannya pelan-pelan di sekitar Fira. Tapi, Fira mengerti maksud mereka."Erland menghela napas. "Itu hanya omong kosong Sayang. Kenapa Fira percaya? Fira kan anak papa."Tangan Fira meremas pundak Erland. "Papa jangan berusaha berbohong, aku sudah tahu semuanya kok.""Tapi, Papa janji ya. Jangan bilang kalau Fira tahu pada mama. Nanti mama bakal sedih."Erland memilih mengangguk. Ternyata dia tidak bisa menyembunyikan fakta dari anak sekecil Fira. Anak ini mengerti apa yang orang lain katakan, namun malah diam dan memendam semuanya sendiri."Tapi Fira tahu kan, kalau papa sayangnya beneran sama Fira. Mengang
Aruna mengawasi Erland yang membersihkan sisa kotoran yang menempel pada putranya. Kemudian mengganti popok. "Kabar Mitha gimana, Mas? Kamu sudah dengar belum," singgungnya.Kabarnya Mitha juga melahirkan di hari yang sama. Namun, Aruna ingin tahu lahirnya anak kembar seperti apa."Kata Daffa sudah lahir, anak laki-laki semua.""Lahir normal?" tanyanya.Kepala Erland menggeleng. "Caesar katanya."Mendengar hal itu, Aruna langsung meringis sembari menyentuh perutnya. Erland yang melihatnya, menggenggam tangan Aruna."Mikirin apa sih? Kamu kan lahirannya normal.""Ya tapi ngeri gitu, Mas," sahutnya.Erland memandangnya lama. "Jarang yang bisa lahir normal saat mengandung kembar. Zaman sekarang lebih merekomendasikan caesar."Memikirkannya, Aruna langsung menjawab, "kalau begitu aku tidak mau punya anak kembar."Erland ingin mengusap kepalanya. Namun, langsung Aruna genggam lengan suaminya. Erland sempat menunjukkan raut terheran, setelah mengingat tangan ini yang digunakan membersihkan
Aruna tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Benar, Fira pasti senang."Erland ikut tersenyum. "Iya Sayang."Aruna memandang Erland yang begitu betah memandang sang putra. Bibirnya tanpa sadar terus saja tersenyum karena pada akhirnya bisa melahirkan anak dari suami yang dirinya cintai.Bahkan ketika malamnya tiba. Aruna yang sibuk tidur, Erland tetap terjaga dan menjaga sang putra yang sangat lelap tidur di ranjang kecil. Bibir Erland tak pernah berhenti tersenyum, karena melihat fotokopi diri sendiri pada wajah sang putra."Tuan."Erland menoleh dan mendapati Sonya yang membawa tas, bersiap untuk pulang."Oh kamu sudah mau pulang," singgung Erland."Iya Tuan. Saya akan kembali pagi nanti."Erland berpikir sejenak, kemudian menyahut, "besok kamu di rumah saja, istirahat. Terima kasih karena sudah membantu menjaga Aruna."Meski Sonya sempat terkejut karena Erland baru saja mengucap terima kasih. Namun, Sonya langsung tersenyum dan mengangguk."Kembali kasih, Tuan."Erland kembali meman
Beberapa bulan telah berlalu. Kandungan Aruna sudah mencapai sembilan bulan dan sejak kemarin mulas, menunjukkan tanda melahirkan.Erland langsung membawa Aruna ke rumah sakit. Namun, sampai paginya lagi, Aruna tak kunjung pembukaan. Erland yang melihat Aruna kerap mengadu kesakitan karena kontraksi, membuat Erland bicara pada Sonya."Menurutmu, bukankah ini karmaku? Makanya Aruna kesulitan melahirkan begini," singgung Erland."Tuan, tidak boleh bicara seperti itu. Semua wanita yang melahirkan berbeda-beda, ada yang cepat ada juga yang lumayan lama," sahut Sonya."Sewaktu melahirkan nona Fira, Nyonya seperti ini juga."Erland yang semula memandang ke arah Aruna sedang tidur, langsung menoleh pada Sonya saat mendengar perkataan itu. Erland yang tidak memiliki ingatan soal itu langsung bertanya."Benarkah?"Sonya mengangguk. "Benar sekali Tuan. Makanya Nyonya sekarang nampak biasa saja, meski terkadang mengeluh sakit. Karena sebelumnya juga seperti ini."Erland langsung meraih tangan Ar
Erland mengerutkan dahi. "Anak kembar?""Iya."Mendadak Erland tersenyum. "Gimana mau anak kembar, kamu sudah hamil begini. Harus lahir dulu Sayang, baru bikin anak kembar lagi."Mendengarnya, Aruna jadi membuka matanya lebih lebar dan memandang ke arah Erland. Suaminya masih tersenyum, kemudian mengusap wajahnya."Memangnya siap melahirkan lagi? Yang lagi di kandung saja belum lahir," ujar Erland.Aruna langsung menggeleng. "Iya, harus lahirin dulu yang lagi dikandung."Erland mengangguk dan mengusap kepalanya. "Nah iya, habis lahiran. Kita baru pikirkan lagi ya soal anak kembar."Aruna memainkan kancing baju suaminya. "Tapi kata ayahku, katanya anak kembar merepotkan."Erland menumpu kepala dengan tangan. Mata memandangnya sangat lekat, sampai Aruna membalas."Kenapa merepotkan? Kan anak sendiri. Aku malah senang banyak anak, rumah akan ramai dan aku juga bakal bantu merawat anak-anak.""Kalau disuruh jaga anak, paling nanti kamu tidur," ujarnya."Tidak akan, aku jamin."Aruna kemba
Erland benar-benar membawa Aruna ke rumah sakit pada siang harinya. Tentunya untuk memeriksakan kandungan sang istri. Tepat seperti yang dokter katakan, usia kandungannya memasuki 6 minggu. Aruna dan Erland diminta oleh dokter untuk jangan berhubungan dulu, sebelum melewati trimester pertama.Aruna yang memang sudah pernah hamil, tahu masalah larangan itu. Bahkan Erland pun terlihat mengerti, jadi tidak berkomentar apa pun."Jadi, apakah istri dan anakku ini ingin makan sesuatu?"Begitu keluar dari ruangan dokter kandungan, Erland menawarkan. Tangan saling bergandengan dengan Aruna. Erland sampai melirik karena menantikan jawaban dari istri."Aku mau waffle," ujarnya."Hm, biasanya beli di mana?""Aku tidak tahu. Tapi, harusnya ada cafe atau resto yang jual kan."Erland mengangguk. "Nanti aku cari infonya di ponsel ya."Mereka berdua tetap berjalan bersama dan memutuskan untuk menjemput Fira di sekolah. Kebetulan putrinya pasti sudah pulang. Sepanjang mengemudi, Aruna bergelayut man
Aruna menemui putrinya yang ada di rumah Faisal. Mungkin selama seminggu ini, akan tetap di sana sampai Aruna dan Erland pulang ke rumah. "Fira sedang tidur siang," ujar Faisal memberi tahunya.Aruna mengangguk. "Begitu ya sudah.""Kamu tidak akan pergi lagi kan?""Mungkin sore akan ke sana lagi dan malamnya ke sini untuk menemani Fira tidur, Yah."Faisal menghela napas. "Sewaktu masih hidup, saling bermusuhan. Giliran sudah mati, malah begitu betah di sana."Aruna memandang ayahnya. "Jangan bicara begitu, Yah. Bagaimana pun Erland kan anaknya, kalau bukan Erland siapa yang mengurusi."Mendengar ucapannya, Faisal langsung mengangguk. "Iya, iya. Ayah hanya kesal dengan Erland dan ayahnya yang sering bertengkar itu."Aruna duduk di sofa dan menarik napas. "Bagaimana pun, anak tetaplah anak. Ditinggal ayahnya tentu saja sedih.""Kamu juga begitu memangnya?"Dahi Aruna langsung mengerut. "Ayah mau menyusul? Semua keluarga ingin Ayah panjang umur kok."Faisal langsung tersenyum, kemudian
Aruna berkeliling di rumah ayah mertuanya. Tempat Erland dahulu dibesarkan. Kemudian dirinya bertemu dengan ibu tiri dari suaminya. Aruna ingin menghindar, namun tangannya dicekal."Kamu merasa bangga ya, bisa keluar masuk rumah ini."Aruna memandang lekat. "Bangga?""Kenapa harus berbangga diri, aku menantu di rumah ini," lanjutnya.Ibu tiri Erland menyeringai. "Kamu hanya menantu yang tidak diakui.""Aku juga tidak ingin diakui oleh Anda."Kemudian Aruna menarik paksa tangannya dari ibu mertuanya. Hendak wanita ini main tangan, namun mendadak terhenti setelah ada langkah terdengar di belakang tubuhnya. Aruna langsung berbalik dan menemukan Erland berjalan mendekat dengan mata melotot tajam. Fira berlari di belakang suaminya sembari tertawa senang. Namun saat melihat ibu tiri Erland, Fira mendadak bersembunyi di belakangnya."Ayo aku antar ke kamar untuk istirahat," ujar Erland langsung menggiring Aruna dan Fira.Wanita itu mengepalkan tangan dengan wajah menunjukkan raut emosi. Nam
Aruna yang sedang memakaikan seragam sekolah pada putrinya, sesekali melirik jam. Karena suaminya tak kunjung pulang juga. Fira pun sampai bertanya karena melihat dirinya yang tak fokus."Mama menunggu papa ya?"Bibirnya langsung tersenyum. "Iya, Sayang. Mama nungguin papa, katanya pulang untuk ganti baju."Tepat saat itu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah membuat mata Fira berbinar. Kemudian berlari darinya yang hendak memakaikan dasi. Aruna sendiri tersenyum dan mengikuti putrinya keluar.Namun, baru juga Aruna selesai menuruni anak tangga. Fira kembali berlari ke arahnya dengan raut ceria."Kata Papa hari ini tidak sekolah.""Eh? Kan bukan hari libur, mama juga tidak mendapat info apa pun dari sekolah." Aruna jelas bingung.Kemudian, Erland berjalan mendekat dan menyahut, "papa minta bertemu."Aruna memandang suaminya semakin tidak mengerti. "Dan kamu menyetujuinya?"Erland berjalan semakin dekat dan berhadapan dengannya. Kemudian meraih tangannya, karena Erland sangat