Malam yang kehilangan kegelapan itu, mulai dihuni oleh suara letup santai yang ditimbulkan oleh terbakarnya mayat. Sedang suara menggelegar terdengar dari mobil yang meledak. Membuat diameter api membara dan memakan seluruh yang terlihat.
"Pergi sekarang."Hanya dua kata terlontar oleh bibir tebal itu. Sopir langsung tancap gas meninggalkan tempat yang mungkin akan menjadi arang pada waktu fajar memunculkan diri. Jari-jemari tersebut mengusap lembut, tak peduli dengan darah yang mengikis warna kulit."Lebih cepat.""Baik Tuan Erland," sahut sopir langsung menambah kecepatan.Mulut membisu dengan netra membingkai Aruna yang berada dalam dekap pelukan. Menurut Erland kemiripan ini bukan sebuah kebetulan. Justru bak pinang dibelah dua."Istriku, Irene," sebut Erland dengan tangan meraih sejumput rambut Aruna dan hidung bangir tersebut mulai menghirup.Gigi terdengar saling beradu. "Sial, harusnya aroma sampo menyeruak."Mata sopir melirik sekilas. Jelas tahu alasan sang tuan terlihat marah. Selain tubuh penuh luka serta goresan kecil, kepala adalah bagian yang paling parah. Darah telah menemukan jalan keluar hingga tak berhenti mengalir."Menyetir yang benar!" seruan dari Erland membuat pria tersebut tertegun sejenak."Maaf Tuan."Sekitar 5 menit perjalanan ke klinik terdekat guna menghentikan pendarahan sementara. Erland melanjutkan dengan menempuh waktu 25 menit untuk sampai di rumah sakit terdekat. Sosok yang selalu berjalan penuh wibawa, hari itu berlari seperti orang kesetanan dengan pakaian berlumur darah."Dokter!" Bahkan mulut yang biasa menyindir telak dengan tenang, sekarang dilanda kegundahan.Tergesa Erland merebahkan Aruna di atas brankar rumah sakit yang keras itu. Tubuh telah siap melangkah, namun perawat langsung mencegat. Ekspresi Erland begitu ingin membunuh."Maaf Pak, tetap di sini dan tunggu kabar dari dokter." Itu perkataan terakhir, karena akses masuk sudah terblokir bagi Erland setelah pintu ditutup."Aku sangat ingin menghancurkan pintu sialan ini," gerutu Erland meninju dinding rumah sakit.Perasaan resah itu sama sekali tak bisa dibagi. Erland hanya bisa duduk tak berdaya di atas kursi tunggu. Helaan napas kasar terdengar dan merajai lorong gawat darurat yang senyap.Sangat tak sabar Erland menunggu, selama 15 menit tak ada kabar apa pun. Hingga pintu terbuka dan terlihat dokter yang menangani keluar. Mata saling membingkai satu sama lain."Bagaimana keadaan Irene?" tanya Erland seolah bisa kehilangan segalanya, jika tak segera mendengar kondisi terbaru dari Aruna."Kondisi ibu Irene tidak serius, setelah ini bisa langsung dipindah ke ruang perawatan."Seorang perawat mendekat. "Pak, mari ikut saya untuk urus administrasinya."Namun, kaki Erland seperti dipaku di sana. Pandangan menjadi lebih serius ketika tertunduk sejenak dan memenjarakan sang dokter. Dia memiliki keyakinan untuk mengutarakan pendapat."Kepalanya terluka parah, kau yakin Irene baik-baik saja?""Untuk saat ini baik-baik saja. Setelah tersadar kita akan tahu apakah ada risiko kehilangan ingatan."Perkataan itu seperti sebuah ide brilian bagi Erland. "Lupa ingatan? Bisakah itu terjadi?""Bisa saja Pak. Tapi bisa juga ingatan baik-baik saja."Bibir Erland sedikit terangkat dan menyeringai. "Jika baik-baik saja, maka rusak otak yang digunakan untuk ingatan."Dokter tersebut tertegun. "Ya? Apa maksud Anda, Pak?"Tangan Erland meraih kerah baju sang dokter dan berakhir dengan mencengkram. "Rusak ingatannya jika dia baik-baik saja."Mata dokter melirik ke arah perawat yang memandang ngeri. Bahkan wanita tersebut terlihat sangat ingin melaporkan Erland pada satpam. Erland menarik napas dan melepaskan dokter begitu berhasil mengendalikan diri."Jika rumah sakit kecil ini, masih punya keberanian untuk menentangku, maka bersiaplah rata dengan tanah," ancam Erland dengan raut dingin."Tuan."Seorang pria mendekat setelah berlari sedikit lebih lama. Dan berakhir dengan meraup napas rakus. Demi bisa berdiri di hadapan Erland yang disebut tuan."Siapkan perjalanan kembali ke Jakarta, serta ...."Mata Erland menyorot serius. "Panggilkan penghulu secepatnya.""Penghulu?""Lalu, hapus seluruh tanda di tubuhnya jika ada, tambahkan tanda yang Irene miliki. Aku sudah menuliskan detailnya."***Bulu-bulu lentik yang menghuni kelopak mata mulai bergerak. Semakin lama melihat, terasa kepala seperti dipukul keras. Terdengar suara kursi yang digeser dengan kasar, kepala Aruna menoleh."Dokter!"Seorang pria tampan berlari panik memanggil dokter, namun pada akhirnya terusir oleh mereka. Aruna menyentuh kepalanya, tertegun sejenak karena merasakan kain halus melilit. Aruna yakin keberadaan di rumah sakit dengan ditangani dokter, artinya ia terluka."Irene, bagaimana keadaanmu? Apa kepalamu masih sakit?" Dokter ini bertanya padanya.Kepala Aruna mengangguk. Entah mengapa ia merasa asing dengan kata Irene, tapi mulut pria ini menyebut sekaligus menatap padanya. Bisa disimpulkan kalau Irene itu adalah dirinya."Apa nama saya Irene?"Dokter terlihat tertegun kemudian menoleh, bibir berusaha mengulas senyum. "Tentu saja. Jangan bercanda seperti ini, Erland sudah takut melihatmu tak sadarkan diri.""Erland? Siapa dia?" Aruna merasa sangat asing.Bibir dokter ini kembali tersenyum. "Biarkan dia sendiri yang mengatakan siapa dirinya. Kalau begitu panggil aku jika masih ada rasa tak nyaman pada tubuhmu."Pria itu mulai meninggalkan kamar rawat dengan senyum ramah. Namun, setelah pintu sepenuhnya tertutup. Serta mata saling bertukar dengan Erland, ekspresi pria tersebut menjadi panik."Di mana kau temukan wanita yang mirip Irene?" bisik sang dokter masih tak percaya.Erland menyeringai. "Dia memang Irene, jadi jangan terlihat mencurigakan di hadapannya. Lalu soal merusak ingatan--""Dia sudah lupa ingatan."Erland tertegun sejenak, namun bibir tersenyum sinis. Seolah dia telah mendapat berlian paling langka di dunia. Segera dia memasuki ruang rawat setelah mengubah ekspresi menjadi sendu."Irene, akhirnya kau tersadar." Suara yang bergetar tersebut terdengar.Mata Aruna mengerjap kaget, ketika dahi telah disapu oleh bibir yang mengecup. Tubuh Aruna beringsut karena tak nyaman. Siapa pria ini! Datang-datang langsung bertindak tak sopan."Ada apa Irene?"Jika diperhatikan sekali lagi. Pria yang hampir meneteskan air mata ini, sekujur tubuh dipenuhi luka. Sedang Erland mengikuti arah pandangan Aruna. Merasa puas melompat langsung dari mobil yang masih dikemudian oleh sopir. Luka yang tercipta benar-benar memuaskan."Anda siapa?" Pertanyaan ini lolos dari mulutnya dengan menepis tangan yang hendak mengusap wajahnya."Sayang, kau sungguh tidak mengingatku? Harusnya saat itu aku mengemudi perlahan." Erland terlihat sangat menyesal di mata Aruna."Apa maksudmu memanggil saya akrab begitu?" Aruna masih ingin tahu."Aku Erland, kau tidak ingat? Aku suamimu.”Erland? Nama yang cukup asing. Sekali pun pria dengan profesi dokter tadi pernah menyebutnya. Namun, sikap waspada Aruna mulai hilang. Meski tak merasa nyaman dengan tangan yang digenggam oleh sosok pria bernama Erland."Suami?" Mata Aruna melirik Erland sejenak.Sosok yang begitu tampan hingga terasa betah memandang lama. Tapi, anehnya. Pria ini sama sekali tak ada dalam ingatan Aruna. Bahkan, seolah tak pernah ada dalam kehidupannya.Bibir Erland mengulas senyum. "Benar Sayang. Aku suamimu."Aruna menarik napas. "Ini pasti lelucon."Ekspresi Erland berubah sejak saat itu. Wajah yang menegas, namun mencoba untuk bersikap ramah. Semua itu demi bisa meyakinkan bahwa sosok Aruna adalah Irene."Aku punya bukti kalau kita suami istri." Tangan Erland merogoh kantung dan membuka dompet yang terlipat."Lihatlah Irene-ku, Sayang."Mata Aruna membingkai foto yang diletakkan di tempat terpisah. Mustahil! Wajahnya ada di sana memakai gaun pengantin bersama pria ini. Sosok yang mengaku bernama Er
Belum sempat Aruna mendebat. Bibirnya langsung disesap oleh Erland, membuat tangan Aruna langsung mendorong tubuh pria ini. Namun, Erland menyudutkan dirinya hingga membentur dinding.Ciuman Erland begitu menggebu, sedang tangan merambat di pinggangnya. Berusaha memasuki cela bajunya. Ingin Aruna menampar kembali, namun sorot mata Erland bagai elang. Hingga berhasil mencengkram tangan Aruna."Apa yang kau lakukan!" serunya marah.Erland tersenyum meski mendapat bentakan. Reaksi Aruna benar-benar sesuai ekspetasi. Apalagi mata yang melotot, membuat Erland mengusap wajahnya. Tapi dengan kasar Aruna menepis."Apa kau tidak mendengar ucapanku? Telingamu tuli?" ocehnya.Lagi, pria ini malah tersenyum. Kemudian menyenderkan kepala pada dadanya, membuat Aruna tertegun. Napas Erland sedikit menembus hingga kulit dada terasa hangat."Aku sangat merindukanmu Sayang," gumam Erland sangat pelan, bahkan tak sampai ke telinga Aruna."Kau sedang apa? Menyingkir dariku," tegasnya.Perlahan Erland men
Erland benar-benar memejamkan mata. Bahkan napas yang menerpa puncak kepalanya terasa lebih halus dan damai. Aruna mencari kesempatan untuk lolos, namun pelukan Erland tak mampu ia singkirkan."Kau sungguh tidur? Nyaman dengan posisi membuat aku terjepit begini?" komennya.Terdengar sedikit tawa dari Erland. "Sudahlah Sayang, ayo kita tidur."Aruna menghela napas. Bobot tubuh Erland hampir separuhnya diberikan padanya dan terasa sangat berat. Aruna menjadi kesal dan berbalik, berniat memukul namun melihat wajah damai pria ini. Membuat niatan Aruna sirna sudah.Jantung yang terdengar melambat merajai malam sunyi. Namun, ada suara denyut yang lebih kencang di hadapannya. Mata Aruna fokus menatap dada Erland, selaku sumber suara itu."Sepertinya kau sungguh mencintai aku ya?" tanyanya.Erland menunduk sejenak untuk mengecup keningnya, kemudian menyahut dengan lembut, "sangat.""Bahkan jika harus mencarimu di tengah samudra, aku rela menghabiskan seluruh harta untuk mengarunginya," lanjut
Mulut pembantu sampai berteriak sedang netra Aruna mengecap gila pada Yuda yang baru saja berdiri di hadapan taksi. Sopir taksi begitu cekatan menginjak rem hingga tak sempat terjadi kecelakaan, meski sopir ini menunjukkan ekspresi kaget."Apa kau bosan hidup!" seru sopir taksi terlihat kesal.Yuda menunjukkan tangan, meminta kesempatan untuk bicara. Sopir taksi mendengkus kesal, tapi sedikit menepi. Pembantunya langsung menghalangi Yuda yang membuka pintu dan melongok ke dalam."Aruna," sebut Yuda menunjukkan raut seolah menemukan mainan lama.Pembantunya menjadi marah. "Siapa yang kau sebut Aruna! Lalu kenapa kau tidak sopan--"Kepala Aruna menoleh dan netra membingkai tangan Yuda yang membungkam mulut pembantunya. Kemudian menarik paksa tangan Aruna hingga keluar dari taksi."Kau gila!" serunya sembari berusaha memberontak.Yuda mendorong tubuhnya hingga membentur pintu taksi. Akses keluar yang tertutup, membuat pembantu geram. Lantas memutuskan untuk keluar dari sisi lain demi bis
"Apa yang kalian lakukan sialan!"Sepanjang berlari keluar cafe. Yuda memaki dan berteriak, membuat Daffa menoleh. Mata Yuda menangkap sosok sekretaris dari Erland yang terang-terangan memerintah beberapa orang berhenti merusak mobil."Ada apa ini? Kenapa Anda merusak mobil saya?" Yuda bertanya dengan mata nyalang.Kepala Daffa menoleh, menatap Yuda begitu santai. Lantas menunjuk mobil warna hitam di depan kendaraan Yuda dengan tatapan."Tuan Erland tak suka ada kendaraan yang menghalangi."Tangan Yuda mengepal marah. "Apa Anda bercanda? Di mana-mana parkir selalu ada yang terdepan dan belakang!""Benarkah? Kalau begitu jadikan ini sebagai pelajaran. Tuan Erland tidak suka ada mobil lain yang parkir di dekatnya, termasuk dari segala sisi."Tatapan Yuda mengikuti Daffa yang memasuki cafe dengan penuh amarah. Namun, ada hal yang perlu Yuda pertimbangkan untuk menyerang. Pria itu jelas membutuhkan pekerjaan yang sekarang untuk menyambung hidup. Membuat masalah dengan sekretaris serta Er
Sempat tertegun sejenak. Tapi, Erland yang sangat harus menyangkal, langsung mengulas senyum. Kemudian mencampakkan pekerjaan dan beranjak dari meja kerja."Tentu saja ada, itu pun jika kau yang meninggalkan kamar dari balkon atau jendela," sahut Erland.Aruna menarik napas. "Aku tidak sebodoh itu. Rumah disediakan pintu tentunya untuk keluar, lantas kenapa aku harus membahayakan diri sendiri."Erland tersenyum. "Benar, kau sangat pintar hingga aku tak perlu cemas."Mata Aruna membingkai tubuh Erland yang mendekati bar kecil, hanya terpisahkan oleh sekat dinding saja. Semakin melihat seluruh kamar, Aruna meyakini sesuatu. Bahwa ini adalah kamar yang suram.Erland berjalan mendekatinya dengan secangkir gelas berisi air putih. Menduduki sofa yang sama, namun sedikit memberi jarak. Selagi meneguk habis minuman, mata Erland tak berhenti menatapnya.Seolah sedang menilai. Bahwa tak akan ada Irene kedua yang rela menjatuhkan diri dari balkon kamar ini. Hanya demi sebuah kebebasan yang tak p
Mentari pagi itu nampak malu-malu mencuri pandang melalui jendela. Berbeda dengan Erland yang begitu antusias, memenjarakan sosok Aruna dalam retina mata. Apalagi kegiatan dirinya adalah berganti pakaian.Wanita yang sewaktu di rumah sakit begitu marah ketika dicium. Pagi tersebut sangat santai, meski diintip secara terang-terangan."Bukankah kau sedang bersiap ke kantor?" singgung Aruna sembari menoleh ke belakang.Erland tertawa sinis, lantas tangan melepas dasi yang belum terbentuk sempurna. Lantas, kaki Erland mendekati Aruna dengan santai. Merengkuh tubuh juga terobsesi menghirup lehernya."Aku berubah pikiran," ujar Erland."Soal apa?" Aruna menyelesaikan mengancing kemeja.Mata Erland membingkai cermin. Benda itu memantulkan sosok Aruna yang dibalut pakaian milik Erland. Terlihat oversize, namun tak membuat sang istri terlihat aneh."Bisakah pakai celana saja?" Dan Erland mulai menego penampilan Aruna.Wajah Aruna mulai terlihat kesal. "Kau kira aku anak remaja? Aku wanita mode
Erland terlihat menduduki sofa panjang di ruang tamu. Lantas, mengambil secangkir teh yang disandingkan. Mata membingkai sosok ayah mertua yang lebih baik, ketimbang dua bulan setelah kehilangan."Senang rasanya melihat nak Erland akhirnya berkunjung.""Tentu saja, sebagai anak aku harus sering datang," sahut Erland dengan suara santai.Lantas mata Faisal melirik sekeliling, membuat Erland mengikuti. Foto-foto Irene yang tersenyum malu terbingkai di beberapa pelosok dinding rumah. Faisal tersenyum sendu. "Apa di rumah Nak Erland juga, masih terpasang foto-foto Irene?"Kepala Erland mengangguk. "Sosoknya jika boleh aku awetkan pun, akan kulakukan, Ayah."Pria munafik, itu perumpamaan yang Erland berikan pada sang ayah mertua. Pasalnya, pria ini yang paling ngotot melarang Irene jatuh pada tangan Erland. Hanya dengan ancaman, barulah dia mendapatkan sosok Irene.Tapi, pada akhirnya tak bisa memaksa Irene untuk mencintai Erland. Bahkan lebih memilih mengakhiri hidup ketimbang menjalin b
Tubuh Erland langsung membeku di tengah anak tangga saat mendengar ucapan dari Fira. Jantung Erland juga berdetak sangat kencang, mata saling pandangan dengan sang putri."Siapa yang beri tahu Fira hal konyol itu?"Fira diam sejenak, membaca ekspresi wajah Erland yang kali ini nampak marah. Perlahan pandangan Fira turun dan hanya berani menatap pundak Erland. "Semua orang membicarakannya pelan-pelan di sekitar Fira. Tapi, Fira mengerti maksud mereka."Erland menghela napas. "Itu hanya omong kosong Sayang. Kenapa Fira percaya? Fira kan anak papa."Tangan Fira meremas pundak Erland. "Papa jangan berusaha berbohong, aku sudah tahu semuanya kok.""Tapi, Papa janji ya. Jangan bilang kalau Fira tahu pada mama. Nanti mama bakal sedih."Erland memilih mengangguk. Ternyata dia tidak bisa menyembunyikan fakta dari anak sekecil Fira. Anak ini mengerti apa yang orang lain katakan, namun malah diam dan memendam semuanya sendiri."Tapi Fira tahu kan, kalau papa sayangnya beneran sama Fira. Mengang
Aruna mengawasi Erland yang membersihkan sisa kotoran yang menempel pada putranya. Kemudian mengganti popok. "Kabar Mitha gimana, Mas? Kamu sudah dengar belum," singgungnya.Kabarnya Mitha juga melahirkan di hari yang sama. Namun, Aruna ingin tahu lahirnya anak kembar seperti apa."Kata Daffa sudah lahir, anak laki-laki semua.""Lahir normal?" tanyanya.Kepala Erland menggeleng. "Caesar katanya."Mendengar hal itu, Aruna langsung meringis sembari menyentuh perutnya. Erland yang melihatnya, menggenggam tangan Aruna."Mikirin apa sih? Kamu kan lahirannya normal.""Ya tapi ngeri gitu, Mas," sahutnya.Erland memandangnya lama. "Jarang yang bisa lahir normal saat mengandung kembar. Zaman sekarang lebih merekomendasikan caesar."Memikirkannya, Aruna langsung menjawab, "kalau begitu aku tidak mau punya anak kembar."Erland ingin mengusap kepalanya. Namun, langsung Aruna genggam lengan suaminya. Erland sempat menunjukkan raut terheran, setelah mengingat tangan ini yang digunakan membersihkan
Aruna tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Benar, Fira pasti senang."Erland ikut tersenyum. "Iya Sayang."Aruna memandang Erland yang begitu betah memandang sang putra. Bibirnya tanpa sadar terus saja tersenyum karena pada akhirnya bisa melahirkan anak dari suami yang dirinya cintai.Bahkan ketika malamnya tiba. Aruna yang sibuk tidur, Erland tetap terjaga dan menjaga sang putra yang sangat lelap tidur di ranjang kecil. Bibir Erland tak pernah berhenti tersenyum, karena melihat fotokopi diri sendiri pada wajah sang putra."Tuan."Erland menoleh dan mendapati Sonya yang membawa tas, bersiap untuk pulang."Oh kamu sudah mau pulang," singgung Erland."Iya Tuan. Saya akan kembali pagi nanti."Erland berpikir sejenak, kemudian menyahut, "besok kamu di rumah saja, istirahat. Terima kasih karena sudah membantu menjaga Aruna."Meski Sonya sempat terkejut karena Erland baru saja mengucap terima kasih. Namun, Sonya langsung tersenyum dan mengangguk."Kembali kasih, Tuan."Erland kembali meman
Beberapa bulan telah berlalu. Kandungan Aruna sudah mencapai sembilan bulan dan sejak kemarin mulas, menunjukkan tanda melahirkan.Erland langsung membawa Aruna ke rumah sakit. Namun, sampai paginya lagi, Aruna tak kunjung pembukaan. Erland yang melihat Aruna kerap mengadu kesakitan karena kontraksi, membuat Erland bicara pada Sonya."Menurutmu, bukankah ini karmaku? Makanya Aruna kesulitan melahirkan begini," singgung Erland."Tuan, tidak boleh bicara seperti itu. Semua wanita yang melahirkan berbeda-beda, ada yang cepat ada juga yang lumayan lama," sahut Sonya."Sewaktu melahirkan nona Fira, Nyonya seperti ini juga."Erland yang semula memandang ke arah Aruna sedang tidur, langsung menoleh pada Sonya saat mendengar perkataan itu. Erland yang tidak memiliki ingatan soal itu langsung bertanya."Benarkah?"Sonya mengangguk. "Benar sekali Tuan. Makanya Nyonya sekarang nampak biasa saja, meski terkadang mengeluh sakit. Karena sebelumnya juga seperti ini."Erland langsung meraih tangan Ar
Erland mengerutkan dahi. "Anak kembar?""Iya."Mendadak Erland tersenyum. "Gimana mau anak kembar, kamu sudah hamil begini. Harus lahir dulu Sayang, baru bikin anak kembar lagi."Mendengarnya, Aruna jadi membuka matanya lebih lebar dan memandang ke arah Erland. Suaminya masih tersenyum, kemudian mengusap wajahnya."Memangnya siap melahirkan lagi? Yang lagi di kandung saja belum lahir," ujar Erland.Aruna langsung menggeleng. "Iya, harus lahirin dulu yang lagi dikandung."Erland mengangguk dan mengusap kepalanya. "Nah iya, habis lahiran. Kita baru pikirkan lagi ya soal anak kembar."Aruna memainkan kancing baju suaminya. "Tapi kata ayahku, katanya anak kembar merepotkan."Erland menumpu kepala dengan tangan. Mata memandangnya sangat lekat, sampai Aruna membalas."Kenapa merepotkan? Kan anak sendiri. Aku malah senang banyak anak, rumah akan ramai dan aku juga bakal bantu merawat anak-anak.""Kalau disuruh jaga anak, paling nanti kamu tidur," ujarnya."Tidak akan, aku jamin."Aruna kemba
Erland benar-benar membawa Aruna ke rumah sakit pada siang harinya. Tentunya untuk memeriksakan kandungan sang istri. Tepat seperti yang dokter katakan, usia kandungannya memasuki 6 minggu. Aruna dan Erland diminta oleh dokter untuk jangan berhubungan dulu, sebelum melewati trimester pertama.Aruna yang memang sudah pernah hamil, tahu masalah larangan itu. Bahkan Erland pun terlihat mengerti, jadi tidak berkomentar apa pun."Jadi, apakah istri dan anakku ini ingin makan sesuatu?"Begitu keluar dari ruangan dokter kandungan, Erland menawarkan. Tangan saling bergandengan dengan Aruna. Erland sampai melirik karena menantikan jawaban dari istri."Aku mau waffle," ujarnya."Hm, biasanya beli di mana?""Aku tidak tahu. Tapi, harusnya ada cafe atau resto yang jual kan."Erland mengangguk. "Nanti aku cari infonya di ponsel ya."Mereka berdua tetap berjalan bersama dan memutuskan untuk menjemput Fira di sekolah. Kebetulan putrinya pasti sudah pulang. Sepanjang mengemudi, Aruna bergelayut man
Aruna menemui putrinya yang ada di rumah Faisal. Mungkin selama seminggu ini, akan tetap di sana sampai Aruna dan Erland pulang ke rumah. "Fira sedang tidur siang," ujar Faisal memberi tahunya.Aruna mengangguk. "Begitu ya sudah.""Kamu tidak akan pergi lagi kan?""Mungkin sore akan ke sana lagi dan malamnya ke sini untuk menemani Fira tidur, Yah."Faisal menghela napas. "Sewaktu masih hidup, saling bermusuhan. Giliran sudah mati, malah begitu betah di sana."Aruna memandang ayahnya. "Jangan bicara begitu, Yah. Bagaimana pun Erland kan anaknya, kalau bukan Erland siapa yang mengurusi."Mendengar ucapannya, Faisal langsung mengangguk. "Iya, iya. Ayah hanya kesal dengan Erland dan ayahnya yang sering bertengkar itu."Aruna duduk di sofa dan menarik napas. "Bagaimana pun, anak tetaplah anak. Ditinggal ayahnya tentu saja sedih.""Kamu juga begitu memangnya?"Dahi Aruna langsung mengerut. "Ayah mau menyusul? Semua keluarga ingin Ayah panjang umur kok."Faisal langsung tersenyum, kemudian
Aruna berkeliling di rumah ayah mertuanya. Tempat Erland dahulu dibesarkan. Kemudian dirinya bertemu dengan ibu tiri dari suaminya. Aruna ingin menghindar, namun tangannya dicekal."Kamu merasa bangga ya, bisa keluar masuk rumah ini."Aruna memandang lekat. "Bangga?""Kenapa harus berbangga diri, aku menantu di rumah ini," lanjutnya.Ibu tiri Erland menyeringai. "Kamu hanya menantu yang tidak diakui.""Aku juga tidak ingin diakui oleh Anda."Kemudian Aruna menarik paksa tangannya dari ibu mertuanya. Hendak wanita ini main tangan, namun mendadak terhenti setelah ada langkah terdengar di belakang tubuhnya. Aruna langsung berbalik dan menemukan Erland berjalan mendekat dengan mata melotot tajam. Fira berlari di belakang suaminya sembari tertawa senang. Namun saat melihat ibu tiri Erland, Fira mendadak bersembunyi di belakangnya."Ayo aku antar ke kamar untuk istirahat," ujar Erland langsung menggiring Aruna dan Fira.Wanita itu mengepalkan tangan dengan wajah menunjukkan raut emosi. Nam
Aruna yang sedang memakaikan seragam sekolah pada putrinya, sesekali melirik jam. Karena suaminya tak kunjung pulang juga. Fira pun sampai bertanya karena melihat dirinya yang tak fokus."Mama menunggu papa ya?"Bibirnya langsung tersenyum. "Iya, Sayang. Mama nungguin papa, katanya pulang untuk ganti baju."Tepat saat itu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah membuat mata Fira berbinar. Kemudian berlari darinya yang hendak memakaikan dasi. Aruna sendiri tersenyum dan mengikuti putrinya keluar.Namun, baru juga Aruna selesai menuruni anak tangga. Fira kembali berlari ke arahnya dengan raut ceria."Kata Papa hari ini tidak sekolah.""Eh? Kan bukan hari libur, mama juga tidak mendapat info apa pun dari sekolah." Aruna jelas bingung.Kemudian, Erland berjalan mendekat dan menyahut, "papa minta bertemu."Aruna memandang suaminya semakin tidak mengerti. "Dan kamu menyetujuinya?"Erland berjalan semakin dekat dan berhadapan dengannya. Kemudian meraih tangannya, karena Erland sangat