Erland benar-benar memejamkan mata. Bahkan napas yang menerpa puncak kepalanya terasa lebih halus dan damai. Aruna mencari kesempatan untuk lolos, namun pelukan Erland tak mampu ia singkirkan.
"Kau sungguh tidur? Nyaman dengan posisi membuat aku terjepit begini?" komennya.Terdengar sedikit tawa dari Erland. "Sudahlah Sayang, ayo kita tidur."Aruna menghela napas. Bobot tubuh Erland hampir separuhnya diberikan padanya dan terasa sangat berat. Aruna menjadi kesal dan berbalik, berniat memukul namun melihat wajah damai pria ini. Membuat niatan Aruna sirna sudah.Jantung yang terdengar melambat merajai malam sunyi. Namun, ada suara denyut yang lebih kencang di hadapannya. Mata Aruna fokus menatap dada Erland, selaku sumber suara itu."Sepertinya kau sungguh mencintai aku ya?" tanyanya.Erland menunduk sejenak untuk mengecup keningnya, kemudian menyahut dengan lembut, "sangat.""Bahkan jika harus mencarimu di tengah samudra, aku rela menghabiskan seluruh harta untuk mengarunginya," lanjut Erland penuh perasaan.***"Apa kau anak kecil?"Di pagi hari yang ditemani matahari terik. Aruna mengeluhkan dasi yang berada di telapak tangannya. Sedang Erland berjalan semakin mendekat dan berhenti tepat di hadapannya."Salah ya? Suami minta dipakaikan dasi oleh istri?"Aruna berdecak kesal. Meski begitu ia membongkar hingga dasi menjadi panjang. Erland pun sedikit menunduk supaya Aruna mencapai tubuh tinggi dari suaminya."Apa kau sering seperti ini?" tanya Aruna ingin tahu.Matanya melirik ke bawah, karena merasa tangan Erland merambat di pinggangnya. Tak lebih dari itu, hanya berdiam diri di sana. Membuat Aruna mengendurkan kewaspadaan."Tidak. Karena kau pemalas, kau juga sangat galak. Sampai rasanya aku takut meminta bantuanmu."Seketika netra Aruna terangkat dan menatap Erland kesal. Ia selalu merasa kalau pria ini jauh lebih galak dan ganas ketimbang dirinya. Tapi, seolah Aruna adalah sang ratu dari seluruh sifat buruk.Sedang mata Erland membidik cara tangan Aruna yang ahli membentuk sebuah dasi. Dia sedikit geram, atas kemampuan Aruna yang dulu selalu diasah untuk orang lain, yakni Yuda. Selaku suami yang Erland buat ditinggalkan paksa oleh Aruna."Ada apa? Kenapa kau jadi diam begini?" tanya Aruna setelah selesai.Aruna tertegun dengan Erland yang mendadak merebahkan kepala pada pundaknya. "Apa aku tidak ke kantor saja ya? Aku sangat merindukanmu.""Aku yang tidak suka terus bersamamu," cetusnya sangat jujur sampai membuat Erland terkekeh."Irene," sebut Erland."Apa," sahutnya, meski sangat tidak terbiasa dengan nama asing itu.Erland tersenyum. "Hari ini pemeriksaan di rumah sakit ya? Bagaimana kalau kau membawa pembantu?""Kenapa?" tanya Aruna heran."Berjaga-jaga saja, kalau kau tidak enak badan atau bagaimana."Aruna memikirkannya sejenak, kemudian mengangguk. "Ya baiklah.""Aku tidak bisa mengantarmu, maaf ya," ujar Erland sembari mengusap wajahnya."Baguslah, aku juga tidak ingin kau antar."Sekali lagi Erland dibuat tersenyum oleh mulut Aruna yang tidak punya rem. "Kalau begitu sampai jumpa nanti malam di rumah."Hari itu, Erland dan Aruna keluar dari rumah bersama-sama. Namun, menggunakan mobil yang berbeda karena tujuan juga tidaklah sama. Aruna pergi dengan sopir pribadi dan pembantu yang ditunjuk oleh Erland.Tapi, di tengah perjalanan. Tiba-tiba ban mobil bocor karena tertusuk paku. Membuat Aruna harus keluar dan mencari tempat untuk berteduh dari matahari."Nyonya Irene, bagaimana kalau pergi dengan taksi? Sepertinya mobil akan lama karena menunggu tukang bengkel langganan datang," ujar sopir setelah berlari untuk menghampirinya."Omong kosong, mana bisa Nyonya Irene naik taksi," tegur pembantu ini.Aruna menoleh. "Apakah sangat lama? Jika memang lama ya sudah naik taksi saja.""Tapi, Nyonya.""Kalau kau tidak mau ya sudah, aku bisa pergi sendiri."Ketika Aruna berjalan lebih dulu, membuat pembantu ini terpaksa mengikutinya. Bahkan membuat Aruna risih dengan payung yang dibentangkan oleh pembantu ini. Rasa kesalnya benar-benar sudah memuncak."Kau pikir aku monyet! Pakai payung di tengah teriknya matahari!" serunya marah membuat pembantu ini tertegun."Maafkan saya, Nyonya Irene.""Kau pikir aku akan meleleh karena matahari?" ocehnya.Suara Aruna yang terdengar lantang itu. Berhasil menyita perhatian seorang pengemudi mobil berwarna merah. Dia adalah Yuda yang terburu mengerem mendadak di tengah jalan, menimbulkan teguran keras dari para pengemudi dalam bentuk klakson juga makian."Aruna!"Namun, Yuda tak hirau. Terus berlari mengejar sosok Aruna yang baru saja dibawa pergi oleh taksi. Yuda terus berteriak memanggil namanya. Hingga kepala menoleh ke belakang, melihat Yuda yang berlari. Rasanya nama yang disebut itu tidaklah asing."Aruna! Tolong berhenti!"Mendengarnya Aruna hendak menyuruh sopir taksi untuk berhenti, tapi pembantu terlihat gelisah dan langsung berteriak, "kenapa lambat sekali mengemudinya! Nyonya saya harus segera ke rumah sakit.""Aruna!”Mulut pembantu sampai berteriak sedang netra Aruna mengecap gila pada Yuda yang baru saja berdiri di hadapan taksi. Sopir taksi begitu cekatan menginjak rem hingga tak sempat terjadi kecelakaan, meski sopir ini menunjukkan ekspresi kaget."Apa kau bosan hidup!" seru sopir taksi terlihat kesal.Yuda menunjukkan tangan, meminta kesempatan untuk bicara. Sopir taksi mendengkus kesal, tapi sedikit menepi. Pembantunya langsung menghalangi Yuda yang membuka pintu dan melongok ke dalam."Aruna," sebut Yuda menunjukkan raut seolah menemukan mainan lama.Pembantunya menjadi marah. "Siapa yang kau sebut Aruna! Lalu kenapa kau tidak sopan--"Kepala Aruna menoleh dan netra membingkai tangan Yuda yang membungkam mulut pembantunya. Kemudian menarik paksa tangan Aruna hingga keluar dari taksi."Kau gila!" serunya sembari berusaha memberontak.Yuda mendorong tubuhnya hingga membentur pintu taksi. Akses keluar yang tertutup, membuat pembantu geram. Lantas memutuskan untuk keluar dari sisi lain demi bis
"Apa yang kalian lakukan sialan!"Sepanjang berlari keluar cafe. Yuda memaki dan berteriak, membuat Daffa menoleh. Mata Yuda menangkap sosok sekretaris dari Erland yang terang-terangan memerintah beberapa orang berhenti merusak mobil."Ada apa ini? Kenapa Anda merusak mobil saya?" Yuda bertanya dengan mata nyalang.Kepala Daffa menoleh, menatap Yuda begitu santai. Lantas menunjuk mobil warna hitam di depan kendaraan Yuda dengan tatapan."Tuan Erland tak suka ada kendaraan yang menghalangi."Tangan Yuda mengepal marah. "Apa Anda bercanda? Di mana-mana parkir selalu ada yang terdepan dan belakang!""Benarkah? Kalau begitu jadikan ini sebagai pelajaran. Tuan Erland tidak suka ada mobil lain yang parkir di dekatnya, termasuk dari segala sisi."Tatapan Yuda mengikuti Daffa yang memasuki cafe dengan penuh amarah. Namun, ada hal yang perlu Yuda pertimbangkan untuk menyerang. Pria itu jelas membutuhkan pekerjaan yang sekarang untuk menyambung hidup. Membuat masalah dengan sekretaris serta Er
Sempat tertegun sejenak. Tapi, Erland yang sangat harus menyangkal, langsung mengulas senyum. Kemudian mencampakkan pekerjaan dan beranjak dari meja kerja."Tentu saja ada, itu pun jika kau yang meninggalkan kamar dari balkon atau jendela," sahut Erland.Aruna menarik napas. "Aku tidak sebodoh itu. Rumah disediakan pintu tentunya untuk keluar, lantas kenapa aku harus membahayakan diri sendiri."Erland tersenyum. "Benar, kau sangat pintar hingga aku tak perlu cemas."Mata Aruna membingkai tubuh Erland yang mendekati bar kecil, hanya terpisahkan oleh sekat dinding saja. Semakin melihat seluruh kamar, Aruna meyakini sesuatu. Bahwa ini adalah kamar yang suram.Erland berjalan mendekatinya dengan secangkir gelas berisi air putih. Menduduki sofa yang sama, namun sedikit memberi jarak. Selagi meneguk habis minuman, mata Erland tak berhenti menatapnya.Seolah sedang menilai. Bahwa tak akan ada Irene kedua yang rela menjatuhkan diri dari balkon kamar ini. Hanya demi sebuah kebebasan yang tak p
Mentari pagi itu nampak malu-malu mencuri pandang melalui jendela. Berbeda dengan Erland yang begitu antusias, memenjarakan sosok Aruna dalam retina mata. Apalagi kegiatan dirinya adalah berganti pakaian.Wanita yang sewaktu di rumah sakit begitu marah ketika dicium. Pagi tersebut sangat santai, meski diintip secara terang-terangan."Bukankah kau sedang bersiap ke kantor?" singgung Aruna sembari menoleh ke belakang.Erland tertawa sinis, lantas tangan melepas dasi yang belum terbentuk sempurna. Lantas, kaki Erland mendekati Aruna dengan santai. Merengkuh tubuh juga terobsesi menghirup lehernya."Aku berubah pikiran," ujar Erland."Soal apa?" Aruna menyelesaikan mengancing kemeja.Mata Erland membingkai cermin. Benda itu memantulkan sosok Aruna yang dibalut pakaian milik Erland. Terlihat oversize, namun tak membuat sang istri terlihat aneh."Bisakah pakai celana saja?" Dan Erland mulai menego penampilan Aruna.Wajah Aruna mulai terlihat kesal. "Kau kira aku anak remaja? Aku wanita mode
Erland terlihat menduduki sofa panjang di ruang tamu. Lantas, mengambil secangkir teh yang disandingkan. Mata membingkai sosok ayah mertua yang lebih baik, ketimbang dua bulan setelah kehilangan."Senang rasanya melihat nak Erland akhirnya berkunjung.""Tentu saja, sebagai anak aku harus sering datang," sahut Erland dengan suara santai.Lantas mata Faisal melirik sekeliling, membuat Erland mengikuti. Foto-foto Irene yang tersenyum malu terbingkai di beberapa pelosok dinding rumah. Faisal tersenyum sendu. "Apa di rumah Nak Erland juga, masih terpasang foto-foto Irene?"Kepala Erland mengangguk. "Sosoknya jika boleh aku awetkan pun, akan kulakukan, Ayah."Pria munafik, itu perumpamaan yang Erland berikan pada sang ayah mertua. Pasalnya, pria ini yang paling ngotot melarang Irene jatuh pada tangan Erland. Hanya dengan ancaman, barulah dia mendapatkan sosok Irene.Tapi, pada akhirnya tak bisa memaksa Irene untuk mencintai Erland. Bahkan lebih memilih mengakhiri hidup ketimbang menjalin b
Aruna menyeringai, lantas jemarinya menunjuk kamar yang berjejer di belakangnya. "Sepertinya seluruh kamar di rumah ini, aku tak punya hak apa pun."Amarah Erland mendadak lenyap. Usai tersadar telah membentak sang istri. Ketika Erland hendak meraih tangannya, Aruna langsung memundurkan langkah."Bukan begitu Sayang. Tentu kau punya hak, bukan hanya kamar tapi seluruh rumah juga."Mata Aruna menatap tajam. "Kalau begitu aku ingin kamar itu.""Tidak boleh," larang Erland terdengar kekeh."Kenapa? Apa yang kau sembunyikan di sana? Hingga aku tidak boleh tinggal di sana, juga kau sangat marah aku memasukinya," ocehnya kesal.Erland memejamkan mata sejenak. "Jangan pancing emosiku, Irene. Aku tidak menyembunyikan apa pun, itu hanya ruangan tak terpakai.""Jika memang tak terpakai, kenapa aku tidak boleh memilikinya?""Suami istri itu harus tinggal di kamar yang sama," tegas Erland."Ya kalau begitu kau bisa pindah bersamaku di sana, apa susahnya?"Tatapan Erland kembali menegas. "Aku tida
Sekali lagi Erland menatap jendela dan balkon. Apakah dia sanggup bersikap biasa saja, padahal satu nyawa lolos dari tempat ini. Nyawa dari wanita yang sangat dicintai oleh Erland.Lama, Erland membisu dan sibuk dengan pemikiran sendiri. Waktu mulai berlalu cepat tanpa disadari. Mata pun tertuju pada Aruna yang bernapas teratur."Irene," sebut Erland.Lantas bibir mengulas senyum atas kewaspadaan yang kendur dari sang istri, karena terlelap. Perlahan, Erland menaiki ranjang dan memeluk tubuhnya."Selamat tidur, Sayang," bisik Erland.***"Semula, aku menerima takdir menjadi istrinya. Namun hari ketujuh, kata cinta yang dia ucapkan mulai menunjukkan hal lain."Jemari Aruna membalik halaman lain, lantas lanjut membaca. "Apakah semacam obsesi? Segala larangan mulai dia ciptakan, alih-alih menyediakan hal terbaik, dia justru mengurungku dari dunia."Aruna terhenti membaca. Tinggal beberapa hari di rumah ini, ia tahu penulis ini merujuk pada sosok Erland. Aruna mencari kertas dan pena di a
Tubuh Aruna direbahkan di atas ranjang dengan perlahan. Bibir yang semula tak pernah melepas lumatan, terpaksa berhenti karena Erland mengusap wajahnya. Netra saling memenjarakan dalam diam.Lantas, Erland menyesap lehernya dengan tangan memasuki bajunya. Satu hal yang ingin Aruna tanyakan. Namun suasana dengan membakar ini membuat mulutnya bungkam."Irene, ayo kita buat bayi di sini," bisik Erland dengan tangan mengusap perutnya."Kau pikir semudah itu buat bayi?" Erland mengulas senyum. "Tentu saja mudah, hanya perlu sering berhubungan."Mata Aruna menatap kepala Erland yang sudah turun. Dapat ia rasakan dada yang diperlakukan layaknya permen gagang. Tangan Aruna menutup mulut, atas jilatan serta gigitan ini."Kaulah bayinya, Erland," singgung Aruna.Satu kekehan tercipta dan merajai kamar dengan suasana baru ini. Aruna melenguh ketika jemari suaminya yang nakal masuk ke dalam celana, lantas bersemayam di sana dengan gerakan menusuk.Mungkin hal lainnya akan terjadi. Namun, dalam p
Tubuh Erland langsung membeku di tengah anak tangga saat mendengar ucapan dari Fira. Jantung Erland juga berdetak sangat kencang, mata saling pandangan dengan sang putri."Siapa yang beri tahu Fira hal konyol itu?"Fira diam sejenak, membaca ekspresi wajah Erland yang kali ini nampak marah. Perlahan pandangan Fira turun dan hanya berani menatap pundak Erland. "Semua orang membicarakannya pelan-pelan di sekitar Fira. Tapi, Fira mengerti maksud mereka."Erland menghela napas. "Itu hanya omong kosong Sayang. Kenapa Fira percaya? Fira kan anak papa."Tangan Fira meremas pundak Erland. "Papa jangan berusaha berbohong, aku sudah tahu semuanya kok.""Tapi, Papa janji ya. Jangan bilang kalau Fira tahu pada mama. Nanti mama bakal sedih."Erland memilih mengangguk. Ternyata dia tidak bisa menyembunyikan fakta dari anak sekecil Fira. Anak ini mengerti apa yang orang lain katakan, namun malah diam dan memendam semuanya sendiri."Tapi Fira tahu kan, kalau papa sayangnya beneran sama Fira. Mengang
Aruna mengawasi Erland yang membersihkan sisa kotoran yang menempel pada putranya. Kemudian mengganti popok. "Kabar Mitha gimana, Mas? Kamu sudah dengar belum," singgungnya.Kabarnya Mitha juga melahirkan di hari yang sama. Namun, Aruna ingin tahu lahirnya anak kembar seperti apa."Kata Daffa sudah lahir, anak laki-laki semua.""Lahir normal?" tanyanya.Kepala Erland menggeleng. "Caesar katanya."Mendengar hal itu, Aruna langsung meringis sembari menyentuh perutnya. Erland yang melihatnya, menggenggam tangan Aruna."Mikirin apa sih? Kamu kan lahirannya normal.""Ya tapi ngeri gitu, Mas," sahutnya.Erland memandangnya lama. "Jarang yang bisa lahir normal saat mengandung kembar. Zaman sekarang lebih merekomendasikan caesar."Memikirkannya, Aruna langsung menjawab, "kalau begitu aku tidak mau punya anak kembar."Erland ingin mengusap kepalanya. Namun, langsung Aruna genggam lengan suaminya. Erland sempat menunjukkan raut terheran, setelah mengingat tangan ini yang digunakan membersihkan
Aruna tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Benar, Fira pasti senang."Erland ikut tersenyum. "Iya Sayang."Aruna memandang Erland yang begitu betah memandang sang putra. Bibirnya tanpa sadar terus saja tersenyum karena pada akhirnya bisa melahirkan anak dari suami yang dirinya cintai.Bahkan ketika malamnya tiba. Aruna yang sibuk tidur, Erland tetap terjaga dan menjaga sang putra yang sangat lelap tidur di ranjang kecil. Bibir Erland tak pernah berhenti tersenyum, karena melihat fotokopi diri sendiri pada wajah sang putra."Tuan."Erland menoleh dan mendapati Sonya yang membawa tas, bersiap untuk pulang."Oh kamu sudah mau pulang," singgung Erland."Iya Tuan. Saya akan kembali pagi nanti."Erland berpikir sejenak, kemudian menyahut, "besok kamu di rumah saja, istirahat. Terima kasih karena sudah membantu menjaga Aruna."Meski Sonya sempat terkejut karena Erland baru saja mengucap terima kasih. Namun, Sonya langsung tersenyum dan mengangguk."Kembali kasih, Tuan."Erland kembali meman
Beberapa bulan telah berlalu. Kandungan Aruna sudah mencapai sembilan bulan dan sejak kemarin mulas, menunjukkan tanda melahirkan.Erland langsung membawa Aruna ke rumah sakit. Namun, sampai paginya lagi, Aruna tak kunjung pembukaan. Erland yang melihat Aruna kerap mengadu kesakitan karena kontraksi, membuat Erland bicara pada Sonya."Menurutmu, bukankah ini karmaku? Makanya Aruna kesulitan melahirkan begini," singgung Erland."Tuan, tidak boleh bicara seperti itu. Semua wanita yang melahirkan berbeda-beda, ada yang cepat ada juga yang lumayan lama," sahut Sonya."Sewaktu melahirkan nona Fira, Nyonya seperti ini juga."Erland yang semula memandang ke arah Aruna sedang tidur, langsung menoleh pada Sonya saat mendengar perkataan itu. Erland yang tidak memiliki ingatan soal itu langsung bertanya."Benarkah?"Sonya mengangguk. "Benar sekali Tuan. Makanya Nyonya sekarang nampak biasa saja, meski terkadang mengeluh sakit. Karena sebelumnya juga seperti ini."Erland langsung meraih tangan Ar
Erland mengerutkan dahi. "Anak kembar?""Iya."Mendadak Erland tersenyum. "Gimana mau anak kembar, kamu sudah hamil begini. Harus lahir dulu Sayang, baru bikin anak kembar lagi."Mendengarnya, Aruna jadi membuka matanya lebih lebar dan memandang ke arah Erland. Suaminya masih tersenyum, kemudian mengusap wajahnya."Memangnya siap melahirkan lagi? Yang lagi di kandung saja belum lahir," ujar Erland.Aruna langsung menggeleng. "Iya, harus lahirin dulu yang lagi dikandung."Erland mengangguk dan mengusap kepalanya. "Nah iya, habis lahiran. Kita baru pikirkan lagi ya soal anak kembar."Aruna memainkan kancing baju suaminya. "Tapi kata ayahku, katanya anak kembar merepotkan."Erland menumpu kepala dengan tangan. Mata memandangnya sangat lekat, sampai Aruna membalas."Kenapa merepotkan? Kan anak sendiri. Aku malah senang banyak anak, rumah akan ramai dan aku juga bakal bantu merawat anak-anak.""Kalau disuruh jaga anak, paling nanti kamu tidur," ujarnya."Tidak akan, aku jamin."Aruna kemba
Erland benar-benar membawa Aruna ke rumah sakit pada siang harinya. Tentunya untuk memeriksakan kandungan sang istri. Tepat seperti yang dokter katakan, usia kandungannya memasuki 6 minggu. Aruna dan Erland diminta oleh dokter untuk jangan berhubungan dulu, sebelum melewati trimester pertama.Aruna yang memang sudah pernah hamil, tahu masalah larangan itu. Bahkan Erland pun terlihat mengerti, jadi tidak berkomentar apa pun."Jadi, apakah istri dan anakku ini ingin makan sesuatu?"Begitu keluar dari ruangan dokter kandungan, Erland menawarkan. Tangan saling bergandengan dengan Aruna. Erland sampai melirik karena menantikan jawaban dari istri."Aku mau waffle," ujarnya."Hm, biasanya beli di mana?""Aku tidak tahu. Tapi, harusnya ada cafe atau resto yang jual kan."Erland mengangguk. "Nanti aku cari infonya di ponsel ya."Mereka berdua tetap berjalan bersama dan memutuskan untuk menjemput Fira di sekolah. Kebetulan putrinya pasti sudah pulang. Sepanjang mengemudi, Aruna bergelayut man
Aruna menemui putrinya yang ada di rumah Faisal. Mungkin selama seminggu ini, akan tetap di sana sampai Aruna dan Erland pulang ke rumah. "Fira sedang tidur siang," ujar Faisal memberi tahunya.Aruna mengangguk. "Begitu ya sudah.""Kamu tidak akan pergi lagi kan?""Mungkin sore akan ke sana lagi dan malamnya ke sini untuk menemani Fira tidur, Yah."Faisal menghela napas. "Sewaktu masih hidup, saling bermusuhan. Giliran sudah mati, malah begitu betah di sana."Aruna memandang ayahnya. "Jangan bicara begitu, Yah. Bagaimana pun Erland kan anaknya, kalau bukan Erland siapa yang mengurusi."Mendengar ucapannya, Faisal langsung mengangguk. "Iya, iya. Ayah hanya kesal dengan Erland dan ayahnya yang sering bertengkar itu."Aruna duduk di sofa dan menarik napas. "Bagaimana pun, anak tetaplah anak. Ditinggal ayahnya tentu saja sedih.""Kamu juga begitu memangnya?"Dahi Aruna langsung mengerut. "Ayah mau menyusul? Semua keluarga ingin Ayah panjang umur kok."Faisal langsung tersenyum, kemudian
Aruna berkeliling di rumah ayah mertuanya. Tempat Erland dahulu dibesarkan. Kemudian dirinya bertemu dengan ibu tiri dari suaminya. Aruna ingin menghindar, namun tangannya dicekal."Kamu merasa bangga ya, bisa keluar masuk rumah ini."Aruna memandang lekat. "Bangga?""Kenapa harus berbangga diri, aku menantu di rumah ini," lanjutnya.Ibu tiri Erland menyeringai. "Kamu hanya menantu yang tidak diakui.""Aku juga tidak ingin diakui oleh Anda."Kemudian Aruna menarik paksa tangannya dari ibu mertuanya. Hendak wanita ini main tangan, namun mendadak terhenti setelah ada langkah terdengar di belakang tubuhnya. Aruna langsung berbalik dan menemukan Erland berjalan mendekat dengan mata melotot tajam. Fira berlari di belakang suaminya sembari tertawa senang. Namun saat melihat ibu tiri Erland, Fira mendadak bersembunyi di belakangnya."Ayo aku antar ke kamar untuk istirahat," ujar Erland langsung menggiring Aruna dan Fira.Wanita itu mengepalkan tangan dengan wajah menunjukkan raut emosi. Nam
Aruna yang sedang memakaikan seragam sekolah pada putrinya, sesekali melirik jam. Karena suaminya tak kunjung pulang juga. Fira pun sampai bertanya karena melihat dirinya yang tak fokus."Mama menunggu papa ya?"Bibirnya langsung tersenyum. "Iya, Sayang. Mama nungguin papa, katanya pulang untuk ganti baju."Tepat saat itu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah membuat mata Fira berbinar. Kemudian berlari darinya yang hendak memakaikan dasi. Aruna sendiri tersenyum dan mengikuti putrinya keluar.Namun, baru juga Aruna selesai menuruni anak tangga. Fira kembali berlari ke arahnya dengan raut ceria."Kata Papa hari ini tidak sekolah.""Eh? Kan bukan hari libur, mama juga tidak mendapat info apa pun dari sekolah." Aruna jelas bingung.Kemudian, Erland berjalan mendekat dan menyahut, "papa minta bertemu."Aruna memandang suaminya semakin tidak mengerti. "Dan kamu menyetujuinya?"Erland berjalan semakin dekat dan berhadapan dengannya. Kemudian meraih tangannya, karena Erland sangat