"Aaaaaa!" terdengar suara dari arah dalam sana. Membuat Raka dan Salsa pun terkejut dan bertanya-tanya apakah yang terjadi di dalam sana. Begitu juga dengan Oma Mala dan Dara yang cepat-cepat bangkit dari duduknya. "Oma, itu suara siapa?" tanya Dara. "Sepertinya itu suara Intan, tapi apa mungkin?" Oma Mala pun tampak ragu, akan tetapi dia juga penasaran dengan apa yang terjadi hingga mendengar suara teriakan keras. "Abang?" Salsa juga ikut bertanya. "Coba kita lihat," Raka pun segera masuk ke dalam villa dengan langkah kaki yang cepat, begitu pun juga dengan yang lainnya yang juga ikut menyusul. Ternyata suara teriakan Intan yang terkunci di dalam kamar mandi. "Intan?" panggil Raka sambil memutar gagang pintu. Raka takut terjadi sesuatu hal buruk pada adiknya di dalam sana. Intan yang berada di dalam kamar mandi pun segera melihat daun pintu. "Kak, tolong cepat bukain pintunya! Di sini ada orang gila!" seru Intan saat mendengar suara Raka dari luar. Raka dan ya
"Aku tidak mau ini terulang lagi!" tegas Raka. "Apa lagi aku!" balas Gio. Kemudian dia pun segera pergi dari sana. "Kau mau kemana?" tanya Raka karena dia belum selesai berbicara. "Tadi aku mau buang air. Tapi, tidak jadi. Mulesnya hilang sesaat dan sekarang aku merasa mulesnya datang lagi, kenapa? Kak mau menemaniku buang air?" tanya Gio kesal terhadap Raka. Apa lagi mengingat kejadian tadi, dia sangat tak menyangka bisa masuk ke dalam kamar mandi dimana ada Intan di dalam sana. Belum lagi Intan sampai meludahi wajahnya, lebih dari biasanya yang hanya sekedar memakinya saja. Emosi Gio benar-benar meluap, bagaimana pun juga dia hanya manusia biasa yang bisa kehilangan kesabarannya. "Pergi sana!" usir Raka. Tentunya Raka tak akan pernah mau menemani Gio buang air, sebab itu sangatlah menjijikan sekali. "Ada apa dengan pintu ini?" Oma Mala pun dibuat geleng-geleng kepala sambil melihat pintu kamar mandi yang telah rusak akibat Raka mendobraknya. "Ada jin," jawab Ra
Villa yang cantik dengan pemandangan alam yang sangat indah. Salsa bahkan sangat nyaman berada di sana sekalipun untuk waktu yang lama. "Abang, apa Vila ini sudah lama dibangun?" tanya Salsa. "Sekitar 2 tahun yang lalu, yang membuat kami tertarik untuk membeli lahan ini saat itu adalah air terjun ini." Jelas Raka. "Oh gitu, karena memang indah sekali," ucap Salsa yang tak habisnya memuji tempat tersebut. "Iya, karena saat lelahnya bekerja butuh hiburan dan tempat ini sangat nyaman. Pemandangan yang sangat langka dimana air terjunnya bagus berdekatan dengan Villa," jelas Raka lagi. "Hu'um," Salsa pun mangguk-mangguk mendengar penjelasan Raka. "Sepertinya kamu betah ya kalau lama-lama tinggal di sini?" "Iya, suasananya nyaman banget." "Iya, itu benar," Raka pun memeluk Salsa dari belakang sambil menikmati pemandangan yang begitu indah ini. "Segar sekali udaranya." "Iya, anak Papa pasti suka," Raka pun mengelus perut Salsa dengan perasaan bahagia, tak sabar rasanya
Tangan Indri semakin mencengkram erat pisau di tangannya melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Salsa dan Raka. Keputusannya untuk melenyapkan Salsa benar-benar sudah bulat, tak ada lagi tawar-menawar. Semakin hari semakin tidak karuan saja dengan dua orang tersebut. Apa lagi yang bisa dia lakukan terhadap kejahatan Salsa yang telah merebut posisinya sebagai istri Raka. Percuma saja meminta Raka untuk segera melepaskan Salsa, sebab itu tak akan pernah terjadi. Perjanjian awal yang mereka buat kini tak lagi berlaku. Dirinya yang seharusnya menjadi pengendali antara hubungan Raka dan Salsa kini sudah jauh berbeda. Rasa sesal tak bisa lagi dia tahan, kini akan dia akhirnya dengan kematian. "Jika tidak bisa berpisah dengan perceraian, maka kematian bisa memisahkan mereka berdua!" kata Indri. Saat itu langkah kaki Salsa pun terhenti kala melihat wajah Indri. Begitu pun juga dengan Raka. Senyuman di bibir dua orang itupun ikut menghilang saat melihat wajah Indri
"Kau akan mati, ayo berdoa sebelum ajal menjemput mu," kata Indri dengan senyuman penuh dengan kebencian. "Mati?" tanya Salsa yang tampak terkejut mendengar ucapan Indri. "Iya, kau akan mati dan aku akan menjadi malaikat pencabut nyawa untuk mu!" "Nyonya Indri, bukankah aku disini karena, anda? Lalu, kenapa aku dijadikan tersangka?" tanya Salsa yang ingin berdamai dengan Indri. "Benar, kau disini karena aku. Sehingga tidak salah pula aku menyingkirkan mu!" jawab Indri. "Sudahlah, aku tidak mau ada drama. Aku muak, pergi dari sini?!" usir Raka. "Nanti aku akan pergi jika dia mati!" balas Indri. Plak! Raka pun menampar wajah Indri, rasanya sangat menjengkelkan dan sudah cukup untuk semuanya. Hari ini semuanya benar-benar berakhir, Raka akan menceraikan Indri dengan atau tanpa persetujuan Mamanya. Raka mengulur waktu bukan karena kasihan pada Indri, tapi karena ingin berlibur bersama Salsa dengan nyaman. Dia bermaksud akan mengurus perceraian dengan Indri setelah li
Kini Indri telah dilarikan ke rumah sakit yang letaknya ada di ibu kota, sebab puskesmas terdekat tak mampu untuk menangani. "Dengan keluarga pasien?" tanya seorang dokter yang menghampiri mereka. Salsa, Raka dan Oma Mala sejak tadi menunggu didepan pintu ruangan dimana Indri tengah mendapatkan penanganan serius di dalam sana. Bahkan, sejak tadi mereka tampak khawatir karena menunggu hasil pemeriksaan terhadap keadaan Indri saat ini. "Ya, dia suaminya, Dok," sahut Salsa menunjuk Raka sebab Raka hanya diam saja. Ini adalah keadaan darurat, bukan waktunya untuk mempermasalahkan tentang pernikahan yang kacau. "Akibat benturan yang terlalu keras, pasien harus segera dioperasi untuk menyelamatkan pasien," jelas sang dokter dengan singkat. Raka masih saja diam tanpa menjawab, sebenarnya dia bingung harus bagaimana. Mungkin jika saja Indri sudah ia ceraikan lebih awal tak perlu repot-repot untuk memutuskan hal seperti ini. Lagi pula ini semua terjadi karena ulah Indri sendi
"Sekarang keadaannya sudah jelas, kita pergi!" Raka pun segera membawa Salsa untuk pergi dari sana. Tak ada lagi alasan untuk tetap berada di sana. Meskipun demikian sebenarnya Salsa masih ingin menemani Indri. Menjaga Indri selama masih berada di rumah sakit. Tapi, lihatlah bertapa kerasnya Miska yang terus saja menyalahkan dirinya. Namun, Raka tak perduli sama sekali. Sekalipun dihalangi dia akan mencari jalan yang lain. "Kamu harus istirahat, kamu harus makan dan perhatikan keadaan janin mu!" ucap Raka lagi. Akhirnya Salsa pun memutuskan untuk tidak lagi dengan kerasnya pendiriannya. Apa yang dikatakan oleh Raka benar, anak yang ada di dalam rahimnya juga harus dijaga dengan baik. Ternyata Raka membawanya pulang ke rumah sebelum, bukan rumah sang Oma. "Abang, kita kok ke sini?" tanya Salsa bingung. "Ini rumah kita," jawab Raka dengan tegas. "Aku nggak mau, ini bukan tempat tinggal ku," tolak Salsa. Salsa tak mau menjadi penguasa di sana, apa lagi semua pemb
"Kamu mau kemana?" tanya Raka saat melihat Salsa melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Dengan terpaksa Salsa pun harus berhenti melangkah dan menoleh pada Raka dengan malas. "Aku mau pulang ke rumah Oma aja dulu, Nyonya Miska benar. Ini bukan tempat ku," jelas Salsa. "Sayang, ini rumah mu juga," jawab Raka. "Bukan, aku bisa pergi naik taksi," ucap Salsa yang tampak putus asa dan ingin segera pergi dari sana. "Tunggu," kata Raka. Tidak mungkin Raka membiarkan Salsa pergi sendirian. Dia juga malas berdebat karena sepertinya Salsa tak ingin terus mendengar dirinya disebut sebagai pelakor, sehingga memilih untuk mengalah saja. *** Kini keduanya telah sampai di rumah Oma Mala, Salsa lebih memilih tinggal disana karena tidak ingin di cap sebagai wanita jahat. Dia juga tak mau dianggap berkuasa di rumah Indri dan Raka, sekalipun Raka mengatakan itu bukan rumah Indri. Tetapi, tetap saja rumah tersebut ditempati oleh Raka dan Indri sebelum dirinya hadir. Salsa juga ya
Salsa merasa sedih karena Indri telah memutuskan untuk pergi. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya, meskipun telah berusaha untuk meyakinkan Indri tapi hasilnya tetap sia-sia. *** Kini Salsa telah menjadi istri satu-satunya, pernikahannya pun tak lagi menjadi rahasia, semua orang juga telah mengetahui bahwa Salsa lah istri Raka yang sah. Hingga beberapa bulan kemudian Salsa pun melahirkan seorang anak perempuan, keluarga besar Januartha sangat berbahagia menyambutnya. Salsa juga tidak lagi merasa takut, jelas terlihat semua anggota keluarga suaminya menerima anaknya penuh kehangatan. Salsa melahirkan anaknya secara normal, tapi Raka merasa kasihan terhadap istrinya tersebut karena menyaksikan sendiri bagaimana sebelumnya Salsa menahan sakit sendirian. Andai saja rasa sakit itu bisa dibagi dia mau mengurangi rasa sakitnya. "Terima kasih," ucap Raka sambil menggenggam tangan Salsa dengan sangat erat. Salsa pun tersenyum sebagai jawaban, dia merasa sempurna
"Kak Indri," ucap Salsa sambil berjalan masuk ke kamar Indri. Krang! Piring di tangannya seketika terjatuh dari tangganya, tak menyangka melihat Indri telah berdiri tegak. Dirinya seperti sedang dikejutkan dengan apa yang kini dia lihat. "Salsa," panggil Indri. Saat itu Salsa pun mulai tersadar dari keterkejutannya. Dia tak menyangka jika kini Indri bisa berdiri sendiri. "Salsa, ada apa?" tanya Sinta yang menyusul masuk setelah mendengar suara pecahan. Sinta takut jika saja Salsa yang terpeleset, bagaimana dengan keadaan janinnya? Bahkan Sinta juga sangat mengkhawatirkan keadaan Salsa. Semua pikiran buruknya benar-benar membuatnya panik bukan main. Tapi dia pun dibuat terkejut melihat Indri sudah bisa berdiri. Rasanya tak percaya dengan apa yang telah dia lihat saat ini. Ini seperti tidak mungkin, tapi itulah yang terjadi. "Indri?" Sinta menatap tidak percaya tapi inilah kenyataannya. Matanya membulat sempurna tanpa bisa berkedip sama sekali, sekarang dia men
Salsa pun tersenyum bahagia karena hari ini dirinya telah menjadi seorang sarjana, tidak ada yang menyangka bahwa dirinya mampu untuk menyelesaikan pendidikan. Bahkan dirinya sendiri sekalipun merasa ini adalah sebuah hal yang mengejutkan, siapa sangka ternyata disaat dirinya merasa terjatuh-sejatuh-jatuhnya ternyata ada setitik cahaya yang membawanya sampai di hari ini. Hari dirinya menjadi salah satu dari mereka yang menyelesaikan pendidikan seperti yang diinginkan oleh sang Nenek. Ya, air mata Salsa juga menetes haru seiring mengenang kembali wajah mending sang Nenek yang telah menghadap sang illahi. Semua ini juga tak lepas dari peran penting dalam proses pencapaian pendidikannya. Mendukungnya dalam segala hal, sayang kini Neneknya tak bisa mengucapkan selamat padanya. Padahal Salsa juga ingin mengucapkan selamat juga pada sang Nenek karena perjuangan Neneknya tidak sia-sia. Kini hasilnya dirinya telah seperti ini, bahagia rasanya tak dapat terucap oleh kata-kata.
Salsa langsung mengambil ponselnya dia tidak lagi menggunakan ponsel lamanya, karena kata Raka sudah butut. Lagi pula ponsel seharga 1 m nya juga harus digunakan, sebab dia sudah membayarnya mahal tadi malam. Tentu saja mahal karena dirinya harus bergoyang seperti orang gila, ah sudahlah. Salsa pun tidak lagi bisa berkata-kata. Dan ketika panggilan telepon tersambung dia langsung saja berbicara. "Abang, Salsa mau kasih tahu hal yang penting," ucap Salsa dengan cepat. "Kamu sakit? Mau melahirkan?" tanya Raka panik. Dia takut terjadi sesuatu pada istrinya tersebut. "Kok melahirkan? Hamil juga masih 6 bulan," gerutunya. "Jadi berapa bulan baru bisa melahirkan?" tanya Raka dengan bodohnya. Inilah Raka jika sudah berbicara dengan Salsa otaknya tak akan bisa bekerja dengan baik lagi. "Sembilan bulan, Abang!" kesal Salsa. "Oh iya, lupa," ucap Raka sambil menggaruk kepalanya. Dia sendiri bingung kenapa bisa bodoh seperti ini, tapi sudahlah saat ini dia ingin berbicar
Salsa pun tersenyum sambil melangkahkan kakinya, dia tak dapat menahan kebahagiaan yang tengah dia rasakan. Bahkan tidak menyangka jika hari ini keluarga suaminya begitu menyayangi dirinya. Hingga akhirnya langkah kakinya pun terhenti saat melihat Indri tengah berjemur di halaman. Segera Salsa pun melangkah mendekati Indri.Dia ingin melihat bagaimana keadaan Indri, semoga saja ada kemajuan. "Nyonya Indri, apa kabar?" tanya Salsa. Sebab, kemarin tidak bertemu dengan Indri sama sekali. Rasanya ada banyak hal yang harus dia tanyakan, terutama apakah sudah ada kemajuan.Meskipun sadar Indri tidak bisa menjawab pertanyaannya, tidak apa yang terpenting adalah kesehatan Indri baik. "Sa, aku ke toilet bentar ya," kata Mayang yang bertugas membantu Indri untuk melakukan segala sesuatunya. Termasuk berjemur juga. "Iya, nggak papa aku juga pengen berjemur dulu. Kamu istirahat dulu aja sekalian, nanti kalau ada sesuatu aku panggil kamu ya," jawab Salsa. "Siap, makasih Nyonya
Pagi ini rasanya sangat melelahkan karena malam panjang yang terlalu panas. Namun, meskipun sedemikian Salsa juga harus bangun pagi-pagi karena perutnya terasa lapar. Tentunya setelah dia mandi pagi. "Lho, kamu sudah sarapan pagi?" tanya Sinta ketika melihat Salsa sudah selesai sarapan. Padahal dirinya baru saja bangun dan sarapan pun tengah disiapkan oleh para Art. Sepertinya Salsa membuat sarapannya sendiri dan untuk dirinya sendiri saja agar lebih cepat prosesnya. "Iya, Ma. Maaf ya, Salsa sarapan duluan. Soalnya laper banget," ucap Salsa dengan perasaan tidak enak karena biasanya sarapan pagi bersama. "Tidak masalah, bahkan itu sangat bagus karena cucu Mama butuh nutrisi juga," balas Sinta. Kemudian dia pun segera duduk di samping Salsa Tentu saja karena ingin memegang perut buncit Salsa. "Cucu, Oma," katanya dengan senyuman penuh kebahagiaan. "Ma," panggil Salsa dengan ragu, dia ingin tahu apakah benar Sinta sudah tahu jenis kelamin calon anaknya seperti yan
Dengan terpaksa Salsa pun harus menuruti keinginan Raka. Bukan, mungkin lebih tepatnya dia harus memenuhi janji yang telah dia ucapkan sendiri dengan penuh kesadaran. Jika mungkin waktu bisa diputar kembali maka dia akan menarik ucapannya. Sayangnya itu tidak mungkin. Karena kenyataan kini Raka terus menagih janjinya. Malu rasanya tidak terkira dan tidak dapat terucapkan oleh kata-kata. Lihatlah kini dirinya harus memakai lingerie, warnanya begitu kontras dengan warna kulitnya. Dan membuat Raka semakin bersemangat untuk melihatnya. "Mana goyangannya?" pinta Raka sekaligus menggoda Salsa. Semakin Salsa merasa malu maka semakin membuatnya merasa gemas. "Aku tidak bisa gerak," ucap Salsa memberi alasan. "Benarkah?" tanya Raka lagi. "Hu'um," Salsa pun mengangguk cepat. Berharap Raka memintanya untuk segera menghentikan semua kekonyolan ini. "Coba dulu," ucap Raka. Ah! Batinnya pun mendesah pasrah karena ternyata Raka tidak memintanya untuk menghentikan semu
"Salsa." "Ya, Oma," jawab Salsa. Salsa pun merasa bahagia karena kedatangan Oma Mala cukup membantunya. Artinya dia bisa lolos dari Raka. "Ini Oma bawakan rujak, barusan Oma dan yang lainnya ngerujak," Oma Mala pun tersenyum sambil berjalan ke arah Salsa. "Wah terima kasih, Oma. Melihatnya saja udah ngiler," kata Salsa. Bertempat dengan Raka yang keluar dari kamar mandi, tentunya setelah menyelesaikan mandinya. "Kalau gitu Oma keluar dulu," pamit Oma Mala. "Lho, kok buru-buru?" tanya Salsa dengan panik. Padahal sebelumnya sudah begitu bersemangat karena merasa mendapatkan bantuan. Sayangnya tidak. "Memangnya kenapa?" Oma Mala terlihat bingung dengan pertanyaan Salsa. Salsa pun tersenyum kecut sambil menatap wajah Raka dengan horor. Padahal pria tampan itu hanya diam saja menyaksikan dirinya dan Oma Mala tengah berbicara. Tapi kenapa dia merasa bulu kuduknya berdiri? "Oma, jadikan ngajakin Salsa masak?" tanya Salsa tiba-tiba. Membuat sang Oma pun bingung
Perlahan Salsa pun mulai tersadar dari ingatannya, dia pun mengedarkan pandangannya untuk mencari ponsel yang telah dia jatuhkan. Hingga akhirnya menemukan ponsel tersebut. Kakinya pun kembali melangkah dan tangannya pun bergerak untuk meraih ponsel tersebut. Namun, karena perutnya yang sudah begitu membuncit membuatnya kesulitan untuk berjongkok. Raka yang dari tadi hanya berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan seperti apa reaksi Salsa pun kini mulai melangkah lebih maju. Dengan cepat membantu Salsa untuk mengambil ponsel tersebut. Tapi Salsa yang dibuat sok bukan main, bukan karena takut pada Raka. Namun, ada ingatan yang membuatnya menjadi sulit untuk bernafas sekalipun. Bahkan untuk menerima ponsel yang diberikan Raka padanya pun sulit rasanya untuk menerimanya. "Ambil," kata Raka sambil menggerakkan ponsel di tangannya. Glek! Salsa dibuat meneguk saliva dengan begitu pahitnya, padahal Raka tidak marah, apa lagi suka memukulnya. Namun, tetap sa