"T-tentu saja ... boleh," ujar Danila sambil mengulum senyum kecilnya. GREP!Tiba-tiba Haga kecil mendekap tubuhnya dengan sangat erat. Danila membalas sentuhan tangannya yang kecil. Perasaan hangat dan nyaman, membuat anak itu tampaknya merasa terlindungi. Sesuatu hal yang belum pernah Haga lakukan bersama mendiang ibu kandungnya. Sebab Sania meninggal setelah melahirkan dirinya ke dunia ini."Teman-temanku sering melakukan hal seperti ini dengan Ibunya. Sekarang aku juga bisa melakukannya bersamamu," tutur Haga terdengar sedu. Danila terenyuh seketika."Haga juga bisa memelukku seperti ini kapan pun Haga mau," balas Danila sambil mengelus lembut pucuk kepala kecilnya. Anak itu memagutkan kepalanya pelan.Hanya orang yang hatinya penuh cinta dapat memilih untuk mencintai anak orang lain seperti anaknya sendiri. Kedekatan antara anak tiri dan ibu tiri memang bisa dibilang sulit. Dan ibu tiri yang baik benar-benar dapat mengubah kehidupan seorang anak, menjadi lebih baik dan bisa mene
Satu minggu berlalu, Danila masih menjalani kehidupan didalam rumah utama bak seperti orang asing. Bahkan Adriana, wanita itu masih berada di sana. Entah apa alasannya, Hugo mempertahankan dia tetap tinggal bersamanya. Danila terus merasa terancam akan keberadaan wanita itu disisinya. Karena dia, Hugo semakin membenci dan memperlakukannya tidak adil.Suasana sarapan pagi bersama di kediaman utama. Danila menyiapkan menu sarapannya. Hanya dia sendiri yang melakukannya. Hugo melarang semua pelayan di kediaman utama untuk membantu Danila. Rajanya iblis yang benar-benar tega. Dia sengaja melakukan itu agar mempercepat Danila mengalami keguguran. Mempercayai apa yang dia lihat dengan sebelah matanya. Bukan dari apa yang benar-benar dia ketahui sebenarnya. Bahwa bayi yang didalam kandungan Danila, ialah darah dagingnya sendiri.Hugo, jangan sampai kau menyesal dikemudian hari."Bunda, ayo kita sarapan bersama." Haga tiba-tiba memanggil Danila saat wanita itu masih melayani mereka untuk sara
Bagas tak pernah tahu kabar mengenai Danila yang begitu menderita tinggal bersama dengan Hugo di kediaman rumah utama. Lelaki itu pun tampaknya juga menderita setelah membatalkan pernikahannya dengan Kania. Ya, Bagas tidak jadi menikah. Melainkan ia kabur dan pergi di hari pernikahannya.Hal itu tentu saja membuat banyaknya para tamu kebingungan. Bahkan keluarga Kania menuntut pada Bagas dan keluarganya. Sebab Kania mengalami depresi berat setelah mengalami kegagalan pada pernikahannya. Lalu Bagas, lelaki itu pergi entah kemana. Tak ada yang mengetahui keberadaannya sekarang. Tapi sepertinya, Hugo mengetahuinya.“Apa kau yakin orang itu adalah dia?” ujar Hugo bertanya pada sekretaris Jo ketika dalam perjalanan menuju ke perusahaan.“Dari segi wajahnya masih belum akurat bahwa orang itu adalah dia. Tapi bentuk tubuhnya sama persis seperti dia, Tuan muda. Kamu sudah melakukan pengecekan data terhadapnya,” tutur sekretaris Jo menjelaskan.“Lalu apa hasilnya?” “Terindikasi 50% bahwa
Hugo membawa putranya pergi ke rumah sakit. Setelah menggila pada orang tua dan anak-anak yang terlibat dalam kasus kenakalan pada putranya, Haga. Sungguh diluar dari perkiraannya. Awalnya Hugo berpikir bahwa putranya yang bersalah. Tapi anak-anak itu memang pantas menerima perlakuan yang Haga berikan pada mereka. “Kau sudah melakukan hal yang tepat, Ayah bangga padamu.” Hugo berkata seraya mengelus pucuk kepala kecil Haga yang saat ini terbaring di rumah sakit. Hei, hei, hei! Putramu itu hanya tertidur, tahu. Kenapa malah dilarikan ke rumah sakit? Memang dasar tuan muda yang berlebihan. Haga terdiam sambil memasang raut wajah polosnya. Kedua matanya tampak berbinar tipis. Menatap wajah ayahnya yang ada didekatnya sekarang. “Apa Ayah tidak marah padaku?” tanya Haga hati-hati. “Untuk apa Ayah marah padamu? Kau tidak bersalah di sini. Anak-anak itulah bersalah,” tutur Hugo dingin. “L-lalu bagaimana dengan Bunda?” sambung Haga ragu-ragu bertanya. Pertanyaannya merujuk pada ibu sambu
Danila beranjak bangun lalu berjalan gontai memasuki kamarnya. Ia merasa bersalah pada Bagas. Atas kematiannya yang disebabkan oleh dirinya sendiri. "Semua karena kesalahanku, seharusnya aku yang dihukum mati. Kenapa bukan aku saja yang menggantikan posisinya? Dia ingin bayi ini meninggal, kan? Kalah begitu bunuh saja aku sekaligus bersama dengan bayiku," tutur Danila sedu. Termenung akan kisah tragis yang dialami oleh Bagas. Merasa berputus asa dengan semua kejadian yang telah melibatkan Bagas ke dalam permasalahannya. Danila terduduk lesuh diatas sofa itu. Dengan raut wajah yang berantakan, dan air mata yang sudah mengering. Tak ada lagi yang terasa sama. Sudah terlambat untuk ragu. Kenapa aku tak bisa lari dan lepas dari diriku sendiri. Dan hidup lagi. (Bullet For My Valentine - NoWay Out) Seperti dalam kutipan kata-kata diatas. Danila merasa terlambat untuk menyadari semuanya. Sebab tidak bisa lepas dari jeratan Hugo. Tapi justru memilih untuk menyerah dan tak mampu berlari men
Danila berhasil keluar dari dalam kediaman rumah utama. Peluh berkeringat bercucuran sekujur tubuhnya. Wajah Danila tampak sudah berubah pucat sekarang. Namun langkah kakinya terus berjalan tanpa henti menyusuri jalan setapak demi setapak agar segera sampai ke tepi jalan raya besar. Hanya bermodal nekat dan pakaian yang ia bawa. Bahkan uang yang dia punya pun tidak banyak. Danila sudah begitu muak menghadapi semua penghuni rumah utama. Terutama pada Hugo, ia benar-benar membencinya. "Kalau Baga memang tidak mati, lalu siapa orang yang ada didalam video itu? Aku tidak bisa mempercayai mereka. Bagaimana kalau aku yang akan jadi korban selanjutnya? B-bagaimana kalau anak ini akan menjadi taruhannya? Hiks!" tutur Danila sedu seraya menyeka air matanya. Langkah kakinya semakin sakit karena sudah berjalan begitu jauh, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia menemukan setitik lampu penerangan yang biasanya terlihat ditepi jalan itu. Suasananya begitu gelap dan mencekam. Hanya ada pohon rimbun
Kericuhan terjadi didalam mansion milik dokter Yoshua. Hugo tampak brutal membalas para pasukan khusus itu dengan peluru emasnya. Hingga terjadilah pertumpahan darah antar kedua dari kelompok tersebut. Sampai tidak menyadari, bahwa Danila telah diculik dan dibawa pergi oleh para pasukan itu. Ingatan Hugo mulai sadar, Danila masih berada didalam ruang pembedahan yang terletak di lantai dua. Kedua kakinya berlarian menggila menaiki tangga di sana. Sampai tibalah dia didepan ruang operasi yang akan dilakukan oleh Danila.BRAK!Hugo mendobrak pintu ruangan itu dengan paksa. Kedua bola matanya membelalak lebar, disertai wajah geram penuh kemarahan. Dokter Yoshua sudah tergeletak tidur diatas ranjang sana. Dia menggantikan posisi Danila yang justru tiba-tiba menghilang."Jo!!!" teriak Hugo dengan suara menggelegar memanggil sekretarisnya.Sekretaris Jo dan beberapa orang bawahannya bergerak cepat dan datang dengan raut wajah panik mereka. Hugo tampak sudah terdiam mematung dengan ekspresi s
Raut ekspresi wajah Bagas langsung berubah dalam sekejap. Lelaki itu tentu saja lebih terperanjat dari kabar kehamilan yang Danila katakan padanya tadi. Bahwa Hugo, ayah dari bayi itu tidak mengakuinya. Sesuatu hal diluar dari perkiraan Bagas."A-apa? Hugo tidak mau mengakui bayinya? Benar-benar sinting! Dia sungguh gila." Bagas memakinya dengan emosional. Amarahnya tak dapat terbendung lagi. "Bukan hanya itu ... tapi dia juga mengira bahwa aku hamil anak darimu," tutur Danila sedu. Bagas kembali memekik, dan menekan keningnya sesaat."Memangnya dia punya bukti apa kalau jika aku benar-benar menghamilimu? Hanya karena telah memergoki kita berdua saat tidur semalaman di rumah Nenekku waktu lalu?" cetus Bagas sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Danila kembali memagutkan kepalanya pelan."Karena itu ... d-dia mencoba ingin melenyapkan bayi ini," gumam Danila seraya mengelus lembut perutnya yang masih tampak rata. "Jadi itu alasannya kau berada di ruang operasi. Aku mengira kau akan d
Memaafkan adalah perjalanan melalui lorong kepedihan yang dalam, dan melupakan seperti menelan pahitnya pil kesalahan yang terus menghantui. Dalam redupnya hati, memaafkan terasa seperti mencari cahaya di tengah malam, sementara melupakan adalah luka yang tak pernah lekas sembuh, merajut kisah kesedihan."Jika dipikir-pikir lagi, seharusnya aku sudah benar-benar berpisah dari pria ini. Lantas apa yang terjadi sekarang? Begitu mudahnya dia memaksaku untuk menerimanya kembali sementara semua luka yang pernah dia goreskan untukku masih menyisakannya," tutur Danila dalam hati sedu. Raut wajahnya langsung berubah begitu saja. Namun Hugo menyadari akan hal itu."Ada apa denganmu?" tanya Hugo seolah tak pernah melakukan kesalahan untuknya. Danila menggeleng pelan dan menjauhkan tubuhnya sedikit dari pria itu. "Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin beristirahat saja." Danila beralasan. Walau sebenarnya dia masih berduka atas kejadian lalu. Jika diingat lagi, tak mudah baginya untuk melawan semua
Dokter pribadi keluarga Danila tiba di kediaman rumahnya. Seorang pria muda berwajah tampan rupawan yang memakai jas putih ala kedokteran, memasuki diri ke dalam kamar sana. Diikuti oleh kepala pelayan yang bertugas untuk mengantarkannya sampai menemui nona rumah.Tok! Tok! Tok!"Nona muda, dokter pribadinya sudah datang. Apakah beliau boleh masuk sekarang?" teriak sang pelayan wanita itu didepan pintu kamar Danila."Masuk saja. Pintunya tidak dikunci," sahut dari dalam. Terdengar suara bariton khas pria dewasa. Itu pasti Hugo. Ya, ya, ya. Serigala satu ini memang terdengar cukup seksi, suaranya. Eh.Kriek!Pintu kamar terbuka lebar. Terlihat, Danila tengah berbaring diatas ranjang sana dengan tubuh yang tertutupi oleh selimut tebal dari ujung leher hingga kaki. Dokter itu terdengar menghela napas panjang. Lalu mendekati ke arah Danila dan Hugo berada. "Apa keluhan Anda, Nona?" tanya dokter itu pada Danila seraya mengeluarkan alat-alat dari dalam tasnya. Danila justru terdiam sambil
"Selamat pagi, Tuan Hugo! Aku minta maaf karena hanya baju itu yang bisa kuberikan pada Anda, Tuan. Itu adalah baju terbagus yang tak pernah saya gunakan selama ini didalam lemari," tutur ayah mertua pada Hugo. Pria itu tak memberikan reaksi apapun, hanya mengerjapkan kedua matanya sejenak. Danila tiba-tiba menggenggam erat jari jemarinya dibawah sana. Yang kini keduanya tengah duduk bersebelahan di ruang makan ini sekarang."Ayah, tapi bajunya sedikit kebesaran," gumam Danila merasa tidak enak hati dengan Hugo. Sang ayah langsung mengubah ekspresi wajahnya. Tampaknya, beliau takut jika Tuan Hugo tak menyukainya."B-benarkah? K-kalau begitu Ayah akan berikan lagi yang baru."Hugo lantas menoleh dan menatap dalam Danila sambil mengeratkan genggaman tangannya. "Tidak perlu. Ini sudah cukup untukku. Terimakasih, Ayah mertua." Hugo berkata dingin. Yeah, pria itu memang selalu begitu, kan. Menampilkan ekspresi wajah dinginnya. "T-tidak ... akulah yang seharusnya berterimakasih pada Tuan
Tok! Tok! Tok!Suara pintu kamar Danila diketuk dari arah luar. Wanita itu mencoba beranjak bangun untuk membukakan pintunya. Namun Hugo langsung menepisnya. "Aku saja yang membukanya," katanya seraya berjalan ke sana.Kriek!"Tuan Hugo, m-maaf ... i-ini ... saya hanya mengantarkan baju ini untuk Nona muda. Tuan besar memintaku agar membawakannya ke sini," ujar seorang pelayan wanita berkata gugup padanya. suaranya tampak terdengar gemetar ketakutan.Serigala satu itu memang senang membuat orang lain ketakutan. Dasar mengesalkan!"Terima kasih. Katakan pada Ayah mertuaku, aku menyukai bajunya," ucap Hugo membalasnya. Pelayan itu mengangguk paham sambil membungkukkan sedikit bahunya."B-baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi pergi." Hugo mengibaskan tangannya ke arah pelayan itu. "Ayah sudah mengirimkannya?" tanya Danila yang saat ini tengah berada diatas ranjang sana. Bermain dengan Dilan sembari menyusuinya."Ya. Aku akan memakainya." Danila mengangguk mengiyakan.Hugo lantas memasu
GREP!Pelukan Danila langsung mengubah suasana hati Hugo dalam sekejap mata. Pria itu berubah kaku dan terdiam ditempatnya. Detik kemudian, Hugo berbalik badan menghadapnya. Keduanya lantas tampak saling pandang sekarang. Cup!Hugo mengecup lembut bibir ranum Danila setelah menatap matanya agak lama. Perasaan aneh yang tumbuh didalam hati Danila. Yang sebenarnya benci, namun enggan melupakannya apalagi menjauhkan dirinya dari pria itu."Kau menikmati ciumanku. Apa itu berarti aku diberikan kesempatan?" ucap Hugo tanpa melepaskan aktivitasnya. Danila tak berkata apa-apa. Wanita itu terdiam kaku dan mempererat pelukannya."Huh ... hah!" deru napas Danila memburu. Setelah melepaskan ciumannya dari Hugo tadi."Bukankah Tuan sudah tahu apa jawabannya? Kenapa masih berta..." tutur Danila langsung terpotong sebab Hugo kembali membungkam bibirnya dengan ciuman. Namun kali ini agak kasar. Hingga menimbulkan beberapa tanda kissmark dibagian leher jenjangnya."Jangan memanggilku dengan sebutan i
"Beri aku waktu untuk memikirkannya," ujar Danila seraya menjauhkan dirinya dari Hugo. Pria itu menatapnya nanar sesaat, lalu mengembuskan napasnya yang terdengar cukup berat."Baiklah. Aku tunggu jawabanmu besok pagi." Danila lantas membelalakkan matanya lebar-lebar. "Aku tidak suka menunggu lama," lanjutnya lagi berkata. Danila mengembuskan napasnya panjang. "Dilan membutuhkanku. Kalau begitu aku pergi," kata Danila sambil membuka pintu mobilnya. Namun Hugo tiba-tiba berkata...."Haga selalu menunggu kedatanganmu. Dia bilang ... merindukan Bundanya," gumam Hugo dengan suara pelan. Bahkan hampir tak terdengar jelas ditelinga Danila. "A-apa?" ucap Danila berbalik tanya. Hugo lantas melengos dan mulai menyalakan mesin mobilnya."Pergilah. Dia pasti lebih membutuhkanmu," kilah Hugo mengganti topik. Danila terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk mengiyakan."Aku pergi." Hugo tak membalasnya. Namun raut wajahnya tampak berubah memerah sekarang.Hei, hei, hei! Lihat itu, serigala gila ini
"Apa yang kau lakukan?" cetus Danila bertanya. Hugo lantas semakin bertindak melebihi batas. Pria itu menenggelamkan kepalanya pada bahu Danila. Sosok arogan yang biasanya ia tampakkan untuk menindas istri kecilnya kini berubah bertekuk lutut dihadapannya. Dalam hati, Danila tersenyum penuh kemenangan. Merasa puas dengan melihat sosoknya yang lemah. Itulah bayaran dari perlakuannya terhadap Danila pada kehidupan sebelumnya."Maaf..." gumam Hugo sambil mendekap erat tubuh Danila dengan melingkarkan kedua tangannya pada perutnya yang rata. Saat semuanya sudah terjadi, kata maaf saja tak mampu bisa menghapus segala ingatan memori yang sudah terlanjur tenggelam dalam benak Danila. Hugo sudah melewati batas kesabarannya. Dengan mudahnya dia mengatakan kata-kata maaf. Setelah melakukan semua yang terjadi. Kasus penculikan, bahkan Danila hampir saja keguguran karena perencanaan aborsi itu."Hujan semakin deras. Sebaiknya kau kembali ke rumahmu," sanggah Danila mengalihkan obrolan. Tapi reak
Hugo melakukan pertemuan dengan dokter yang menangani laboratorium uji tes DNA pada bayinya Danila secara rahasia. Tampaknya, pria itu masih belum percaya dengan hasilnya. Aura serta raut wajah yang dingin begitu menyergap di meja pertemuan itu. Dokter Reno terlihat memberikan secarik surat berisi hasil tes uji coba yang kedua. Hugo lantas mengambilnya sambil menatap dokter tampan ini dengan tatapan tajam pada kedua mata elangnya.“Apa kau tahu, aku benci dengan kesalahan. Kau harusnya tahu, kan. Apa akibatnya jika kau benar-benar melakukan kesalahan?” ujar Hugo menggertak. Dokter tampak meneguk salivanya, lalu menunduk ke bawah sana sembari mengangguk pelan.Hei, hei, hei! Dia mengatakan itu karena dia sendiri tidak pernah melakukan kesalahan. Yang benar saja, orang perfeksionis sepertinya membandingkan dirinya dengan orang lain. Benar-benar serigala yang menyebalkan!“I-iya, Tuan. S-saya yakin seratus persen, kalau saya tidak melakukan kesalahan.” Hugo mengernyit sambil membaca isi d
Yang pergi akan tetap pergi, walaupun kau telah menjaganya dengan begitu kuat. Dan yang datang akan datang, walaupun kau tidak menginginkan kedatangannya. Bukan berarti hatinya tak sakit, bukan pula hatinya tak hancur, bukan pula hatinya tak perih, namun hanya kepasrahan yang mengiringi. Danila telah tiba didepan halaman kediaman rumah keluarganya. Tubuh kecil dan lemah itu terlihat menggendong makhluk mungil dengan penuh ketulusan. Sekretaris Jo mengantarkannya sampai didepan pintu saja. Bahkan para pengawal itu pun tak membawakan barang-barang miliknya sampai ke dalam sana. Mereka pasti begitu malu, dan tak punya wajah untuk melihat kedua orang tua Danila yang sampai detik ini masih belum mengetahui kehamilan serta kelahiran cucu pertama mereka. “Terima kasih, sekretaris Jo.” Danila berkata sungkan seraya menundukkan pandangannya. Tatapan sekretaris Jo justru tampak bimbang menatap ke arahnya. Seperti orang yang kehabisan kata-kata tuk menjawabnya. “Tak perlu berterima kasih, Nona