Ketiga pria beda generasi itu menunggu di depan ruangan tempat Sanaya diperiksa, dengan perasaan berkecamuk, Farraz lagi-lagi merutuki dirinya sendiri atas apa yang sudah ia perbuat pada istrinya. Dia sendiri tidak tahu bagaimana keadaan Sanaya di dalam sana. Sebab, dokter yang memeriksa belum juga keluar dari ruangan. Farraz berharap, segera ada kabar baik dari Dokter.Sedari tadi yang dilakukan Farraz bergerak ke sana kemari dengan perasaan gamang. Ketika ia sedang mondar-mandir, pintu ruangan dibuka oleh seorang Suster. Gegas ia menghampiri sang suster langsung mencecarnya dengan pertanyaan."Bagaimana dengan kondisi istriku? Apa yang terjadi dengannya? Apakah istriku baik-baik saja? Cepat katakan!" cerocos Farraz."Kondisi pasien masih belum sadarkan diri, pasien masih dalam penanganan Dokter. Sesuai perintah Dokter, saya hanya ingin memberitahukan bahwa pasien mengalami keguguran, pasca mengalami benturan keras di perutnya. Karena kehamilan pasien masih terbilang muda, kami tida
Shanaya hanya bisa menahan kekesalan, ketika di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Pak Amir terpaksa pamit, membiarkan kedua insan itu menyelesaikan masalahnya sendiri.Hati Shanaya semakin sesak, bak dihantam tombak. Ia terus merasakan denyutan nyilu di ulu hatinya kala Farraz menatapnya dengan sendu.Tidak ingin menambah kesakitkan dalam hati, Shanaya membuang pandangannya ke sembarang arah, menghindari kontak fisik dengan sang suami. Karena Shanaya benar-benar murka pada suaminya. Semua kesalahan yang Farraz perbuat, sangat sulit untuk Shanaya maafkan."Sha ... tolong, jangan seperti ini. Aku tidak ingin bercerai denganmu," pintu Farraz, suara melirih.Ia juga ikut merasa sesak, menghadapi kebencian Shanaya yang memang pantas ia dapatkan akibat perbuatannya."Kita tidak akan bercerai, kau harus tetap bersamaku!" tegasnya lagi.Tak berputus asa mengajak Shanaya mengobrol, supaya istrinya bersuara. Namun nihil, Shanaya tetap tak mengeluarkan sepatah kata, hanya ada isakan tangis sa
Usai kembali diperiksa oleh Dokter, Farraz memilih untuk manut saja dengan intruksi, untuk meninggalkan ruangan Shanaya dan menunggunya di luar ruangan.Karena Shanaya terus menjerit dan memberontak, Dokter memberikan bius agar Shanaya tenang. Dikarenakan, selang infus yang panjang itu berwarna merah. Takut terjadi sesuatu, pihak medis memilih cara itu."Kau harus sabar, jangan terus mendesak shanaya. Berikan Shanaya waktu, agar dia tenang," ujar Tuan Aryan.Sayangnya Farraz tak menjawab. Dia tidak bisa tenang, terus memikirkan perkataan Shanaya yang ingin bercerai.Tuan Aryan dan Farraz berjalan beriringan, menuju ruangan tempat Shanaya dirawat. Ayah dan anak itu baru selesai makan di kantin Rumah Sakit.Dari kejauhan, mereka mengerutkan dahinya ketika melihat Pak Amir yang begitu panik di depan ruangan. Tanpa banyak berpikir, keduanya lantas menghampiri.Pak Amir terus mengeluarkan kepanikannya."Ada apa, Dad? Kenapa kau panik seperti itu?" tanya Farraz. Alis tebal miliknya menukik
Tengah malamnya, Farraz terpaksa kembali ke kediamannya, dan memutuskan melanjutkan pencarian istrinya besok. Sekarang ia hanya bisa memerintahkan anak buahnya untuk tetap mencari.Dengan langkah lunglai, ia melangkah ke arah kamar yang biasa ditempati oleh Shanaya. Pandangannya mengabur, mengedar ke penjuru tempat yang kini tidak ada kehadiran pemiliknya.Bokongnya ia dudukkan di tepian ranjang, agar menutupi wajah kesedihannya itu."Shanaya ... kau di mana sekarang, aku merindukanmu," monolognya sendiri.Ruangan yang tadinya sepi, kini didominasi dengan cekam dan sunyi itu dipenuhi oleh suara tangisan Farraz. Di mana di tempat ini ia juga pernah melakukan kesalahan fatal.Ia berdiri, berjalan gontai ke arah lemari. Untuk mengambil baju Shanaya, dengan perasaan pilu, Farraz terus memeluk baju istrinya guna melepas rindu."Kembalilah Shanaya ... aku membutuhkanmu."Hari ini cukup melelahkan baginya tanpa kehadiran Shanaya, hingga Farraz merasakan kantuk dan terlelap dipembaringan.Ber
"Kau yakin akan pergi sekarang, Sha? Bahkan, kondisimu saja masih belum pulih."Sudah sekitar tiga hari lamanya Shanaya berdiam diri di Apartemen milik Raisa, menunggu kondisinya membaik.Sebab, Shanaya tidak bisa dan tidak mampu jika bepergian dengan kondisi tubuh yang kurang fit. Terlebih lagi, dia berencana untuk pergi ke luar negri, untuk memulai kehidupan baru dan menenangkan dirinya di sana.Swiss. Negara impian Shanaya, yang menjadi tempat tujuan rencana sebelumnya. Berharap, ia bisa hidup tenang untuk berdamai dengan keadaan."Aku baik-baik saja, Ra. Kondisiku sudah agak mendingan," balas Shanaya. Wanita cantik dengan balutan dress itu sibuk memasukkan bajunya ke dalam koper.Raisa hanya bisa membuang napas lirih, matanya menyendu tatkala memperhatikan Shanaya yang sedang packing barang. "Kau yakin? Aku tidak akan memaksamu untuk tetap di sini, Sha. Tapi, kembalilah jika kau sudah tenang."Shanaya tersenyum samar. Suara parau Raisa membuat hati Shanaya tersayat. Dia tahu jika
Dengan tergesa, Shanaya berlari ke arah sebuah kamar, untuk dijadikan tempat persembunyian. Tatkala sang Ayah menyuruhnya untuk sembunyi, lantaran Farraz datang lagi.Apa maksudnya? Apakah Farraz sering datang ke sini? Sudah Shanaya duga, pria itu pasti akan melakukan berbagai cara untuk bisa menemukannya.Ia langsung masuk ke bawah ranjang, menurutnya ini tempat yang aman. Bisa saja Farraz menggeledah isi rumah ini. Shanaya memejamkan mata, menetralkan deru napasnya yang tak beraturan."Semoga dia segera pergi," gumamnya.Di sisi lain, Pak Amir membuka pintu dan menyambut kedatangan menantunya. Sebisa mungkin meredam kegugupan, takut gelagatnya bisa Farraz tebak.Ada yang berbeda dengan penampilan sang menantu. Farraz yang biasanya rapih dan berwibawa, kini sebaliknya. Pakaiannya begitu acak-acakkan, raut wajahnya sendu dan datar."Ada apa Nak Farraz? Mau mencari Shanaya lagi? Sudah Daddy katakan jika Shanaya tidak pulang," ujar Pak Amir.Farraz mengedarkan pandangan, indra penciuman
Sudah satu bulan lamanya Shanaya menghilang. Sejak pertemuan di Bandara waktu lalu, sampai sekarang Farraz tidak tahu bagaimana dan di mana keberadaan Shanaya sekarang.Semenjak itu, Shanaya hilang kabar. Menghadirkan rasa sesak yang kentara pada diri Farraz. Dia lebih banyak diam, bahkan tidak memperhatikan pola makan dan istirahat karena kepikiran Shanaya.Ternyata kepergian Shanaya bukan membuatnya bahagia, tetapi malah menyiksa. Terbukti sekarang, bagaimana tersiksanya ia kala istrinya tidak ada. Saking banyaknya memikirkan Shanaya, Farraz jadi lupa pada Grisella. Ia hanya sesekali saja menjenguk, itu pun tidak akan lama."Permisi Tuan ... ada paket untuk anda," kata Nuri, memberikan bingkisan yang ia terima kepada Tuannya.Farraz yang sedang berdiri dan termenung itu menautkan alis tebalnya. "Paket apa? Aku tidak memesan apa pun."Nuri juga tidak tahu, dia menerima paket yang mengatasnamakan Farraz sebagai penerima."Saya tidak tahu, Tuan.""Ya sudah. Kau bisa pergi sekarang!" ti
Farraz terpaku, saat kembali bertemu dengan Shanaya. Penampilan wanita itu semakin bertambah cantik saat ini. Bibirnya membentuk seringai, dengan fokus tetap pada sosok istrinya.Ia sengaja dan terpaksa melakukan ini, agar Shanaya kembali padanya. Karena dia juga tahu, jika kelemahan Shanaya itu adalah Ayahnya. Betapa terlukanya Shanaya, mengetahui jika yang menyekap Ayahnya adalah Farraz. Pria yang bernotabene sebagai menantu.Shanaya mengalihkan pandangan, murka. Enggan membalas tatapan Farraz yang berjalan mendekat. Jarak Farraz tak jauh darinya, spontan ia menggeser tubuh agar tidak berdekatan."Aku benar-benar membencimu jika kau berani macam-macam padaku Daddyku, sialan!" maki Shanaya. Mendorong tubuh Farraz yang akan mendekat ke arahnya.Mendapat penolakan seperti itu, Farraz tidak berhenti begitu saja. Dia menangkup kedua pipi istrinya dengan lembut, seraya menempelkan hidung mancungnya pada hidung sang istri."Aku merindukanmu, Sha ... pulang dan kembalilah bersamaku," ungkap
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t