Farraz terpaku, saat kembali bertemu dengan Shanaya. Penampilan wanita itu semakin bertambah cantik saat ini. Bibirnya membentuk seringai, dengan fokus tetap pada sosok istrinya.Ia sengaja dan terpaksa melakukan ini, agar Shanaya kembali padanya. Karena dia juga tahu, jika kelemahan Shanaya itu adalah Ayahnya. Betapa terlukanya Shanaya, mengetahui jika yang menyekap Ayahnya adalah Farraz. Pria yang bernotabene sebagai menantu.Shanaya mengalihkan pandangan, murka. Enggan membalas tatapan Farraz yang berjalan mendekat. Jarak Farraz tak jauh darinya, spontan ia menggeser tubuh agar tidak berdekatan."Aku benar-benar membencimu jika kau berani macam-macam padaku Daddyku, sialan!" maki Shanaya. Mendorong tubuh Farraz yang akan mendekat ke arahnya.Mendapat penolakan seperti itu, Farraz tidak berhenti begitu saja. Dia menangkup kedua pipi istrinya dengan lembut, seraya menempelkan hidung mancungnya pada hidung sang istri."Aku merindukanmu, Sha ... pulang dan kembalilah bersamaku," ungkap
Farraz membaringkan tubuhnya di atas tubuh Shanaya yang hanya mengenakan bra, ia menetralkan napas terlebih dahulu sebelum berlanjut ke perjalanan menuju puncak nirwana yang menjadi candu. Shanaya merasakan hembusan napas hangat Farraz di lehernya. Mulai terangsang dan tidak kuasa menahan sentuhan yang diberikan suaminya, yang sangat mempesona dan gagah di atas tubuhnya."Ah ... ampun ... aku mohon."Farraz kembali mengangkat tubuhnya, merubah posisi untuk saling berhadapan. Cukup lama keduanya saling bersitatap, mengamati betapa cantik dan tampannya wajah kedua insan itu.Tiba-tiba, bibir Farraz langsung menyosor dan meraup bibir Shanaya dengan rakus. Wanita itu malah terbuai akan sentuhan-sentuhan yang Farraz berikan. "Mhhhh ....""Buka mulutmu!" titah Farraz, Shanaya membuka mulut. Ia berbatuk dan tersedak saat lidah Farraz menerobos mulutnya. Farraz tersenyum saat diberikan akses, lidahnya dengan leluasa mengabsen dan menjejal mulut istrinya lebih dalam, mencari rasa hangat dan n
Penampilan Shanaya jauh lebih segar saat dia sudah membersihkan badannya di kamar mandi, badannya lengketnya terasa dingin diguyur oleh air. Ia meringis, menahan sakit sekujur tubuh.Shanaya keluar dari kamar, hanya mengenakan bathrobe dan handuk di kepalanya. Untungnya, dia tidak melihat keberadaan Farraz di sini.Dengan langkah lunglainya, Shanaya berdiri di dekat jendela kamar, menikmati betapa indah dan segarnya udara malam."Kau sedang memikirkan apa, hmm?" Shanaya berjingkat kaget, ketika tangan kekar melingkar di perut ratanya dan mencium tengkuknya.Bukan salah tingkah yang Shanaya rasakan, tetapi malah risih ingin melepaskan."Apa yang kau rencanakan? Sehingga kau menahanku pergi, Farraz," Shanaya bertanya, dengan segumpal rasa sakit dalam hatinya."Apa maksdumu, Shanaya? Rencana apa? Aku tidak merencanakan apa pun. Memangnya Kenapa?" Farraz balik bertanya, menghela napas kasar ketika Shanaya hanya beraut datar.Sang dara menyunggingkan senyuman, tidak berminat untuk membalas
Selepas sarapan, agar tubuh mereka berstamina sebelum olahraga. Shanaya dan Farraz melakukan pemanasan terlebih dahulu, supaya tidak terjadi sesuatu ketika berolahraga.Karena Shanaya kurang tahu, bagaimana dan seperti apa di ruangan gym ini. Ia diajarkan Farraz yang lebih paham, dia hanya mengikuti gerakan yang Farraz praktekan.Dibandingkan dengan dirinya, Farraz lebih rajin dan suka datang ke sini. Jadi tidak heran, jika tubuhnya kekarnya terbentuk sempurna seperti itu."Baru pemanasan saja aku sudah cape dan keringatan seperti ini, benar-benar melelahkan!" Shanaya mengeluh, sembari mengusap peluh dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya.Farraz tertawa kecil menanggapinya. "Lain kali, biasakan untuk berolahraga. Wajar saja kau gampang lemas, kau memang pemalas!" ledeknya.Tidak ingin mengelak, yang dikatakan Farraz benar adanya. Baru hari ini kembali memulai, tubuhnya sudah kelelahan."Jangan meledekku seperti itu! Kau sombong sekali jadi orang!"Sesi obrolan diakhiri, kedua
Sore harinya tiba, langit sudah menampilkan warna kejinggaannya. Sinar matahari sudah mulai meredup di arah barat, sebentar lagi tergantikan dengan terangnya rembulan.Entah berapa jam lamanya Farraz tertidur, badannya merasa agak enakan seharian ini hanya berleha-leha di dalam kamar bersama istrinya.Omong-omong, ke mana perginya Shanaya? Wanita itu tidak Farraz lihat di sampingnya. Gegas ia beringsut, memakai kembali pakaian atas yang sempat ia lepas."Shit, wanita itu sudah seperti hantu yang menghilang tanpa kutahu."Di lantai bawah, aroma bumbh masakan begitu menyengat sampai di kejauhan. Aromanya saja membuat perut Farraz keroncongan, mungkin Shanaya sedang berada di dapur seperti biasa.Dan benar saja, sosok yang ia cari-cari keberadaannya sedang berdiri di depan kompor, dengan posisi tangan yang sedang mengoseng-oseng masakan. Shanaya berjingkat kaget, menyadari ada tubuh besar memeluknya dari belakang."Cih ... mengaggetkan saja!" Ia berdecih kesal, bahkan hampir jantungan.
Ziarah ke makam tidak terlalu lama, lantaran hari semakin panas. Selepas merapalkan doa dan memaburkan bunga, keduanya pamit untuk pulang.Gerah cuaca siang ini panas, Shanaya memilih untuk menghirup udara segar saja, guna mengeringkan keringat di badannya.Di tepian kolam, wanita berbaju hitam itu sedang asik membaca novel di aplikasi yang dia punya. Membaca adalah salah satu hobby Shanaya, bilamana ia bosan, ia selalu meluangkan waktu untuk membaca."Kau ku cari-cari ada di sini rupanya, Shanaya," ucap Farraz.Shanaya mendongakkan kepalanya, mengalihkan pandang pada Farraz yang bertelanjang dada berjalan ke arahnya."Ada apa, Mas? Bukannya aku sudah bilang mau ke kolam," ucap Shanaya. Menggeser posisi duduknya saat Farraz duduk di sampingnya."Aku merasa bosen seharian ini tidak melakukan apapun. Kau bosan tidak?" Farraz memilih bertanya.Antara bosan dan tidak, yang Shanaya rasakan berara di tengah-tengahnya."Humm, tetapi bersantai di sini sangat menyenangkan, Mas. Coba lakukan ha
Farraz duduk di ranjang sambil selonjoran. Dia tak henti-hentinya mengucap kagum, pada wanita yang sedang duduk di depan meja riasa sembari mengoleskan skincare di wajahnya.Sudah berapa lama dirinya terhanyut memandang, memperhatikan lebih dalam betapa cantiknya Shanaya malam ini. Dengan balutan gaun tidur, sedikit terbuka di bagian belah dada."Kenapa sih lihatin terus? Ada masalah?" tanya Shanaya, menggerutu menyadari jika Farraz tengah memperhatikan gerak-geriknya.Aktivitas Shanaya terhenti, alis tipisnya terangkat satu saat berbalik badan. "Tidak ada. Hanya ingin memandangmu saja."Shanaya mengangguk-angguk, walaupun ia kikuk diperhatikan intens seperti itu. Wanita tak aya merasa malu. Namun, dia kembali memakaikan skincare di bagian wajah yang belum teroles."Aku ingin bulan madu lagi, bagaimana?" celetuk Farraz.Shanaya tak ayal diam dengan keterkejutan, ketika Farraz mengatakan kalimat mencengangkan itu.Rasa gugugup menyeruak di jiwanya, Shanaya menutup kembali skincare mili
Teriakan suara Shanaya terdengar begitu menggelegar, memenuhi seisi ruangan. Bagaimana dia tidak kesal, bahwa wajahnya kini sudah dipenuhi oleh spidol.Pantas saja, semua orang mentertawakannya, jika wajahnya saja seperti ini. Dengan kekesalan yang meradang, Shanaya mengeluarkan cairan beningnya. Saking malu, menjadi bahan tertawaan orang-orang.Seketika Farraz menghentikan tawa, memandangi Shanaya yang sudah berkaca-kaca akibat ulah jahilnya."Sayang ... kok nangis? Maaf, Shanaya," cicit Farraz.Niatnya ingin menjahili, dan bercanda. Malah jadi seperti ini. Shanaya marah, sampai menangis. Farraz meringis, jadi bersalah sudah keterlaluan mengerjai istrinya."Puas tertawanya?! Tidak lucu!" sentak Shanaya, menyela ucapan suaminya dengan tampang innocentnya.Benar-benar tidak habis pikir. Kejahilan Farraz sudah kelewatan, sudah mempermalukan Shanaya."Kenapa langsung diam? Tidak ingin tertawa lagi kah?"Amarahnya kian memuncak, perut yang tadinya lapar, jadi tidak bernapsu untuk makan. M
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t