Sore harinya tiba, langit sudah menampilkan warna kejinggaannya. Sinar matahari sudah mulai meredup di arah barat, sebentar lagi tergantikan dengan terangnya rembulan.Entah berapa jam lamanya Farraz tertidur, badannya merasa agak enakan seharian ini hanya berleha-leha di dalam kamar bersama istrinya.Omong-omong, ke mana perginya Shanaya? Wanita itu tidak Farraz lihat di sampingnya. Gegas ia beringsut, memakai kembali pakaian atas yang sempat ia lepas."Shit, wanita itu sudah seperti hantu yang menghilang tanpa kutahu."Di lantai bawah, aroma bumbh masakan begitu menyengat sampai di kejauhan. Aromanya saja membuat perut Farraz keroncongan, mungkin Shanaya sedang berada di dapur seperti biasa.Dan benar saja, sosok yang ia cari-cari keberadaannya sedang berdiri di depan kompor, dengan posisi tangan yang sedang mengoseng-oseng masakan. Shanaya berjingkat kaget, menyadari ada tubuh besar memeluknya dari belakang."Cih ... mengaggetkan saja!" Ia berdecih kesal, bahkan hampir jantungan.
Ziarah ke makam tidak terlalu lama, lantaran hari semakin panas. Selepas merapalkan doa dan memaburkan bunga, keduanya pamit untuk pulang.Gerah cuaca siang ini panas, Shanaya memilih untuk menghirup udara segar saja, guna mengeringkan keringat di badannya.Di tepian kolam, wanita berbaju hitam itu sedang asik membaca novel di aplikasi yang dia punya. Membaca adalah salah satu hobby Shanaya, bilamana ia bosan, ia selalu meluangkan waktu untuk membaca."Kau ku cari-cari ada di sini rupanya, Shanaya," ucap Farraz.Shanaya mendongakkan kepalanya, mengalihkan pandang pada Farraz yang bertelanjang dada berjalan ke arahnya."Ada apa, Mas? Bukannya aku sudah bilang mau ke kolam," ucap Shanaya. Menggeser posisi duduknya saat Farraz duduk di sampingnya."Aku merasa bosen seharian ini tidak melakukan apapun. Kau bosan tidak?" Farraz memilih bertanya.Antara bosan dan tidak, yang Shanaya rasakan berara di tengah-tengahnya."Humm, tetapi bersantai di sini sangat menyenangkan, Mas. Coba lakukan ha
Farraz duduk di ranjang sambil selonjoran. Dia tak henti-hentinya mengucap kagum, pada wanita yang sedang duduk di depan meja riasa sembari mengoleskan skincare di wajahnya.Sudah berapa lama dirinya terhanyut memandang, memperhatikan lebih dalam betapa cantiknya Shanaya malam ini. Dengan balutan gaun tidur, sedikit terbuka di bagian belah dada."Kenapa sih lihatin terus? Ada masalah?" tanya Shanaya, menggerutu menyadari jika Farraz tengah memperhatikan gerak-geriknya.Aktivitas Shanaya terhenti, alis tipisnya terangkat satu saat berbalik badan. "Tidak ada. Hanya ingin memandangmu saja."Shanaya mengangguk-angguk, walaupun ia kikuk diperhatikan intens seperti itu. Wanita tak aya merasa malu. Namun, dia kembali memakaikan skincare di bagian wajah yang belum teroles."Aku ingin bulan madu lagi, bagaimana?" celetuk Farraz.Shanaya tak ayal diam dengan keterkejutan, ketika Farraz mengatakan kalimat mencengangkan itu.Rasa gugugup menyeruak di jiwanya, Shanaya menutup kembali skincare mili
Teriakan suara Shanaya terdengar begitu menggelegar, memenuhi seisi ruangan. Bagaimana dia tidak kesal, bahwa wajahnya kini sudah dipenuhi oleh spidol.Pantas saja, semua orang mentertawakannya, jika wajahnya saja seperti ini. Dengan kekesalan yang meradang, Shanaya mengeluarkan cairan beningnya. Saking malu, menjadi bahan tertawaan orang-orang.Seketika Farraz menghentikan tawa, memandangi Shanaya yang sudah berkaca-kaca akibat ulah jahilnya."Sayang ... kok nangis? Maaf, Shanaya," cicit Farraz.Niatnya ingin menjahili, dan bercanda. Malah jadi seperti ini. Shanaya marah, sampai menangis. Farraz meringis, jadi bersalah sudah keterlaluan mengerjai istrinya."Puas tertawanya?! Tidak lucu!" sentak Shanaya, menyela ucapan suaminya dengan tampang innocentnya.Benar-benar tidak habis pikir. Kejahilan Farraz sudah kelewatan, sudah mempermalukan Shanaya."Kenapa langsung diam? Tidak ingin tertawa lagi kah?"Amarahnya kian memuncak, perut yang tadinya lapar, jadi tidak bernapsu untuk makan. M
Saat ini, Shanaya hanya menuruti saja ketika Farraz mengajaknya menghadiri pesta pernikahan. Cukup lama ia bersiap, memakai polesan make up dan gaun yang senada dengan suaminya.Seperti biasa, Shanaya selalu cantik dengan ciri khas make up natural. Juga, menghias rambut panjangnya hingga bergelombang. Farraz berdecak kagum, pada wanita yang tengah tersenyum ke arahnya."Sebenarnya kita mau ke mana sih, Mas? Hmm ... maksudku, ke pesta siapa? Kenapa mendadak sekali," tanya Shanaya menunjukkan gestur bingungnya.Ah, akibat jadwalnya yang kembali padat di perusahaan. Dia baru ingat bahwa hari ini adalah hari pernikahan sahabatnya, Leonard. Ia jadi lupa, bahwa mereka akan menghadirinya. Itulah mengapa, Farraz memberitahunya secara mendadak."Mas, kok diam saja? Malah melamun."Sebenarnya Farraz ragu membawa Shanaya. Takutnya sang istri tidak nyaman saat mengetahui teman yang Farraz maksud.Haruskah ia jujur dari awal?"Teman yang ku maksud itu, pria yang ingin menjadikanmu model perusahaan
Tak terasa, waktu terus bergulir begitu cepat berlalu. Rumah tangga Farraz dan Shanaya jalani yang tadinya kelabu, kini lebih berwarna dari sebelumnya. Banyak hal yang mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, keduanya pun semakin mesra menjalaninya dengan perasaan cinta, bukan terpaksa."Aku senang kau memujudkan keinginanku, Mas. Terimakasih, aku senang sekali," ungkap Shanaya."Apapun akan ku lakukan jika itu membuatmu senang."Shanaya yang tadinya diabaikan, diperlakukan secara tidak baik. Kini sebaliknya. Farraz memperlakukannya bak seorang Ratu, hal yang sudah Shanaya impi-impikan sejak lama.Sesuai rencana sebelumnya, Farraz memilih untuk berbulan madu kedua kalinya bersama sang istri. Ke tempat yang masih di salam negri, dan menjadi destinasi wisata yang paling diminati.Bandara Domine Eduard Osok, Sorong. Sepasang suami-istri itu berjalan sembari bergandengan tangan, saat mereka baru saja sampai disalah satu Bandara Papua. "Akhirnya, aku datang lagi ke sini."Destinasi wi
Sesudah sesi makan siang, keduanya memilih untuk tidur dan beristirahat sejenak. Merehatkan rasa lelah akibat pergulatan mereka satu jam yang lalu.Wajah cantik Shanaya adalah hal yang pertama kali Farraz lihat. Istrinya masih tertidur, dengan berbantalkan lengannya. Tubuh polos keduanya masih terbungkus selimut tebal, enggan untuk memakai pakaian, berjaga-jaga akan melakukan penyatuan.Farraz menyingkirkan tangannya di leher sang istri, ia terus mengamati wajah Shanaya yang terlihat kelelahan ia gempur habis-habis. Tiba-tiba saja, sesuatu di bawah sana menegang, mulai bereaksi saat selimut itu melorot. Memperlihatkan bongkahan dada Shanaya."Mhhhhh ... nghhh ...." Shanaya seketika terbangun. Dia terkejut pada seorang pria yang sedang mengendus leher jenjangnya."Mas, apa yang kau lakukan? Aku bahkan baru tidur."Naasnya, ucapannya tidak dihiraukan. Farraz menyibak selimut, menyingkirkan kain yang menghalangi tubuh polos mereka. Sigap saja ia naik ke atas Shanaya, mengungkungnya lagi
Masih berada di tempat yang sama. Keseruan mereka terus berlanjut, akan mencicipi makanan yang ada di sekitar sini.Shanaya juga sangat antusias, tak mengenal lelah walaupun sudah berjalan kaki sedari tadi. Bahkan, sang istri tampak asik sendiri. Farraz hanya bisa mengikuti, kemana arah Shanaya pergi.Hingga mereka tiba di salah satu tempat, untuk menikmati makan malam. Supaya tidak terlalu lapar saat kembali pulang."Rasanya lututku akan keropos terlalu lama berjalan. Ini menyenangkan, dan juga melelahkan," keluh Shanaya. Menggerakkan kaki jenjangnya lantaran pegal.Wajar saja Shanaya pegal, wanita itu sangat aktif menjelajahi Raja Ampat ini. Ingin mengajaknya pulang pun tidak tega, karena Shanaya asik dengan dunianya."Duduk dan makan dulu. Energimu terkuras karena terlalu aktif dari tadi. Kau malah asik sendiri, sampai lupa suami juga ada di sini," cibir Farraz. Liburan yang dia inginkan itu menikmati waktu bersama-sama, diisi obrolan dan candaan antara mereka. Bukan seperti sekar
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t